Disamping blog, Face Book, yang juga menjadi salah satu instrumen dunia cyber tersebut, telah mampu memberikan alternatif lain untuk melakukan sosialisasi politik yang produktif, walaupun hanya untuk “kelas tertentu”. Namun, dalam perspektif Durkhemian, perkembangan penggunaan Face Book berkorelasi futuristik dengan perkembangan masyarakat. Artinya, untuk ke depan, penggunaan Face Book menjadi sesuatu yang lumrah bahkan cenderung menjadi pilihan yang lebih rasional-efisien. Face Book yang dikenal sebagai ajang perkenalan, menjelang pemilu legislatif yang tersisa 3 hari ternyata akhirnya menjadi ajang perseteruan politik juga. Kalau kita buka Face Book, ternyata ada aksi yang sangat mengejutkan, terdapat sebuah komunitas yang menamakan dirinya “Say ‘No!!!’ to Megawati.” Tadi malam penulis melihat yang tercatat sebagai suporter berkisar sekitar 51.000-an, tapi pada pagi ini tercatat jumlahnya sudah mencapai 60.514 orang dan terus naik, tercatat 1,886 More Members, 10 Board Topics, 501 Wall Posts.
Fenomena Face Book beberapa waktu terakhir ini telah membius dan membuat banyak orang menjadi demikian terpengaruh, bahkan sangat dikenal istilah “autis” bagi penggila face book, sibuk dengan PC ataupun Black Berry-nya masing-masing. Memang ada kesan kita mencontoh pilpres di Amerika, dimana Obama juga menjadi member dan memanfaatkan pertemanan di internet seperti Face Book ini sebagai salah satu ajang saat kampanye.
Kader PDIP Effendy Simbolon menyatakan “Ini melanggar Undang-Undang ITE (Informasi Teknologi). Bisa masuk pada tindak pidana.” Menurut Effendy kelompok seperti ini bisa dikategorikan memfitnah dan membuat kampanye negatif untuk Megawati. PDIP tidak akan melarang apalagi melakukan kampanye hitam tandingan untuk menghalau gerakan ini. “Terserah mereka kalau memang mau menzalimi Mega. PDIP punya prinsip untuk tetap menggunakan cara kampanye yang sesuai aturan,” kata Effendy. Anggota Bawaslu Bambang Eka Cahyono menyatakan, katagorinya bisa saja black campaign. Tapi dia bingung bagaimana menegur atau menindak komunitas jaringan internet ini. “Kita tidak tahu yang membuat siapa” katanya. Eka menyarankan Mega melaporkan ke Bawaslu, nanti akan dilaporkan ke Depkominfo yang bisa menindak lanjuti.
Melihat beberapa fakta tersebut, ternyata memang ajang internet selain bisa digunakan sebagai sarana kampanye, bisa juga dipergunakan sebagai sarana penyerangan. Pada Say No, yang jelas terserang adalah citra dari capres Megawati. Admin hanya melontarkan sebuah ide dan muatan, kemudian para penggila face book langsung bereaksi. Reaksi yang muncul beragam, mulai dari mengkritik, menyarankan, bahkan ada yang menghina. Tidak main-main para suporter dengan cepat bertambah, hanya beberapa jam saja jumlahnya bisa naik hingga diatas 10.000 orang. Pertanyaannya ada apa ini?. Bagi para elit PDIP, harus segera mensikapi fenomena yang terjadi, sulit untuk mengatasi kegiatan semacam ini didunia maya, merekapun mengatakan silahkan kalau mau menuntut, nanti penjara penuh.
Terlepas dari ulah para admin Say No, baik itu iseng ataupun memang pesanan, ada satu hal yang sangat penting diperhatikan dan dipelajari lebih jauh oleh PDIP, para suporter adalah pengguna internet yang dapat dikatagorikan kelompok yang cukup terpelajar. Dari komentar yang masuk, sementara ini terlihat munculnya sebuah “resistensi” terhadap Megawati dari kelompok terpelajar, tidak hanya dari kaum pria tetapi banyak juga dari kaum wanitanya. Nah ini yang menjadi “point” penting bagi PDIP untuk dipelajari. Apabila serangan dibiarkan, maka kelompok ini akan berubah menjadi sebuah bola salju yang akan sulit dikendalikan oleh PDIP, jelas akan banyak mempengaruhi anggota face book lainnya. Selesaikan masalah ini dengan arif, jangan balik menyerang mereka, karena komunitas netters bergerak secepat angin, tanpa batas ruang dan waktu. Kearifan merupakan salah satu yang diserang oleh warga negara Face Book, kalau boleh disebut demikian.
Insert : Foto diambil dari Face Book "Say No To Mega" (Gambar bukan merupakan pendapat pribadi penulis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar