Jumat, 08 Mei 2009

ROMANTISME SEJARAH ISLAM (www.padang-today.com)

(Tulisan ini merupakan tulisan yang banyak dibaca dalam www. Padangtoday.com dari Januari-Maret 2009)

Oleh: Muhammad Ilham (Penulis adalah Dosen Fak. Ilmu Budaya-Adab IAIN Padang/Post Graduate UKM Malaysia)

Berkatalah Frintjof Capra (1986: 93-94) bahwa peradaban ummat manusia dipat planet bumi ini yang memiliki potensi berkuasa adalah peradaban ummat manusia yang menempatkan ilmu dengan berpusat kepada universitas dan institusi intelektual. Artinya, apabila perdaban ummat Islam ingin memegang peranan, mau tidak mau ummat Islam harus mampu menguasai ilmu pengetahuan. Peradaban ummat Islam pada masa dahulu pernah menjadi peradaban avant garde. Sumbu dan pusat sejarah terdepan ummat manusia pada masanya. Dan sejarah membuktikan, posisi terdepan peradaban ummat Islam tersebut muncul dengan gagah-berkualitas karena peradaban tersebut mampu menjadi wadah untuk bersemai dan berseminya bulir-bulir bernas intelektual, tanpa sekat, tanpa batas primordialisme maupun egoisme sektoral. Pada masa ini, sebagaimana yang pernah dikatakan oleh sang filosof Muhammad Iqbal dalam khudi-nya bahwa peradaban Islam betul-betul merupakan peradaban universal dan tidak hanya terpaku kepada latar belakang munculnya ilmu tersebut. Pada masa tradisi Cordoba dan tradisi Baghdad, ilmu tidak memiliki nasionalisme.

Sejak zaman Rasulullah SAW., peradaban Islam berkembang terus menerus sejalan dengan perkembangan pemikiran dan meluasnya wilayah teritorial kekuasaan politik ummat Islam. Salah satu letak keunikan peradaban Islam yang berpusat pada al-Qur’an tersebut adalah keberanian dan kedinamisannya untuk keluar dari “relung sunyi habitat sosial mereka” dan kemudian menyerbu untuk keluar dari keterbelakangan kebudayaan bangsa Arab yang hidup dan terisolir di “belantara” gurun-gurun pasir tandus-gersang dan kemudian mengambil apa yang yang dapat diambil dari peradaban-peradaban tua yang telah menyejarah dan berevolusi selama ribuan tahun.

Dari Persia dan Byzantium, diambil bermacam-macam gaya upacara dan estetika-seni. Dari India, matematik dan ilmu perbintangan. Dari negeri “para dewa” Yunani, diambil antara lain filsafat dan logika. Dalam khazanah intelektual Islam, unsur-unsur yang diperoleh dari peradaban lain tersebut tidak hanya ditiru an sich tetapi ada improvisasi, ada pengembangan dan kemudian diberi perspektif dan aura keIslaman. Perkembangan peradaban ummat Islam yang paling menarik antara abad ke-VII hingga XIII Masehi tersebut adalah bagaimana peradaban dan agama yang berasal dari bangsa Arab di gurun pasir yang miskin lagi terpencil itu, seolah-olah tahu sekali bahwa yang pertama sekali harus direbutnya adalah ilmu pengetahuan.

Pada saat ini sangat kentara sekali kegairahan para elit dan anggota-anggotanya mengumpulkan bermacam-macam ilmu pengetahuan, dari berbagai disiplin ilmu dari berbagai negara manapun juga. Banyak muslim pilihan pada masa ini yang melakukan perjalanan intelektual, keluar dari habitat teritorial mereka. Perjalanan intelektual tersebut melahirkan catatan-catatan ilmiah berdasarkan pengamatan empirik. Catatan-catatan ini kemudian disampaikan pada muslim lainnya. Buku-buku berkualitas diterjemahkan secara massif kedalam bahasa Arab. Perguruan tinggi dan institusi intelektual lainnya di pusat-pusat agama dan politik Islam seperti Cordoba Spanyol, Baghdad dan Cairo menjadi sentra pemikiran dan penyelidikan bergengsi dan bermartabat pada zamannya.

Dibelahan peradaban Islam Timur Tengah, ilmu pengetahuan berhasil berkembang pada masa Khalifah Al-Mansur, harun al-Rasyid dan al-Makmum. Pada masa al-Mansur amat berkembang ilmu bahasa dan kesusasteraan. Proyek penterjemahan dilakukan secara besar-besaran, terutama dari bahasa Pesia, India dan Yunani. Pada masa al-Mansur ini hidup Ibnu al-Muqaffa, pakar bahasa Arab dan Persia. Beliaulah yang menterjemahkan buku monumental Kalilah wa Deminah yang memuncak dalam cerita Seribu Satu Malam (1001 Malam). Ia juga menterjemahkan buku Shah Namah yang memuat cerita-cerita raja dan pahlawan-pahlawan Iran. Dibawah kepemimpinan al-Mansur yang liberal, faham rasionalisme muktazilah mendapat kesempatan untuk berkembang. Pada masa ini juga sarjana-sarjana Islam berkesempatan menyusun Hadits dan hukum Islam secara baik. Imam Abu Hanifah menyelesaikan sistem hukumnya pada masa kekuasaan al-Mansur, sedangkan Imam Maliki dan Syafei pada masa Harun al-Rasyid. Sedangkan dibawah al-Makmum dikenal adanya institusi yang menampung begitu banyak buku yang disebut dengan Baitul Hikmah. Di perpustakaan yang kaya dengan buku ini – konon koleksinya mendekati bahkan mungkin lebih 400.000 jilid buku – bekerja sarjana-sarjana dari berbagai ragam bangsa dan agama.

Sementara itu di Mesir, Dinasti Fathimiyah juga terdapat perpustakaan besar yang memuat lebih kurang 200.000 buku dan mayoritas tentang ilmu Yunani klasik, tata bahasa, lexikografi, hadits, sejarah, kimia dan biografi raja-raja. Dinasti ini memberikan otonomi khusus bagi Cairo untuk mendirikan Universitas Al-Azhar yang kesohor itu. Lebih penting lagi, Khalifah al-Hakim mendirikan sentra ahli-ahli hukum yang dinamakan Darul Hikmah. Kegemilangan yang sama juga terjadi di Spanyol. Emir Abdurrahman III dikenal sebagai penguasa Islam yang memiliki tingkat apresiasi tinggi terhadap ilmu pengetahuan disamping hobbinya pada musik. Beliau meletakkan iklim da tradisi kondunsif untuk penulisan dan penterjemahan buku-buku kedokteran, filsafat da mistisisme. Hal ini kemudian diteruskan oleh putera-puteranya yang menjadikan Cordoba menjadi sentral ilmu pengetahuan ungulan pada masanya. Pakar sejarah Timur Tengah Klasik, Philip K. Hitti mengatakan bahwa pada masa ini, sebahagian istana dikosongkan dan dijadikan tempat bekerja sehingga disana hanya ditemui juru penyalin dan juru penjilid. Luar biasa. Diperkirakan jumlah buku mencapai 400.000 buah buku. Universitas Cordoba menjadi universitas terkenal dan bermutu. Pendidikan tidak dikenakan pajak.

Cerita manis ini akhirnya berhenti hingga abad ke-XIII Masehi. Selanjutnya, apresiasi terhadap rasio mulai redup. Perdebatan serius antara al-Ghazali dan Ibnu Rusyd, antara Sunni dan Muktazilah, membuat kebebasan berfikir dan melakukan pengayaan ilmu pengetahuan mulai meredup seiring dengan kejatuhan kekuasaan Islam dan munculnya tradisi glamour pada penguasa yang tidak respek terhadap pengembagan intelektual. Bersama-sama dengan hilangnya semangat pemikiran dan penyelidikan ilmu yang menjadi ciri khas kebesaran dan kemajuan Islam selama enam abad masa-masa keemasannya, maka kegairahan untuk memajukan ilmu mulai berkurang dari posisi tawar golongan sarjana mulai menurun. Malahan dibeberapa tempat seperti Baghdad, perpusatakaannya habis dibakar, dirampas dan dimusnahkan oleh Tentara Tartar – ”Petarung jempolan buta huruf yang penuh dengan kutu dan mengerti betul pentingnya arti mandi apatah lagi arti buku”, demikian kata Goenawan Muhammad dalam salah satu Catatan Pinggir-nya. Tentara Tartar, demikian ratap Iqbal, telah melahirkan peristiwa tragis paling memiriskan dalam sejarah intelektual Islam.

Nasib perpustakaan Fathimiyah di Cairo adalah contoh terbaik perubahan mentalitas dalam kejatuhan peradaban Islam. Perampasan yang pertama terjadi pada waktu berjangkitnya kelaparan dan anarkhisme yang menghancurkan kerajaan Khalifah Musanjadid. Beribu buku-buku berharga tentang keindahan kaligrafi, ditinggalkan kepada Budak. Konon, kata sejarawan Thomas Marzuk (2000), para Budak tersebut membuka kulit-kulit buku itu untuk dijadikan sepatu. Banyak buku-buku yang dilemparkan ke Sungai Nil sebagaimana halnya buku-buku Dinasti Abbasiyah yang dibuang tentara Tartar ke Sungai Eufrat dan Tigris, sehingga warna sungai ”berubah hitam karena tinta”. Sebahagian buku diselamatkan. Dan akhirnya, tahun 1122, Darul Hikmah ditutup.

Nasib sarjana dan perpustakaan ditempat lain, tak jauh beda. Semangat ilmu tersebut universal dan tidak memiliki nasionalisme mulai hilang dan kemudian berganti dengan semangat ideologis-parsial. Ahli-ahli hukum mazhab Maliki, misalnya, sangat giat membakar naskah-naskah Yunani klasik kecuali naskah-naskah yang berhubungan dengan kedokteran dan aritmetika, kamus, tata bahasa, hukum da hadits. Disamping dibakar, banyak buku-buku berharga dari hasil penterjemahan dan pengayaan tradisi intelektual Yunani Klasik dan Pesia dijual dengan harga murah. Khazanah kaya tersebut akhirnya berpindah ke pusat-pusat yang lain yang berusaha menyamai Cordoba. Peradaban Islam pada masa ini diisi oleh iklim dengan mental yang berbeda dengan mental sebelumnya. Pada sisi lain, pada waktu itu Eropa sedang bergairah menterjemahkan buku-buku dari bahasa Arab. Perpustakaan dan lembaga-lembaga penyelidikan banyak bermunculan. Pusat penterjemahan dari bahasa Arab yang sangat terkenal dalam sejarah eropa pada abad ke-XIII Masehi terdapat di sebelah barat Eropa. Santa Maria di Rippol di kaki gunung Pirrenia menjadi catatan emas sejarah intelektual Eropa. Tempat ini dikenal sebagai tempat paling produktif dalam menterjemahkan berbagai buku dari bahasa Arab ke bahasa Latin. Di perpustakaan Vatikan di Roma, di Bibliothegue Nationalle di Paris dan di British Museum London terdapat sejumlah naskah terjemahan dari abad ke-XII Masehi. Penterjemah terkenal pada masa ini adalah Pedro Alfonso, seorang Kristen keturunan Yahudi dan Abraham van Hiyya al-Bargelouni serta Gerardo di-Cremona dari Toledo. Di Italia, penterjemahan berpusat di Sicilia dan Napoli – dua wilayah yang sebelumnya pernah berinteraksi dengan Islam secara politik – dengan tokohnya Michael Scott.

Kegelisahan berfikir dan penyelidikan yang menandai kemajuan peradaban Islam hingga abad ke-XIII Masehi, mulai berpindah ke Eropa-Kristen. Kedinamisan dunia Islam yang menyatukan spirit peradaban dari batas China hingga Atlantik segera diatasi oleh bangsa-bangsa Eropa. Marcopolo menjelajah Asia dari 1271 – 1295. Christopher Colombus menemukan benua Amerika tahun 1498. Vasco da Gama mengelilingi Afrika dan mendarat di kalikut tahun 1498 sebagai usaha orang Portugis untuk memerangi kerajaan-kerajaan Islam. Dari tahun 1519 – 1522, Magelheins mengelilingi dunia. Dan kemudian sejarah mencatat, denga penguasaan dan penjajahan bangsa Eropa atas dunia berjalan hingga abad kita. Dan kita tahu, bagaimana selanjutnya, Eropa kemudian berkembang sangat pesat dengan revolusi ilmu pengetahuan yang berpangkal dari revolusi industri pada abad ke-XIX Masehi.

Memperhatikan dan membandingkan sifat peradaban Islam di zaman keemasannya dengan peradaban modern dalam beberapa abad belakangan ini, tidak mengherankan banyak orang Islam yang berpendapat bahwa kemajuan dunia modern ini pada hakikatnya adalah kemajuan yang dikehendaki agama Islam seperti yang terjadi pada abad ke VII – XIII Masehi. Pada hakikatnya, orang Eropa-lah yang melanjutkan spirit Intelektual Islam. Mungkin ini terkesan bertendensi apologis dan romatisme sejarah. Tapi tidak salah bila kita bersikap dengan dua episode sejarah diatas. Peradaban Islam maju ketika tradisi intelektual berkembang tanpa memandang dari mana ilmu tersebut berasal. Demikian juga halnya ketika tradisi intelektual eropa yang menghilangkan ego-parsial mereka dan mereka mau berkata, ”walaupun ilmu tersebut berbahasa Arab, tapi tidak salah kita ambil dan kita bawa ke dunia kita”. Haruskah selanjutnya pada zaman kita saat sekarang ini, kita selalu mengedepankan bahwa ilmu dari ”out-group” kitatidak bagus dan tidak Islami? Kalau ini yang terus kita lakukan, ”nilai yang terus dipelihara”, historia not-repete – sejarah tidak akan berulang. Cerita manis masa lalu akan tetap dalam bungkusan apologia. Sebuah kompensasi atas inferioritas atau hanya sebatas romantisme sejarah. Wallau ’Alam.

Jumat, 01 Mei 2009

Dari Majalah TIMES : "SBY Diantara 100 Tokoh Berpengaruh"

Oleh : Muhammad Ilham

"SBY ....... 100 Tokoh Paling Berpengaruh Di Dunia Versi Majalah TIMES", setidaknya demikian headline beberapa media massa dalam dan luar negeri 2-3 hari terakhir ini. Menjelang Pilpres 2009 credit point Susilo Bambang Yudhoyono kembali bertambah. Kali ini dikarenakan beliau berhasil masuk ke jajaran 100 World’s Most Influential People atau 100 Tokoh yang Paling Berpengaruh di Dunia versi majalah Time. Menurut situs resmi majalah tersebut, Presiden Yudhoyono masuk dalam kategori "Pemimpin dan Tokoh Revolusioner". Majalah itu juga menampilkan pendapat mantan wakil perdana menteri yang kini memimpin kubu oposisi di Malaysia, Anwar Ibrahim, atas kiprah Yudhoyono. Menurut Anwar, sejak memenangi pemilu langsung pertama pada 2004, Yudhoyono telah berhasil membawa Indonesia mengatasi semua tantangan, termasuk krisis keuangan global yang saat ini melanda dunia, sekalipun berbagai masalah masih menghadang.

Ibrahim juga mengatakan bahwa saat ini adalah waktu yang tepat bagi Indonesia, sebagai negara berpenduduk Muslim terbanyak di dunia, untuk mengemban posisi yang menonjol di Asia dan di penjuru dunia Muslim. Untuk kategori "Pemimpin dan Tokoh Revolusioner", Time memilih 20 orang tokoh. Presiden Yudhoyono masuk dalam peringkat sembilan. Selain Yudhoyono, yang masuk dalam kategori "Pemimpin dan Tokoh Revolusioner" antara lain Edward Kennedy, Gordon Brown, Christine Lagarde, Thomas Dart, Avigdor Lieberman, Joaquin Guzman (yang ini "gembong Narkoba" level Pablo Escobar), Nouri al-Maliki, dan Hillary Clinton. Penghargaan Time 100 meliputi lima bidang, yaitu "Pemimpin dan Tokoh Revolusioner", "Ilmuwan dan Pemikir", "Artis dan Penghibur", "Pembangun dan Konglomerat", serta "Pahlawan dan Ikon". Edisi Time 100 beserta daftar finalnya diterbitkan pada 1 Mei 2009. Untuk kategori "Pembangun dan Konglomerat" antara lain The Twitter Guys, Ted Turner, Meredith Whitney, Bernie Madoff, dan Brad Pitt. Untuk kategori "Artis dan Penghibur" antara lain Rush Limbaugh, M.I.A, Sam and Dan Houser, Kate Winslet, Zac Efron, dan Tom Hanks. Untuk kategori "Pahlawan dan Ikon" antara lain adalah Michelle Obama, Hadizatou Mani, Oprah Winfrey, Rafael Nadal, dan George Clooney. Adapun untuk "Ilmuwan dan Pemikir" adalah Nouriel Roubini, Amory Levins, Jon Favreu, dan Yoichiro Nambu.

Secara pribadi, ada rasa bangga yang "menyeruak" dari diri saya. Terkadang menikmati rasa nasionalisme tersebut tidak harus melalui konflik dan peperangan, kata Muhammad Iqbal. Beberapa hari ini, apresiasi terhadap SBY justru bisa memberikan kebanggaan. Tulisan ini bukan bertendensi membela SBY, sebagaimana tanggapan beberapa elit politik Indonesia yang belakangan ini sedang "putus-sambung" pacaran politik. Pengakuan terhadap SBY bagi mereka justru "grand design" jelang Pilpres untuk menaikkan ratingnya (mungkin mereka menganggap majalah TIMES adalah institusi yang murahan). Namun bagi saya, ini menjadi sebuah takdir untuk SBY. Ia pantas untuk menerima penghargaan itu. Lihatlah, komentar di facebook, dari orang-orang Indonesia yang lama bermukim di Luar Negeri ..... mayoritas mereka menganggap penghargaan tersebut sudah sepantasnya dan karena itu, mereka justru merasa menjadi bagian dari Indonesia -- dengan penuh bangga.

Saya punya pengalaman menarik, ketika "berkontemplasi akademik" di Malaysia. Tahun 2002 awal, saya berangkat ke negeri "skandal Manohara" ini untuk survey ke UKM Malaysia. Berangkat dari Dumai menuju Malaka. Waktu di Malaka, saya bersama-sama dengan "para sahabat-sahabat TKI", berbaris-antri, paspor satu per satu "di-Cop (maksudnya : distempel). Tidak semuanya lancar-mulus. Ada satu dua TKI yang bermasalah dokumen keimigrasiannya. Bagi saya, pemandangan bagaimana kaki tangan (maksudnya pegawai) jabatan kastam dan imigresen Malaysia menyelesaikan permasalahan tersebut, menjadi pelajaran yang cukup mengasyikkan. Sistem administrasi IT mereka, pantas untuk diancungi jempol -- kontras luar biasa dari bagaimana para pegawai imigrasi Indonesia menangani permasalahan dokumen keimigrasian sewaktu di Dumai (setidaknya ini yang saya tangkap secara subjektif). Sambil menyelesaikan dan berdiskusi dengan TKI yang bermasalah itu, sering saya dengar celetukan dari kaki tangan kastam diraja Malaysia, "dah saye cakap bulan lepas, awak tak boleh masuk ke Malaysia tanpa revision balik paspor awak, sekarang tak boleh masuk.... tak lihat ke, ada notis tak boleh masuk, masuk juga..... tak lihat ha, sama awak ni dengan Presiden awak". Dalam hati saya, ada sedikit rasa kesal, tapi juga ketawa, rupanya Gus Dur yang tidak bisa melihat, telah menjadi bahan cemoohan, setidaknya ini yang saya rasakan ketika itu. Kemudian tahun 2004, saya mulai mendaftar. Gus Dur sudah digantikan oleh Megawati. Saya ingin menyaksikan kembali suasana pelabuhan Malaka, sebagaimana yang saya rasakan tahun 2002. Ketika sampai di Malaka, suasana memang agak berubah terhadap TKI, tak ada ungkapan "awak buta" lagi. Tapi, rasa superior mereka terlihat. Pandangan subjektif saya menangkap pesan bahwa mereka baru saja menyelesaikan perang --- "Sipadan-Ligitan mereka rebut". Setelah sekian waktu saya berada di Malaysia, saya berinteraksi dengan beberapa orang Melayu yang memiliki respek-objektif terhadap Indonesia. Rata-rata mereka berkata, "Orang Indonesia pintar-pintar, punya Habibie yang sangat kami hormati, punya Yusril, punya Amien Rais, tapi mengapa wanita yang memimpin kalian ?".

Tahun 2005, saya bolak-balik ke Malaysia. Image terhadap Indonesia terasa jauh berubah. Media massa Malaysia "kagum" terhadap seorang Jenderal, dan biasanya mereka menyebut Jenderal Bambang (kebetulan waktu itu, ada dua Bambang yang terkenal di Malaysia, yang satu Jenderal Bambang Yudhoyono, satu lagi Bambang Pamungkas yang bermain di Klub Selangor FC). Masyarakat Malaysia bahkan merindukan pemimpin mereka seperti Bambang yang jenderal, gagah, pintar, santun, bicara teratur (untuk yang satu ini, ada media massa di Malaysia yang menulis, bila Jenderal Bambang bicara dalam Bahasa Inggris waktu diwawancarai, hasil wawancaranya tak perlu di edit lagi). Saya melihat, kondisi masyarakat Malaysia memandang SBY kala itu, ketika kita memandang Mahathir Mohammad kala ia memimpin Malaysia. Ketika kasus Ambalat sedang memanas, media massa terkesan tidak tertarik (ada yang bilang, pemerintah Malaysia agak takut berhadapan dengan Presiden yang Jenderal). Bahkan masa pemutihan TKI sampai diundur-undur hingga 3 kali, sesuatu yang tidak dilakukan oleh Pak Lah (Abdullah Ahmad Badawi) ketika Gus Dur dan Megawati jadi Presiden.

Hingga hari ini, saya masih sering menerima E-Mail dari beberapa teman-teman satu kuliah kemaren, baik dari Brunei, Malaysia maupun Pattani Thailand. Terakhir kemaren rata-rata mereka mengatakan, "Anda memiliki Presiden yang mampu memberikan kenyamanan, memberikan keteladanan berdemokrasi dan seorang pemimpin yang Islami, walaupun bukan dari Partai Islam". Sumpah ...... pemilu Presiden 2004 yang lalu, saya tidak memilih SBY, karena memang saya menganut paradigma bahwa militer sulit mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi. Pemilu 2009 nanti ? Saya mungkin harus membalas budi karena beliau telah memberikan pada saya, rasa nasionalisme dalam "bentuk lain". Saya harus merevisi kembali, bahwa paradigma yang terbangun jelang pemilu 2004 dulu, ternyata salah -- setidaknya untuk kasus SBY.