Dalam sejarah peradaban ummat Islam, dinasti Abbasiyah dikenal sebagai dinasti paling lama eksis. Bermula dari Muhammad al-Saffah atau Abu Abbas berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayah pada 750 Masehi. Ia memanfaatkan ketidakpuasan orang-orang Islam non-Arab, kalangan Syiah serta keluarganya sendiri, Keluarga Hasyim. Ia membangun kekuasaan itu bersama Abu Muslim dari Khurasan. Maka yang dilakukannya adalah mengurangi pengaruh Arab di pemerintahan. Hanya empat tahun Abu Abbas memerintah. Ia meninggal. Khalifah berikutnya adalah Abu Ja'far (754-775). Dialah khalifah pertama menggunakan gelar. Untuk dirinya sendiri, ia menggunakan gelar Al-Mansyur. Pemerintahannya banyak mengakomodasi kepentingan masyarakat Persia. Ibukota negara bahkan dipindahkan ke tepi Sungai Tigris -dekat Ctesiphon, ibukota Kekaisaran Persia dulu. Disebutkan, Al-Mansyur melakukan survei mendalam untuk penentuan lokasi ibukota. Dia mengirim staf untuk tinggal di sana guna membuat laporan keadaan wilayah itu di berbagai musim. Ia disebut mendatangkan sekitar 100.000 pekerja dari berbagai daerah - Kufah, Basrah, Mosul maupun Syria-untuk menjadi arsitek, tukang bangunan, juru pahat, pelukis untuk membangun tempat yang dulu dipakai sebagai peristirahatan Kaisar Kisra Anusyirwan. Sekitar tahun 762 Masehi, lahirlah kota Baghdad sebagai salah satu kota termegah di dunia saat itu. Al-Mansyur dianggap sebagai tonggak pembangun kejayaan Abbasiyah. Namun itu dilakukannya dengan tangan besi pula. Abdullah dan Shalih bin Ali, dua orang pamannya yang menolak berbaiat untuknya, dibunuh Abu Muslim atas suruhannya. Abu Muslim sendiri kemudian ia bunuh. Untuk militer, ia kembali melakukan ekspansi untuk menguasai kembali wilayah-wilayah Bani Umayah dulu. Ia mengenalkan konsep 'wazir' yang sekarang diistilahkan sebagai perdana menteri. Jawatan pos diberi tugas intelejen -termasuk mengawasi para gubernur. Di sisi lain, Baghdad dibangunnya sebagai pusat peradaban. Ilmu dan kesenian dikembangkan.
Di Kufah, di masa Al-Mansyur, imam Abu Hanifah (700-767) diberinya tempat yang baik. Abu Hanifah berkesempatan untuk merumuskan hukum-hukum Islam, yang kemudian dikenal sebagai mazhab Hanafi. Sebuah mazhab yang sangat dipengaruhi kecenderungan kalangan intelektual muslim di Kufah: kuat dalam rasionalitas. Kemakmuran masyarakat terwujud pada masa khalifah Al-Mahdi (775-785). Program irigasi berhasil meningkatkan produksi pertanian berlipat kali. Jalur perdagangan dari Asia Tengah dan Timur hingga Eropa melalui wilayah kekhalifahan Abbasiyah berjalan pesat. Pertambangan emas, perak, besi dan tembaga, berjalan dengan baik. Basrah di Teluk Persia tumbuh menjadi satu pelabuhan terpenting di dunia. Bersamaan dengan itu, ilmu pengetahuan tumbuh subur. Di Madinah, Imam Malik (713-795) juga menyusun fikih atau hukum Islam. Ia tak seperti Hanafi. Ia banyak menggunakan hadis secara langsung serta tradisi masyarakat Madinah. Puncak peradaban Islam terjadi pada masa Harun Al-Rasyid (786-809). Bukan hanya kemakmurn masyarakat yang dicapai, namun juga pendidikan, kebudayaan, sastra dan lain-lain. Harun Al-Rasyid membangun rumah-rumah sakit, sekolah kedokteran, serta farmasi. Saat itu, diperkirakan terdapat 800 orang dokter. Ia juga membangun pemandian-pemandian umum. Istrinya membangun saluran air dari Taif untuk memenuhi kebutuhan air di Mekah yang tak cukup dipenuhi oleh sumur zamzam. "Masa keemasan" ini dilanjutkan oleh Al-Ma'mun (813-833). Dia mendirikan banyak sekolah. Berbagai buku Yunani diterjemahkannya ke bahasa Arab. Ia mendirikan pula "Bait Al-Hikmah" -perpustakan sekaligus perguruan tinggi. Di masanya, Imam Syafi'i (767-820) serta Imam Ahmad bin Hanbal (780-855) juga menulis kitab fikih yang kemudian menjadi mazhab sendiri. Mazhab dengan pendekatan yang berada di antara mazhab Hanafi dan Maliki. Pemikir Islam yang mengedepankan rasionalitas, yang dikenal dengan sebutan Mu'tazilah, yakni Abu Huzail (752-849) dan Al-Nazam (801-835) juga melempar gagasannya pada periode ini. Hingga khalifah Al-Mutawakkil (847-861), Daulat Abbasiyah masih menampakkan kebesarannya. Namun, dalam politik, Al-Mutawakkil mulai membuat sejumlah perubahan. Ia lebih berorientasi pada orang-orang Turki dibanding Persia. Paham keagamaan negara pun ia ubah. Khalifah Al-Ma'mun menggunakan paham rasional mu'tazilah untuk negara. Al-Mutawakil mencabut paham itu, dan menggunakan aliran 'salaf' dari mazhab Hambali.Tak banyak terkisahkan pada sejarah Daulat Abbasiyah akhir Abad 9 dan awal Abad 10. Terutama sejak Khalifah Al-Mutawakkil meninggal pada 861 Masehi. Riwayat hanya menyebut bahwa pemerintahan Baghdad terus dikuasai oleh para panglima militer berdarah Turki. Para panglima itu yang mengangkat khalifah dari keturunan khalifah-khalifah terdahulu. Namun mereka hanya dijadikan simbol. Badri Yatim dalam "Sejarah Peradaban Islam" mencatat adanya 12 khalifah saat Daulat Abbasiyah dikuasai para panglima militer Turki. Hanya empat khalifah yang diganti karena meninggal secara wajar. Delapan lainnya diturunkan secara paksa oleh militer, bahkan juga dibunuh. Keadaan ini menjadikan wibawa Dinasti Abbasiyah semakin merosot. Satu per satu wilayah melepaskan diri dari kendali pusat. Simbol-simbol peradaban, seperti ilmu pengetahuan, kesenian dan sastra, tidak lagi berkembang. Satu-satunya paham keagamaan yang tumbuh pada masa ini adalah pemikiran Abu Hasan Al-Asy'ari (873-935), yang kerap disebut aliran tradisional dalam teologi. Al-Asy'ari sempat belajar paham mu'tazilah yang banyak dipengaruhi oleh logika Yunani. Ia lalu mengkritisi paham tersebut dengan mengambil pendekatan tekstual dan tradisi. Sejarah pemikiran Islam kemudian banyak diwarnai tarik-menarik kedua pendekatan tersebut, sampai sekarang. Wibawa kekhalifahan Abbasiyah bangkit kembali setelah kekuasaan di tangan keluarga Buwaih. Khalifah, lagi-lagi hanya menjadi simbol sebagaimana Kaisar Jepang di era Tokugawa. Ketika wazir (perdana menteri) dan militer bertikai, khalifah menyerahkan kekuasaan pada tiga kakak beradik Ali, Hasan dan Ahmad -anak Abu Syuja' Buwaih, nelayan miskin dari Dailam. Ahmad memegang kendali di Baghdad, Ali menguasai wilayah Persia Selatan yang berpusat di Syiraz. Hasan berkuasa di Persia Utara, termasuk kota Ray dan Isfahan. Di awal masa Bani Buwaih (945-1055), kemakmuran kembali berkembang di wilayah kekhalifahan Abbasiyah. Pembangunan gedung pun semarak. Industri karpet berkembang pesat. Intelektual bermunculan. Antara lain Ibnu Sina (980-1037), penulis Qanun fi Al-Thibb yang menjadi rujukan ilmu kedokteran Barat sampai Abad 19. Juga Al Farabi yang wafat pada 950 Masehi dan Al-Maskawaih (wafat 1030 Masehi).
Sumber : Saifullah, Muhammad Ilham & Firdaus, "Draft Buku SKI MTsN Kota Padang". Rerensi : Ira M. Lapidus (2000), Badri Yatim (1995), Marshal DGS. Hogson (1999). Foto : "Wilayah Kekuasaan Dinasti Abbasiyah" (www.zonu.com) & Koin Mata Uang pada masa Dinasti Abbasiyah (www.zonu.com) - "Hulagu Khan" (www.ancienthistory.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar