
Tidakkah cukup sebagai "penyelamat Republik" membuat Syafruddin Prawiranegara yang (konon) telah diajukan hingga 2 kali kepada pemerintah untuk dijadikan sebagai pahlawan ? Tidakkah cukup, misalnya, track life beliau yang "luar biasa" sebagai anggota Badan Pekerja KNIP (1945), yang bertugas mempersiapkan garis besar haluan negara RI sebelum merdeka. Sebagai Menteri Keuangan pertama RI (1946), dan Menteri Kemakmuran (1947). Setelah PDRI yang diketuainya menyerahkan mandat, ia sempat diangkat sebagai Wakil Perdana Menteri pada tahun 1949. Ia kembali diangkat menjadi Menkeu di kabinet Hatta pada Maret 1950 dan menelurkan kebijakan yang cukup terkenal saat itu, yakni pengguntingan uang dari nilai Rp 5 ke atas (Gunting Sjafruddin). Ia-lah juga Gubernur Bank Indonesia yang pertama tahun 1951. Tapi karena pilihan ideologis - bisa juga kita katakan nilai-nilai prinsipil politis yang dipegangnya - Syafruddin kemudian memilih bergabung dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang juga berbasis di Sumatera, sebuah gerakan untuk menentang kebijakan presiden Soekarno. Gara-gara sikapnya yang berlawanan tersebut, ia sempat dipenjarakan oleh Soekarno tanpa proses pengadilan. Dan sikap "subversif"nya ini, jasa-jasa inspiratif Syafruddin Prawiranegara seakan-akan hilang. Kehidupannya seakan-akan dipenggal pada PRRI saja (walau masalah PRRI bisa diperdebatkan logika politiknya). Akumulasi kehidupan beliau yang mencerahkan, dedikatif dan kontributif tersebut dianggap hilang karena penggalan pendek waktu yang bernama PRRI - pemberontakan-subversif.

Dan saat ini, anak bangsa yang memiliki kedekatan ideologis serta empati terhadap Syafruddin Prawiranegara, terus menghidupkan jasa-jasa beliau nan inspiratif ini. Namun usulan untuk menjadikan Syafruddin Prawiranegara menjadi pahlawan, tetap masih terus "dipelajari" oleh pemerintah (tanda kutip : dipelajari). Sebagaimana halnya pengusulan Muhammad Natsir beberapa tahun lalu yang pernah ditolak (walau kemudian dikabulkan), Syafruddin Prawiranegara tidak akan bisa "disembunyikan" oleh sejarah. Track life hidupnya yang mencerahkan tersebut, akan terus dikenang oleh banyak orang. Walau secara formal-politis, beliau bukan pahlawan, sejarah yang akan terus dipelajari anak bangsa ini akan menyimpulkan beliau sebagai pahlawan bangsa. Gelar Pahlawan bukan berarti menjadi garansi untuk menjadi referensi bagi generasi berikut tentang arti kepemimpinan dan keluhuran budi. Tao, sang filsuf Cina Klasik mengatakan : “Seorang pemimpin yang baik adalah ibarat sebuah danau. Dia tak lasak seperti sungai di gunung, tapi tak dalam. Dia tak berada di puncak yang tinggi, tapi menampung. Dia tahu bahwa sumber airnya adalah air yang datang dari jauh di pedalaman, sebuah telaga tak bermula dari air yang tergenang setelah kebetulan hujan”. Karena itu, kepemimpinan dan figur yang baik itu bukan ditentukan atau dinilai dari keberanian bertindak. Kepemimpinan yang baik terjadi ketika sebuah tindakan merupakan bagian dari hidup yang utuh yang mengaktualisasikan diri …. Good leadership concist of doing less being more. Rasanya, tokoh-tokoh diatas dan begitu banyak aktor-aktor sejarah Indonesia lainnya adalah orang yang memiliki integritas. Integritas itulah yang pahlawan, bukan “haru biru” peperangan. Dari integritas itulah generasi berikutnya mampu mendapatkan “pelajaran berarti” agar yang namanya Pahlawan tersebut memiliki makna. Syafruddin Prawiranegara dan beberapa orang lainnya yang "senasib" dengan beliau adalah orang-orang yang pantas dan harus kita hormati dan hargai bukan karena mereka tidak dijadikan Pahlawan versi pemerintah sebagaimana kita juga kita menghormati Muhammad Hatta, Agus Salim dan lain-lain bukan karena gelar pahlawan mereka. Integritas dan totalitas perjuangan mereka yang memang akan terus kita kagumi. Karena itulah warisan paling berharga dari mereka. Sudah sepantasnya kita memandang putra-putra terbaik sejarah Indonesia dengan cara itu. Karena nilai-nilai substantif dari kepahlawanan itu bukan dari tampilan heroisme ataupun kepiluan episode pengorbanan hidupnya, akan tetapi pada kekuatannya untuk mempertahankan nilai-nilai integritasnya. Syafruddin Prawiranegara tetap menjadi "Pahlawan", walau tanpa pengakuan politik dari pemerintah, dan itu jauh lebih bermakna.
Catatan :

Mengapa banyak militer yang menjadi pahlawan ? Mengapa yang banyak "menghuni" Taman Makam Pahlawan selalu didominasi kalangan militer ? Jawabannya terdapat pada defenisi pahlawan itu sendiri sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 33 tahun 1964. Pahlawan, menurut Peraturan Presiden ini, adalah : (a). warga Negara RI yang gugur dalam perjuangan - yang bermutu - dalam membela bangsa dan negara. (b). Warga Negara RI yang berjasa membela bangsa dan negara yang dalam riwayat hidupnya tidak pernah ternoda oleh suatu perbuatan yang membuat cacat nilai perjuangannya. Kriteria pertama, (pasti) mengacu pada militer, yang kedua pada kalangan sipil. Peluang militer jadi pahlawan lebih banyak seperti yang dikategorisasikan oleh defenisi diatas. Sedangkan bagi kalangan sipil, masih diganjal dengan ketentuan "tidak ternoda", yang ditujukan pada tokoh-tokoh yang terlibat dalam beberapa pemberontakan seumpama PRRI/Permesta bdan lain-lain. Jadi jangan heran, bila Muhammad Natsir yang "curiculum vitae"nya melebihi cum untuk menjadi seorang pahlawan, justru "terseok-seok" mencapai gelar pahlawan tersebut. Itu-pun baru diperolehnya setelah pernah gagal diusulkan oleh banyak komunitas masyarakat. Bandingkan dengan Jenderal Basuki Rahmad diatas, yang tak sampai satu hari memperoleh gelar pahlawan setelah ia meninggal, yang hanya dikenang sebagai "bodyguard" Soeharto dalam mengusahakan Supersemar yang debatable hingga hari ini tersebut. Bandingkan dengan Syafruddin Prawiranegara, Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang hingga hari ini (setahu saya), belum diakui sebagai pahlawan. Padahal PDRI yang mengambil lokasi di "somewhere in the jungle" di daerah Sumatera Barat tersebut dianggap sebagai "penyelemat Republik" sehingga RI tetap eksis walaupun Soekarno-Hatta telah ditangkap Belanda di Yogyakarta. Syafruddin Prawiranegara menjadi Ketua PDRI dan kabinetnya terdiri dari beberapa orang menteri. Meskipun istilah yang digunakan kala itu adalah Ketua, tapi kedudukan dan fungsinya sama dengan Presiden. Karena ini pulalah, sejarawan Asvi warman Adam dan beberapa sejarawan lainnya menganggap bahwa Susilo Bambang Yudhoyono bukan Presiden RI yang ke-6, tapi yang ke-8 (Soekarno, Syafruddin Prawiranegara, Mr. Asaat, Soeharto, Bj. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri dan SBY). Persyaratan untuk memperoleh "kapling" di Taman Makam Pahlawan, selain dari Pahlawan Nasional, adalah orang yang pernah mendapatkan tanda jasa seperti Bintang Republik Indonesia, Bintang Mahaputra, Bintang Gerilya, Bintang Utama, Bintang Kartika Eka Paksi (Angkatan Darat), Bintang Swa Bhuana (Angkatan Udara), Bintang Jalasena Utama (Angkatan Laut) dan Bintang Bhayangkara (Polisi). Selain faktor politik, tersebab inilah, daftar "penghuni" Taman Makam Pahlawan didominasi militer.
Referensi : Asvi Warman Adam (2010). Foto : www.google.picture.com/cintaindonesia/html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar