Jumat, 27 November 2009

Ketika Hukum Tak Berpihak

Oleh : Muhammad Ilham

Ada rasa nelangsa dan bosan di hati saya, ketika menonton TV akhir-akhir ini. Sebuah tontonan aplikasi hukum yang ”vulgar” .......... mulai dari kasus Bibit-Chandra, kriminalisasi KPK, ”pengakuan-fenomenal” Williardi Wizard dalam kasus Antasari Azhar, ”kekebalan” Anggodo Widjoyo, ”eksklusifnya” saksi Rhani Juliani, ”ketoprak” kasus Bank Century, ”dagelan” Kasus Suap Pemilihan Deputi BI dan sejenisnya yang membuat gigi saya sedikit ”aus” karena geregetan, sebuah dagelan yang tidak bisa saya cerna secara logika rasional saya (mungkin saya ”dianggap gila” oleh para penegak hukum yang selalu menuhankan ”logika-formal-yuridis” dan mengenyampingkan nurani dan suasan bathin sosial). Disisi lain ....... tragedi hukum orang kecil kembali kembali membuat saya seakan-akan ingin ”membakar” Indonesia. Karena kelaparan, secara sosiologis ini adalah kesalahan struktural – kemiskinan karena negara tak bisa mengatasi kemiskinan tersebut), ada yang mencuri satu karung buah seharga Rp. 10.000,- dan kemudian satu keluarga ini diproses dengan ”gagah berani” dan mempraktekkan jargon Jusuf Kalla dengan baik – ”lebih cepat-lebih baik” oleh pihak penegak hukum. Tuntutan hukuman 2 hingga 5 tahun-pun disandangkan oleh para penegak hukum pada mereka. Ada yang mengambil buah semangka (karena ada link dengan aparat hukum) si pengambil buah Semangka ini dijebloskan dalam tahanan plus gigi rontok akibat pukulan si penegak hukum (dan lucunya ...... pukulan ”tanpa lawan” ini tidak dianggap sebagai pelanggaran hukum). Konon, si penegak hukum minta Rp. 1 Juta untuk uang ”damai” – dan ini kemudian tidak diakui oleh si penegak hukum dengan berbagai dalih yang ujung-ujungnya ......... mana buktinya ? (Tapi saya berani bertaruh ....... Tanyalah pada ”manusia Indonesia” dari Sabang sampai Merauke, mana yang berbohong ..... jawabannya 100 % PASTI si penegak hukum). Kasus Nenek Minah adalah salah satu contoh kasus paling ”memiriskan”.

Tiga biji kakao telah memasukan ibu Minah ke dalam penjara. Dengan segala kesederhanaannya, ibu Minah menerima putusan yang disampaikan oleh majelis hakim. Ironis memang, tapi itulah hukum. Hukum memang tidak kenal kaya atau miskin, besar atau kecil, kota atau desa, laki atau perempuan. Hukum hanyalah untuk hukum, ia bersifat universal. Tak bu Minah, bukan juga Anggoro Widjoyo, atau yang lainnya. Semua orang memang harus patuh dan tunduk pada hukum. Namun demikian, sebuah kejadian melawan hukum harus juga memperhatikan faktor sosio-antropologisnya. Untuk kasus besar yang memberikan dampak sangat besar, tentu tak bisa diabaikan. Tapi, bagi kasus yang hanya melibatkan tiga butir kakao haruskah berurusan dengan pengadilan. Apakah kesalahan seperti itu tak bisakah dimaafkan. Bukankah pencurian tiga buah kakao, apalagi buah tersebut tidak sempat dibawa pulang harus di meja hijaukan ? Tak bisakah perkara tersebut diselesaikan dengan cara kekeluargaan, apalagi motif pencurian tersebut hanya untuk dijadikan bibit. Atas perbuatannya itu, pengadilan menghukum bu Minah 1,5 bulan. Dengan segala kepasrahaannya, bu Minah menerima hukuman tersebut.

Ada satu pelajaran menarik yang patut kita ambil dari kasus ini, bu Minah mengakui perbuatannya dan meminta maaf kepada perusahaan kakao tersebut. Hal ini sangat jarang sekali terjadi dilakukan oleh para petinggi kita yang sudah jelas berbuat salah. Para petinggi tersebut yang umumnya pemimpin, selalu berusaha mengelak tuduhan yang diberikan. Walapun sudah jelas-jelas mereka yang bersalah. Namun, dengan segala daya upaya mereka mengelanui hukum dan aparat penegak hukum agar mereka terbebas dari jeratan hukum. Sebuah contoh yang sangat memalukan dari para pemimpin kita. Hukum adalah hukum, dan kesalahan tetap kesalahan. Sekecil apapun kesalahan itu harus diselesaikan secara hukum. Demikian pula dengan tindakan pencurian. Yang perlu dipertanyakan adalah apakah balasan hukum adalah menghukum. Apakah cara-cara penyelesaian kekeluargaan juga bukan termasuk penyelesaian hukum ? Kita memang tidak membela tindakan pencurian yang dilakukan oleh Bu Minah tapi proses yang dilakukan oleh penegak hukum haruskan selalu berakhir dengan pengadilan. Tidak bisakah penyelesaian kasus seperti yang dialami oleh bu Minah dilakukan dengan cara-cara yang lebih sederhana dan mudah, serta tidak harus dilimpahkan ke pengadilan.

Mungkin maksud perusahaan tersebut untuk member pelajaran kepada masyarakat yang lain, bahwa dengan mencuri kakao tiga bijipun mereka bisa dihukum. Betul memang, tapi kita juga perlu bertanya, apakah selama ini perusahaan tersebut telah membina masayarakat disekitarnya ? Apakah kejadian tersebut telah terjadi berulang kali, atau bahkan kebun perusahaan tersebut hancur lebur karena dicuri masyarakat ? Tragedi buah kakao yang menghukum bu Minah memang menjadi pelajaran bagi penegakkan hukum di negeri ini. Dengan proses yang demikian cepat, diharapkan semua perkara hukum di negeri kita ini dapat dilakukan secara adil. Jangan hanya keadilan itu berlaku bagi orang kecil atau orang besar saja. Tapi diharapkan semua proses hukum harus dilakukan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Kasus ini merupakan contoh bagi aparat penegak hukum, bahwa sebesar dan seberat apapun sebuah kasus tidak boleh di rekayasa demi kepentingan pribadi dan golongannya.

Ohhh Tuhan Robbi Izzati .......... kutuklah orang yang mempermainkan hukum lebih dari kutukan ibu Malin Kundang, letakkanlah mereka di neraka Paling Jahanam !

Tidak ada komentar: