Oleh : Muhammad Ilham
"SBY ....... 100 Tokoh Paling Berpengaruh Di Dunia Versi Majalah TIMES", setidaknya demikian headline beberapa media massa dalam dan luar negeri 2-3 hari terakhir ini. Menjelang Pilpres 2009 credit point Susilo Bambang Yudhoyono kembali bertambah. Kali ini dikarenakan beliau berhasil masuk ke jajaran 100 World’s Most Influential People atau 100 Tokoh yang Paling Berpengaruh di Dunia versi majalah Time. Menurut situs resmi majalah tersebut, Presiden Yudhoyono masuk dalam kategori "Pemimpin dan Tokoh Revolusioner". Majalah itu juga menampilkan pendapat mantan wakil perdana menteri yang kini memimpin kubu oposisi di Malaysia, Anwar Ibrahim, atas kiprah Yudhoyono. Menurut Anwar, sejak memenangi pemilu langsung pertama pada 2004, Yudhoyono telah berhasil membawa Indonesia mengatasi semua tantangan, termasuk krisis keuangan global yang saat ini melanda dunia, sekalipun berbagai masalah masih menghadang.
Ibrahim juga mengatakan bahwa saat ini adalah waktu yang tepat bagi Indonesia, sebagai negara berpenduduk Muslim terbanyak di dunia, untuk mengemban posisi yang menonjol di Asia dan di penjuru dunia Muslim. Untuk kategori "Pemimpin dan Tokoh Revolusioner", Time memilih 20 orang tokoh. Presiden Yudhoyono masuk dalam peringkat sembilan. Selain Yudhoyono, yang masuk dalam kategori "Pemimpin dan Tokoh Revolusioner" antara lain Edward Kennedy, Gordon Brown, Christine Lagarde, Thomas Dart, Avigdor Lieberman, Joaquin Guzman (yang ini "gembong Narkoba" level Pablo Escobar), Nouri al-Maliki, dan Hillary Clinton. Penghargaan Time 100 meliputi lima bidang, yaitu "Pemimpin dan Tokoh Revolusioner", "Ilmuwan dan Pemikir", "Artis dan Penghibur", "Pembangun dan Konglomerat", serta "Pahlawan dan Ikon". Edisi Time 100 beserta daftar finalnya diterbitkan pada 1 Mei 2009. Untuk kategori "Pembangun dan Konglomerat" antara lain The Twitter Guys, Ted Turner, Meredith Whitney, Bernie Madoff, dan Brad Pitt. Untuk kategori "Artis dan Penghibur" antara lain Rush Limbaugh, M.I.A, Sam and Dan Houser, Kate Winslet, Zac Efron, dan Tom Hanks. Untuk kategori "Pahlawan dan Ikon" antara lain adalah Michelle Obama, Hadizatou Mani, Oprah Winfrey, Rafael Nadal, dan George Clooney. Adapun untuk "Ilmuwan dan Pemikir" adalah Nouriel Roubini, Amory Levins, Jon Favreu, dan Yoichiro Nambu.
Secara pribadi, ada rasa bangga yang "menyeruak" dari diri saya. Terkadang menikmati rasa nasionalisme tersebut tidak harus melalui konflik dan peperangan, kata Muhammad Iqbal. Beberapa hari ini, apresiasi terhadap SBY justru bisa memberikan kebanggaan. Tulisan ini bukan bertendensi membela SBY, sebagaimana tanggapan beberapa elit politik Indonesia yang belakangan ini sedang "putus-sambung" pacaran politik. Pengakuan terhadap SBY bagi mereka justru "grand design" jelang Pilpres untuk menaikkan ratingnya (mungkin mereka menganggap majalah TIMES adalah institusi yang murahan). Namun bagi saya, ini menjadi sebuah takdir untuk SBY. Ia pantas untuk menerima penghargaan itu. Lihatlah, komentar di facebook, dari orang-orang Indonesia yang lama bermukim di Luar Negeri ..... mayoritas mereka menganggap penghargaan tersebut sudah sepantasnya dan karena itu, mereka justru merasa menjadi bagian dari Indonesia -- dengan penuh bangga.
Saya punya pengalaman menarik, ketika "berkontemplasi akademik" di Malaysia. Tahun 2002 awal, saya berangkat ke negeri "skandal Manohara" ini untuk survey ke UKM Malaysia. Berangkat dari Dumai menuju Malaka. Waktu di Malaka, saya bersama-sama dengan "para sahabat-sahabat TKI", berbaris-antri, paspor satu per satu "di-Cop (maksudnya : distempel). Tidak semuanya lancar-mulus. Ada satu dua TKI yang bermasalah dokumen keimigrasiannya. Bagi saya, pemandangan bagaimana kaki tangan (maksudnya pegawai) jabatan kastam dan imigresen Malaysia menyelesaikan permasalahan tersebut, menjadi pelajaran yang cukup mengasyikkan. Sistem administrasi IT mereka, pantas untuk diancungi jempol -- kontras luar biasa dari bagaimana para pegawai imigrasi Indonesia menangani permasalahan dokumen keimigrasian sewaktu di Dumai (setidaknya ini yang saya tangkap secara subjektif). Sambil menyelesaikan dan berdiskusi dengan TKI yang bermasalah itu, sering saya dengar celetukan dari kaki tangan kastam diraja Malaysia, "dah saye cakap bulan lepas, awak tak boleh masuk ke Malaysia tanpa revision balik paspor awak, sekarang tak boleh masuk.... tak lihat ke, ada notis tak boleh masuk, masuk juga..... tak lihat ha, sama awak ni dengan Presiden awak". Dalam hati saya, ada sedikit rasa kesal, tapi juga ketawa, rupanya Gus Dur yang tidak bisa melihat, telah menjadi bahan cemoohan, setidaknya ini yang saya rasakan ketika itu. Kemudian tahun 2004, saya mulai mendaftar. Gus Dur sudah digantikan oleh Megawati. Saya ingin menyaksikan kembali suasana pelabuhan Malaka, sebagaimana yang saya rasakan tahun 2002. Ketika sampai di Malaka, suasana memang agak berubah terhadap TKI, tak ada ungkapan "awak buta" lagi. Tapi, rasa superior mereka terlihat. Pandangan subjektif saya menangkap pesan bahwa mereka baru saja menyelesaikan perang --- "Sipadan-Ligitan mereka rebut". Setelah sekian waktu saya berada di Malaysia, saya berinteraksi dengan beberapa orang Melayu yang memiliki respek-objektif terhadap Indonesia. Rata-rata mereka berkata, "Orang Indonesia pintar-pintar, punya Habibie yang sangat kami hormati, punya Yusril, punya Amien Rais, tapi mengapa wanita yang memimpin kalian ?".
Tahun 2005, saya bolak-balik ke Malaysia. Image terhadap Indonesia terasa jauh berubah. Media massa Malaysia "kagum" terhadap seorang Jenderal, dan biasanya mereka menyebut Jenderal Bambang (kebetulan waktu itu, ada dua Bambang yang terkenal di Malaysia, yang satu Jenderal Bambang Yudhoyono, satu lagi Bambang Pamungkas yang bermain di Klub Selangor FC). Masyarakat Malaysia bahkan merindukan pemimpin mereka seperti Bambang yang jenderal, gagah, pintar, santun, bicara teratur (untuk yang satu ini, ada media massa di Malaysia yang menulis, bila Jenderal Bambang bicara dalam Bahasa Inggris waktu diwawancarai, hasil wawancaranya tak perlu di edit lagi). Saya melihat, kondisi masyarakat Malaysia memandang SBY kala itu, ketika kita memandang Mahathir Mohammad kala ia memimpin Malaysia. Ketika kasus Ambalat sedang memanas, media massa terkesan tidak tertarik (ada yang bilang, pemerintah Malaysia agak takut berhadapan dengan Presiden yang Jenderal). Bahkan masa pemutihan TKI sampai diundur-undur hingga 3 kali, sesuatu yang tidak dilakukan oleh Pak Lah (Abdullah Ahmad Badawi) ketika Gus Dur dan Megawati jadi Presiden.
Hingga hari ini, saya masih sering menerima E-Mail dari beberapa teman-teman satu kuliah kemaren, baik dari Brunei, Malaysia maupun Pattani Thailand. Terakhir kemaren rata-rata mereka mengatakan, "Anda memiliki Presiden yang mampu memberikan kenyamanan, memberikan keteladanan berdemokrasi dan seorang pemimpin yang Islami, walaupun bukan dari Partai Islam". Sumpah ...... pemilu Presiden 2004 yang lalu, saya tidak memilih SBY, karena memang saya menganut paradigma bahwa militer sulit mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi. Pemilu 2009 nanti ? Saya mungkin harus membalas budi karena beliau telah memberikan pada saya, rasa nasionalisme dalam "bentuk lain". Saya harus merevisi kembali, bahwa paradigma yang terbangun jelang pemilu 2004 dulu, ternyata salah -- setidaknya untuk kasus SBY.