Oleh : Muhammad Ilham
Fakta sosial harus dijelaskan dengan Fakta Sosial lainnya
(Emille Durkheim)
Saya mulai tulisan ini dengan memaparkan beberapa realitas individual yang direkam secara tertulis oleh beberapa media yang menyentakkan bathin-psikologis dan "ranah" rasionalitas kita.
“Diduga kuat, pelaku peledakan di masjid Az-Zikra Mapolresta Cirebon hari Jum’at 15April 2011 kemaren adalah Muhammad Syarif dengan cara bunuh diri menggunakan bom low explosivemetrotvnews.com/diunggah tanggal 16 April 2011) (kemudian ini dipastikan sebagai Muhammad Syarif pada tanggal 17 April 2011 : pen.). Pelaku disinyalir sebagai orang yang sering mengikuti kegiatan-kegiatan demonstrasi anti Ahmadiyah dan jadi anggota salah satu kelompok garis keras (kemudian ini dibantah oleh salah seorang pengurus kelompok yang dituding : pen).”
"Bulan Juli 2002, setelah Zuhur menjelang Ashar. Saeed Hotari meledakkan dirinya bersama bom yang dipasang disekujur tubuhnya…… 21 tentara Israel tewas. Kemudian, para tetangga Saeed Hotari dengan bangga memasang gambarnya yang memegang dinamit ditangan kiri, senjata laras panjang di tangan kanan dan kafiyeh dikepala disetiap sudut pintu rumah mereka. Tanyalah apa cita-cita anak-anak tetangga Saeed Hotari ? Jawaban mereka : "Ingin seperti Saeed Hotari, kelak". Bagaimana dengan reaksi ayah Saed Hotari, Hassan Hotari ? Jawaban sang ayah : "Jujur saya katakan, saya iri dengan apa yang dilakukan oleh anak saya". (Kompas dari USA Today, 29 Nopember 2002/diunggah kembali tanggal 16 April 2011).
Pada tahun 2002 tersebut, intensitas konflik di daerah Israel-Palestina sangat tinggi. Dalam laporan USA Today, pada tahun 2002 telah terjadi 14 kali peristiwa bom bunuh diri, dan mayoritas dilakukan oleh pemuda berumur antara 19 hingga 42 tahun.
Namanya Hanadia, 22 Tahun, Intelek, lulusan terbaik jurusan Arsitektur Cambridge University, cantik dengan hidung mancung. Lama hidup di Inggris. Suatu ketika ia pulang ke kampung halamannya, Haifa Palestina. Hanadia terperangah melihat bangsanya diperlakukan secara keji oleh Israel. Terjadi revolusi pemikiran. Pada suatu malam, setelah ia menamatkan al-Qur'an dan bersujud di depan orang tuanya yang tidak memahami maksud anaknya, ia kemudian memakai rompi penuh dengan bom….. dan kemudian berjalan menuju kafe tempat tentara Israel melepaskan kepenatan di pinggiran kota Haifa. Besoknya berbagai surat kabar memuat berita : "Telah terjadi Bom Bunuh Diri yang mengakibatkan 19 orang tentara Israel tewas". Pelakunya : Hanadia, sang arsitek cantik tamatan Cambridge (Dikutip bebas dari Media Indonesia, 12 Januari 2003/diunggah kembali cc. mediaindonesia.com tanggal 16 April 2011).
Jauh sebelum itu, tradisi dan perilaku bom bunuh diri juga terjadi di negeri Sri Langka, tepatnya di daerah Tamil Nadu yang mayoritas dihuni etnis Tamil beragama Hindu. Karena merasa kekuatan personil dan finansial jauh kalah dibandingkan dengan kekuatan pemerintah Srilangka (baca : etnik Sinhala), maka jalan terbaik menurut sang pemimpin Tamil Eelam adalah merekrut dan mendoktrin kalangan muda Tamil Nadu untuk mau jadi martir. Asumsinya, pemerintah Sri Langka akan bisa berkompromi untuk membicarakan kemerdekaan Tamil Nadu. Momentum kedatangan Rajiv Gandhi, PM India, tokoh yang pada awalnya menjadi fasilitator konflik Sri Langka tersebut dijadikan sebagai target utama Prabhakaran untuk memberikan efek politik dan psikologis bagi Sri Langka dan dunia.
"Prabhakaran, sang pemimpin kharismatis Kempok Separatis Tamil Eelam berkata pada Devi Sarivati : "Dalam baju kamu itu terpasang bom…. Ledakkan nanti setelah kamu memeluk Rajiv Gandhi. Apabila bom tidak meledak, kamu tertangkap, maka tugas selanjutnya adalah segera minum racun syanida, mengerti?". Besoknya, sang PM India Rajiv Gandhi yang sedang mengusahakan perdamaian antara etnis Sinhala dengan Tamil di Srilangka, mati ……… karena bom bunuh diri". (Dikutip bebas dari Majalah Tempo tanggal 12 Juni 1995/diunggah kembali tanggal 16 April 2011 cc. tempointeraktif.com).
Kawasan Asia Tenggara tidak memiliki akar budaya terorisme, apalagi tradisi bom bunuh diri. Namun memasuki abad 21 Masehi, Asia Tenggara telah menjadi centre terorisme, bukan lagi phery-phery. Dan sejarah kemudian mengenal, tokoh-tokohnya adalah individu yang keras, radikal dan militan.
"Janganlah dinda bimbang, saya berjuang di jalan Allah. Saya yakin, apabila saya mati, maka matinya saya adalah mati syahid dan akan membawa 70 anggota keluarga ke surga (Surat DR. Azahari buat Istrinya Noraini Jacoob, dikutip dari www.detik.com/diunggah kembali tanggal 16 April 2011)
"Jaksa Agung Abdurrahman Saleh mengatakan bahwa waktu eksekusi mati terhadap Imam Samudera dan kawan-kawan tergantung dari permohonan grasi yang mereka ajukan. Memang Imam Samudera dan kawan-kawannya tidak mengajukan grasi, tapi kita berharap keluarga mereka yang mengajukan grasi, kata bekas Hakim Agung ini. Lantas apa kata Imam Samudera ? "Saya tidak akan mengajukan grasi, demikian juga keluarga saya. Bagi saya, dipercepat eksekusi tersebut, itu lebih baik". (Dikutip dari www.tempointeraktif.com, tanggal 12 Oktober 2005/diunggah kembali tanggal 16 April 2011).
Martin Heidegger, sang filosof asal Bavaria Jerman mengatakan bahwa hidup manusia sebenarnya tengah mengarah kepada kematian. Dalam tradisi agama-agama besar dunia, kematian bukanlah akhir daripada perjalanan hidup seseorang. Hukum kehancuran hanya berlaku pada wujud yang berstruktur secara materi. Karena roh bukanlah materi, maka ia tidak akan terkena pada hukum kehancuran. Konsep dan keyakinan hidup setelah mati ini mendapat tempat yang kokoh dalam tradisi agama-agama besar dunia. Mati bukanlah sebuah terminasi, tetapi garis transisi untuk memulai hidup baru di alam yang baru. Oleh karena itu, mereka yang ketika masih hidup menanam kebaikan, maka kematian baginya adalah sebuah gerbang yang membawanya memasuki kehidupan baru yang jauh lebih indah dengan kebahagian sejati. Itulah yang diyakinkan pada para calon pengebom bunuh diri. "Mohon maaf nek, saya melakukan ini agar saya bisa masuk sorga dengan membawa keluarga kita", demikian kata Misno (salah seorang tersangka pengebom bunuh diri di R.Aja's Café Bali dalam rekaman CD. Lewat sebuah indoktrinasi, kata Emille Durkheim, mereka diyakinkan bahwa taman Firdaus terhampar setelah mereka mengorbankan diri mereka demi orang lain. Atau dalam bahasa lain, sorga terhampar luas dibalik detonator sehingga kematian akan terasa tidak lebih dari sekedar cubitan. Lebih kurang 27 kali terjadi bom bunuh diri di Israel-Palestina oleh pemuda Palestina sejak tahun 2002 hingga 2004, 19 kali bom bunuh diri di Irak pada tahun 2005 hingga bulan Agustus dan sekian kali di Indonesia sejak beberapa tahun belakangan ini. Beragam komentar dan pendapat dilontarkan oleh berbagai kalangan untuk menelaah fenomena (sosiologis) ini. Dari beragam pendapat tersebut, tidak didapatkan satu kesimpulan tunggal mengenai penyebab terjadinya fenomena bom bunuh diri ini. Beberapa pertanyaan yang mengedepan antara lain : Mengapa "mereka" mau mengorbankan diri mereka? Nilai-nilai apa yang mereka perjuangkan? Mengapa melibatkan banyak pemuda? Mengapa melibatkan mayoritas orang-orang yang anti-sosial? Mengapa melibatkan Islam garis keras ? Mengapa fenomena ini kemudian merembet ke kawasan yang tidak memiliki akar kultural seperti di Indonesia?
Dalam konteks ini, jiwa martyrdom (lebih kurang berarti : kesyahidan) ini menurut John Hamling dalam bukunya The Mind of Suicide terdapat paling kurang a delapan hal yang mendorong seseorang berani dan mau berkorban, bahkan mengorbankan hidupnya sendiri tanpa mengindahkan nilai-nilai humanis dan luhur agama dan "pakem" rasional yang terdapat dalam tata peradaban ummat manusia modern yaitu :
1. Keputusasaan dan Kehilangan Harapan (Hopeless).
Menurut hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh USA Today terhadap anak-anak Palestina menjelaskan bahwa mereka merasa tidak memiliki harapan terhadap masa depan. Mereka merasa hidup mereka tidak berarti lagi. Karena itu tidak ada pilihan lain lagi kecuali melawan dengan berbagai cara. Demikian juga halnya dengan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Peter O'Gonnor White terhadap komunitas Tamil di Sri Langka. Sri Langka, sebuah negara yang secara genetik dekat dengan Hindustan, akan tetapi mayoritas beragama Budha. Etnis terbesar yang terdapat di negara ini adalah etnis Sinhala (mayoritas) dan Tamil. Etnis terakhir ini merupakan etnis minoritas yang beragama Hindu, dan berada dibawah bayang-bayang diskriminasi sosial politik yang dilakukan oleh etnis Sinhala. Berbagai usaha dilakukan etnis Tamil agar mereka bisa berpisah dari Sri Langka. Akan tetapi, usaha melalui jalur diplomasi dan kerusuhan-kerusuhan sporadis tidak membuahkan hasil. Akibatnya, mereka merasa kehilangan harapan. Maka jalan satu-satunya adalah mentradisikan bom bunuh diri secara simultan dengan harapan timbulnya ekses psikologis dan perhatian dunia.
Menurut White, sejak kecil para pemuda Tamil diajarkan sisi-sisi negatif etnis Sinhala dan "kaburnya" masa depan mereka. Militansi dan jiwa altruisme ditanamkan sedari kecil. Keputuasaan, hampir dalam berbagai kasus, selalu diakhiri dengan prinsip altruisme radikal dan dijustifikasi oleh nilai-nilai agama. Kelompok Radikal HAMAS di Palestina selalu mengatakan bahwa pengorbanan yang dilakukan oleh pemuda Palestina dalam meledakkan diri mereka bukan "kematian mubazir", tapi dalam konteks Islam menurut mereka kematian tersebut adalah syahid.
Begitu juga dengan statement yang pernah diungkapkan oleh ulama muda syiah kharismatis Irak, Moqtada al-Shadr, yang mengatakan bahwa tindakan martyrdom yang dilakukan oleh kelompok perlawanan Irak terhadap Amerika Serikat di Irak bukanlah kesia-siaan, akan tetapi merupakan "jalan yang benar". Demikian juga halnya dengan apa yang dilakukan oleh MNLF di Filiphina ataupun pola diaspora terror (konsep ini bertendensi negatif : pen.) yang dilakukan oleh Osama bin Laden. Keputusasaan terhadap ketidakberhasilan membebaskan Arab Saudi dan Timur Tengah dari Amerika Serikat, membuat Osama bin Laden "meluaskan" wilayah operasinya.Sama halnya dengan beberapa pejuang dalam sejarah setiap bangsa di dunia ini, Ia akhirnya merantau, keluar dari "relung sucinya" atau negaranya demi satu tujuan yang makro. Mungkin ini juga yang dilakukan oleh Azhari cs. dan Hambali cs.
2. Cinta dan Investasi
Demi orang yang dicintainya orang rela melepaskan hidupnya. Pengorbanan memiliki nilai evolusioner riil manakala orang tua menyelamatkan anaknya karena penyelamatan anaknya akan menjamin kelangsungan hidupnya. Memang orang tua melindungi dan mendidik serta membesarkan anaknya tampa pamrih. Akan tetapi bagaimanapun juga, anak bagi orang tua adalah investasi, baik investasi kelangsungan genetik, ekonomi maupun kedamaian dihari tua. Secara sosiologis, cinta terbesar adalah cinta terhadap agama dan ideologi yang sering dipersonifikasikan dengan konsep fanatisme. Kecintaan terhadap agama mengalahkan kecintaan terhadap yang lain karena agama memiliki daya tarik luar biasa dengan justifikasi normatif religiusnya.
Surat-Surat Cinta DR. Azahari kepada istrinya terlihat bahwa keputusan yang diambilnya tersebut merupakan bentuk kebenciannya terhadap Amerika Serikat dan sekutunya dan kecintaannya terhadap (menurutnya) eksistensi agama Islam. Demikian juga dengan apa yang dilakukan oleh Devi Saripati (Tamil), Hanadia (Palestina), Ayip Firdaus (Bom Bali II) dan Misno (Bom Bali II). Dalam rekaman "ucapan perpisahan" bagi keluarga mereka, baik Ayip maupun Misno seragam mengatakan bahwa tindakan mereka ini merupakan perwujudan dari kecintaan mereka terhadap agama Islam dan kemudian terselip ungkapan bersifat "investasi" yaitu "kesyahidan (menurut mereka) mereka adalah jalan bagi terbawanya 70 anggota keluarga mereka untuk masuk sorga".
3. Faktor Kepahlawanan (heroisme) dan Inspirasi.
Sosiolog Emille Durkheim mengatakan bahwa dalam kasus-kasus yang lebih altruistik, pelaku bunuh diri (baca : pengebom bunuh diri) menyimpulkan bahwa kehidupan mereka yang selamat lebih bernilai dibandingkan dengan kehidupannya sendiri atau bahkan kelangsungan hidup mereka bisa terjamin bila ada yang meninggal. Tipe seperti ini biasa terjadi dalam peran ketika seseorang mengobankan dirinya sendiri dengan harapan bahwa kawan-kawannya akan selamat. Banyak peristiwa-peristiwa tragis kepahlawanan yang pada akhirnya peristiwa itu memberikan inspirasi tentang kepahlawanan (terlepas dari salah atau benarnya). Prosesi "Minum Racun"nya Socrates karena keteguhan akan memegang prinsip justru memberikan inspirasi besar terhadap perjalanan filsafat pemikiran dunia setelahnya. Begitu juga dengan sang ana al haq al Hallaj dan Syekh Siti Jenar. Mishio Torugawa, seorang petinggi militer Jepang pada masa Perang Dunia II, sebelum melakukan harakiri (bunuh diri bercirikan kultural a-la Jepang) mengatakan bahwa kematiannya merupakan "tumbal" untuk kejayaan Jepang pada masa yang akan datang. Demikian juga yang terlihat dalam peristiwa Puputan yang dilakukan oleh I Gusti Ngurah Rai di Bali dan kematian Robert Walter Monginsidi. Di Filiphina, hal ini bisa terlihat dari Jose Rizal. Pada malam sebelum ia ditembak mati, Jose Rizal menulis puisi yang salah satu bait dari puisinya tersebut adalah : "Kematianku untuk Tanah Airku, Kematianku untuk Bangsaku". Kalimat ini kemudian menjadi inspirasi luar biasa bagi perlawanan bangsa Filiphina pasca kematian Jose Rizal. Kemudian juga terlihat dari apa yang diungkapkan oleh "Singa Padang Pasir" dari Libya Omar Mochtar sebelum menuju tiang gantungan yang dipersiapkan oleh penjajah Italia : "kematianku bukanlah sebuah kekakalahan dan ketakutanku. Kematianku merupakan sebuah inspirasi terhadap perubahan yang lebih besar pada masa yang akan datang". Penggalan tulisan koran diatas tentang Saeed Hotari memperkuat asumsi ini : "begitu idealnya Saeed Hotari dimata anak-anak tetangganya bahkan mereka bercita-cita untuk melakukan apa yang dilakukan oleh Hotari, kelak". Suatu ketika Lembaga Survey Indonesia (LSI) pernah melakukan penelitian tentang Islam Politik dan Politik Islam. Ada salah satu item pertanyaan yang dikhususkan kepada ummat Islam Indonesia tentang Radikalisme Islam di Indonesia yaitu : "bagaimana pendapat saudara tentang tindakan yang dilakukan oleh Amrozi cs.?". Jawabannya : 14,17 % menyetujui dan dianggap sebagai sumber inspirasi. Woow, menakutkan.
4. Kebanggaan Individual-Komunal.
Standar kultural dan kepercayaan mungkin membawa seseorang untuk siap melepaskan hidupnya untuk menunjukkan keberanian atau menunjukkan dirinya berarti. Hasil dari tindakan ini adalah terjaminnya keberlangsungan hidup anggota keluarganya. Mereka dapat hidup dengan kebanggaan dan harapan. Faktor budaya sangat memegang peranan yang signifikan dalam melahirkan anggapan ini. Bagi kultur masyarakat Jepang klasik dan Palestina hingga saat sekarang, jiwa altruisme dengan bentuk tindakan bom bunuh diri (dengan embel-embel demi negara dan agama tentunya) justru meninggalkan kebanggaan individual-komunal. Salah seorang wartawan perang CNN terkenal, Peter Arrnet pernah meliput Perang Irak-Iran secara Live pada tahun 1982. Ia pernah melihat salah seorang ibu tua renta berdiri berjam-jam di stasiun kereta api milik tentara Iran. Peter Arrnet menanyakan siapa yang ditunggu oleh ibu tersebut. Si Ibu menjawab, "Saya menantikan anak kedua saya pulang dari front melawan "Yazid" Saddam Hussein, anak pertama saya telah syahid, mati di barisan depan agar pasukan pelapis bisa maju, sekarang saya menunggu dengan bahagia kedatangan anak kedua saya, hidup atau mati. Nanti saya berencana ingin mengirim anak bungsu saya yang sekarang telah berumur 18 tahun, keluarga kami adalah keluarga pejuang dan saya bangga karena rahim saya telah melahirkan para pejuang Iran dan Islam". Bagi kultur dan kondisi kontekstual-temporal Iran pada waktu itu, ini sangat membanggakan. Bagaimana dengan fenomena di Indonesia dan kawasan Asia Tenggara lainnya. Menurut laporan dari www.detik.com, prosesi penguburan DR. Azahari di Melaka diikuti oleh ratusan pelayat. Memang banyak yang menyesalkan tindakan DR. Fisika ini tapi tidak menghujat.
5. Eskapisme
Eskapisme, menurut kajian psikoanalisis, adalah keadaan memasuki alam khayal/hiburan untuk melupakan atau menghindari kenyataan-kenyataan yang tidak menggembirakan. Terkadang kematian dilihat sebagai pilihan terbaik dan terakhir yang amat menyedihkan ataupun kemalangan yang baik. Misalnya, untuk menghindari diri agar tidak ditangkap musuh untuk menghadapi konsekuensi-konsekuensi seperti penyiksaan dan penghinaan, maka diambillah pilihan terakhir untuk melakukan bom bunuh diri. Dalam konteks ini, mungkin tidak begitu banyak pelaku bom bunuh diri melakukan tindakan bom bunuh diri karena faktor ini. Tapi kasus DR. Azhari yang kemana-mana selalu membawa bom dalam rompinya bisa dipahami. Sebelumnya, DR. Azahari telah dianggap sebagai Target Operasi Terdepan Pemerintah Indonesia (Bukan lagi Polisi, tapi sudah Pemerintah dan Negara Indonesia). Mungkin menyadari hal ini, daripada ditangkap hidup-hidup -- dan hal ini hampir dilakukan oleh Polisi Indonesia, tapi karena pertimbangan bahwa DR. Azahari diasumsikan membawa bom dalam rompinya sedangkan pada waktu penggerebekan pertama DR. Azahari berada ditengah-tengah masyarakat dan dikhawatirkan banyak korban yang akan tewas apabila DR. Azahari meledakkan dirinya -- DR. Azahari lebih merasa "aman" memakai rompi yang terdapat di dalamnya bom.
6. Kegilaan
Ada yang beranggapan bahwa bunuh diri merupakan tindakan terakhir dari episode psychotic (kegilaan) yang merupakan bagian dari ritual supernatural, karena kematian tidak dapat dielakkan atau karena kematian merupakan sesuatu yang sementara sifatnya. Mungkin faktor ini tidak begitu jelas dan pas dalam memahami perilaku terorisme bom bunuh diri. Pada umumnya, hal ini bisa dilihat dari beberapa fenomena aliran-aliran "sempalan" dari sebuah agama yang mapan seperti fenomena David Koresh di Amerika Serikat dan beberapa peristiwa tragis lainnya yang berakhir dengan ritual bunuh diri para pengikutnya.
7. Fanatisme
Fanatisme merupakan sistem kepercayaan yang kaku, keras atau berpandangan sempit, meuntut para penganutnya untuk mengorbankan diri. Beberapa pernyataan yang dipaparkan diawal tulisan diatas terlihat bagaimana mereka memahami ajaran Islam secara sempit dan parsial. Mereka menganggap pemahaman merekalah yang benar, sehingga tokoh Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif (19-11-2005) dalam wawancara eksklusif di Liputan Petang SCTV mengatakan bahwa pelaku bom bunuh diri adalah orang-orang yang hanya berani mati, akan tetapi tidak berani hidup. Mereka hanya memahami ajaran Islam secara parsial dan menafsirkan ajaran tersebut sesuai dengan kepentingan dan misi ideologi mereka sendiri. Sayangnya, demikian kata Maarif, pelaku bom bunuh diri tersebut mayoritas adalah mereka yang memiliki pendidikan yang rendah dan tingkat ekonomi yang tidak begitu mapan, sehingga mereka mudah direcoki dengan pemahaman-pemahaman yang salah dan pada akhirnya menimbulkan rasa fanatisme yang tinggi dan anggapan bahwa apa yang mereka lakukan tersebut merupakan sesuatu yang benar dan sesuatu yang harus dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh Robert N. Bellah di Jepang tentang ajaran Tokugawa memperkuat hal ini. Keberhasilan mencapai tujuan dan menjaga martabat Kaisar Jepang merupakan sebuah doktrin "genealogik" secara kultural bahkan diterima secara taken for granted. Hal inilah yang membuat masyarakat Jepang klasik sangat fanatik terhadap pemahaman dua hal diatas : Keberhasilan dalam mencapai tujuan dan Menjaga martabat tahta Seruni. Apabila mereka merasa gagal, maka jalan yang terbaik adalah bunuh diri. Bedanya antara fanatisme pertama dengan yang kedua adalah kalau yang pertama merupakan pemahaman parsial bukan kultural dan memiliki implikasi terhadap orang yang tidak bersalah. Sedangkan yang kedua merupakan pemahaman kultural yang hanya memiliki implikasi individual.
8. Ketenangan atau Ketenteraman
Pengorbanan diri sebagai suatu tindakan kesyahidan religius munculdari suatu kepercayaan terhadap hidup setelah mati atau berdasarkan atas kepercayaan bahwa kematian memberikan suatu kesempatan untuk lahir kemabli di bumi dengan status yang lebih tinggi (ini bisa dipahami ketika kita melihat kasus Devi Saravati diatas). Dengan demikian, maka kematian bukanlah dianggap sebagai sebuah kesia-siaan, tetapi dipandang sebagai kelahiran kembali untuk memulai hidup yang lebih baik dan baru. Dalam konteks ini, sedikit banyaknya motivasi pelaku bom bunuh diri adalah merupakan pelarian dari suasana dan "kompetisi hidup" yang tidak ramah pada mereka dan jalan terbaik agar mereka mencapai ketenangan dan kematian mereka tidak sia-sia adalah dengan jalan tragis ini.
Sebuah Epilog : Bagaimana Antisipasinya ?
Dalam makalah ini, saya akan mengemukakan beberapa pendapat dari beberapa ilmuan dan tokoh Islam Indonesia bagaimana caranya mengantisipasi fenomena terorisme, bahkan bagaimana mengantisipasi fenomena puncak dari terorisme tersebut : Bom Bunuh Diri. Dari sudut pandang sosiologi, menurut Emille Durkheim, fenomena terorisme dan bom bunuh diri tersebut merupakan suatu fakta sosial dan bukanlah fenomena individual. Untuk mengantisipasinya, maka harus dicari penyebab yang juga merupakan fakta sosial. Dalam konteks ini, berbagai fenomena terorisme dan bom bunuh diri terjadi karena adanya pemahaman norma-norma religius yang destruktif, perilaku tidak adil dalam realitas sosial dan lain-lain yang bersifat diskriminasi struktural. Oleh karena itu, perlu para "pemegang otoritas" agama (Islam) untuk kembali memikirkan pola dakwah, pendidikan dan pendekatan terhadap transformasi ajaran Islam tersebut kepada ummat Islam itu sendiri. Pertanyaan logis yang mengedepan di benak kita harus dengan jujur untuk kita jawab yaitu: Mengapa ummat Islam memiliki potensi besar melakukan tindakan teror ? Mengapa para pelaku teroris dan Bom Bunuh Diri di Indonesia tersebut adalah orang-orang yang dekat dengan pondok pesantren?
Ahmad Syafi’ie Ma’arief berpendapat bahwa untuk kedepan kurikulum dalam dunia pendidikan Indonesia, khususnya ummat Islam Indonesia, harus menekankan pendekatan yang humanis, hubungan dengan Tuhan juga berkorelasi erat dengan hubungan dengan manusia serta penekanan terhadap ajaran bahwa manusia yang Islami dan disayang oleh Allah SWT. adalah manusia yang menjaga peradaban dan ciptaan Allah. Disamping itu, diskriminasi dan ketimpangan sosial harus sedikit demi sedikit diperbaiki. Keadilan harus ditegakkan, tanpa pandang bulu. Rasa persaudaraan antar ummat beragama perlu dikembangkan dan dianggap perlu, bukan dilestarikan. Sementara itu, Komaruddin Hidayat mengatakan bahwa terorisme dan perilaku bom bunuh diri bukan budaya masyarakat Indonesia. Namun bila dilihat secara historis, budaya kekerasan ada dalam setiap budaya di Indonesia yang kadang-kadang dijustifikasi oleh ajaran agama (Islam). Kasus Perang Aceh dengan Hikayat Perang Sabil yang termaktub dalam analisis antropologisnya (terdapat dalam buku yang diterbitkan INIS : Nasehat-Nasehat Snouck Hourgronje Jilid I - IX) Snouck Hourgronje memperkuat hal ini. Oleh karena itu, untuk kedepan, disamping menekankan pendekatan humanis terhadap ajaran Islam, kita juga harus menekankan jiwa humanis budaya-budaya di Indonesia. Karena bagaimanapun juga, seperti dalam setiap agama di dunia ini, setiap budaya lahir untuk menjaga dan mengembangkan peradaban ummat manusia.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh LSI tentang Islam politik secara implisit juga membuat kesimpulan bahwa ada sebagian masyarakat Islam di Indonesia mau "mentolerir" tindakan Amrozi Cs. karena mereka beranggapan bahwa ummat Islam yang mayoritas dalam sejarah selalu dirugikan secara politik. Butuh momentum tersendiri untuk memberikan pesan kepada pemegang otoritas politik Indonesia bahwa kebijakan-kebijakan yang menyudutkan ummat Islam hanya akan melahirkan ummat Islam yang radikal. Wallau 'Alam bi Shawab.
Ada perbandingan menarik antara Osama bin Laden dengan para pejuang-pejuang yang merantau dari negeri mereka sendiri. Belasan teroris yang menghantam Amerika pada 11 September itu, selain berpendidikan tinggi dan bermotif politik dan ideologis kuat, semuanya adalah perantau. Mereka pernah bermukim lama di negeri orang. Teroris atau bukan, para perantau cenderung membawa misi politik. Seringkali mereka membuat sejarah ketika mereka berkelana, atau berkelana untuk membuat sejarah. Tan Malaka, misalnya, yang diangkat anak oleh seorang pejabat Belanda dan disekolahkan di Haarlem, terbuai oleh Marxisme pada 1920an, giat di Eropa, lalu keliling Asia. Dia adalah orang Indonesia pertama yang menguak bab sejarah untuk negeri lain: di Filipina dia memperkenalkan Marxisme. Ada pula yang membawa ide-ide chauvenis, otoriter dan semi-fasis, seperti Soepomo dan Ki Hajar Dewantara sekembali dari Belanda pada 1920an, atau Sarloth Sar (Pol Pot) dan Khieu Samphan, dua mahasiswa Kamboja yang sepulang dari Perancis menjadi arsitek negara-teror Khmer Merah pada 1970-an. Sementara di belahan dunia lain, Che Guevara mengembara dari tanah airnya, Bolivia, untuk berevolusi di Kuba dan Afrika. Perantauan, meski ragam, punya daya, ilham, tekad, dan dinamika tersendiri. Perjalanan diaspora (istilah ini aslinya bagi kaum Yahudi ketika tersebar di Eropa) adalah fenomena sui generis, masing-masing mengisyaratkan suatu momentum zaman. Tak bisa disamaratakan di segala ruang dan waktu. Kancah, pendeknya, bukan sekedar ajang geografis. Ketika sebuah cita-cita dilekatkan padanya, dia bermakna suatu cause. Usamah dan sejenisnya, dengan 'LSM' Yayasan Al-Qaida, seharusnya juga memiliki cause yang jelas. Ternyata, tidak. Usamah, alias Mister Bean versi teroris ini, mengaku berjuang untuk Islam -- mungkin, maksudnya demi kehidupan Arab yang Islami. Tetapi para pakar Timur Tengah menunjuk bahwa nama agama itu disandang oleh Usamah ke mana-mana, keluar masuk goa, bak menyandang jubah untuk menjadikannya magnit politik untuk menggalang ummat. Apa pun jubah itu, Usamah bermimpi mewujudkan cita-cita kuno yang telah di-jubah-kannya, tapi tak pernah memberi batasan apa dan di mana jubah itu ingin diwujudkannya.
Orang tak tahu dia berjuang untuk apa, siapa, dan negeri apa. Dia pun tak merasa perlu memberi acuan geografis atau negara mana pun. Boleh jadi, dia tak punya cause yang jelas. Dengan kata lain, perbedaan antara perantau Usamah dan sejenisnya di satu pihak, dan perantau-pejuang sejenis Tan Malaka di lain pihak, bukan sekedar siapa teroris dan siapa pejuang. Setiap protagonis tentu akan berkata kepada lawannya bahwa teroris-mu adalah pejuang-ku. Kita tahu, teror juga adalah sebuah sarana dari kekuasaan negara. Dan terbukti, kekerasan politik yang paling besar dan efektif, selalu bersumber dari lembaga negara (Holocaust-nya Hitler, Gulag-nya Stalin, Orde Baru-nya Suharto). Sekarang Amerika menteror rakyat Afganistan dengan bom, untuk memburu Usamah dan Al-Qaida. Kadang, teror negara berubah. Dia tak perlu selalu monopoli negara, tapi bisa menjadi simbiose, perkawinan kepentingan, dari sejumlah unsur kekuasaan negara dan sekelompok warga masyarakat. Contohnya, tentu saja, Usamah bin Ladin dan Al-Qaida-nya. Dia berubah jadi Islamis dan teroris global ketika dia bekerja-sama dan disponsori oleh dinas intelejen militer Pakistan I.S.I, rejim Taliban dan unsur-unsur Saudi dan dinas intelejen Amerika CIA pada 1980-an, lalu berbalik melawan Amerika dan Saudi pada saat Saudi menjadi pangkalan Amerika untuk menggempur Irak awal 1990-an. Usamah, seperti Tan Malaka, adalah seorang Muslim yang giat membangun jaringan politik global dimanapun dia berada. Bedanya, Usamah sejak berhenti mabuk, berubah jadi Islamis, lalu ketika pasukan Soviet terusir dari Afganistan pada 1989, Usamah menganggap perjuangan itu sebagai kemenangan "Islam" yang pertama terhadap "Barat", setelah "Islam" terus menerus kalah dan kalah selama berabad-abad. Sejak itu, baginya, kemenangan "Islam" harus diglobalkan tanpa pandang bulu sikon dan konteks. Jadi, cause-nya serampangan. Tan Malaka, pada jaman yang berbeda, menjadi pejuang global ketika menginsyafi kebangkitan bangsa-bangsa Asia di pentas dunia awal 1900an. Dia seorang Muslim yang tidak fanatik, seorang kosmopolit yang menguasai bahasa-bahasa Eropa, Cina dan Tagalog, seorang Marxis yang memahami sejarah dan masyarakat, tetapi, pertama-tama, dia adalah seorang pejuang anti-imperialis global, yang membangun jaringan politik di Eropa, Shanghai, Bangkok, Manila dan di Jawa. Cause-nya gamblang.
Jangankan dibanding dengan Tan Malaka, bahkan dengan Khomeiny pun, pola Usamah amat berbeda dan terbelakang. Khomeiny punya target yang spesifik (Iran), Usamah tidak. Ketika Ayatullah Ruhollah Khomeiny meninggalkan pengasingannya di Perancis pada 1979 dan kembali ke Iran, negerinya sudah bergelora revolusi Islam-Iran yang dipimpin oleh kaum Mullah dan kelas-kelas menengah, untuk melawan rezim Syah Pahlevi yang despotik. Khomeiny tidak menyulut api di rantau lantas otomatis terjadi kebakaran besar. Usamah memutar-balik logika itu seolah-olah dia --atau siapa pun-- bisa menyalakan revolusi di mana saja tanpa perlu suatu momentum revolusioner. Itulah sebabnya, Usamah dan gerakannya hanya akan membuat teror dan kerusuhan, tetapi tak akan mampu memotori suatu perlawanan rakyat. Walhasil, perbedaan yang paling bermakna -- bagi Usamah dan sejenisnya-- adalah kancah itu tak membutuhkan batasan dan acuan geografis, jangka waktu, program sosial, atau apapun. Cause-nya tak jelas. Baginya, jubah itu bisa diwujudkan di mana saja dan kapan saja. Artinya, konsepnya itu anti-historis dan anti-sosiologis. Dan metode untuk mencapainya --jaringan teror-- tak bersosok dan tak beridentitas. Usamah bukan seorang nasionalis. Dia melangkah lebih jauh lagi, dengan berpretensi universal dan membajak sebuah agama untuk menggelar suatu perjuangandemi perubahan besar, tanpa menetapkan tujuan, target sosial, dan batasan ruangnya. Dengan transformasi wacana ini, dan dengan menggebrak adidaya di kandang sendiri pada 11 September, para terorisnya Usamah menggedor sejarah, untuk menyampaikan pesan tentang sebuah cita-cita yang anti-historis. Mereka berangkat dari kategori berpikir bipolar yang sederhana : kami versus mereka, dan memakai metode jaringan teror tak bersosok (invisible). Sebagai pelaku politik diaspora, Usamah cum suis telah jauh melampaui Tan Malaka pada 1920-an dan para perantau nasionalis Sikh atau Irlandia pada 1980-an. Kaum diaspora, dengan ragam misinya, sejak mula sudah bermain global. Usamah cuma menambahnya dengan mengglobalkan teror. Sementara penguasa di Amerika Serikat memperluas daftar teroris yang resmi dicurigai. Dan di Eropa, yang kini berpenduduk migran Muslim sekitar 10 jutaan, organisasi organisasi kaum diaspora makin diamati. Ulah Usamah cum suis , jelas, dampaknya besar dan berbahaya bagi demokrasi dan pluralisme, tetapi juga bisa menjadi dalih bagi penguasa negara mana pun untuk menekan hak-hak sipil warganya. Lebih lanjut lihat Muhammad Ilham, "Terorisme dan Perantau", dalam Haluan tanggal 12 Februari 2005
Makalah ini adalah salah satu makalah yang dipresentasikan dalam diskusi dosen FIBA IAIN Padang tentang "Terorisme, Konspirasi Global dan Fenomena Sosiologis Radikalisme"