Senin, 04 April 2011

Mr. Syafruddin Prawiranegara : Pahlawan dan "Pahlawan"

Oleh : Muhammad Ilham

"Mr. Syafruddin Prawiranegara adalah Presiden Indonesia yang terlupakan", demikian kata pembuka dari Sandra Malakiano. Mantan presenter Metro TV cantik dengan balutan jilbab yang juga istri pengamat politik Eep Saifullah Fatah ini menjadi pembawa acara peringatan 1 abad Syafruddin Prawiranegara (1911-2011) di Gedung Chandra Bank Indonesia (Kompas/29-3-2011). Hadir dalam kesempatan tersebut Wakil Presiden Boediono mewakili Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang sedang berhalangan karena baru pulang dari luar negeri. Hadir pula pimpinan lembaga negara seperti Ketua MPR Taufiq Kiemas, Ketua DPR Marzuki Alie, Ketua DPD Irman Gusman, dan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfudz MD, dan Seskab Dipo Alam. Syafruddin yang lahir di Banten, 28 Februari 1911 ini secara genetik adalah orang Sunda, tapi "takdir" menempatkan beliau secara sosiologis dan politis sering berinteraksi dengan orang Minangkabau. Tidaklah mengherankan apabila Peringatan 1 abad almarhum juga dilakukan di Bukittinggi oleh insan akademik dan tokoh masyarakat Sumatera Barat. Peringatan untuk mengenang ketokohan, sekaligus ketidakadilan sejarah pada beliau ini. Ujung dari peringatan semua ini adalah sebuah kalimat : "Mengapa Mr. Syafruddin Prawiranegara belum juga diangkat jadi Pahlawan ?". Syafruddin Prawiranegara, Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang hingga hari ini (setahu saya), belum diakui sebagai pahlawan. Padahal PDRI yang mengambil lokasi di "somewhere in the jungle" di daerah Sumatera Barat tersebut dianggap sebagai "penyelemat Republik" sehingga RI tetap eksis walaupun Soekarno-Hatta telah ditangkap Belanda di Yogyakarta. Syafruddin Prawiranegara menjadi Ketua PDRI dan kabinetnya terdiri dari beberapa orang menteri. Meskipun istilah yang digunakan kala itu adalah Ketua, tapi kedudukan dan fungsinya sama dengan Presiden. Karena ini pulalah, sejarawan Asvi warman Adam dan beberapa sejarawan lainnya menganggap bahwa Susilo Bambang Yudhoyono bukan Presiden RI yang ke-6, tapi yang ke-8 (Soekarno, Syafruddin Prawiranegara, Mr. Asaat, Soeharto, Bj. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri dan SBY).

Tidakkah cukup sebagai "penyelamat Republik" membuat Syafruddin Prawiranegara yang (konon) telah diajukan hingga 2 kali kepada pemerintah untuk dijadikan sebagai pahlawan ? Tidakkah cukup, misalnya, track life beliau yang "luar biasa" sebagai anggota Badan Pekerja KNIP (1945), yang bertugas mempersiapkan garis besar haluan negara RI sebelum merdeka. Sebagai Menteri Keuangan pertama RI (1946), dan Menteri Kemakmuran (1947). Setelah PDRI yang diketuainya menyerahkan mandat, ia sempat diangkat sebagai Wakil Perdana Menteri pada tahun 1949. Ia kembali diangkat menjadi Menkeu di kabinet Hatta pada Maret 1950 dan menelurkan kebijakan yang cukup terkenal saat itu, yakni pengguntingan uang dari nilai Rp 5 ke atas (Gunting Sjafruddin). Ia-lah juga Gubernur Bank Indonesia yang pertama tahun 1951. Tapi karena pilihan ideologis - bisa juga kita katakan nilai-nilai prinsipil politis yang dipegangnya - Syafruddin kemudian memilih bergabung dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang juga berbasis di Sumatera, sebuah gerakan untuk menentang kebijakan presiden Soekarno. Gara-gara sikapnya yang berlawanan tersebut, ia sempat dipenjarakan oleh Soekarno tanpa proses pengadilan. Dan sikap "subversif"nya ini, jasa-jasa inspiratif Syafruddin Prawiranegara seakan-akan hilang. Kehidupannya seakan-akan dipenggal pada PRRI saja (walau masalah PRRI bisa diperdebatkan logika politiknya). Akumulasi kehidupan beliau yang mencerahkan, dedikatif dan kontributif tersebut dianggap hilang karena penggalan pendek waktu yang bernama PRRI - pemberontakan-subversif.

Setiap pemberontakan, apabila sudah ada komitmen untuk bersatu, apapun latar belakangnya, dianggap subversif. Itu diktum yang sudah menjadi hukum dalam dunia politik. Mengapa Kahar Muzakkar memberontak ? J. Soumokil melawan, Dewan Banteng karengkang, Buya Daud Beureuh marah pada Soekarno yang dianggapnya munafik, Hasan Tiro dan Ahmad Zaini serta Malik Mahmud mendirikan GAM dan masuk hutan Aceh dan lari ke Swedia dan seterusnya, Natsir serta Syafruddin Prawiranegara dan Soemitro Djojohadikusumo masuk dalam lingkaran “PRRI” dan seterusnya? Justifikasi historis tak diperlukan. Dalam dunia politik, mereka pemberontak. Kita tidak tahu, kapan gelar pahlawan akan diberikan kepada mereka. Mungkin nanti atau tidak sama sekali. Padahal, ada alasan-alasan “rasional” untuk setidaknya kita bisa memahami latar belakang mengapa mereka berseberangan dengan pemegang tampuk politik masanya. Mungkin “ketidakpuasan” atau alasan koreksi terhadap kebijakan pusat yang tak adil. Tapi sudahlah, jelang 17 Agustus dan 10 Nopember selalu ada Pahlawan-Pahlawan baru dalam “belantara politik Indonesia”. 10 November menjadi hari “keramat” untuk para Pahlawan. Selalu ada pahlawan yang “datang”, walaupun terkadang pahlawan itu (di)muncul(kan) belakangan. Benarkah kita butuh Pahlawan ? Tokoh-tokoh yang termasyhur, para pemimpin rakyat dan komandan pasukan ? Jika masa lampau dengan label kepahlawanan macam itu yang akan kita kenang, barangkali sejarah kita cukup selesai dengan serangkaian hidup orang-orang besar. Bukan itu sebenarnya yang kita butuhkan. Pahlawan adalah domain politik. Sejarah tidak pernah satu kalipun memberikan label pahlawan. Sejarah hanya mengenal “aktor sejarah”. Aktor-aktor tersebutlah, pada prinsipnya yang akan memberikan “warna” sejarah. Warna yang diterima pada masanya, tapi kemudian ditolak pada masa generasi setelah ia lewat. Dan mungkin, warna itu diterima secara bergairah kembali dua atau tiga generasi berikutnya.

Dan saat ini, anak bangsa yang memiliki kedekatan ideologis serta empati terhadap Syafruddin Prawiranegara, terus menghidupkan jasa-jasa beliau nan inspiratif ini. Namun usulan untuk menjadikan Syafruddin Prawiranegara menjadi pahlawan, tetap masih terus "dipelajari" oleh pemerintah (tanda kutip : dipelajari). Sebagaimana halnya pengusulan Muhammad Natsir beberapa tahun lalu yang pernah ditolak (walau kemudian dikabulkan), Syafruddin Prawiranegara tidak akan bisa "disembunyikan" oleh sejarah. Track life hidupnya yang mencerahkan tersebut, akan terus dikenang oleh banyak orang. Walau secara formal-politis, beliau bukan pahlawan, sejarah yang akan terus dipelajari anak bangsa ini akan menyimpulkan beliau sebagai pahlawan bangsa. Gelar Pahlawan bukan berarti menjadi garansi untuk menjadi referensi bagi generasi berikut tentang arti kepemimpinan dan keluhuran budi. Tao, sang filsuf Cina Klasik mengatakan : “Seorang pemimpin yang baik adalah ibarat sebuah danau. Dia tak lasak seperti sungai di gunung, tapi tak dalam. Dia tak berada di puncak yang tinggi, tapi menampung. Dia tahu bahwa sumber airnya adalah air yang datang dari jauh di pedalaman, sebuah telaga tak bermula dari air yang tergenang setelah kebetulan hujan”. Karena itu, kepemimpinan dan figur yang baik itu bukan ditentukan atau dinilai dari keberanian bertindak. Kepemimpinan yang baik terjadi ketika sebuah tindakan merupakan bagian dari hidup yang utuh yang mengaktualisasikan diri …. Good leadership concist of doing less being more. Rasanya, tokoh-tokoh diatas dan begitu banyak aktor-aktor sejarah Indonesia lainnya adalah orang yang memiliki integritas. Integritas itulah yang pahlawan, bukan “haru biru” peperangan. Dari integritas itulah generasi berikutnya mampu mendapatkan “pelajaran berarti” agar yang namanya Pahlawan tersebut memiliki makna. Syafruddin Prawiranegara dan beberapa orang lainnya yang "senasib" dengan beliau adalah orang-orang yang pantas dan harus kita hormati dan hargai bukan karena mereka tidak dijadikan Pahlawan versi pemerintah sebagaimana kita juga kita menghormati Muhammad Hatta, Agus Salim dan lain-lain bukan karena gelar pahlawan mereka. Integritas dan totalitas perjuangan mereka yang memang akan terus kita kagumi. Karena itulah warisan paling berharga dari mereka. Sudah sepantasnya kita memandang putra-putra terbaik sejarah Indonesia dengan cara itu. Karena nilai-nilai substantif dari kepahlawanan itu bukan dari tampilan heroisme ataupun kepiluan episode pengorbanan hidupnya, akan tetapi pada kekuatannya untuk mempertahankan nilai-nilai integritasnya. Syafruddin Prawiranegara tetap menjadi "Pahlawan", walau tanpa pengakuan politik dari pemerintah, dan itu jauh lebih bermakna.

Catatan :

Mayoritas Pahlawan berasal dari kalangan militer. Taman Makam Pahlawan Kalibata, misalnya, "dihuni" oleh lebih kurang sekitar 7.000 orang tokoh. Enam ribu diantaranya, lebih kurang, berasal dari kalangan militer. Ini-pun didominasi Angkatan Darat. Dari kalangan sipil hanya berjumlah 1/7-nya. Di antara 1/7 dari kalangan sipil ini, hanya 23 orang yang merupakan Pahlawan Nasional, diantaranya Haji Agus Salim. Di Taman Pahlawan Kalibata ini pula, bersemayam pahlawan "tercepat", yaitu Jenderal Basuki Rahmad (yang kala saya belajar PSPB waktu SD dahulu dianggap sebagai orang yang "menggertak" Sukarno mengeluarkan Supersemar bersama-sama dengan Jenderal Amirmachmud dan Jenderal M. Yusuf). Jenderal Basuki Rahmad dinyatakan Soeharto sebagai pahlawan pada hari kematiannya. Pada era Demokrasi Terpimpin, 36 orang dari 49 pahlawan berasal dari ernis Jawa. Pada masa Orde Baru, dua pahlawan yang "terdorong" diberi label pahlawan oleh rezim Soekarno yaitu Alimin dan Tan Malaka, justru "dicekal". Nama mereka berdua yang dianggap tokoh "kiri" ini tidak ada dalam Buku Riwayat Hidup Pahlawan Nasional yang dipergunakan di sekolah-sekolah. Dan biasanya, para pahlawan yang sering terlihat gagah dalam buku ini adalah pahlawan-pahlawan dengan baju-baju militer (khususnya Angkatan Darat).

Mengapa banyak militer yang menjadi pahlawan ? Mengapa yang banyak "menghuni" Taman Makam Pahlawan selalu didominasi kalangan militer ? Jawabannya terdapat pada defenisi pahlawan itu sendiri sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 33 tahun 1964. Pahlawan, menurut Peraturan Presiden ini, adalah : (a). warga Negara RI yang gugur dalam perjuangan - yang bermutu - dalam membela bangsa dan negara. (b). Warga Negara RI yang berjasa membela bangsa dan negara yang dalam riwayat hidupnya tidak pernah ternoda oleh suatu perbuatan yang membuat cacat nilai perjuangannya. Kriteria pertama, (pasti) mengacu pada militer, yang kedua pada kalangan sipil. Peluang militer jadi pahlawan lebih banyak seperti yang dikategorisasikan oleh defenisi diatas. Sedangkan bagi kalangan sipil, masih diganjal dengan ketentuan "tidak ternoda", yang ditujukan pada tokoh-tokoh yang terlibat dalam beberapa pemberontakan seumpama PRRI/Permesta bdan lain-lain. Jadi jangan heran, bila Muhammad Natsir yang "curiculum vitae"nya melebihi cum untuk menjadi seorang pahlawan, justru "terseok-seok" mencapai gelar pahlawan tersebut. Itu-pun baru diperolehnya setelah pernah gagal diusulkan oleh banyak komunitas masyarakat. Bandingkan dengan Jenderal Basuki Rahmad diatas, yang tak sampai satu hari memperoleh gelar pahlawan setelah ia meninggal, yang hanya dikenang sebagai "bodyguard" Soeharto dalam mengusahakan Supersemar yang debatable hingga hari ini tersebut. Bandingkan dengan Syafruddin Prawiranegara, Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang hingga hari ini (setahu saya), belum diakui sebagai pahlawan. Padahal PDRI yang mengambil lokasi di "somewhere in the jungle" di daerah Sumatera Barat tersebut dianggap sebagai "penyelemat Republik" sehingga RI tetap eksis walaupun Soekarno-Hatta telah ditangkap Belanda di Yogyakarta. Syafruddin Prawiranegara menjadi Ketua PDRI dan kabinetnya terdiri dari beberapa orang menteri. Meskipun istilah yang digunakan kala itu adalah Ketua, tapi kedudukan dan fungsinya sama dengan Presiden. Karena ini pulalah, sejarawan Asvi warman Adam dan beberapa sejarawan lainnya menganggap bahwa Susilo Bambang Yudhoyono bukan Presiden RI yang ke-6, tapi yang ke-8 (Soekarno, Syafruddin Prawiranegara, Mr. Asaat, Soeharto, Bj. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri dan SBY). Persyaratan untuk memperoleh "kapling" di Taman Makam Pahlawan, selain dari Pahlawan Nasional, adalah orang yang pernah mendapatkan tanda jasa seperti Bintang Republik Indonesia, Bintang Mahaputra, Bintang Gerilya, Bintang Utama, Bintang Kartika Eka Paksi (Angkatan Darat), Bintang Swa Bhuana (Angkatan Udara), Bintang Jalasena Utama (Angkatan Laut) dan Bintang Bhayangkara (Polisi). Selain faktor politik, tersebab inilah, daftar "penghuni" Taman Makam Pahlawan didominasi militer.

Referensi : Asvi Warman Adam (2010). Foto : www.google.picture.com/cintaindonesia/html

Tidak ada komentar: