Oleh : Muhammad Ilham
Saya masih ingat, tanggal 9 April 2009 yang lalu, ketika proses pencontrengan untuk Pemilu Legislatif berlangsung. Kala itu saya jadi KPPS di sebuah daerah pinggir kota Padang, daerah yang secara sosiologis “semi-urban” dengan tingkat heterogenitas masyarakatnya cukup tinggi, maklum di kompleks perumahan menengah bawah. Ada beberapa kejadian (baca: fakta) yang bisa digeneralisir untuk menjawab peristiwa paling fenomenal dalam sejarah politik Indonesia (khususnya sejarah pemilihan umum), yaitu : “Mengapa Partai Demokrat Menang?”. Apa sesungguhnya yang melatari sukses besar Partai Demokrat dalam pemilu 2009 ini?
Cerita 1 :
Kira-kira hari menunjukkan jam 7.10 WIB pagi. Masih pagi untuk ukuran Padang. Sebagai ketua KPPS, saya masih mempersiapkan logistik Pemilu dan selanjutnya mengambil “sumpah” anggota KPPS. Beberapa pemilih sudah menunggu sekitar 10-15 orang di luar area pemilihan. Saya cukup terkejut karena bila dibandingkan dengan Pilkada Kota Padang 4 bulan yang lalu, pada jam-jam seperti ini, tak ada satupun pemilih yang datang. Antusiasme sudah tampak. Secara psikologis kami khawatir karena timbul anggapan para pemilih yang sudah mengantri di luar area pemilihan adalah orang-orang yang mau cepat menunanaikan kewajiban “Civic” mereka. Setelah sumpah saya baca, anggota mengambil posisi masing-masing. Selanjutnya, saya persilahkan satu per satu pemilih (yang rata-rata ibu-ibu) untuk mengambil Kartu Suara dan seterusnya. “Silahkan bu, kartu suaranya di ambil. Kita sudah sediakan 4 bilik untuk mencontreng, saya jamin tidak akan ada antrian panjang”, kata saya. Namun yang terjadi adalah, hanya satu dua orang ibu-ibu tersebut ingin cepat mengambil kartu suara. Sedangkan yang lainnya, masih ingin duduk-duduk dan berdiskusi tentang Susilo Bambang Yudhoyono serta Partai Demokrat. Mereka bukan tim sukses. Tapi lamat-lamat saya dengar, mereka sedang “menyatukan visi” untuk memenangkan Partai Demokrat. Kekhawatiran akan panjangnya antrian, pudar. Hingga jam 11.00, tercatat hampir 188 orang yang telah memilih dari 241 DPT di kompleks saya. Ibu-ibu yang sejak pagi tadi “ngetem”, sudah pulang. Sebelum pulang, ada beberapa yang ketika keluar dari Bilik Suara bergumam, “awak mamiliah urang panyaba” – saya memilih orang penyabar. Secara teoritis, proses simplifikasi telah terjadi. Kaum ibu ini pasti mencoblos salah satu dari Calon Legislatif Partai Demokrat. Saya yakin mereka tidak kenal dengan calon-calon tersebut yang memang tidak pernah datang ke kompleks saya sebagaimana halnya calon-calon legislatif dari partai-partai lain seperti PKS, PAN, Golkar dan Gerindra. Mereka telah melakukan sebuah proses, mencontreng Calon Legislatif dari Partai Demokrat berarti Calon tersebut adalah orang yang “penyabar” sebagaimana halnya sang big bos “SBY”. Demokrat berkorelasi dengan anggapan penyabar. Padahal, saya tahu ada calon legislatif dari Demokrat tersebut yang “sedikit bermasalah” dan “sedikit penipu” serta “sedikit tidak pantas”. Menjelang ditutup jam 12.00 siang (sesuai dengan ketentuan KPU), datang pemilih ke-189. Perempuan yang sudah dekat dengan status nenek. Saya kenal, ia penjual sayur. Saya jamin, ia tidak melek politik, apatah lagi meng-update berita terkini seputar pemilu. Bisa jadi ia buta huruf. Ketika diberi kartu suara, sambil masuk menuju bilik suara, kelihatan ia bingung. Cukup lama ia berada di dalam bilik, padahal waktu pencontrengan sudah boleh dikatakan tutup. Ketika ia keluar, sambil berteriak, “pak, ma gambar partai SBY pak. Paniang den mancarinyao. Banyak bana gambar disiko. Tolong ciek lah, tusuk partai SBY tu?” (Pak, mana gambar Partai SBY, pusing saya mencari gambarnya). Semua yang hadir terpana.
Cerita 2 :
Ada caleg dari sebuah Partai Politik mapan datang ke tetangga kompleks saya. Bak sinterklas, ia membagi-bagikan uang. Acara lomba mancing hingga orgen tunggal diback upnya. Saya yakin, ia merasa bahwa suara masyarakat tetangga kompleks saya itu pasti untuknya. Karena masyarakat menyambutnya dengan ramah. Karena uangnya banyak dinikmati masyarakat. Karena ia menyelenggarakan orgen tunggal. Karena gambarnya begitu banyak. Karena masyarakat disana banyak yang ingin jadi bagian dari tim suksesnya. Karena, karena dan karena. Tapi apa nyana, ketika jam 14.00 WIB tanggal 9 April 2009, ia hanya memperoleh 4 suara (skor 1 = 1, caleg = pemilih. Sama-sama gombal). Di sisi lain, calon dari Partai Demokrat yang jangankan uang atau fisik, wajah mereka dalam bentuk baliho-pun tidak pernah “mengunjungi” kompleks tetangga saya itu. Tapi, ketika jam 14.00 WIB tanggal 9 April 2009, sang calon dari Partai Demokrat yang tidak pernah datang ini memperoleh 33 suara.
Mengapa Partai Demokrat begitu fenomanal ? Beberapa alasan yang memicu munculnya keheranan dan pertanyaan publik karena secara real politik, Partai Demokrat adalah partai yang cukup baru dalam konfigurasi perpolitikan nasional. Bahkan tercatat, partai Demokrat baru mulai ikut pemilu ketika pemilu 2004 yang ketika itu juga sekaligus mengusung SBY sebagai calon Presiden. Dalam posisi partai “yang masih” seumur jagung, maka menjadi spektakuler ketika hanya dalam keikutsertaan yang ke-dua dalam sebuah pemilu kemudian PD mampu menjadi jawara dengan hasil di atas 20%. Kemudian, selain faktor SBY sesunggguhnya kekuatan PD sebagai mesin politik nyaris tidak ada. Soal ideologi misalnya, tawaran Nasionalis Religius yang menjadi plat form PD sesungguhnya membuat PD berada dalam posisi yang tidak jelas. Artinya PD berusaha keluar dari mainstream aliran (ideology) politik yang sudah mencukup mengakar dalam belantika perpolitikan nasional, yakni Nasionalis, Santri (religious), Abangan (Marhaenisme). Artinya, di hadapan pemilih yang masih menimbang dan meyakini aliran politik, sesungguhnya PD bukan pilihan terbaik. Selanjutnya, bila kita berkaca dari hasil pemilu 2004, secara kuantitas PD hanya memperoleh 7% suara dibawah Partai Golkar, PDIP, PKB bahkan PPP. Dan secara substansi artikulasi politik, para legislator PD juga bukan sosok politisi ulung dan terampil yang memiliki kemampuan lobby politik yang brilian. Terbukti banyak kebijakan pemerintah yang tidak mampu dikomunikasikan secara baik kepada oposisi bahkan dengan sesama partai koalisi yang ada di parlemen. Dalam posisi suara yang terbatas dan keterampilan komunikasi politik yang juga terbatas, maka nyaris mustahil memenangkan sebuah pemilu dengan angka telak.
Keheranan dan surprise publik atas prestasi PD pada pemilu 2009 ini begitu mudah dijawab, bahwa semuanya karena PD memiliki sosok Susilo Bambang Yudhoyono. Inilah faktor yang maha menentukan di balik kesuksesan Partai Demokrat. Bahkan begitu kuatnya faktor figur SBY dalam mengantar kemenangan PD membuat para elit dan pengurus PD tidak memiliki argumentasi untuk menjelaskan faktor kemenangan PD selain faktor figur SBY. Meskipun ada faktor money politik yang konon dilakukan PD ketika kampanye misalnya, namun saya tidak masukkan faktor ini, karena nyaris semua parpol melakukan hal yang sama. Yang jelas faktor SBY ini terdefinisikan dalam beberapa hal :
Pertama, bahwa 20% pemilih yang menentukan pilihannya ke PD adalah memilih pesan bahwa, mereka tetap menghendaki SBY sebagai presiden mereka untuk periode yang akan datang. Pemilih 20% itu adalah sesungguhnya bukan voters PD yang sejati, loyalis yang mengerti betul tentang platform dan visi misi PD sebagai partai politik. Namun mereka adalah voters yang merasa nyaman dengan gaya dan hasil kepemimpinan SBY sebagai presiden RI bukan SBY sebagai Ketua Pembina Partai Demokrat. Artinya, PD hanya merupakan imbas dari kharisma figure SBY. Analogi Sarkatisnya adalah partai sekecil apapun (Misalnya Partai yang saat ini memperoleh 0…%), ketika Ketua partai tersebut adalah SBY, maka niscaya Parpol Kecil itu akan memenangkan Pemilu 2009 kali ini. Artinya ideology dan mesin politik PD seperti apapun kondisinya tidak memiliki kekuatan apa-apa ketika dibandingkan dengan figur SBY.
Kedua, bahwa citra, figur dan kharisma dari seorang SBY beserta kebijakan-kebijakan SBY di pemerintahan adalah sesuatu yang berbeda dengan hasil-hasil kerja politik PD sebagai partai politik. Sebagai efek dari koalisi kabinet yang multi partai, maka kebijakan-kebijakan SBY adalah jelas bukan kebijakan PD. Sehingga turunnya harga BBM, program PNPM, program Bantuan Langsung Tunai (BLT) adalah bukan kerja PD yang secara jelas dipahami publik adalah bukan manifestasi dari ideologi, visi, misi dan program kerja PD sebagai parpol yang bertanggung jawab terhadap konstituennya. Ketika seorang menerima BLT, maka yang tersimpulkan adalah uang 200 ribu ini dari SBY bukan dari PD. Inilah corak parpol yang gagal mengharmonisasi kekuatan figur parpol dalam mesin politik parpol untuk direfleksikan atau dikomunikasikan sebagai kerja politik untuk meraih dukungan bersama. Yang terjadi adalah simplisitas hasil kerja figur seolah menjadi hasil kerja parpol melalui media dan iklan secara bombastis dan cenderung manipulatip. Akhirnya pun publik tetap yakin bahwa semuanya itu adalah kerja figur SBY.
Ketiga, kemenangan figur ala SBY akhirnya semakin menjelaskan “rasionalitas” pemilih saat ini. Rasionalitas pemilih Indonesia adalah proses delegitimasi atas eksistensi sebuah parpol sebagai media artikulasi dan rekruitmen pemimpin politik. Kemenangan figur yang disistematisasi secara baik oleh PD mempertegas bahwa kekuatan figur lebih efektif daripada kekuatan mesin politik. Kondisi ini jauh hari sudah disadari dan diantisipasi oleh elit PD dengan mendorong keluarnya PerPu oleh SBY yang membolehkan pemilih mencontreng nama partai atau mencontereng nama caleg. Dengan situasi ini, maka pemilih yang lebih condong ke figur SBY tidak mau ambil pusing dengan identitas para caleg PD yang memang cenderung tidak mengakar dan cukup mencontreng gambar PD untuk SBY for Presiden. Meskipun tidak semua, namun sebagian besar konstruksi parpol saat ini masih dikendalikan figur. Sebutlah misalnya PDI-P yang masih memasang figur Megawati untuk menjaga soliditas partai. Juga fenomena ambruknya suara PKB pasca ditinggal oleh Gus Dur juga semakin mempertegas budaya politik figur ini. Proses kooptasi parpol oleh kekuatan figure mendapat legitimasi oleh putusan MK yang menghendaki kemenangan caleg melalui mekanisme suara terbanyak. Pada akhirnya parpol semakin tidak berdaulat.
Keempat, penjelasan lain atas kemenangan SBY adalah PD harus siap-siap menelan kekalahan pada pemilu 2014 apabila lima tahun ke depan hanya mengandalkan kekuatan kharisma SBY. Apabila mesin politik atau struktur PD masih belum tertata dan tidak terkonsolidasi dengan baik, maka kemenangan 2009 ini akan sekedar menjadi memori indah. Setidaknya ada 2 alasan kekalahan akan menghampiri PD tahun 2014, pertama, karena pemilih bahkan pengurus PD bukan voters ideologis dan loyalis (bandingkan dengan pemilih partai Golkar dan PDIP) maka sangat terbuka para pemilih PD akan berpindah ke partai lain. Kedua, kalau PD masih mengandalkan politik figur, maka tantangannya adalah PD mesti menyiapkan dan menghadirkan sosok yang memiliki daya pikat sekelas SBY dan sepertinya pasca SBY, PD belum bisa melahirkan sosok itu. Sehingga apabila PD masih akan menang di tahun 2014 maka pilihannya adalah konsolidasi dan soliditas partai. Akhirnya, kemenangan PD di 2009 ini semakin menambah referensi dinamika perpolitikan bangsa ini, bahwa akan banyak fenomena politik yang tak terduga yang semoga memberi inspirasi dalam menggapai wajah politik yang berwibawa dan beradab.