Jumat, 08 April 2011

Diskursus Poligami Wacana Facebookers : Proposal Penelitian

Oleh : Muhammad Ilham (dkk.)

Dalam konteks sosiologi-komunikasi, jejaring sosial internet merupakan salah satu media komunikasi yang juga dapat dijadikan sebagai media komunikasi sosial bagi masyarakat.[1]. Komunikasi sosial merupakan suatu kegiatan komunikasi yang lebih diarahkan kepada pencapaian suatu integrasi sosial. Melalui komunikasi sosial terjadilah aktualisasi dari masalah-masalah yang dibahas. Selain itu kesadaran dan pengetahuan tentang materi yang dibahas makin meluas dan bertambah. Komunikasi sosial adalah sekaligus suatu proses sosialisasi. Melalui komunikasi sosial dicapailah suatu stabilitas sosial, tertib sosial, penerusan nilai-nilai lama dan baru yang diagungkan oleh masyarakat.[3] Dalam konteks ini, maka melalui komunikasi sosial, kesadaran bermasyarakat dipupuk, dibina dan diperluas. Kesadaran tentang berbagai hal dan beragam isu yang terjadi dalam proses relasi ataupun interaksi sosial yang berlangsung ditengah-tengah masyarakat. Penggunaan Facebook sangat terkait sekali dalam komunikasi sosial, dimana dalam hal ini Facebook digunakan sebagai media interaksi dalam berkomunikasi. Facebook merupakan salah satu social software (software sosial) yang banyak dinikmati oleh berbagai kalangan, lintas spasial maupun lintas usia, baik kalangan muda maupun kalangan tua saat ini.[4]

Penggunaan Facebook saat ini sangat berkembang pesat mengikuti gaya atau mode teknologi yang terus berkembang pesat. Pada mulanya komunikasi melalui internet hanya dapat dinikmati melalui chatting room dan sejenisnya, kemudian social network berkembang melalui tampilan yang lebih interaktif dan menggoda (contoh, Friendster) dan saat ini lebih disempurnakan lagi di dalam salah satu media komunikasi yang tampilannya lebih komplek seperti Facebook. Sebenarnya banyak media komunikasi yang memberikan banyak fasilitas dalam berkomunikasi, tetapi yang akan penulis jadikan focus adalah jejaring sosial Facebook. Perkembangan teknologi jejaring sosial yang semakin pesat ini menuntut penyediaan fasilitas yang lebih dari Facebook. Penggunaan Facebook sebagai jaring sosial memiliki berbagai dampak negatif maupun positif tergantung kepada pemanfaatannya oleh masyarakat. Banyak manfaat yang diperoleh dari Facebook bila penggunaannya memang baik, jika untuk kepentingan yang buruk dan sempit cenderung berbahaya dan bisa mengarah kepada hal-hal yang sifatnya negatif. Berbagai manfaat dapat diambil dari penggunaan Facebook di antaranya yaitu penyediaan dan pertukaran informasi, agenda, pencarian teman, iklan produk dan lain-lain. Secara nyata penggunaan Facebook sebagai fasilitas pertukaran informasi atau data lebih dominan. Ada yang memanfaatkan Facebook untuk memperluas pergaulan, ada yang memakai untuk berbisnis, ada juga yang menggunakannya untuk berkampanye. Sesuai fungsinya sebagai situs jaring sosial, tujuan utama penggunaan Facebook tentu saja untuk membangun suatu relasi. Fitur yang ada pada Facebook sangat memudahkan untuk mencari teman-teman. Banyak pengguna Facebook tidak ragu-ragu untuk menuliskan profil diri lengkap dengan nomor telepon bahkan alamat rumah sendiri.

Mereka menggunakannya untuk menunjukkan identitas sebagai penawaran atas dirinya.[5] Selain pemanfaatan Facebook dari segi positif banyak di antaranya dimanfaatkan untuk hal-hal yang bersifat negatif. Tapi terlepas dari semua itu, kehadiran Facebook memberikan suatu ruang bagi publik untuk secara bebas merefleksikan kepedulian mereka terhadap suatu isu yang berkembang dalam masyarakat. Dengan potensi sources yang dimiliki jejaring sosial Facebook, memungkinkan para facebookers mendiskusikan hal-hal yang dianggap sensitif selama ini, seperti isu-isu politik dan hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan agama seperti poligami. Dengan potensi sources yang dimiliki jejaring sosial Facebook ini pula, interaksi bisa lebih intens dan bervariasi. Peserta diskusi tidak terikat dengan aturan-aturan yang menyulitkan (cukup dengan membuat account perrsonal), ditambah lagi, facebookers tidak terikat dengan batas-batas spasial. Interaksi bisa dilakukan dalam waktu amat singkat sekali secara interaktif. Hal ini membuat diskusi facebookers menjadi lebih dinamis dan variatif karena sources facebook memberikan ruang yang “un-limited” untuk merefleksikan pemikiran pada facebookers tanpa takut dengan aturan-aturan birokrasi ataupun editing bahkan tidak diakomodir, bila pemikiran mereka tersebut disalurkan ke media massa.[6] Diantara beberapa isu sensitif yang selama ini (terutama dua tahun belakangan) menjadi trend-branding ataupun trend-setter diantara facebookers adalah isu poligami. Selama ini isu poligami tidak begitu ”bebas” didiskusikan dan dipublikasikan dalam ruang publik. Persoalan ini termasuk dalam ranah yang debatable dalam pemahaman dan tafsiran syariat Islam.

Pada prinsipnya, secara syar’i terdapat tiga kategorisasi masyarakat yang mensikapi hal ini. Menganggap poligami sebagai sunnah Rasulullah, menganggap poligami sebagai suatu entitas-normatif-religius yang bersifat riil tapi bukan berarti sesuatu yang wajib dilakukan, dan yang terakhir ada entitas sosial yang menganggap poligami sebagai bentuk salah kaprah pemahaman ajaran normatif-religius agama (Islam), untuk tidak menyebut sebagai bentuk ekspoloitasi syahwat dengan berlindung dibalik agama.[7] Ketiga kategori pendapat ini terlihat secara nyata dari diskusi-diskusi facebookers ketika topik poligami dijadikan isu diskusi. Dengan dinamis dan mudahnya Facebook mengakomodir diskusi sensitif ini – tentunya dengan kelebihan sources yang dimilikinya, sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya – membuat isu poligami menjadi sangat dinamis dan hangat di jejaring sosial facebook. Para facebookers merasa bebas mengemukakan pendapat mereka secara bernas, nyeleneh bahkan terkesan melawan mainstream fiqh yang telah menjadi konsensus ditengah-tengah masyarakat. Melalui teks-teks yang mereka up-load, facebookers telah mampu membentuk wacana dan mempengaruhi opini masyarakat – untuk tidak menyebutkan ”pencerdasan alternatif” – bagi masyarakat (Islam) Indonesia pada umumnya.

Penelitian ini difokuskan pada kategorisasi pensikapan facebookers terhadap wacana poligami. Kemudian juga difokuskan pada bagian-bagian isu yang menjadi trend dikalangan facebookers berkenaan dengan poligami. Selanjutnya, penelitian ini berusaha untuk menganalisis pensikapan pendapat berdasarkan latar belakang pendidikan dan jenis kelamin. Dua hal ini menjadi urgen untuk diteliti dan dianalisis karena diasumsikan faktor pendidikan berkorelasi dan simetris terhadap pensikapan tentang poligami. Demikian juga halnya dengan jenis kelamin yang diasumsikan bahwa facebookers laki-laki lebih dinamis dibandingkan facebookers perempuan yang terkesan resisten terhadap poligami (setidaknya demikian yang terlihat dari data-data yang telah dikumpulkan dalam tahapan grand tour awal). Dalam penelitian ini, batasan masalah diarahkan pada dua hal, yaitu batasan tematik dan batasan temporal. Batasan tematik difokuskan pada diskusi mengenai isu poligami (seluruh topik-topik yang berhubungan langsung dengan poligami). Kemudian, batasan temporal dimulai sejak tahun 2009 (dengan rasionalisasi bahwa pada tahun ini, jejaring sosial facebook telah berkembang dengan massif di Indonesia dan pada tahun ini pula isu poligami mengemuka ke ruang publik terutama setelah beberapa tokoh agama melakukan praktek poligami).

Penelitian ini menggunakan pendekatan wacana, sebuah pendekatan yang menempatkan pandangan peneliti terhadap sesuatu yang diteliti secara subyektif berdasarkan pemikiran-pemikiran individu yang terlihat dari teks atau wacana yang dikemukakan.[8] Dalam konteks ini, peneliti sangat menghargai dan memperhatikan pandangan subyektif setiap subyek yang ditelitinya. Peneliti berusaha memahami pemaknaan individu (subjective meaning) dari subyek yang ditelitinya. Karena itu, untuk dalam aspek-aspek tertentu, peneliti akan melakukan interaksi atau komunikasi yang intensif dengan pihak yang diteliti. Jejaring sosial Facebook memberikan sources ­– dalam hal ini melalui sources Inbox dan chatt-room - untuk interaksi interaktif dalam upaya mendalami isu sentral tentang poligami pada informan-informan tertentu yang dipilih berdasarkan kategori intensitas-diskusi yang dilakukakannya. Peneliti akan memilih informan yang masuk dalam kategori ini bukan berdasarkan subjektifitas an-sich, akan tetapi didasarkan pada alur-pemikiran serta kuantitas diskusi yang intens dalam status Facebook informan ini. Menurut Craswell, dalam penelitian ilmu sosial ataupun humaniora, peneliti bisa mengembangkan kategori-kategori, pola-pola dan analisa terhadap proses-proses sosial yang terefleksi dari pemikiran-pemikiran mereka.[9]

[1] Jalaluddin Rahmat, “Dakwah Digital di Era Cyberspace”, dalam Indy Zubaedi A., Perubahan Sosial dalam Era Komunikasi Global, Bandung: Salman Press, 2008, hal. 36

[2] Effendi Ghozali, “Komunikasi Politik dan Komunikasi Integrasi”, dalam Kompas (Opini) tanggal 16 Nopember 2010, hal. 4

[3] Jalaluddin Rahmat, op.cit., hal. 38

[4] Facebook untuk sementara mengungguli situs-situs jejaring sosial lainnya. Pertumbuhannya terbilang pesat, 135 persen per tahun. Berdasarkan data comScore, sebuah lembaga metrik online, Facebook memiliki 132,1 juta pengguna unik sampai Juni lalu. Pertumbuhan pengguna di Timur Tengah dan Afrika mencapai 66 persen. Adapun di kawasan Eropa dan Amerika Latin adalah 35 persen dan 33 persen. Facebook kini amat digemari di kawasan Amerika latin. Penggunanya mencapai hampir 12 juta pada Juni, dari hanya 1 juta orang setahun yang lalu. Pengguna non-Amerika kini mendominasi seluruh pengguna Facebook. Persentasenya 63 persen. Ini dipastikan akibat upaya Facebook melokalkan content-nya. Kini situs itu tersedia dalam lebih dari 15 bahasa di dunia. Lihat www.cintacyber.com/html. (diunggah tanggal 5 Februari 2011)

[5] Dimitri Mahayana, Komunikasi dan Kesadaran Eksistensialisme, Bandung: Rosda Karya, 2009, hal. Xii

[6] Pasca Orde Baru, kebebasan berpendapat dijaga dengan demokratis oleh pemerintah. Termasuk dalam hal ini adalah kebebasan berpendapat di dunia “maya”. Bila dibandingkan dengan Negara seperti Malaysia, Cina apalagi Mesir dan negara-negara Teluk lainnya, maka Indonesia termasuk negara yang bebas bagi warganya dalam mengemukakan pendapat di media massa yang telah dianggap resmi oleh pemerintah, termasuk didalamnya adalah jerjaring sosial Facebook ataupun Tweeter. Tentang hal ini, termasuk juga atauran-aturan yuridisnya, lihat www.kemenaginfo.go.id/html. diunggah tanggal 7 Februari 2011.

[7] Disarikan dari diskusi dengan Dr. Firdaus, M.Ag, Dosen Fiqh/Ushul Fiqh pada Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang. Hal senanda juga dikemukakan oleh Musda Muslia, “Poligami : Antara Syahwat dan Kemanusiaan atas Nama Agama”, dalam www.kalyanamitra.com/html (diunggah tanggal 5 Februari 2011)

[8] Kuper & Kuper, Ensiklopedi Ilmu Sosial, terjemahan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997, hal. 105-106

[9] Arnold Cresswell, Pengantar Metode Penelitian Teks dan Kearsipan, terjemahan, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2007, hal. 16

Tidak ada komentar: