Jumat, 08 April 2011

Kepemimpinan Minangkabau : Aspek Teoritis

Oleh : Muhammad Ilham & Rusydi Ramli

Dari perspektif sosiologi kepemimpinan, leadership (kepemimpinan) adalah kemampuan dan seni seorang leader (pemimpin) dalam memotivasi dan mengkoordinasikan personal/ kelompok dalam melaksanakan peran dan fungsi, kewenangan dan tanggung jawab untuk mencapai tujuan bersama. Dalam perspektif perubahan sosial, kepemimpinan adalah maksimalisasi potensi pengaruh untuk melakukan perubahan sosial ke arah yang lebih baik atau menjaga konsensus yang telah ditetapkan secara bersama-sama. [1] Kepemimpinan merupakan salah satu bentuk fenomena sosial. Tidak berlebihan bila ada yang merumuskan bahwa kepemimpinan itu sudah ada sejak lama, sejak dikenalnya peradaban manusia itu sendiri. George R. Terry mengatakan bahwa kepemimpinan adalah untuk mempengaruhi orang lain agar dapat diarahkan untuk mencapai tujuan organisasi/institusi. Bahkan tujuan tersebut tifak hanya tujuan organisasi tetapi juga tujuan individual.[2] Agar perwujudan pengaruh seorang pemimpin dapat berlangsung secara efektif, seringkali diperlukan kekuasaan atau wewenang. Artinya, perbincangan masalah kepemimpinan, maka ada keterkaitannya dengan pengaruh (influence), kewibawaan (charisma), kekuasaan (power) dan wewenang (authority).

Faktor-faktor di atas akan memberikan arah pada pola kepemimpinan seseorang. Makin besar pengaruh dan otoritas yang dipunyai oleh seorang pemimpin, makin besar pula peluangnya untuk mempengaruhi orang lain. Banyak teori yang mengatakan bahwa seorang pemimpin itu dilahirkan, bukan dibuat. Adapula yang mengatakan bahwa seorang pemimpin itu terjadi karena adanya komunitas-komunitas atau kumpulan-kumpulan individual dan ia melakukan pertukaran dengan yang dipimpin. Teori lain mengatakan bahwa pemimpin itu lahir dikarenakan situasinya memungkinkah ia tersebut ada.
Ada lima kategori seorang pemimpin mendapatkan kekuasaannya untuk boleh mempengaruhi orang lain. Lima kategori adalah : legitimate power[3], expert power[4], charismatic power[5], reward power dan coercive power[6]. Kelima kategori sumber kekuasaan bertalian erat atau berkaitan dan melekat pada diri seorang pemimpin. Sedangkan Max Weber membagi kepemimpinan tersebut dari perspektif otoritas atas tiga bagian yaitu otoritas kharismatik, otoritas tradisional dan otoritas rasional. Dalam penelitian ini, kepemimpinan didasarkan pada otoritas tradisional yang didasarkan pada pengakuan kultural. Biasanya, kepemimpinan yang didasarkan kepada kepemimpinan tradisional (termasuk juga kepemimpinan genealogic-hereditically atau keturunan dan kharismatik), sangat memudahkan dalam mempengaruhi masyarakat.

Kepemimpinan tradisional tidak bisa dilepaskan dari kepemimpinan berbasis genealogic-hereditically (keturunan) dan kharismatik. Namun, diantara dua tipologi basis kepemimpinan ini, maka kepemimpinan berbasis kharismatik merupakan pelatak dasar setiap kepemimpinan tradisional di berbagai entitas sosial.
Teori kepemimpinan karismatik saat ini sangatlah dipengaruhi oleh ide-ide ahli sosial yang bernama Max Weber.[7] Menurut Weber, kharisma terjadi saat terdapat sebuah krisis sosial, seorang pemimpin muncul dengan sebuah visi radikal yang menawarkan sebuah solusi untuk krisis itu, pemimpin menarik pengikut yang percaya pada visi itu, mereka mengalami beberapa keberhasilan yang membuat visi itu terlihat dapat dicapai, dan para pengikut dapat mempercayai bahwa pemimpin itu sebagai orang yang luar biasa. Tidaklah mengherankan dalam kajian sosiologi kepemimpinan, sumber kewibawaan (dalam hal ini terutama yang berbasiskan kharisma) seorang pemimpin yang biasanya terdapat pada masyarakat tradisional, diantaranya :

1. Memiliki basis institusi yang dari institusi itu melekat peran dan fungsinya. Bila Clifford Geertz[8] mengistilahkannya dengan istana yang identik dengan bangsawan “darah biru”, maka dalam kepemimpinan tradisional lokal (untuk kasus Minangkabau), adalah person yang kewibawaan-kharismanya itu dilekatkan pada institusi keagamaan seperti surau[9] ataupun lembaga-lembaga kependidikan. Geertz menyatakan bahwa tanpa istana seorang bangsawan tidak mempunyai arti politis sama sekali. Status sosial seorang bangsawan akan merosot jika ia tidak mempunyai atau tidak berkedudukan di istana.

2. Namun sebaliknya sebuah istana tidak akan dilihat sebagai lembaga politik yang penting jika tidak disertai dengan bangsawan/ pemimpin yang terampil dalam memelihara kewibawaan istana. Dalam pemahaman korelatif-asimetris, maka hal ini bisa kita pahami bahwa kepemimpinan tradisional di Minangkabau akan berfungsi ketika memiliki institusi dan memiliki kemampuan menjaga institusi tersebut.

3. Kepemimpinan tradisional juga menekankan kepada kemampuan institusi dimana seorang atau lebih personal melekatkan potensi kepemimpinan mereka tersebut memiliki kemampuan produksi wacana pengetahuan, acuan sistem stratifikasi sosial dan yang berkaitan dengan pola rujukan dalam interaksi sosial.[10] Dalam konteks ini, kepemimpinan tradisional yang efektif adalah kepemimpinan yang selalu memiliki kemampuan untuk menjadi referensi sosial, baik institusi maupun personalnya.

4. Dalam sistem kepemimpinan tradisional, personal yang memiliki potensi kepemimpinan tersebut memiliki kemandirian ekonomi. Semua dimaksudkan untuk membiayai seluruh kehidupan dan institusi yang dipimpin. Dalam konteks Minangkabau, biasa saja kita temukan sebuah institusi ataupun person yang tidak memiliki produktifitas ekonomi, akan tetapi tetap memiliki kemandirian ekonomi, salah satunya dengan jalan menerima pemberian ataupun sumbangan.

5.
Gelar yang disandang oleh pemimpin tradisional memperlihatkan ciri dan model kepemimpinan yang diembannya. Gelar-gelar tersebut ada yang mencerminkan keilahian, pengayoman, perlindungan, pemeliharaan tetapi ada juga yang mencerminkan penguasaan.[11]

6.
Aspek moral adalah salah satu aspek yang cukup penting dalam kepemimpinan tradisonal. Moral merupakan landasan dan kriteria utama dari masyarakat yang dipimpinnya. Kesediaan berkorban dari anggota masyarakat, termasuk kerelaan mengorbankan harta bendanya dan bahkan jiwanya yang paling berharga, akan terus mendukung bila moral seorang pemimpin atau penguasa memperlihatkan pula kesediaan untuk berkorban guna kepentingan masyarakat.[12]

Walaupun harus diakui bahwa pewarisan kepemimpin dalam masyarakat tradisional sepenuhnya didasarkan pada stratifikasi sosial, atau dalam bahasa perspektif sejarah sosial sebagai pewarisan pola kepemimpinan berbasiskan ascribed (otomatis karena faktor genealogic-hereditically) dan bukan berdasarkan achivement (prestasi dan kelebihan diluar keturunan), tetapi tidak berarti bahwa semua elit dalam kepemimpinan tradisional secara otomatis akan menjadi pemimpin. Ada beberapa polarisasi kepemimpinan tradisional (termasuk Minangkabau) yang justru menghargai achievement terutama dalam kasus elit-agama, sementara elit-adat, masih menggunakan polarisasi kepemimpinan ascribed.
Minangkabau, sering dikenal sebagai bentuk kebudayaan dari pada sebagai bentuk negara yang perah ada dalam sejarah.[13] Secara umum, perkataan Minangkabau mempunyai dua pengertian, pertama Minangkabau sebagai tempat berdirinya kerajaan Pagaruyung. Kedua, Minangkabau sebagai salah satu kelompok etnis yang mendiami daerah tersebut. Kerajaan Pagaruyung yang pada masa dahulu pernah menguasai daerah budaya Minangkabau, tampaknya tidak banyak memberikan atau meninggalkan pengaruh yang nyata terhadap budaya rakyat minangkabau sampai sekarang. [14] Dewasa ini, kharisma kerajaan Pagaruyung telah terlupakan begitu saja oleh masyarakat minangkabau. Istilah Minangkabau tidak lagi mempunyai konotasi sebuah daerah kerajaan, akan tetapi lebih mengandung pengertian sebuah kelompok etnis atau kebudayaan yang didukung oleh suku bangsa Minangkabau.[15]

Realitas yang berkembang di tengah masyarakat (terutama orang luar minangkabau), kata Minangkabau sering diidentikkan dengan kata Sumatera Barat pada hal secara subtantif keduanya mempunyai makna yang berbeda. Sejarah menunjukkan, bahwa daerah geografis Minangkabau tidak merupakan bagian daerah propinsi Sumatera Barat. [16] Sumatera Barat adalah salah satu propinsi menurut administratif pemerintahan RI, sedangkan Minangkabau adalah teritorial menurut kultur Minangkabau yang daerahnya lebih luas dari Sumatra Barat sebagai salah satu propinsi. Minangkabau dalam pengertian sosial budaya merupakan suatu daerah kelompok etnis yang mendiami daerah Sumatera Barat sekarang, ditambah dengan daerah kawasan pengaruh kebudayaan Minangkabau seperti : daerah utara dan timur Sumatera Barat, yaitu Riau daratan, Negeri Sembilan Malaysia, daerah selatan dan timur yaitu; daerah pedalaman Jambi, daerah pesisir pantai sampai ke Bengkulu, dan sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia.[17] Alam Minangkabau menurut penulisan historis tradisional dan pemahaman masyarakatnya, mempunyai dua wilayah utama, yang keduanya berada dalam kekuasaan Kerajaan Minangkabau. Wilayah utama pertama disebut dengan Luhak nan Tigo dan kedua disebut dengan Rantau.

Minangkabau dalam pengertian sosial budaya merupakan suatu daerah kelompok etnis yang mendiami daerah Sumatera Barat sekarang, ditambah dengan daerah kawasan pengaruh kebudayaan Minangkabau seperti : daerah utara dan timur Sumatera Barat, yaitu Riau daratan, Negeri Sembilan Malaysia, daerah selatan dan timur yaitu; daerah pedalaman Jambi, daerah pesisir pantai sampai ke Bengkulu, dan sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia.[1] Alam Minangkabau menurut penulisan historis tradisional dan pemahaman masyarakatnya, mempunyai dua wilayah utama, yang keduanya berada dalam kekuasaan Kerajaan Minangkabau. Wilayah utama pertama disebut dengan Luhak nan Tigo dan kedua disebut dengan Rantau. Luhak Nan tigo terletak di pedalaman pada sekitar Gunung Merapi, karena itu juga disebut dengan Darek. Sedangkan Rantau sebagiannya terletak pada daerah pesisir pantai atau pada dataran rendah yang mengelilingi daerah luhak, maka Rantau disebut juga dengan Pasisie. Daerah Luhak Nan Tigo dianggap sebagai daerah asli Minangkabau sedangkan Rantau adalah merupakan daerah kolonisasi tempat orang Minangkabau merantau. Justru itu Rantau yang terpisah secara geografis dengan daerah asli mempunyal hubungan kultural dengan pusat (darek). Jadi Alam Minangkabau diartikan sebagai kesatuan geografis dan satu kesatuan kultural serta mengandung pengertian sosiologi, yaitu kesatuan ujud dan interaksi antara dua kawasan Alam Minangkabau yang tumbuh dan ber kembang mengikuti pola sejarahnya.
[2] Kerajaan Alam Minangkabau yang meliputi wilayah Luhak Nan Tigo dan wilayah Rantau merupakan sebuah kerajaan yang tidak mempunyai kuasa penuh untuk daerah Luhak nan Tigo. Raja hanya mempunyai kekuasaan pada daerah Rantau melalui pelimbahan kekuasaan pada raja-raja muda (Raja Kaciak) atau Panghulu Rantau.[3] Wilayah Luhak merupakan kumpulan dari Nagari-nagari yang merupakan republik-republik kecil (petits republiques). Nagari otonom dalam pemerintahan, adat, hukum dan ekonomi, dan tidak punya ketergantungan pada pusat kerajaan. Nagari merupakan kumpulan suku-suku yang dipimpin Panghulu dan dewan penghulu atau Dewan Adat nagari, yang merupakan pemerintahan.

Dalam kepemimpinan, Nagari dan Suku sebagai unit terendah dari Nagari dipimpin oleh Urang ampek jenih, yang terdiri dari Penghulu, Manti, Malin dan Dubalang. Malin sebagai unsur pimpinan dalam suku dan nagari terdiri dari Imam, Khatib, Bilal dan Kadi yang disebut Jenih nan Ampek.[4] Penghulu sejak era Datuak Perpatih Nan Sabatang dan Datuak Ketumanggungan, berfungsi sebagai pemimpin dalam kaum sukunya. Ia sebagai leader melindungi kepentingan anak kemenakan (masyarakat) yang dipimpinnya. Ia bertanggungjawab kepada kaumnya, karena ia dipilih oleh kaumnya (ninik mamak kaum dan mandeh/ perempuan dalam kaum) dengan kriteria antara lain : baligh, berakal sehat, sopan santun, ramah tamah, rendah hati, punya keteladanan, punya kharisma, punya harta dsb. Proses kader secara informal adat calon penghulu sudah teruji dalam memimpin mulai pengalaman berharga dalam memimpin lingkungan mamak rumah (adik – kakak – kemenakan saparuik), se-jurai, sampai ke kaum suku dan dihormati suku lain di nagari.

Penghulu di dalam adat Minangkabau disebut penghulu dengan panggilan sehari-hari “Datuak“. Penghulu itu hulu (ketua) dalam kaum suku di nagari. Tugasnya luas meliputi segala persoalan dan masalah yang terkait dengan anak kemenakan dan kaumnya, maka datuk itu sebenarnya ketua Ninik Mamak. Penghulu dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh beberapa perangkat yang disebut dengan pemangku adat, yakni manti, malin dan dubalang di samping wakilnya langsung disebut panungkek. Panungkek dapat mewakili penghulu dalam tugas-tugas umum masyarakat adat seperti alek (pesta/ kenduri) kaum sukunya, menghadiri ucok/ucapan (undangan) alek di luar paruik, jurai dan atau di luar alek sukunya di nagari. Menghadiri suatu rapat (musyawarah) dan dalam tugas yang prinsipil seperti memimpin rapat “urang nan ampat jinih” atau mengambil keputusan dalam suku/kaum penghulu tidak boleh diwakili oleh panungkek. Penghulu merupakan ketua ninik mamak dalam sukunya. Ia mempunyai otoritas mengurus adat, karenanya disebut tagak di pintu adat. Pemimpin adat disebut penghulu merupakan pemimpin yang tertinggi dalam sebuah suku, kepemimpinannya kompleks di samping bersifat privat yakni memimpin anak dan kemenakannya juga memimpin kaumnya, juga memimpin sukunya dalam berhubungan dengan suku-suku lain dalam nagari.

Manti disebut-sebut asal katanya dari menteri.
Kedudukannya berada pada pintu susah. Ia banyak disusahkan menyelesaikan yang kusut dan menjernihkan yang keruh. Dalam alek ia yang mempalegakan kato untuk mencari kata mufakat sebagai pertimbangan pengambilan keputusan adat. “Biang tabuak gantiang putuih” (keputusan) berada di tangan penghulu. pemerintahan adat. Manti juga mempunyai tugas mengawasi kaum sukunya dalam praktek “adat mamakai” baik adat nan sabana adat, adat nan teradat, adat nan diadatkan dan adat istiadat. Malin salah seorang pembantu penghulu dalam bidang agama. Tugasnya mulai dari pengajaran mengaji, menunaikan Rukun Islam juga menunjukan dan mengajari kemenakan (masyarakat), berakhlak atau taat mengamalkan agama Islam serta mengarahkan kemenakan ke jalan yang lurus dan diredhai oleh Allah swt. Tugas malim ini dibantu “urang jinih nan ampek” yakni: (1) imam, (2) katik, (3) bila dan (4) qadhi. Sedangkan Dubalang merupakan seorang pembantu penghulu dalam bidang ketahanan dan keamanan. Dubalang berasal dari kata hulubalang, yang bertugas menjaga huru hara yang mengancam ketahanan dan kemanan baik dalam lingkungan kaum sukunya maupun salingka nagari. Karena beratnya tugas dubalang disebut posisinya tagak di pintu mati.

Keempat orang ampek jinih ini merupakan jabatan pemangku adat yang diturunkan secara turun temurun dari mamak ke kemenakan. Sistem pewarisan kepemimpinannya berbentuk ascribed sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya. Pewarisan pusaka itu mendapat justifikasi kultural dalam pepatah petitih biriek-biriek turun ka sawah/Tibo disamak taruih ka halaman/Dari ninak turun ka mamak/Dari mamak turun ka kamanakan/. Dari struktur kekuasaan kerajaan Minangkabau tercermin pola musyawarah atau demokrasi. Hal ini terlihat pada Raja yang berbentuk kuasa tiga serangkai (trium virate) yang disebut dengan Rajo nan Tigo Selo, yaitu Rajo Alam, Rajo Adat dan Rajo Ibadat. Pusat kekuasaannya adalah Pagaruyung sebagai tempat kedudukan Raja Alam. Sementara Rajo Adat dan Rajo Ibadat mempunyai kedudukan pada daerah masing masing. yakni di Buo dan Sumpur Kudus.[5] Adapun batas-batas kekuasaan dan kuasa tiga serangkai sesuai dengan panggilannya, yakni Raja Alam sebagai Penguasa tertinggi, Rajo Adat bertugas dalam bidang adat dan Raja Ibadat dalam bidang agama. Dalam mengambil kebijakan selalu dalam bentuk musyawarah tiga serankai atau dewan raja, maka sebuah kebijakan disebut dengan istilah sepakat alam. Ketiga penguasa tertinggi Minangkabau di atas, dibantu oleh satu Dewan Pemerintah yang disebut dengan Basa Ampek Balai, yaitu Bandaharo di Sungai Tarab, Tuan Kadi (Pandito) di Padang Ganting, Machudum di Sumanik dan Indomo di Suruaso. Di samping yang berempat tersebut, ditambah satu lagi sebagai yang dipercayai urusan keamanan yakni Tuan Gadang di Batipuah. Dewan Basa Ampek Balai dipimpin oleh Bandaharo atau juga disebut Tuan Titah. Raja Adat dan Raja Ibadat bukanlah dari keluarga Raja, begitu juga dengan Dewan Menteri, melainkan mereka orang terpandang dan terkemuka di nagari mereka masing-masing.

Nagari dalam Luhak nan Tigo sebagai “Republik kecil” di bawah kekuasaan Dewan Penghulu atau dewan adatnya, mengacu pada dua bentuk atau sistem pemerintah, yang disebut dengan Lareh atau kalarasan, yaitu Kalarasan Koto Piliang dan Kelarasan Bodi Caniago. Dua pola ini ini meupakan pola dasar yang dilahirkan oleh dua orang pengagas adat Minangkabau yakni Datuk Tumangguang dengan pola Koto Piliang dan Datuak Parpatiah nan Sabatang dengan pola Bodi Caniago. Pada hakekatnya nagari bebas memilih sistem atau kalarasan tersebut. Bahkan terjadi beberapa nagari yang tidak jelas pilihan sistemnya atau memadukan keduanya, maka nagari tersbut dikatakan sebagai Kalarasan nan Panjang yag dalam bidal adat dikatakan : Pisang sikalek kalek hutan, Pisang timbatu nan Bagatah/Bodi Caniago inyo bukan, Koto Pilianginyo antah/.
Melihat jumlah nagari yang menganut pola atau sistem kalarasan yang digunakan, maka masing luhak mempunyai ciri-ciri atau dikatakan sebagai pola tertentu., yaitu kelarasan Koto Piliang secara umum dipakai pada Luhak limapuluh Koto dan Bodi Caniago pada Luhak Agam. Sedangkan Luhak Tanah Datar dengan kelarasan nan panjang. Perbedaan yang prinsip dan dua kelarasan tersebut adalah dalam sistem pemerintahannya yang terlihat pada status Panghulunya. Dalam nagari Kelarasan Koto Piliang status penghulu bertingkat-tingkat dengan wewenangnya bersifat vertikal yang menurut mamang adat dikatakan “berjenjang naik bertangga turun”. Artinya pemerintahan lebih berpusat kepada beberapa aristokrat, maka pemerinahannya bersifat Aristokrasi. Sedangkan kelarasan Bodi Caniago status penghulunya sederajat, dengan kewenangan yang bersifat horizontal, seperti mamang adat “duduk saharnparan, tagak sepematang”.[6] Dengan demikian Bodi Caniago lebih bersifat demokratis dengan ciri lain ” Bulek aie jo pambuluah, Bulek kato jo mufakat.

Bagi Koto Piliang pemerintah nagari dilakukan oleh penghulu pucuk, yang kumpulan dari penghulu Pucuk disebut “kaampek suku”. Penghulu pucuk tersebut disebut atau dipangilkan dengan Panghulu Ampek Suku, dengan bawahannya panghulu-panghulu suku.
Kelarasan Bodi Caniago, pemerintahan nagari dilakukan bersama oleh panghulu- panghulu suku yang disebut dengan Panghulu Andiko. Untuk pimpiman dipilih di antara penghulu andiko tersebut, itu yang disebut dengan mamang adat “Gadang balega” (besar bergilir). Panghulu Andiko adakalanya mempunyai wakil atau pembantu yang disebut dengan Panungkek. Aristokrasi dalam pengertian Koto Piliang bukan berarti otoriter, tapi juga mengedepankan unsur musyawarah. Penghuiu di Minangkabau tidak dimungkinkan oleh adat untuk berlaku otoriter, karena menurut mamang adat, Kamanakan barajo ka Mamak, mamak inamak barajo ka Panghulu, Panghulu berajo kamufakat, mufakat barajo ke alua dan patut, alua dan patut berajo ka kabanaran, kabanaran tagak sandirinyo. Suku yang dipimpin oleh penghulu, adalah unit utama dalam struktur sosial masyarakat Minangkabau. Anggota suku dihitung dari garis keturunan Ibu. kekeluargaan menurut sistem matrinial. Disamping sistem matrilinial dalam stuktur tradisional Minangkabau, juga dikenal sistem patrilinialnya. Pada kalangan Raja (the royal system) dimana warisan gelar dan harta diperhitungkan menurut garis ayah. Untuk daerah rantau sebagian dari sistem ini dipergunakan, yakni seperti di Pariaman, gelar diwariskan menurut garis ayah. Kalau ayah bergelar Sidi, maka sang anak pun bergelar Sidi (ascribed).

Pelapisan sosial di Minangkabau juga terdapat seperti layaknya pada etnis-etnis lainnya. Ukuran dalam pelapisan ini adalah kaum menurut garis ibu yang pertama kali datang di nagari itu sebagai peneroka. Orang yang datang pertama itulah yang disebut orang asal.. Sedangkan yang datang kemudian dianggap mempunyai status agak lebih rendah. Kalau yang pertama diistilahkan dengan “urang asa” dan yang kedua disebut sebagai “urang datang”. Para pendatang baru tidak ikut menebas hutan dan membuat persawahan, sehingga mereka tidak mempunyai pusako (harta) dan Sako (gelar kepeminipinan/Penghulu), mereka adalah pemegang kekuasaan kelompok kekerabatan. Hubungan kedua lapisan sosial ini biasanya dijelaskan dengan sebutan ninik mamak dan kemenakan. Dipandang dan kedudukan niniak mamak, maka kemenakan dapat di bedakan :
Kemenakan dibawah dagu, dikatakan juga kemenakan kandung, yaitu bertali darah. Kemenakan dibawah dada, kemenakan yang mempunyai hubungan akal dan budi yaitu karena dijemput kenagari lain dengan upacara resmi oieh yang dijemput “darab dicacah, daging di lacah". Kemenakan dibawah pusat, kemenakan yang bertali adat yang mungkin juga belahan dan negari lain. Mereka berhak mewarisi harta pusaka tapi tidak Sako atau gelar penghulu. Kemenakan dibawah lutut, yaitu yang bekerja untuk penghulu yang juga dalam tambo disebut kemenakan beali emas yakni orang yang dibeli untuk dipekerjakan (budak). Mereka tidak berhak mewarisi gelar (sako) dan juga harta pusaka.

Dan keempat strata sosial tersebut, yang berhak mewarisi Sako dan pusako hanya yang bertalian darah menurut garis keturunan ibu. Sedangkan warisan pusaka (harta bisa diwariskan pada kelompok dua dan tiga). Harta pusaka herupa tanah, hutan dan sawah dimiliki oleh kaum dengan hak pengaturannya oleh penghulu. Tanah atau hutan yang belum dimiliki oleh kelompok kekerabatan disebut tanah ulayat yang dimiliki oleh nagari. Dalam nagari yang menganut sistem Laras Koto Piliang tanah ulayat dikuasai oleh Penghulu Pucuk. Orang diizinkan mengusahakan tanah ulayat tersebut atas izin dan penghulu pucuk. Tanah ulayat dalam nagari yang menganut sistem Laras Bodi Caniago diurus dan hak penguasaan oleh suku. Tiap anggota kelompok suku dapat mengusahakan atas ke-izinan dan penghulu andiko.
Penguasaan tanah pusaka suku dilakukan berdasarkan genggam beruntuk, yakni seluruh tanah pusaka dibagikan pengelolaannya pada kelompok kekerabatan samande (seibu). Mereka hanya berhak mengelola dan mengambil hasilnya, tapi tidak berhak untuk menjual atau mengadaikannya, karena harta pusaka tidak boleh dijual atau digadai kecuali pada beberapa hal tertentu. Menurut mamang adat bahwa pusaka itu “dijua indak dimakan bali, digadai indak makan sando” (dijual tidak makan beli dan digadaikan tidak dimakan sandra). Pengertian hak milik perorangan atas tanah tidak ada. Tanah pusaka tidak hanya merupakan sumber kegiatan-kegiatan ekonomi , tapi sekaligus merupakan lambang status dalam masyarakat. Jadi harta pusaka itu bahagian yang integral dengan kelompok kekerabatan atau suku.

Dari pelapisan masyarakat seperti diatas, terlihat bahwa penghulu dan kerabatnya adalah merupakan lapisan atas. Jabatan penghulu merupakan jabatan tertinggi dalam kelompok kekerabatan, karena dibawah penghulu ada pimpinan yang disebut dengan mamak dan dibawah mamak ada jabatan yang disebut Tungganai, yakni pimpinan dari satu rumah tangga. Dilihat dari status penghulu mempuyai tingkatan-tingkatan, Penghulu Andiko yang juga disebut penghulu pucuk atau penghulu tuo. Penghulu payung yakni penghulu dari yang membelah diri dari suku utama. Penghulu Hindu (indu) yaitu yang menjadi pimpinan dari suku yang membelah dan kaum sepayung. Terakhir disebut deigan penghulu Panungkek atau Tungkatan, yakni penghulu pembantu dan penghulu pucuk.
[7] Peranan mamak atau penghuiu secara tradisional terilalu besar dalam keluarga, sehinga seorang laki- laki yang menjadi bapak tidaklah mempuyai peran dalam rumah tangganya. Si istri merupakan bahagian dari keluarganya dan bapak juga adalah bahagian dari keluarganya, bahkan sering dia menjadi pimpinan dari anak kemenakannya. Menurut Mochtar Naim bentuk demikian lebih tepat disebut dengan “notolocal residence”. Seorang laki-laki adalah pemimpin di kaumnya dan pelindung atas harta benda kaum. Tapi dia tidak bisa menikmati hasil hartanya secara bebas dan bahkan dia tidak diberi ruang tempat tidur diatas rumah ibunya, karena semua bilik (kamar) diatas rumah gadang hanya diperuntukan bagi anggota keluarga perempuan untuk menerima suami mereka di malam hari.[8] Jadi posisi laki-laki sebenarnya goyah, hal mi terlihat setelah tua dimana mereka tidak mempunyai kamar lagi diatas rumah tangga istrinya, maka laki-laki harus tidur di surau, begitu juga bagi generasi muda yang belum menikah. Maka surau mempunyai fungsi yang sangat banyak bagi suku atau kaum, karena setiap suku mempunyai surau. Dalam sistem kepemimpinan tradisional Minangkabau, juga dikenal adanya konsep “Tungku tigo sajarangan”. “Tungku tigo sajarangan” adalah alam yang sesungguhnya adalah 3 tungku disusun di atasnya dijerangkan periuk/ belanga/kuali dijerangkan dan di dalamnya ada makanan/minuman yang mau dimasak. “Tali tigo sapilin” adalah 3 jurai tali yang dijalin menjadi satu tali dan kuat. Tungku itu panas, di situ kayu bersilang, api dihidupkan dengan bahan bakar kayu, di saat itu pula nasi menjadi masak. Fakta empiris kekuatan susunan 3 tungku sajarangan itu bersinergi dengan energi panas api yang dihidup karena kayu disilang-silangkan di dalamnya.

[1]Taufik Abdullah (ed.), Kepemimpinan Tradisional dan Lokal : Kumpulan Penelitian Pelatihan Penelitian Ilmu Sosial, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1984, hal. xii

[2] George R. Terry, Prinsip-Prinsip Kepemimpinan, terjemahan, Jakarta: Intermasa Press, 1990, hal. 71-72. Juga bandingkan dengan Hasan Walinono, Kepemimpinan Lokal dan Kewibawaan, Jakarta: Rajawali Press, 1987

[3] Muncul dalam organisasi yang memiliki hirarki. Pemimpin yang berada pada tingkat rendah mendapat pengakuan dari pemimpin tertinggi untuk memimpin kelompoknya. Anggota kelompok menerima pemimpinnya sebagai suatu keharusan karena dia ditunjuk oleh otoritas yang lebih tinggi.

[4] Bersumber dari kepakaran khusus (specific skill) yang dimiliki seseorang. Semakin besar, kepakaran khusus tersebut dibutuhkan masyarakat atau suatu komunitas tertentu, maka semakin besar pengaruhnya dalam komunitas yang terlibat. Dari perspektif teori structural fungsional bias diasumsikan bahwa semakin fungsional kepakaran seseorang, maka semakin berpengaruh peran dan fungsi sosialnya.

[5] Bersumber dari kelebihan dan sifat pribadi ataupun talenta (talent) yang dimiliki seseorang.

[6] Keduanya bersumber dari kemampuan seseorang untuk memberikan pemberian hadiah maupun hukuman kepada pengikutnya.

[7] Ibid., hal. xiii

[8] Clifford Geertz, After the Fact, terjemahan, Jakarta: Pustaka Pelajar, hal. 46

[9] Suatu bangunan kecil tempat shalat yang dipergunakan juga sebagai tempat mengaji Alquran bagi anak-anak dan tempat belajar agama bagi orang dewasa. Kata surau berasal dari istilah Melayu Indonesia dan penggunaannya meluas di Asia Tenggara. Pengertian surau ini dalam penggunaannya hampir sama dengan istilah langgar atau musala. Di samping dipergunakan sebagai tempat ibadah, surau juga menjadi lembaga pendidikan dan pengajaran serta kegiatan sosial budaya. Dalam perkembangan selanjutnya fungsi surau di Minangkabau lebih menyerupai pesantren di Pulau Jawa atau pondok di Malaysia. Perkembangan tersebut dimulai sejak Syekh Burhanuddin mendirikan surau di Ulakan, Pariaman, pada abad ke-17 setelah dia kembali dari belajar agama dari Syekh Abdul Rauf Singkel, seorang ulama besar Aceh. Pada umumnya, surau dalam pengertian pesantren di Sumatera Barat dimiliki dan dikelola oleh syekh secara turun temurun. Lebih lanjut lihat Silfia Hanani, Surau : Aset Lokal yang Tercecer, Bandung: HUP Press, 2002 dan www.ulama-minang.blogspot.com

[10] Cliford Geertz, Ibid., hal. 101

[11] Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara : Sejarah dan Kekuasaan, Bandung: Rosda Karya, 1999, hal. 74

[1] Mochtar Naim, Ibid.., hal. 56

[2] Syafnir Aboe Naim, Tuanku Imam Bonjol: Sejarah Intelekual Islam di Minangkabau 1784-1832, Padang: Penerbit Esa, l988, hal. 10

[3] Mochtar Naim, Op.Cit.., hal. 77

[4] Pembahasan yang mendetail dan elaboratif, bisa dirujuk pada MD. Mansoer, Op.Cit; Emeraldi Chatra, Adat Salingka Nagari, Padang: Pusat Studi Pembangunan dan Perubahan Sosial Unand, 2000 (kumpulan Bunga Rampai Makalah Sosial Budaya Minangkabau)

[5] Mochtar Naim, Ibid.., hal. 78

[6] AA. Navis, Loc.Cit., hal. 54

[7] Nurdi Ya’cub B., Minangkabau Tanah Pusaka, Tambo Minangkabau Buku ketiga. Bukittinggi: Penerbit Pustaka Indonesia, 1991, hal. 43

[8] Mochtar Naim, Op.Cit., .hal 19-21

[9] Taufik Abdullah, “Diktum Keramat Adat Basandi Syara’, Syara’

Tidak ada komentar: