Sabtu, 28 November 2009

Merantau : "Genuine Tradition of Minangkabau"

Oleh : Muhammad Ilham

Tersebutlah kisah bahwa sebelumnya raja dipercayai sebagai pemimpin yang tidak mempunyai keturunan sampai dia mati terbunuh. Namun di malam ketika raja terbunuh itu gundiknya meminum air mani raja sehingga dia mengandung dan melahirkan Raja Kecil. Setelah Raja Kecil lahir dia tidak diakui langsung sebagai seorang Pangeran yang akan melanjutkan silsilah kerajaan tetapi dia harus membuktikan kesatriaannya dengan mengembara dan kemudian kembali menakhlukkan kerajaan. Cerita yang banyak berkembang di tengah-tengah masyarakat itu sebenarnya dihadirkan untuk mengukuhkan keberadaan raja, peneliti-peneliti asing tentang melayu tidak mengakuinya sebagai sebuah sejarah sebagaimana rakyat setempat mempercayainya” (Secara umum, bagian ini dikutip dari “Raja Melawar”, melayuonline.com).

Merantau kalau ditelusuri akar sejarahnya akan bermuara pada kebudayaan nomaden nenek moyang manusia dalam mempertahankan hidup. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan umum masyarakat Minangkabau bahwa tidak ada manusia asli di bumi ini yang hadir mambasuik (muncul) dari bumi. Semua manusia dipercayai berasal dari Adam dan kemudian menjadi pengembara keseluruh penjuru dunia seiring perkembangan biakan manusia itu. Masyarakat Minangkabau menganggab manusia asal atau pribumi hanyalah orang yang pertama menduduki tempat itu. Orang yang pertama datang dan bermukim dari pengembaraan panjangnya. Tardisi hidup berpindah-pindah itu kemudian dalam kehidupan baru menjelma dalam bentuk tradisi merantau. Maka tersebutlah orang-orang sukses itu kerena dia merantau. Berani menghadang hidup keras dan memenangkan pertarungan dalam mengalahkan segala rintangan yang menghadang. Nama-nama perantau sukses itu diabadikan orang dan menjadi buah bibir oleh anak muda di kampung halamannya. Maka tersebut perantau-perantau itu sebagian kecilnya adalah Malewar dan Raja Kecil.

Kehadiran Raja Kecil yang penuh mitos sebenarnya untuk mengukuhkan kekuasaannya dan menarik mayarakat untuk mendukungnya. Hal ini sama dengan banyak tokoh yang menyejarah seperti Bundo Kanduang, Iskandar Zulkarnain, Ken Arok, bahkan pemimpin-peminpin masa kini yang garis keturunannya tidak lepas dari orang-orang hebat. Dalam hal ini mitos dapat berfungsi untuk mengukuhkan jati diri seorang pemimpin dan hal ini sangat penting sekali dalam perantauan banyak orang. Timothy P. Bernard dalam tesisnya untuk meraih Master of Arts pada The College of Art and Science of Ohio University Amerika Serikat, (Maret 1991: 22) berkomentar tentang kesuksesan Raja Kecil dalam memamfaatkan mitos sebagai pendukung kesuksesan dalam merantau. Ia menyebutkan bahwa: “Mitos dalam Sejarah Melayu menghidangkan sebuah piagam bagi sistem politik dan inilah yang dimanipulasi Raja Kecil untuk mencapai tujuannya menguasai Johor. Kemampuannya mempengaruhi keadaan melalui motif-motif mitos oleh sarjana barat berkembang menjadi historiografi. Oleh karena pertentangan mitos dengan sejarah nampaknya tetap menjadi permasalahan dalam kajian teks-teks Melayu tradisional, muncul permasalahan pemahaman mengapa ia berbentuk demikian.”


Dengan demikian teranglah bagi kita bahwa tradisi merantau yang mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Minangkabau bukan hanya tradisi “kemaren sore” atau tradisi baru karena telah “sempit” (susah) hidup di negeri sendiri. Tetapi merantau bagi masyarakat Minangkabau dipandang sebagai sebuah cara untuk berkembangnya manusia di dunia dan tradisi ini telah ada semenjak leluhur nenek moyangnya. Seperti Maharaja Diraja anak Iskandar Zulkarnain yang merantau ke negeri yang kemudian bernama Minangkabau ini atau seperti merantaunya Malewar dan Raja Kecil ke tanah Melayu.
Budaya merantau memang merupakan suatu budaya rumpun Melayu yang bersifat dinamis dan positif. Budaya ini berperanan dalam membina dan memajukan setiap individu, keluarga dan masyarakat. Ia bukan saja penting untuk mempertingkatkan mutu kehidupan peribadi seseorang, bahkan juga masyarakat, kerana sifatnya yang banyak membantu mereka kearah hidup yang lebih terjamin. Kalau dahulu merantau bagi masyarakat Minangkabau hanyalah kebudayaan laki-laki, namun kini merantau tidak lagi identik dengan laki-laki sahaja. Kini kaum perempuan juga sudah banyak yang merantau sama ada untuk tujuan ekonomi atau pendidikan. Kedua-duanya bermatlamat untuk merobah nasib.

Misi budaya orang Minangkabau telah membentuk corak dan strategi kehidupan mereka di perantauan. Oleh kerana alam rantau sebagai “dunia kedua”, ia hanya bersifat sementara. Belajar dan bekerja bagi mereka di rantau adalah untuk memenuhi misi budaya, iaitu untuk memperkaya alam Minangkabau. Hakekat kerja dalam konteks ini tidak hanya sekedar mencari nafkah untuk mempertahankan hidup (survive) di rantau, tetapi harus menghasilkan sesuatu yang akan dipersembahkan ke kampung halaman, termasuk ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu, terdapat sistem yang saling berkaitan dan saling mendorong antara kampung dengan rantau. Untuk dapat hidup dan bertahan, Minangkabau memerlukan rantau. Rantau Bukan hanya sumber dan medan laga untuk mencari penghidupan, tetapi juga sumber untuk mendapatkan inspirasi dan ide-ide baru. Pemikiran-pemikiran dan ide-ide baru tersalur melalui saluran merantau. Setiap perantau yang pulang memberikan effek-effek demonstratif terhadap yang di rumah dengan memberikan gambaran-gambaran yang indah dari kehidupan di rantau. Setiap yang pulang adalah juga “agent of change”, unsur pembaharu. Supaya berfungsi, merantau melembaga. Merantau dijadikan sebagai “rite de passage” bagi membuktikan kedewasaan.

(*) Terima kasih pada Uni Nelmawarni ..... Disertasi dijadikan inspirasi tulisan ini

Tidak ada komentar: