Oleh : Muhammad Ilham
Tulisan ini, merupakan Catatan (Note) saya dua tahun lalu. Saya publish kembali, ketika dalam diskusi malam kemaren dengan beberapa kawan, terselip "kegalauan" dan ketidakpercayaan mereka pada yang namanya politisi dan dunia mereka - "politik". "Ilham, kembali komplek kita ramai dikunjungi calon-calon politisi, menawarkan harapan, janji dan setelah mereka nantinya menang atau kalah ..... ya, menang atau kalah, mereka kemudian pergi !".
Bolehkah kita berharap ?
Tentu tak salah, bahkan dianjurkan. Bukankah Imam Al-Ghazali justru menempatkan formula "cemas" dan "harap" dalam nukilan-nukilan teosofinya berkenaan dengan ibadah.
Demikian juga, misalnya penyair klasik Cina Lut Szun pernah mengatakan bahwa :
Harapan itu ibarat jalan di dalam rimba/
Pada awalnya tak ada/
/tapi karena sering dilalui/
Akhirnya/
/jalan itu ada dengan sendirinya/.
Demikian juga harapan kita tentang dunia politik yang diisi para politisi (itu sudah pasti, karena tidak mungkin diisi oleh seniman !). Dunia politik dan politisi, bagaimanapun juga, adalah sebuah keniscayaan demokrasi. Namun melihat tingkah polah para politisi belakangan ini, setidaknya sebagaimana yang dipublish berbagai media massa, korupsi dan hedonisme yang berkembang pada badan-tubuh-jiwa mereka, membuat publik justru menganggap dunia politik dan politisi sebagai public enemy, untuk tidak mengatakan benalu. Mungkin publik over generalize, namun publik juga tidak bisa disalahkan. Ekspektasi publik terhadap dunia politik dan para politisi ini begitu besar. Karena itu tidaklah salah bila hedonisme yang menjangkiti para politisi tersebut membuat publik merasa dibodohi dan dipecundangi. Kasihan memang orang yang masuk dunia politik. Tak semua politisi itu yang busuk, pasti ada yang berhati bening dan berjiwa waras. Namun karena dunia politik adalah dunia tawar menawar - yang terefleksi dari "diktum keramat" mbah Harold Lasswel, "who get what how and when", maka mau tidak mau, kepentingan publik harus dikesampingkan ketika berbenturan dengan kepentingan kelompok-partai. Banyak politisi berhati bening tidak sanggupmenolak "pakem" ini. Karena bagaimanapun juga, ketika seseorang ingin terjun di dunia politik, maka ia harus siap bergelut dengan dunia kebusukan. Kalau berhasil, dia akan menjadi politisi yang disegani kawan maupun lawan. Politik itu busuk, kata "rakyat bawah-pinggiran". Iya memang, bila kita dasarkan pada realita yang terlihat. Karena itu sebaiknya dipisahkan saja antara agama dan politik seperti di Barat. Jelas, terukur dan gentle. Kalau tidak, kasihan agama yang selalu di"tunggangi" oleh politisi-politik.
Politisi seharusnya tidak menjadi bagian utama dalam membiarkan masyarakat mempraktekkan pola berpolitik yang merusak, seperti money politic. Praktek jual beli suara hanya akan menjauhkan cita-cita indonesia menjadi lebih baik. Seorang calon yang menangnya dengan cara membayar, pasti yang dipikirkan pertama kali bagaimana mengembalikan modalnya, bukan bagaimana memperbaiki nasib rakyatnya. Politisi yang ingin memperbaiki negeri ini dengan setulus hati, agar tak mengajari rakyat dengan politik transaksional. Karena itu pula, Majelis Ulama Indonesia (pernah tahun 2009, walau tak jadi) yang berencana mengeluarkan fatwa haram Golput, idealnya justru mengeluarkan fatwa super "haram" bagi masyarakat untuk memilih politisi bermasalah dan mempraktekkan politik transaksional. Saya rasa, itu jauh lebih mendidik dan memiliki pengaruh besar dalam meniti harapan Indonesia yang lebih baik. Bagaimanapun juga, harapan ini harus terus kita pelihara !!
_____________ Ah, malam tadi, kami sepakat bila Wanda Hamidah mencalonkan diri jadi anggota DPR-RI nantinya dari PAN pada Pemilu 2014 yang akan datang, kami tak akan pilih ...... "haram jadah". Tapi sore tadi, sepulang dari kampus, kawan-kawan saya berkabarberita pada saya bahwa nanti mereka justru memilih si Wanda keturunan Arab ini. "Salah kami ilham, ruponyoa inyo negatif, bahkan jadi Duta BNN pulo, tambah pulo inyo jando ..... keh keh keh". Yang pertama dan kedua, nampaknya rasional, sedangkan yang ketiga, libido kawan saya sedang tak terkendali".
_____________ Saya tak tahu, apakah ada kaitan artikel di atas dengan alinea dibawah.sumber foto : muslimpolitician.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar