“Walau sejarah belum tentu (dan tak perlu) menghadirkan para penulis sebuah buku agar menjadi tokoh di dalam perjalanan waktu, sebuah catatan atas luka akan selalu ada…”, setidaknya demikian kata sang Revisionis (dalam tradisi Marxian), Antonio Gramsci. Saya mulai tulisan (tepatnya penggalan “reportase-highlight” dari seorang putra DN. Aidit, Ilham Aidit – tidak pakai Muhammad, sebagaimana halnya dengan nama saya, Muhammad Ilham). Penggalan tulisan ini merupakan “jerit” dari seorang anak menyaksikan kehancuran fantasi terbesarnya yang bernama “keluarga”, sebagaimana halnya jerit pilu Amelia Yani melihat ayahnya Ahmad Yani ditembak. Ideologi telah meluluhlantakkan kebahagiaan yang difantasikan Ilham Aidit. Saya dan kita, mungkin tidak sependapat dengan pilihan ideologi ayah Ilham Aidit (baca: komunis), namun setidaknya, tulisan dibawah ini kembali “menjemput” masa lalu yang tidak ingin kita ulang kembali. Berikut penggalan “reportase-highlight”
Di kejadian 42 tahun yang lalu, 30 September 1966 hampir tengah malam. Di sebuah rumah di Jalan Pegangsaan
Ilham yang masih bocah dan tak cukup paham polemik politik tingkat tinggi itu, berpindah dari satu rumah kekhawatiran ke rumah kecurigaan yang lain, hanya menggantungkan harap dan iba kepada kerabat yang bermurah hati menampungnya. Sesekali aparat mencoba menghantui dengan wajah dendam dan revolver. Nasib Ilham kecil, tak jauh beda dengan tujuh anggota keluarga yang menempati rumah di Jalan Pegangsaan itu. Saudara-saudara lainnya juga bernasib sama, kakak sulungnya Ibarurri dan Ilya Aidit menjadi eksil di luar negeri, berpindah-pindah. Paman dan ibunya menjadi tahanan negara tanpa pernah diberi peluang membuktikan kesalahannya, selain bahwa dalam darah mereka mengalir darah leluhur Aidit. Nasib anak-anak Aidit teramat tragis, menjalani hari demi hari dalam ketakutan dan teror, di balik sejarah hitam ayahnya, yang sampai saat ini masih mengundang kontroversi di balik debat para analis sejarah.
Kini, Ilham Aidit sudah punya rumah sendiri di Depok. Bangunan suram dan kelam masa lalunya mungkin akan tetap jadi monumen kenangan pahit dan disimpan rapi dalam museum masa lalunya. Beberapa tahun silam, Ilham menyempatkan diri mengunjungi “petilasan” ayahnya, sebuah sumur tua di samping sekolahan nun jauh di sebuah dusun di Boyolali. Tidak ada gundukan tanah, pusara, apalagi taburan kembang nan harum di atasnya. Hanya gundukan sampah dan hempasan ketidakpedulian, yang mungkin masih lebih baik daripada ketika di masa Orde Baru. Sumur tua tempat jasad ayahandanya dicampakkan itu pernah menjadi monumen lupa dan tidak peduli penduduk di sekitarnya. Juga para tentara yang menjadi saksi kelam kejadian di malam 22 November 1966 itu.
Insert : Brand Film Penumpasan G 30 S-PKI dan Dipa Nusantara Aidit@Danu Nusantara Aidit@Dja'far Nawawi Aidit@DN. Aidit dan entah apalagi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar