Begitu banyak intelektual-intelektual avant garde Islam Indonesia yang mengalami pencerahan di dunia "barat", sebutlah misalnya Deliar Noer, M. Dawam Rahardjo, Nurcholish Madjid, M. Amien Rais dan Ahmad Syafii Maarif, merasa perlu untuk menegaskan bahwa "guru" mereka adalah Muhammad Natsir. Bahkan Dato' Seri Anwar Ibrahim - mantan Timbalan Perdana Menteri Malaysia - juga memproklamirkan diri sebagai murid ideologis Natsir. Lalu dimana "kekuatan" Natsir sehingga dianggap sebagai "guru ideologi" oleh intelektual-intelektual produk Barat namun dikenal sebagai pengusung ide Islam Politik (untuk kasus Cak Nur, mungkin sedikit beda) diatas ? Jika dilihat dalam konteks ini, Natsir merupakan representasi dari figur besar yang merangkum sekaligus dua peradaban ke dalam dirinya (Islam dan Barat). Pada Islam, ia menjadikannya sebagai basis fundamental hidupnya dengan memakai khazanah Barat sebagai metodologi untuk menyimak dan menafsirkan realitas. Ini secara terang teraktualisasi di dalam partai Masyumi. Masyumi tampil sebagai sebuah partai "Barat" modern, yang amat kaku memegang prinsip-prinsip demokratis, dan ini terlihat pada reaksi Natsir terhadap Soekarno dan Soeharto. Namun, Masyumi dengan teramat jelas menegaskan posisi mereka : memperjuangkan sebuah sistem politik, bahkan menjadikan Islam menjadi dasar negara. Maka belajar dari hal ini ada satu yang mungkin bisa kita petik bahwa demokrasi dengan seluruh "perangkat keras dan lunaknya" bukan-lah untuk diperdebatkan lagi di "rumah sakit" mana ia dilahirkan. Demokrasi dan perangkat-perangkatnya tersebut adalah "tool" yang melalui ini, siapapun boleh memperjuangkan ide-ide mereka. Barat dan Timur bukanlah untuk didikotomikan, apalagi dipolitisasi-kan. Natsir telah memberikan kepada kita sebuah pelajaran bahwa ketika "barat" dan "timur" diakomodasi, akan melahirkan praktek-praktek politik yang mencerahkan.
Referensi : Ruth Mc. Vey (1989), Fachry Ali (1997). Foto : islamcity.com
1 komentar:
m nasir yang pengamat teroris di Indonesia itu yah ?
Posting Komentar