Dalam tradisi agama-agama besar dunia, kematian bukanlah akhir daripada perjalanan hidup seseorang. Hukum kehancuran hanya berlaku pada wujud yang berstruktur secara materi. Karena roh bukanlah materi, maka ia tidak akan terkena pada hukum kehancuran. Konsep dan keyakinan hidup setelah mati ini mendapat tempat yang kokoh dalam tradisi agama-agama besar dunia. Mati bukanlah sebuah terminasi, tetapi garis transisi untuk memulai hidup baru di alam yang baru. Oleh karena itu, mereka yang ketika masih hidup menanam kebaikan, maka kematian baginya adalah sebuah gerbang yang membawanya memasuki kehidupan baru yang jauh lebih indah dengan kebahagian sejati. Itulah yang diyakinkan pada para calon pengebom bunuh diri. Lewat sebuah indoktrinasi, kata Emille Durkheim, mereka diyakinkan bahwa taman Firdaus terhampar setelah mereka mengorbankan diri mereka demi orang lain. Atau dalam bahasa lain, sorga terhampar luas dibalik detonator sehingga kematian akan terasa tidak lebih dari sekedar cubitan.
Beragam komentar dan pendapat dilontarkan oleh berbagai kalangan untuk menelaah fenomena (sosiologis) ini. Dari beragam pendapat tersebut, tidak didapatkan satu kesimpulan tunggal mengenai penyebab terjadinya fenomena bom bunuh diri ini. Beberapa pertanyaan yang mengedepan antara lain : Mengapa "mereka" mau mengorbankan diri mereka? Nilai-nilai apa yang mereka perjuangkan? Mengapa melibatkan banyak pemuda? Mengapa melibatkan mayoritas orang-orang yang anti-sosial? Mengapa melibatkan Islam garis keras ? Mengapa fenomena ini kemudian merembet ke kawasan yang tidak memiliki akar kultural seperti di Indonesia? Dalam konteks ini, jiwa martyrdom (lebih kurang berarti : kesyahidan) ini menurut John Hamling dalam bukunya The Mind of Suicide terdapat paling kurang ada delapan hal yang mendorong seseorang berani dan mau berkorban, bahkan mengorbankan hidupnya sendiri tanpa mengindahkan nilai-nilai humanis dan luhur agama dan "pakem" rasional yang terdapat dalam tata peradaban ummat manusia modern yaitu :
Pertama, Hopeless atau Kehilangan Harapan. Menurut hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh USA Today terhadap anak-anak Palestina menjelaskan bahwa mereka merasa tidak memiliki harapan terhadap masa depan. Mereka merasa hidup mereka tidak berarti lagi. Karena itu tidak ada pilihan lain lagi kecuali melawan dengan berbagai cara. Demikian juga halnya dengan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Peter O'Gonnor White terhadap komunitas Tamil di Sri Langka. Sri Langka, sebuah negara yang secara genetik dekat dengan Hindustan, akan tetapi mayoritas beragama Budha. Etnis terbesar yang terdapat di negara ini adalah etnis Sinhala (mayoritas) dan Tamil. Etnis terakhir ini merupakan etnis minoritas yang beragama Hindu, dan berada dibawah bayang-bayang diskriminasi sosial politik yang dilakukan oleh etnis Sinhala. Berbagai usaha dilakukan etnis Tamil agar mereka bisa berpisah dari Sri Langka. Akan tetapi, usaha melalui jalur diplomasi dan kerusuhan-kerusuhan sporadis tidak membuahkan hasil. Akibatnya, mereka merasa kehilangan harapan. Maka jalan satu-satunya adalah mentradisikan bom bunuh diri secara simultan dengan harapan timbulnya ekses psikologis dan perhatian dunia.
Begitu juga dengan statement yang pernah diungkapkan oleh ulama muda syiah kharismatis Irak, Moqtada al-Shadr, yang mengatakan bahwa tindakan martyrdom yang dilakukan oleh kelompok perlawanan Irak terhadap Amerika Serikat di Irak bukanlah kesia-siaan, akan tetapi merupakan "jalan yang benar". Demikian juga halnya dengan apa yang dilakukan oleh MNLF di Filiphina ataupun pola diaspora terror (konsep ini bertendensi negatif) yang dilakukan oleh Osama bin Laden. Keputusasaan terhadap ketidakberhasilan membebaskan Arab Saudi dan Timur Tengah dari Amerika Serikat, membuat Osama bin Laden "meluaskan" wilayah operasinya.Sama halnya dengan beberapa pejuang dalam sejarah setiap bangsa di dunia ini, Ia akhirnya merantau, keluar dari "relung sucinya" atau negaranya demi satu tujuan yang makro. Mungkin ini juga yang dilakukan oleh Azhari cs. dan Hambali cs. dan Nordin M. Thop cs.
Ketiga, Faktor Kepahlawan. Sosiolog Emille Durkheim mengatakan bahwa dalam kasus-kasus yang lebih altruistik, pelaku bunuh diri (baca : pengebom bunuh diri) menyimpulkan bahwa kehidupan mereka yang selamat lebih bernilai dibandingkan dengan kehidupannya sendiri atau bahkan kelangsungan hidup mereka bisa terjamin bila ada yang meninggal. Tipe seperti ini biasa terjadi dalam peran ketika seseorang mengobankan dirinya sendiri dengan harapan bahwa kawan-kawannya akan selamat. Banyak peristiwa-peristiwa tragis kepahlawanan yang pada akhirnya peristiwa itu memberikan inspirasi tentang kepahlawanan (terlepas dari salah atau benarnya).
Keempat adalah Faktor Kebanggaan Individual-Komunal. Standar kultural dan kepercayaan mungkin membawa seseorang untuk siap melepaskan hidupnya untuk menunjukkan keberanian atau menunjukkan dirinya berarti. Hasil dari tindakan ini adalah terjaminnya keberlangsungan hidup anggota keluarganya. Mereka dapat hidup dengan kebanggaan dan harapan. Faktor budaya sangat memegang peranan yang signifikan dalam melahirkan anggapan ini. Bagi kultur masyarakat Jepang klasik dan Palestina hingga saat sekarang, jiwa altruisme dengan bentuk tindakan bom bunuh diri (dengan embel-embel demi negara dan agama tentunya) justru meninggalkan kebanggaan individual-komunal.
Keenam adalah psychotic atau kegilaan, dimana ada yang beranggapan bahwa bunuh diri merupakan tindakan terakhir dari episode psychotic (kegilaan) yang merupakan bagian dari ritual supernatural, karena kematian tidak dapat dielakkan atau karena kematian merupakan sesuatu yang sementara sifatnya. Mungkin faktor ini tidak begitu jelas dan pas dalam memahami perilaku terorisme bom bunuh diri. Pada umumnya, hal ini bisa dilihat dari beberapa fenomena aliran-aliran "sempalan" dari sebuah agama yang mapan seperti fenomena David Koresh di Amerika Serikat dan beberapa peristiwa tragis lainnya yang berakhir dengan ritual bunuh diri para pengikutnya. Dalam kasus Islam di Asia Tenggara, peristiwa dalam skala yang lebih rendah bisa terlihat dari kasus Madi di Sulawesi, Lia Eden di pulau Jawa dan beberapa kelompok (sempalan) lainnya baru-baru ini.
Penelitian yang dilakukan oleh Robert N. Bellah di Jepang tentang ajaran Tokugawa memperkuat hal ini. Keberhasilan mencapai tujuan dan menjaga martabat Kaisar Jepang merupakan sebuah doktrin "genealogik" secara kultural bahkan diterima secara taken for granted. Hal inilah yang membuat masyarakat Jepang klasik sangat fanatik terhadap pemahaman dua hal diatas : Keberhasilan dalam mencapai tujuan dan Menjaga martabat tahta Seruni. Apabila mereka merasa gagal, maka jalan yang terbaik adalah bunuh diri. Bedanya antara fanatisme pertama dengan yang kedua adalah kalau yang pertama merupakan pemahaman parsial bukan kultural dan memiliki implikasi terhadap orang yang tidak bersalah. Sedangkan yang kedua merupakan pemahaman kultural yang hanya memiliki implikasi individual.
Pengorbanan diri sebagai suatu tindakan kesyahidan religius munculdari suatu kepercayaan terhadap hidup setelah mati atau berdasarkan atas kepercayaan bahwa kematian memberikan suatu kesempatan untuk lahir kemabli di bumi dengan status yang lebih tinggi (ini bisa dipahami ketika kita melihat kasus Devi Saravati diatas). Dengan demikian, maka kematian bukanlah dianggap sebagai sebuah kesia-siaan, tetapi dipandang sebagai kelahiran kembali untuk memulai hidup yang lebih baik dan baru. Dalam konteks ini, sedikit banyaknya motivasi pelaku bom bunuh diri adalah merupakan pelarian dari suasana dan "kompetisi hidup" yang tidak ramah pada mereka dan jalan terbaik agar mereka mencapai ketenangan dan kematian mereka tidak sia-sia adalah dengan jalan tragis ini.
Fenomena terorisme dan bom bunuh diri tersebut merupakan suatu fakta sosial dan bukanlah fenomena individual. Untuk mengantisipasinya, maka harus dicari penyebab yang juga merupakan fakta sosial. Dalam konteks ini, berbagai fenomena terorisme dan bom bunuh diri terjadi karena adanya pemahaman norma-norma religius yang destruktif, perilaku tidak adil dalam realitas sosial dan lain-lain yang bersifat diskriminasi struktural. Oleh karena itu, perlu para "pemegang otoritas" agama (Islam) untuk kembali memikirkan pola dakwah, pendidikan dan pendekatan terhadap transformasi ajaran Islam tersebut kepada ummat Islam itu sendiri, terutama pemahaman-humanis tentang beberapa konsep yang selama ini “menggairahkan” seperti “Jihad”. Pertanyaan logis yang mengedepan di benak kita harus dengan jujur untuk kita jawab yaitu: Mengapa ummat Islam memiliki potensi besar melakukan tindakan teror ? Mengapa para pelaku teroris dan Bom Bunuh Diri di Indonesia tersebut adalah orang-orang yang dekat dengan pondok pesantren?
Ahmad Syafi’ie Ma’arief berpendapat bahwa untuk kedepan kurikulum dalam dunia pendidikan Indonesia, khususnya ummat Islam Indonesia, harus menekankan pendekatan yang humanis, hubungan dengan Tuhan juga berkorelasi erat dengan hubungan dengan manusia serta penekanan terhadap ajaran bahwa manusia yang Islami dan disayang oleh Allah SWT. adalah manusia yang menjaga peradaban dan ciptaan Allah. Disamping itu, diskriminasi dan ketimpangan sosial harus sedikit demi sedikit diperbaiki. Keadilan harus ditegakkan, tanpa pandang bulu. Rasa persaudaraan antar ummat beragama perlu dikembangkan dan dianggap perlu, bukan dilestarikan. Sementara itu, Komaruddin Hidayat mengatakan bahwa terorisme dan perilaku bom bunuh diri bukan budaya masyarakat Indonesia. Namun bila dilihat secara historis, budaya kekerasan ada dalam setiap budaya di Indonesia yang kadang-kadang dijustifikasi oleh ajaran agama (Islam). Kasus Perang Aceh dengan Hikayat Perang Sabil yang termaktub dalam analisis antropologisnya (terdapat dalam buku yang diterbitkan INIS : Nasehat-Nasehat Snouck Hourgronje Jilid I - IX) Snouck Hourgronje memperkuat hal ini. Oleh karena itu, untuk kedepan, disamping menekankan pendekatan humanis terhadap ajaran Islam, kita juga harus menekankan jiwa humanis budaya-budaya di Indonesia. Karena bagaimanapun juga, seperti dalam setiap agama di dunia ini, setiap budaya lahir untuk menjaga dan mengembangkan peradaban ummat manusia. Butuh momentum tersendiri untuk memberikan pesan kepada pemegang otoritas politik Indonesia bahwa kebijakan-kebijakan yang menyudutkan ummat Islam hanya akan melahirkan ummat Islam yang radikal. Wallau 'Alam bi Shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar