(Foto Ibu dari Anak-Anakku (Imla W. Ilham) di Sydney dan Singapore
Jumat, 30 Januari 2009
Kamis, 29 Januari 2009
The End of History Science
Oleh : Muhammad Ilham
Kebenaran sejarah merupakan tema penting sejak RG Collingwood, bapak ilmu sejarah modern, di awal abad 20 memperkenalkan pola penulisan sejarah yang telah diteorikan dan dimetodologikan sehingga penulisan atas suatu peristiwa di masa lalu bisa diharapkan lebih mendekati kebenaran dengan menjaga prinsip-prinsip obyektif yang dimiliki. Filsafat dan metode ilmu sejarah yang diajarkan di beberapa perguruan tinggi yang memiliki jurusan sejarah di Indonesia merupakan turunan dari progresivitas ilmu pengetahuan sejak Zaman Pencerahan di Eropa Barat. Di sinilah soalnya: sejak para filsuf pascastrukturalis dan pascamodernis memperkenalkan teori pascastrukturalisme dan pascamodernisme sebagai kontemplasi mereka terhadap relasi ilmu pengetahuan dan kekuasaan setelah demonstrasi mahasiswa yang terkenal di Paris akhir 1960-an gagal, (ilmu) sejarah dilihat telah mati.
Kritik terpenting pascastrukturalisme dan pascamodernisme adalah menyangkut historisisme. Baik pascastrukturalisme maupun pascamodernisme menolak paham yang mengatakan sejarah memiliki pola umum, bahwa masyarakat berkembang ke arah lebih baik dari zaman ke zaman. Sejarah konvensional memasukkan peristiwa-peristiwa berdasarkan pembabaran besar dalam suatu proses yang linier. Sejarah sebagai suatu narasi besar diperlihatkan melalui peristiwa dan tokoh besar dengan mendokumentasikan asal-usul kejadian, menganalisis genealogi, lalu membangun dan mempertahankan singularitas peristiwa, memilih peristiwa yang dianggap spektakuler (seperti perang), serta mengabaikan peristiwa yang bersifat lokal dan tanpa kekerasan (kehidupan di pedesaan, misalnya). Cara menulis, memahami, dan memberi makna peristiwa masa lalu seperti ini dinilai sudah usang. Pemikir pascastrukturalis Jean-Francois Lyotard dalam The Sign of History (1989: 393ff) secara sinis menyebutkan teori-teori besar sejarah modern yang dibangun sejak Marx dan Engels dengan materialisme-historisnya, juga para penganut teori demokrasi liberal beserta teori ekonomi pasca-Keynesian, telah runtuh. Ia menggunakan Peristiwa Auschwitz 1945, Peristiwa Budapest 1956, protes mahasiswa 1968, dan krisis ekonomi dunia 1974 sebagai titik pijak gugatannya. Dari sinisme Lyotard bisa dimaknai bahwa setiap momen atau peristiwa di muka bumi ini tak lagi bisa dilihat dari perspektif deterministik historisnya pendekatan Marxian semata. Menurut Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe dalam Hegemony and Socialist Strategy: Towards A Radical Democratic Politics (2001: 105ff), analisis kelas tak mungkin lagi digunakan untuk mengonstruksi (baca: memahami) setiap momen atau peristiwa sejarah. Kedua teoritikus politik pasca-Marxisme ini memperkenalkan analisis wacana sehingga setiap momen atau peristiwa dipahami secara esensial, tak lagi historis terus-menerus.
Laclau dan Mouffe mencontohkan bahwa pada suatu peristiwa sosial-politik, dalam diri seorang individu melekat beberapa identitas sekaligus. Seorang buruh di dalam dirinya melekat beberapa identitas sekaligus: seorang Batak (etnisitas atau ras), seorang Kristen (agama/kepercayaan), atau seorang perempuan (gender). Buruh itu, karena beberapa identitas yang melekat, bisa saja terlibat pada berbagai kegiatan sosial-politik berdasarkan keragaman identitas tadi. Tak sesederhana analisis kelas, antagonisme terjadi karena identitas kelas sosial yang melekat dalam diri aktor-aktor atau subyek dalam masyarakat. Jauh sebelum kemunculan pascamodernisme, pada dasawarsa 1920-an dan 1930-an sekelompok sejarawan Perancis seperti Marc Bloch, Lucien Febvre, yang diteruskan oleh Labrouse, Simiand, dan yang paling fenomenal Fernand Braudel melahirkan mazhab baru Braudellian di dalam ilmu sejarah, yang meninggalkan paradigma lama sejarah konvensional. Dikenal sebagai French School of les Annales, para sejarawan ini memperkenalkan pendekatan histoire totale: melihat sejarah dari perspektif pemikiran dan perbuatan rakyat kebanyakan secara menyeluruh.
Para sejarawan Perancis ini ingin menampilkan nilai kebenaran sejarah melalui ketelitian metode berdasarkan empirisisme dan logika. Oleh sebab itu, fokus mereka tak lagi narasi organisasi kekuasaan, otoritas politik, dan relasi ekonomi sebagai sejarah makro, tetapi kepada serpihan-serpihan peristiwa sejarah sosial sebagai suatu sejarah mikro. Bisa dikatakan les Annales memberi kontribusi kepada perspektif baru ilmu sejarah dan merupakan sumber penggalian ide pemikiran pascamodernis pada dasawarsa 1960-an di Eropa maupun Amerika Serikat. Sinisme Lyotard dan kritik Laclau serta Mouffe ini mewakili keyakinan para pemikir pascastrukturalis dan pascamodernis, yang akar pemikirannya diilhami para sejarawan les Annales. Kritik para pemikir pascastrukturalis dan pascamodernis terhadap historisisme antara lain :
Pertama, mereka menolak pandangan Hegelian tentang sejarah sebagai proses kemajuan. Para filsuf ini menganggap semua ideologi yang meramalkan titik akhir sejarah sebagai teori berbahaya dan keliru. Kedua, mereka kritis terhadap konsep penalaran, teori, dan sejarah sebagai suatu pola yang disistematikakan. Mereka menolak gagasan bahwa formasi sosial merupakan totalitas yang dapat dianalisis. Ketiga, mereka sangat kritis kepada kecenderungan konformitas pada konsep maupun teori-teori ilmu sejarah yang tradisional dan konvensional. Keempat, para filsuf ini menolak historiografi yang dibangun atas dasar narasi-narasi besar yang ditulis sejarawan universal seperti revolusi dan pergantian rezim. Sebaliknya, mereka terobsesi kepada historiografi yang dibangun atas dasar narasi-narasi kecil yang ditulis sejarawan spesifik yang bekerja di wilayah keahlian khusus dan lokal dengan pendefinisian yang jelas. Sejarawan pascamodernis memfokuskan kajiannya di tingkat mikro dengan lokalitas dan spesifikasi tema yang khas seperti sejarah rokok, sejarah kota, sejarah tari, dan sejenisnya. Kritik historisisme yang diajukan pascastrukturalisme dan pascamodernisme telah menggoyahkan sendi-sendi filosofi, metode, konsep, teori, dan asumsi yang selama ini dikenal di dalam penulisan sejarah sebagai cabang ilmu sosial. M Foucault dalam Power/Knowledge: Selected Interview and Other Writings 1972-1977 (1980: 62-65) juga menolak peneorian global penulisan sejarah dan menyebut historiografi sebagai wacana budaya dan sejarah yang pendakuan kebenaran dan nilai-nilainya hanya merupakan episode pendek dari sejarah pemikiran modern. Menurut Foucault, para sejarawan yang membawa nilai-nilai intelektual universal dengan narasi besarnya telah ketinggalan zaman. Di masa sekarang kaum intelektual cenderung bekerja di sektor spesifik, seperti museum, rumah sakit, laboratorium, universitas, perpustakaan sehingga mereka disebut sebagai kaum intelektual spesifik. Mereka tak merumuskan teori sistematika global yang merangkum semuanya seperti yang diyakini para sejarawan mazhab Decartesian atau konvensional melainkan menganalisis hal-hal yang lebih spesifik dan lokal.
Dengan menggunakan pendekatan genealoginya Nietzsche, ilmu sejarah dituding telah memberlakukan tindakan yang tiranik melalui wacana yang ditotalisasikan dan disistematikakan secara universal dengan menundukkan, memeriferikan, serta memfragmentasikan sumber- sumber pengetahuan yang spesifik di bawah kekuasaan teori- teori besar. Para pemikir pascastrukturalis dan pascamodernis memiliki pandangan yang berbeda di seputar (pendakuan) kebenaran dan obyektivitas sejarah. Roland Barthes dalam The Rustle of Language (1986: 138-139) dengan meminjam teori bahasa Ferdinand de Saussure tentang relasi antara kata (signifiers) dengan tanda/makna/konsep (signified) sampai kepada kesimpulan bahwa sejarawan umumnya kurang menyadari deskripsi mereka tentang masa lalu sesungguhnya hanya mewakili atau merupakan sejumlah konsep tentang masa lalu, dan bukan dunia masa lalu itu sendiri. Sejarawan tidak menjumpai atau menemukan kebenaran dari peristiwa di masa lalu, hanya merekonstruksi peristiwa dari suatu arus kehidupan yang terbatas dan menemukan arti atau makna yang dihasilkan secara terpola ke dalam arus tersebut, tulis H Kellner dalam Language and Historical Representation: Getting the Story Crooked (1989: 24). Sejarah adalah cabang ilmu sosial yang unik dan spesifik dan dalam penulisannya: sesahih apa pun metodologi yang dimiliki, ia tetap sangat bergantung pada teks, literatur, produksi bahasa yang dihasilkan sebagai bahan penulisan sejarah, baik sumber primer maupun sumber sekunder. Di sinilah esensi kritik historisisme yang dibangun kaum pascastrukturalis dan pascamodernis karena pascastrukturalisme dan pascamodernisme merupakan aliran yang meredefinisi konsep tentang teks dan bahasa dalam kaitannya dengan kekuasaan dan ilmu pengetahuan.
Sebelum aliran pemikiran pascastrukturalis dan pascamodernis dikenal, sejarah mazhab Descartesian atau sejarah konvensional menempatkan teks dan bahasa yang muncul di berbagai dokumen, risalah, catatan harian, jurnal, dan seterusnya sebagai data atau bahan mentah penulisan sejarah. Setelah melalui sejumlah penahapan metodologis, validitas data itu akan diverifikasi untuk menjadi fakta sebagai data yang memiliki nilai historisitas paling mendekati kebenarannya. Para sejarawan konvensional menguji nilai historisitas dari data tersebut melalui proses kritik eksternal maupun kritik internal. Setelah proses pengujian data selesai, barulah sejarawan memasuki tahap berikut: merekonstruksi peristiwa berdasarkan semua data yang telah teruji validitasnya. Sejarawan mazhab Descartesian melihat kemungkinan bias yang terjadi di setiap penulisan sejarah (sebagai manifestasi interpretasi mereka pada peristiwa di masa lalu) pada prasangka dan relativisme budaya, maupun kepentingan personal (termasuk ideologi) yang dianut, sehingga memengaruhi upaya pencarian kebenaran atas peristiwa di masa lalu. Sejarawan aliran pascastrukturalisme dan pascamodernisme melangkah jauh dengan mencoba mendekonstruksi aliran pemikiran sejarah konvensional setelah teks maupun bahasa diberi makna secara kritis. Membaca teks secara kritis merupakan permulaan penemuan kebenaran sejarah.
Jacques Derrida, pemikir kontemporer pascastrukturalis, adalah salah seorang yang menaruh perhatian pada peran dan fungsi bahasa. Ia memperkenalkan metode membaca teks. Dalam Speech and Phenomena, and Other Essays on Husserlss Theory of Signs (1973) serta Writing and Difference (1978), Derrida membongkar pendekatan tradisional, seperti yang dipahami sejarawan konvensional, bahwa teks merupakan pembawa makna yang stabil dan setiap peneliti mencari kebenaran (ilmu pengetahuan) melalui teks. Dekonstruksi memisahkan konsep tradisional penulis dan karyanya. Dekonstruksi tidak mengistimewakan penulis, mengubah sejarah dan tradisi menjadi intertekstualitas, dan meninggikan pembaca. Dekonstruksi merupakan aktivitas pembacaan di mana teks harus dibaca dengan cara sama sekali baru. Menurut Derrida, teks dapat menyembunyikan kekurangan, kelemahan, dan kebohongan penulis serta mengandung sejumlah ketakkonsistenan konsep bahkan kontradiksi ciptaan penulis yang menjadi landasan teks, sehingga muncul sulawan (paradoks) dalam menggunakan konsepnya di dalam teks secara keseluruhan. Tak seorang pun dapat membuat sarana (tanda) dan tujuan (makna) menjadi identik. Bahasa merupakan proses temporal.
Kritik historisisme aliran pascastrukturalisme dan pascamodernisme telah memberikan penafsiran baru kepada sudut pandang sejarawan dalam membaca, memahami, dan memaknai teks sebagai sumber penulisan sejarah Peristiwa 1965. Pembedanya adalah kepentingan personal dan bias ideologi setiap sejarawan. Sejarawan yang pro-Orde Baru akan menyusun sejumlah teori, asumsi, dan hipotesis yang mendukung rangkaian kejadian sejak sebelum malam 30 September 1965, dan puncaknya memberi pembenaran terhadap genosida pada tahun-tahun berikutnya di berbagai tempat di Indonesia, seperti Jawa Tengah dan Bali. Sebaliknya, sejarawan yang kritis berantitesis kepada sejarah mainstream tersebut dan berkesimpulan untuk tak membenarkan, bahkan menolak, genosida setelah Peristiwa 1965 yang dianggap sebagai bentuk pelanggaran HAM berat. Studi kekerasan kontemporer seperti yang ditulis Ronnie S Landau (Studying the Holocaust: Issues, Readings and Documents, 1998) maupun Haim Bresheeth, Stuart Hood, dan Litza Janz (Holocaust for Beginners, 1994) mengategorikan genosida setelah Peristiwa 1965 sebagai genosida ideologis. Secara definitif Landau mengartikan genosida ideologis sebagai tindakan untuk menghancurkan kelompok politik tertentu untuk mencapai keseragaman doktrin politik maupun ideologi di suatu negara. Menurut Konvensi Genosida PBB tahun 1948, pelanggaran HAM berat berakibat secara langsung dan tak langsung bagi hilangnya nyawa manusia dalam wujud genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kritik terpenting pascastrukturalisme dan pascamodernisme adalah menyangkut historisisme. Baik pascastrukturalisme maupun pascamodernisme menolak paham yang mengatakan sejarah memiliki pola umum, bahwa masyarakat berkembang ke arah lebih baik dari zaman ke zaman. Sejarah konvensional memasukkan peristiwa-peristiwa berdasarkan pembabaran besar dalam suatu proses yang linier. Sejarah sebagai suatu narasi besar diperlihatkan melalui peristiwa dan tokoh besar dengan mendokumentasikan asal-usul kejadian, menganalisis genealogi, lalu membangun dan mempertahankan singularitas peristiwa, memilih peristiwa yang dianggap spektakuler (seperti perang), serta mengabaikan peristiwa yang bersifat lokal dan tanpa kekerasan (kehidupan di pedesaan, misalnya). Cara menulis, memahami, dan memberi makna peristiwa masa lalu seperti ini dinilai sudah usang. Pemikir pascastrukturalis Jean-Francois Lyotard dalam The Sign of History (1989: 393ff) secara sinis menyebutkan teori-teori besar sejarah modern yang dibangun sejak Marx dan Engels dengan materialisme-historisnya, juga para penganut teori demokrasi liberal beserta teori ekonomi pasca-Keynesian, telah runtuh. Ia menggunakan Peristiwa Auschwitz 1945, Peristiwa Budapest 1956, protes mahasiswa 1968, dan krisis ekonomi dunia 1974 sebagai titik pijak gugatannya. Dari sinisme Lyotard bisa dimaknai bahwa setiap momen atau peristiwa di muka bumi ini tak lagi bisa dilihat dari perspektif deterministik historisnya pendekatan Marxian semata. Menurut Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe dalam Hegemony and Socialist Strategy: Towards A Radical Democratic Politics (2001: 105ff), analisis kelas tak mungkin lagi digunakan untuk mengonstruksi (baca: memahami) setiap momen atau peristiwa sejarah. Kedua teoritikus politik pasca-Marxisme ini memperkenalkan analisis wacana sehingga setiap momen atau peristiwa dipahami secara esensial, tak lagi historis terus-menerus.
Laclau dan Mouffe mencontohkan bahwa pada suatu peristiwa sosial-politik, dalam diri seorang individu melekat beberapa identitas sekaligus. Seorang buruh di dalam dirinya melekat beberapa identitas sekaligus: seorang Batak (etnisitas atau ras), seorang Kristen (agama/kepercayaan), atau seorang perempuan (gender). Buruh itu, karena beberapa identitas yang melekat, bisa saja terlibat pada berbagai kegiatan sosial-politik berdasarkan keragaman identitas tadi. Tak sesederhana analisis kelas, antagonisme terjadi karena identitas kelas sosial yang melekat dalam diri aktor-aktor atau subyek dalam masyarakat. Jauh sebelum kemunculan pascamodernisme, pada dasawarsa 1920-an dan 1930-an sekelompok sejarawan Perancis seperti Marc Bloch, Lucien Febvre, yang diteruskan oleh Labrouse, Simiand, dan yang paling fenomenal Fernand Braudel melahirkan mazhab baru Braudellian di dalam ilmu sejarah, yang meninggalkan paradigma lama sejarah konvensional. Dikenal sebagai French School of les Annales, para sejarawan ini memperkenalkan pendekatan histoire totale: melihat sejarah dari perspektif pemikiran dan perbuatan rakyat kebanyakan secara menyeluruh.
Para sejarawan Perancis ini ingin menampilkan nilai kebenaran sejarah melalui ketelitian metode berdasarkan empirisisme dan logika. Oleh sebab itu, fokus mereka tak lagi narasi organisasi kekuasaan, otoritas politik, dan relasi ekonomi sebagai sejarah makro, tetapi kepada serpihan-serpihan peristiwa sejarah sosial sebagai suatu sejarah mikro. Bisa dikatakan les Annales memberi kontribusi kepada perspektif baru ilmu sejarah dan merupakan sumber penggalian ide pemikiran pascamodernis pada dasawarsa 1960-an di Eropa maupun Amerika Serikat. Sinisme Lyotard dan kritik Laclau serta Mouffe ini mewakili keyakinan para pemikir pascastrukturalis dan pascamodernis, yang akar pemikirannya diilhami para sejarawan les Annales. Kritik para pemikir pascastrukturalis dan pascamodernis terhadap historisisme antara lain :
Pertama, mereka menolak pandangan Hegelian tentang sejarah sebagai proses kemajuan. Para filsuf ini menganggap semua ideologi yang meramalkan titik akhir sejarah sebagai teori berbahaya dan keliru. Kedua, mereka kritis terhadap konsep penalaran, teori, dan sejarah sebagai suatu pola yang disistematikakan. Mereka menolak gagasan bahwa formasi sosial merupakan totalitas yang dapat dianalisis. Ketiga, mereka sangat kritis kepada kecenderungan konformitas pada konsep maupun teori-teori ilmu sejarah yang tradisional dan konvensional. Keempat, para filsuf ini menolak historiografi yang dibangun atas dasar narasi-narasi besar yang ditulis sejarawan universal seperti revolusi dan pergantian rezim. Sebaliknya, mereka terobsesi kepada historiografi yang dibangun atas dasar narasi-narasi kecil yang ditulis sejarawan spesifik yang bekerja di wilayah keahlian khusus dan lokal dengan pendefinisian yang jelas. Sejarawan pascamodernis memfokuskan kajiannya di tingkat mikro dengan lokalitas dan spesifikasi tema yang khas seperti sejarah rokok, sejarah kota, sejarah tari, dan sejenisnya. Kritik historisisme yang diajukan pascastrukturalisme dan pascamodernisme telah menggoyahkan sendi-sendi filosofi, metode, konsep, teori, dan asumsi yang selama ini dikenal di dalam penulisan sejarah sebagai cabang ilmu sosial. M Foucault dalam Power/Knowledge: Selected Interview and Other Writings 1972-1977 (1980: 62-65) juga menolak peneorian global penulisan sejarah dan menyebut historiografi sebagai wacana budaya dan sejarah yang pendakuan kebenaran dan nilai-nilainya hanya merupakan episode pendek dari sejarah pemikiran modern. Menurut Foucault, para sejarawan yang membawa nilai-nilai intelektual universal dengan narasi besarnya telah ketinggalan zaman. Di masa sekarang kaum intelektual cenderung bekerja di sektor spesifik, seperti museum, rumah sakit, laboratorium, universitas, perpustakaan sehingga mereka disebut sebagai kaum intelektual spesifik. Mereka tak merumuskan teori sistematika global yang merangkum semuanya seperti yang diyakini para sejarawan mazhab Decartesian atau konvensional melainkan menganalisis hal-hal yang lebih spesifik dan lokal.
Dengan menggunakan pendekatan genealoginya Nietzsche, ilmu sejarah dituding telah memberlakukan tindakan yang tiranik melalui wacana yang ditotalisasikan dan disistematikakan secara universal dengan menundukkan, memeriferikan, serta memfragmentasikan sumber- sumber pengetahuan yang spesifik di bawah kekuasaan teori- teori besar. Para pemikir pascastrukturalis dan pascamodernis memiliki pandangan yang berbeda di seputar (pendakuan) kebenaran dan obyektivitas sejarah. Roland Barthes dalam The Rustle of Language (1986: 138-139) dengan meminjam teori bahasa Ferdinand de Saussure tentang relasi antara kata (signifiers) dengan tanda/makna/konsep (signified) sampai kepada kesimpulan bahwa sejarawan umumnya kurang menyadari deskripsi mereka tentang masa lalu sesungguhnya hanya mewakili atau merupakan sejumlah konsep tentang masa lalu, dan bukan dunia masa lalu itu sendiri. Sejarawan tidak menjumpai atau menemukan kebenaran dari peristiwa di masa lalu, hanya merekonstruksi peristiwa dari suatu arus kehidupan yang terbatas dan menemukan arti atau makna yang dihasilkan secara terpola ke dalam arus tersebut, tulis H Kellner dalam Language and Historical Representation: Getting the Story Crooked (1989: 24). Sejarah adalah cabang ilmu sosial yang unik dan spesifik dan dalam penulisannya: sesahih apa pun metodologi yang dimiliki, ia tetap sangat bergantung pada teks, literatur, produksi bahasa yang dihasilkan sebagai bahan penulisan sejarah, baik sumber primer maupun sumber sekunder. Di sinilah esensi kritik historisisme yang dibangun kaum pascastrukturalis dan pascamodernis karena pascastrukturalisme dan pascamodernisme merupakan aliran yang meredefinisi konsep tentang teks dan bahasa dalam kaitannya dengan kekuasaan dan ilmu pengetahuan.
Sebelum aliran pemikiran pascastrukturalis dan pascamodernis dikenal, sejarah mazhab Descartesian atau sejarah konvensional menempatkan teks dan bahasa yang muncul di berbagai dokumen, risalah, catatan harian, jurnal, dan seterusnya sebagai data atau bahan mentah penulisan sejarah. Setelah melalui sejumlah penahapan metodologis, validitas data itu akan diverifikasi untuk menjadi fakta sebagai data yang memiliki nilai historisitas paling mendekati kebenarannya. Para sejarawan konvensional menguji nilai historisitas dari data tersebut melalui proses kritik eksternal maupun kritik internal. Setelah proses pengujian data selesai, barulah sejarawan memasuki tahap berikut: merekonstruksi peristiwa berdasarkan semua data yang telah teruji validitasnya. Sejarawan mazhab Descartesian melihat kemungkinan bias yang terjadi di setiap penulisan sejarah (sebagai manifestasi interpretasi mereka pada peristiwa di masa lalu) pada prasangka dan relativisme budaya, maupun kepentingan personal (termasuk ideologi) yang dianut, sehingga memengaruhi upaya pencarian kebenaran atas peristiwa di masa lalu. Sejarawan aliran pascastrukturalisme dan pascamodernisme melangkah jauh dengan mencoba mendekonstruksi aliran pemikiran sejarah konvensional setelah teks maupun bahasa diberi makna secara kritis. Membaca teks secara kritis merupakan permulaan penemuan kebenaran sejarah.
Jacques Derrida, pemikir kontemporer pascastrukturalis, adalah salah seorang yang menaruh perhatian pada peran dan fungsi bahasa. Ia memperkenalkan metode membaca teks. Dalam Speech and Phenomena, and Other Essays on Husserlss Theory of Signs (1973) serta Writing and Difference (1978), Derrida membongkar pendekatan tradisional, seperti yang dipahami sejarawan konvensional, bahwa teks merupakan pembawa makna yang stabil dan setiap peneliti mencari kebenaran (ilmu pengetahuan) melalui teks. Dekonstruksi memisahkan konsep tradisional penulis dan karyanya. Dekonstruksi tidak mengistimewakan penulis, mengubah sejarah dan tradisi menjadi intertekstualitas, dan meninggikan pembaca. Dekonstruksi merupakan aktivitas pembacaan di mana teks harus dibaca dengan cara sama sekali baru. Menurut Derrida, teks dapat menyembunyikan kekurangan, kelemahan, dan kebohongan penulis serta mengandung sejumlah ketakkonsistenan konsep bahkan kontradiksi ciptaan penulis yang menjadi landasan teks, sehingga muncul sulawan (paradoks) dalam menggunakan konsepnya di dalam teks secara keseluruhan. Tak seorang pun dapat membuat sarana (tanda) dan tujuan (makna) menjadi identik. Bahasa merupakan proses temporal.
Kritik historisisme aliran pascastrukturalisme dan pascamodernisme telah memberikan penafsiran baru kepada sudut pandang sejarawan dalam membaca, memahami, dan memaknai teks sebagai sumber penulisan sejarah Peristiwa 1965. Pembedanya adalah kepentingan personal dan bias ideologi setiap sejarawan. Sejarawan yang pro-Orde Baru akan menyusun sejumlah teori, asumsi, dan hipotesis yang mendukung rangkaian kejadian sejak sebelum malam 30 September 1965, dan puncaknya memberi pembenaran terhadap genosida pada tahun-tahun berikutnya di berbagai tempat di Indonesia, seperti Jawa Tengah dan Bali. Sebaliknya, sejarawan yang kritis berantitesis kepada sejarah mainstream tersebut dan berkesimpulan untuk tak membenarkan, bahkan menolak, genosida setelah Peristiwa 1965 yang dianggap sebagai bentuk pelanggaran HAM berat. Studi kekerasan kontemporer seperti yang ditulis Ronnie S Landau (Studying the Holocaust: Issues, Readings and Documents, 1998) maupun Haim Bresheeth, Stuart Hood, dan Litza Janz (Holocaust for Beginners, 1994) mengategorikan genosida setelah Peristiwa 1965 sebagai genosida ideologis. Secara definitif Landau mengartikan genosida ideologis sebagai tindakan untuk menghancurkan kelompok politik tertentu untuk mencapai keseragaman doktrin politik maupun ideologi di suatu negara. Menurut Konvensi Genosida PBB tahun 1948, pelanggaran HAM berat berakibat secara langsung dan tak langsung bagi hilangnya nyawa manusia dalam wujud genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan.
Para pemikir pascastrukturalis dan pascamodernis telah memberikan sumbangan pengetahuan menyangkut tema kebenaran sejarah, termasuk ketika tindakan antikemanusiaan terjadi setelah Peristiwa 1965. Selain memakai cara baru dalam pembacaan setiap teks, seperti yang diperkenalkan Derrida, aliran pemikiran ini juga memasukkan pendekatan fonosentrisme, yakni tentang peran dan fungsi ujaran di dalam cerita lisan seperti yang diperkenalkan Saussure, Levi-Strauss, hingga Husserl. Pendekatan ini memberi sumbangan penting dalam upaya pencarian kebenaran, khususnya melalui penemuan metodologi penulisan sejarah yang menggunakan cerita lisan sebagai sumbernya. Pendekatan fonosentrisme ini membantu subyek yang lain di dalam metode penulisan sejarah, yaitu metode sejarah lisan. Berbeda dengan tulisan yang dimediasi, mekanis, tidak langsung, dan hanya merupakan transkipsi ujaran atau fonetis, maka ujaran dihubungkan dengan saat dan tempat kehadiran yang jelas, lebih langsung, alamiah, dan tulus. Dengan demikian, dalam konteks penulisan sejarah Peristiwa 1965, upaya pencarian kebenaran semakin mendapatkan ruang yang lebih, menjadi lebih tak terbatas. Bahan penulisan sejarah tak hanya didapat dari institusi atau lembaga resmi atau tokoh besar, tetapi juga bisa diperoleh dari seorang petani gurem salah satu desa di Bali, atau seorang aktivis Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) pada sebuah satu kota kecil di Jawa Timur.
Rabu, 28 Januari 2009
Obama
Oleh : Muhammad Ilham
PADANG EKSPRES, 21 Januari 2008. Euforia kemenangan Obama telah sampai pada klimaksnya. Tanggal 20 Januari 2008, pria yang ber-ayahkan Kenya ini dilantik. George W. Bush mengakhiri kekuasaannya dengan peristiwa tragis : “Cara baik melemparkan sepatu”. Jelang tanggal 20 Januari, PM Israel Ehud Olmert dan Presiden Shimon Peres menarik pasukan dari Jalur Gaza. Bentuk penghormatan buat saudara tuanya Amerika Serikat, apresiasi jelang pelantikan Obama.
Ban-Ki Moon, diplomat Korea yang Sekjen PBB, rasanya mungkin “tertampar”. Setengah frustrasi, sejak Israel membombardir Jalur Gaza, Ban-Ki Moon setengah menghamba-berharap agar tentara Israel mundur. Lebih 1000 orang Palestina tewas, Ban-Ki Moon tak mampu menghentikan tragedi ini. Pelantikan Obama-lah yang justru mengakhiri “sementara” penderitaan rakyat Palestina. Dalam logika sederhana, Amerika Serikat-lah yang merestui secara total penyerbuan Israel ke Jalur Gaza.
Dunia berharap banyak pada Obama. Barangkali memang yang bisa “menghentikan” Israel adalah saudara tuanya Amerika Serikat, dan power itu hanya terdapat pada Obama. Bisakah kita berharap pada Presiden Amerika Serikat yang pernah “singgah sementara” di Indonesia ini? Bagaimakah track record pro-Israel pria kulit hitam yang telah meruntuhkan mitos W-A-S-P, bahwa Presiden Amerika Serikat haruslah White-Anglo Saxon and Protestant ini? Pada Obama yang bernama tengah Hussein ini, hanya terdapat satu, Protestant. Ia bukan putih tapi hitam, walaupun unsur white ada padanya karena kontribusi sang ibu, tapi tetap “darah” Kenya ayahnya lebih dominan. Obama juga bukan “trah” Anglo-Saxon – keturunan British yang dalam sejarah dimaknai sebagai komunitas “pencari dunia baru”.
Saya ingat, pada waktu inaugurasi kemenangannya, Obama berpidato secara elegan dengan bahasa tertata rapi, sebuah kelebihan yang pantas untuk ditiru. Pidato yang disiarkan secara lengkap oleh salah satu TV swasta Indonesia ini, Obama berdiri dengan gagah di atas podium. Di depan podium itu, tertera 4 (empat) huruf kapital besar – AIPAC. Seketika, saya ingat buku karangan Paul Findley yang telah diterjemahkan oleh Penerbit Mizan “Mereka Berani Bicara”. Dalam buku ini, Findley mengupas-tuntas pertanyaan : “Mengapa lobi Yahudi-Israel begitu kuat dalam ranah politik Amerika Serikat pasca Perang Dunia ke-2?”.
Findley mengatakan bahwa politik negeri Paman Sam ini tidak bisa berkata “tidak” pada Yahudi-Israel karena sebuah organisasi-publik kemitraan bernama AIPAC (American Israel Public Agency Council). Dalam AIPAC ini berkumpul para ekonom-pialang, politisi dan intelektual Amerika Serikat keturunan Yahudi. Mereka inilah yang dominan mempengaruhi politik Amerika Serikat, mulai dari “pengkondisian calon-calon Presiden hingga kebijakan politik luar negeri. AIPAC kata Findley, adalah bentuk lain dari “Gedung Putih”. Pada tahun 2007, menurut Congressional Research Service, Amerika Serikat telah memberikan bantuan militer pada Israel USD 30 milyar. Konon, AIPAC berperan besar atas bantuan yang spektakuler ini mensikapi pengaruh Iran yang semakin besar di Timur Tengah.
Pidato Obama di forum AIPAC menunjukkan kepada kita, Obama tak bisa melepaskan diri dari Yahudi-Israel. Penggalan pidatonya yang mengatakan bahwa Hamas merupakan organisasi teroris dan kebijakan negara Israel harus didukung, memperjelas posisi politik Obama. “When I am the President, the United States will stand shoulder to shoulder with Israel …..”. Ketika masih menjadi senator, Obama memiliki voting record pro-Israel. Tahun 2006, beliau menjadi salah seorang sponsor the Palestian Anti Terorism Act yang dalam salah satu item-nya menempatkan Hezbollah sama dengan Al-Qaeda. True Friends of Israel pantas disandang Obama.
Lalu, pantaskah kita mempersalahkan Obama? Pantaskah kita berharap banyak pada Obama ke depan? Findley sebenarnya telah menjawab, bahwa siapapun yang akan menjadi Presiden Amerika Serikat, pengaruh AIPAC sulit untuk dihindari. Penunjukkan Hillary Clinton sebagai Menteri Luar Negeri kabinet Obama memperjelas pengaruh lobi Yahudi yang luar biasa. Konon, Obama tidak sreg dengan Bill Clinton, suami Hillary. Clinton dan Hillary merupakan sahabat “politik” terdekat dari Benjamin Netanyahu – ultranasionalis Israel. Namun, hampir 1/3 anggota kabinet Obama adalah “kerabat politik” Bill Clinton. Kecil kemungkinan persoalan Palestina bisa terselesaikan dengan baik pada era Obama ke depan. Sangat tidak mungkin Obama melawan arus “pakem” kebijakan politik standar Amerika Serikat, apalagi Obama nyata-nyata telah mendukung Israel sebelum ia jadi Presiden. Persoalan Palestina-Israel, lebih memungkinkan hanya bisa diselesaikan oleh komunitas Timur Tengah, khususnya negara-negara Islam Teluk. Kita tak bisa berharap banyak pada PBB, demikian juga dengan Amerika Serikat, siapapun presidennya. Dalam ilmu politik, antara Israel dan Palestina telah terjadi cyrcle bargaining, siklus tawar-menawar. Siapa yang menunggangi dan ditunggangi, tidak jelas secara konkrit. Apakah Israel yang menunggangi Amerika Serikat atau sebaliknya. Namun yang jelas, hubungan Amerika Serikat dan Israel adalah hubungan simbiosis mutualis, saling menguntungkan. Oleh karena itu, kemauan politik negara-negara teluk-lah yang lebih rasional dan memungkinkan.Apakah bisa hal ini terjadi? Ingat, negara teluk pernah memiliki seorang Raja zuhud-bertalenta pemimpin. Raja Faisal namanya, kakak dari Raja Abdullah – penguasa kerajaan Saudi Arabia sekarang. Pada masa beliau menjadi raja Saudi Arabia, karengkang-nya Israel dan hipokritnya Amerika Serikat bisa ditaklukannya. Sejarah mencatat, raja Faisal menjadi “pilar terdepan “Politik Minyak”. Dengan kekuatan cadangan 2/3 minyak dunia berada di Saudi Arabia, raja Faisal menghentikan ekspor minyak ke negara-negara sekutu Israel, khususnya Amerika Serikat.
Sebagai negara yang berbasiskan industri, tentu AS menjadi kalimpasingan. Politik minyak ini akhirnya membuat Israel melunak, dengan tentunya akibat tekanan AS. Perjanjian Camp David antara Anwar Sadat (Presiden Mesir) dan Menachen Begin (PM Israel) kala itu, ditandatangani yang difasilitasi oleh Jimmy Carter. Timur Tengah sedikit melunak. Tapi sayang, Politik Minyak ini akhirnya tidak berkelanjutan sampai sekarang seiring dengan tewasnya raja Faisal. Sejarah kemudian mencatat, para penguasa negara-negara teluk, terus berada dibawah “ketiak” Paman Sam (terkecuali Iran, Suriah dan sedikit Yordania).
Sejarah telah memberikan kepada kita pelajaran berarti. Negara-negara Islam di Timur Tengah pada prinsipnya memiliki “daya tawar” politik potensial dalam menyelamatkan masa depan Palestina. Tapi apa yang terjadi ? Raja Abdullah dari Saudi Arabia membisu, Klan Al-Nahayan dari UEA diam, Klan Al-Sabah tak ambil pusing, Qabus dari Oman tak bersuara. Rakyat Irak sibuk dengan “penyakit mereka”, bahkan Husni Mubarrak dari Mesir justru menutup perbatasan Mesir-Jalur Gaza. Mungkin hanya Ahmadinedjad dan rakyat Iran yang lantang. Seandainya, raja Faisal dan Gamal Abdeel Nasser masih hidup, mungkin Palestina tidak seperti ini. Know your enemy, kata Sun Tzu dalam Kitab Perangnya The Art of War.
Dan yang bisa menyembuhkan Palestina hanyalah kemauan politik negara-negara Islam Timur Tengah. Obama akan terus berjalan dengan garis politik yang tidak bisa dihindarinya, walaupun ada kata-kata Hussein dalam penggalan namanya. Dan Syeikh Mansor Zayed al-Nahayan (adik dari Sultan Uni Emirat Arab) akan terus “mengejar” Kaka dari AC. Milan untuk bermain di klub yang baru dibelinya, Manchester City. Harganya, hampir 2 trilyun, di tengah-tengah kondisi pengungsi Palestina butuh bantuan. Padahal, jarak negara Syekh yang kaya-flamboyan ini hanya sejauh mata memandang dengan Palestina.
Lokal-Global Ulama Minangkabau
Oleh : Muhammad Ilham
SINGGALANG (2 kali terbit bersambung), 27 April 2008. Ulama dikenal sebagai pemimpin umat Islam bukan saja dalam bidang keagamaan, tetapi juga dalam bidang sosial kemasyarakatan. Secara normatif, ulama dianggap sebagai pewaris nabi , kehadiran seorang ulama tentu saja tidak bisa dipisahkan dengan konsep komunitas Islam atau apa yang biasa disebut ummah, yaitu komunitas kaum beriman yang diikat oleh kesamaan pandangan tentang kesucian, moral dan spritual. Sebagai ikatan kaum beriman, ummah dapat pula dianggap sebagai komunitas-kognitif, dimana keyakinan transedental dan pengetahuan individu mendapatkan konfirmasi sosial. Oleh sebab itu, ulama tidak hanya bisa dilihat dari segi apa yang dikerjakannya dan karakteristik pribadi, tetapi yang lebih penting dari semua itu adalah sejauh mana ummah (minimal komunitasnya) memberikan pengakuan kepadanya – atau dalam bahasa sosiologisnya : bagaimana komunitas social-nya memberikan justifikasi sosial (termasuk dalam bidang-bidang lain. Dalam menegakkan eksistensi dan meneruskan cita-cita ummah, seorang ulama dapat dianggap sebagai "perumus realitas" (definer of reality) tentang apakah yang riil dan bukan serta yang esensial dan aksidental serta sebagai penerus pengetahuan, terutama tentang apa yang dirumuskan oleh teks-teks suci. Dalam konteks ini, eksistensi dan tugas ulama sangat penting dan berat. Sebab dalam melakukan fungsinya, ia harus selalu berhadapan dengan masalah waktu yang selalu beralih dan tempat yang berbeda. Hal ini menuntut kemampuan ulama untuk menjadikan agar simbol dan idiom agama menemukan relevansinya dalam ruang sosial (social sphere) yang berlainan dan dimensi waktu (time dimention) yang beralih, agar ulama mampu menjaga dan mengayomi serta diakui eksistensi mereka oleh komunitas Islam dimana mereka berada. Sebagai pemimpin komunitas Islam, ulama mempunyai tanggung jawab dalam merumuskan nilai-nilai dasar Islam itu ke dalam realitas sosial ummatnya, sehingga ummat dapat di bimbing dan diarahkan sesuai dengan ajaran Islam. Semua ini memperlihatkan bahwa ulama merupakan bagian dari kelompok sosial yang memiliki peranan besar dan signifikan dalam mempengaruhi arah dan perkembangan suatu masyarakat. Sejarah telah membuktikan, khususnya sejarah sosial politik Indonesia, bahwa kalangan ulama merupakan kelompok sosial yang memiliki potensi kepemimpinan yang besar sebagai perumus realitas dan penentu arah perkembangan suatu kelompok sosial.
Kepemimpinan ulama itu berubah dan berkembang sejalan dengan perkembangan atau dinamika peran yang terjadi dalam masyarakat. Secara sosiologis-antropologis, perkembangan atau dinamika peran tersebut terutama terjadi pada masyarakat yang sedang berubah dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern atau dari masyarakat mekanik kepada masyarakat organik. Secara otomatis, fungsi dan peranan ulama sebagai salah satu pemimpin masyarakat Islam dengan sendirinya juga ikut berubah bila masyarakat Islam tersebut berubah kepada arah masyarakat modern. Beberapa kajian terdahulu yang pernah dilakukan oleh beberapa pakar memperlihatkan terjadinya perubahan-perubahan peran yang dialami oleh ulama sekarang dengan ulama masa dahulu. Pada masa lalu, ulama tidak hanya dianggap sebagai pemimpin agama saja tetapi juga memiliki peran diluar pemimpin agama bagi masyarakat, khususnya dalam urusan duniawi. Ulama sering ikut menangani permasalahan-permasalahan dalam bidang pertanian, perdagangan, kesehatan dan ketertiban masyarakat, seperti mengobati orang sakit, sebagai penasehat kejiwaan dan menjaga keamanan.
Minangkabau sebagai salah satu sub-etnik dalam stratum etnik makro melayu Nusantara, dikenal sebagai komunitas sosial yang dalam proses pembentukan identitas kultural dan sosial politik mereka, sangat dipengaruhi oleh kalangan ulama. Minangkabau merupakan salah satu suku bangsa yang memiliki sistem kekerabatan matrilineal. Suku bangsa ini, mempunyai alur sejarah penyebaran penduduk yang unik dan dijelaskan “agak” mistik atau penuh dengan cerita “carito” yang dituangkan dalam “kitab” yang diberi dengan “tambo”. Dalam sistem kepemimpinan dikenal dengan tripartit kekuasaan yang satu sama lain terintegrasi dalam musyawarah dan mufaka, tripartit terdiri dari ulama, umara dan cerdik pandai. Islam – apalagi setelah di-justifikasi secara cultural, dianggap sebagai sesuatu yang include-tak terpisahkan dari adat itu sendiri. Ini termanifestasi dalam dictum “sakti” adat Minangkabau yaitu Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah. Trimingham dan Taufik Abdullah melihat bahwa penyebaran Islam di dalam masyarakat manapun, termasuk di Nusantra melalui tiga tahapan penyebaran agama Islam.
Oleh Trimingham tahap pertama di namakannya dengan tahap kangah, sedangkan Taufik Abdullah dinamakan adanya varian Pasai. Pada tahap pertama ini, Islam baru diperkenalkan dengan dasar-dasar Islam, yang terangkum dalam rukun iman dan rukun Islam. Dalam tahap ini, dimonasi perkenalan ajaran Islam adalah masalah hukuman dan balasan Tuhan terhdap perbuatan yang dilakukan manusia. Kiyai atau ulama dan Tuanku lebih intens memperkenalkan hukum ibadah terhadap pengikutnya. Oleh sebab itu pada tahap awal ini, tariqat berkembang dan menjadi trend eksklusif bagi penganutnya. Sementara itu, kajian terhadap yang lain dalam artian kajian-kajian penjabaran Islam sebagai ajaran yang holistik belum begitu menjadi perhatian, termasuk dalam pendidikan. Misalnya, dalam catatan Deliar Noer dikemukakan sebelum terjadinya pembaruan di Minangkabau, banyak ulama-ulama surau terfokus pada kajian-kajian klasik dan hafalan-hafalan, seperti menghafal sifat dua puluh dengan lantunan nyanyian sehingga enak didengar. Pada tahap ini pula, pergumulan pengamalan Islam dan adat kebiasaan pengikut Islam belum tegas dipisahkan, sehingga pada pengamalan masih dibayang-bayangi oleh sinkritisme. Kondisi ini, terjadi dimungkinkan karena Islam datang tidak secara meliterisme yang tegas, tetapi Islam datang dengan lunak dan jinak. Di samping itu pada masa awal itu, literasi Islam lebih banyak dipergunakan untuk kepentingan magis, Islam seperti ini
Menurut Gellner, lebih populer disebut dengan folk Islam atau low Islam atau populer Islam. Jika dalam dokrin Islam skriptual ditekankan pentingnya literasi dalam folk Islam dipergunakan untuk kepentingan-kepentingan magis dari pada kepentingan ke ilmuan. Singkatnya folk Islam lebih menekankan magis dari pada Ilmu; ekstasi daripada pengalaman ketentuan-ketentuan hukum Islam. Institusi terpenting folk Islam adalah perikatan-perikan longgar-tetapi eksklusif yang berpusat dari seorang individu yang nyaris dipandang suci, sehingga sering menciptakan kultus indvidu. Kondisi fiolk Islam ini, menyebabkan ulama, kiyai atau Tuanku sering memainkan banyak peran, selain sebagai dikenal tokoh agama ia juga diyakini sebagai tabib, peramal dan seterusnya, sehingga pengikutnya meyakini literasi yang dikuasai oleh ulama dapat dipergukana sebagai kekuatan magis. Maka ulama sering didatangi pengikutnya tidak saja berkaitan dengan masalah ke Islam-an tetapi juga menyangkut, kemagisan yang dimiliki oleh ulama tersebut. Dengan keserbabisaan ulama ini, maka ulama atau kiyai itu dikultuskan, bahkan ada yang menyebut nabi. Di Minangakabu kultus itu pun juga ada, seperti kultus terhadap aliran tariqat. Seorang ulama, mempunyai otoritas terhadap suatu tariqat, misalnya ulama Ulakan, yang dipelopori oleh Burhanuddin biasanya dikultuskan oleh pengikutnya sebagai orang “suci” dalam tariqat tersebut, dan ia bisa dimintai petunjuk dalam masalah apa saja.
Secara garis besar, ada dua pendapat yang bisa dipegang tentang kapan masuknya Islam ke Minangkabau, pertama pendapat Hamka yang menyatakan Islam telah masuk ke Minangkabau sekitar abad ke-7 Masehi. Pendapat Hamka ini, bisa dikuatkan melalui sejarah perdagangan orang Arab ke berbagai belahan dunia. Khusus, masalah masuknya Islam awal ke Minangkabau, sebagaimana diceritakan dalam catatan sejarah klasik Mubalighul Islam disebutkan pada dasarnya Islam telah masuk ke Minangkabau pada tahun 580 H. Masuknya Islam ini diawali dari sejarah terdamparnya saudagar Arab di perairan Minangkabau, yang kemudian menemukan perkempungan penduduk. Sudagar itu bernama Saidi Abdullah. Mereka diterima oleh penduduk dan sebagai anggota masyarakat. Melalui Saidi Abdullah ini pula Islam diperkenalkan kepada keluarga yang menerimanya. Kemudian kawin dengan putri kepala Dusun yang konon kepala dusun tersebut berasal dari keturuna raja Pagaruyung. Dusun yang dihuni dan sekaligus sebagai tempat penyebaran Islam itu adalah kampung durian yang terletak dipinggir kota Padang Sebelah Timur. Namun, setelah Saidi Abdullah meninggal, maka terjadi kekosongan-kekosongan penyebaran Islam, bahkan masyarakat kembali kepada agama lamanya. Sementara itu ada yang menyebutkan pada abad ke-13 Masehi seiring dengan penguniversalan masuknya Islam di Nusantara ditandainya dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai. Namun, dalam perkembangan Islam di Minangkabau, selanjutnya ditandai dengan diperintahnya kerajaan Pagaruyung oleh Raja Sultan Alif yang beragama Islam pada abad 16-M.
Beberapa kajian sejarah masuknya Islam atau periode awal Islam di Minangkabau, umumnya lebih terfokus pada peran Burhanuddin, setelah ia kembali menuntut ilmu bersama seorang guru di Aceh yang bernama Al-Kalani Amin bin Abd Rauf Singkil Al-Jawi bin Al-Fansyuri. Kehadiran Burhanuddin, pada masa awal ini disebut-sebut sebagai peletak dasar Islam di Minangkabau, namun jika menilik pada alur sejarah, sebelum itu Islam sudah hadir di Minangkabau tetapi akibat tidak adanya survivalisme maka agama Islam dalam pengamalan masyarakat Minangkabau mengalami pasang surut. Burhanuddin dengan pendidikan suraunya, telah mengembangkan tradisi ke Islam. Murid-murid yang telah selesai belajar di surau Burhanuddin, juga mendirikan surau ditempat lain atau dikampung halamnnya, transmisi dan diffusi agama ketika ini kuat dilakukan oleh murid-murid Buhanuddin. Oleh sebab itu revivalisme ajaran seorang ulama menyebar dan murid-muridnya sangat fanatik terhadap ajaran gurunya.
Pada masa ini, surau sangat identik dengan ulama. Ulama melangsungkan pendidikan dan membentuk jemaah di surau. Bentuk pendidikan yang dilangsungkan sederhana. Namun, dalam catatan sejarah pendidikan di Minangkabau, pendidikan surau belum terlihat dikalsifikasikan seperti halnya perkembangan pondok pesantren di Jawa. Di Jawa kata Soedjoko Prasodjo , ada lima pola pesantren mulai dari sederhana sampai pada yang modern. Lima pola itu adalah : Pola I yaitu pesantren terdiri hanya dari masjid dan rumah kiyai. Pola II terdiri dari masjid, rumah kiyai dan pondok. Pola III, terdiri dari masjid, rumah kiyai dan madrasah. Pola IV, yakni masjid, rumah kiyai, pondok, madrasah dan tempat keterampilan. Pola V yakni masjid, rumah kiyai, pondok, madrsah, tempat keterampilan, universitas, gedung pertemuan, tempat olah raga dan sekolah umum.
Namun, dalam fase ini sudah mulai muncul kelompok konservatif dari generasi pertama.Kepemimpinan ulama itu berubah dan berkembang sejalan dengan perkembangan atau dinamika peran yang terjadi dalam masyarakat. Secara sosiologis-antropologis, perkembangan atau dinamika peran tersebut terutama terjadi pada masyarakat yang sedang berubah dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern atau dari masyarakat mekanik kepada masyarakat organik. Secara otomatis, fungsi dan peranan ulama sebagai salah satu pemimpin masyarakat Islam dengan sendirinya juga ikut berubah bila masyarakat Islam tersebut berubah kepada arah masyarakat modern. Beberapa kajian terdahulu yang pernah dilakukan oleh beberapa pakar memperlihatkan terjadinya perubahan-perubahan peran yang dialami oleh ulama sekarang dengan ulama masa dahulu. Pada masa lalu, ulama tidak hanya dianggap sebagai pemimpin agama saja tetapi juga memiliki peran diluar pemimpin agama bagi masyarakat, khususnya dalam urusan duniawi. Ulama sering ikut menangani permasalahan-permasalahan dalam bidang pertanian, perdagangan, kesehatan dan ketertiban masyarakat, seperti mengobati orang sakit, sebagai penasehat kejiwaan dan menjaga keamanan.
Minangkabau sebagai salah satu sub-etnik dalam stratum etnik makro melayu Nusantara, dikenal sebagai komunitas sosial yang dalam proses pembentukan identitas kultural dan sosial politik mereka, sangat dipengaruhi oleh kalangan ulama. Minangkabau merupakan salah satu suku bangsa yang memiliki sistem kekerabatan matrilineal. Suku bangsa ini, mempunyai alur sejarah penyebaran penduduk yang unik dan dijelaskan “agak” mistik atau penuh dengan cerita “carito” yang dituangkan dalam “kitab” yang diberi dengan “tambo”. Dalam sistem kepemimpinan dikenal dengan tripartit kekuasaan yang satu sama lain terintegrasi dalam musyawarah dan mufaka, tripartit terdiri dari ulama, umara dan cerdik pandai. Islam – apalagi setelah di-justifikasi secara cultural, dianggap sebagai sesuatu yang include-tak terpisahkan dari adat itu sendiri. Ini termanifestasi dalam dictum “sakti” adat Minangkabau yaitu Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah. Trimingham dan Taufik Abdullah melihat bahwa penyebaran Islam di dalam masyarakat manapun, termasuk di Nusantra melalui tiga tahapan penyebaran agama Islam.
Oleh Trimingham tahap pertama di namakannya dengan tahap kangah, sedangkan Taufik Abdullah dinamakan adanya varian Pasai. Pada tahap pertama ini, Islam baru diperkenalkan dengan dasar-dasar Islam, yang terangkum dalam rukun iman dan rukun Islam. Dalam tahap ini, dimonasi perkenalan ajaran Islam adalah masalah hukuman dan balasan Tuhan terhdap perbuatan yang dilakukan manusia. Kiyai atau ulama dan Tuanku lebih intens memperkenalkan hukum ibadah terhadap pengikutnya. Oleh sebab itu pada tahap awal ini, tariqat berkembang dan menjadi trend eksklusif bagi penganutnya. Sementara itu, kajian terhadap yang lain dalam artian kajian-kajian penjabaran Islam sebagai ajaran yang holistik belum begitu menjadi perhatian, termasuk dalam pendidikan. Misalnya, dalam catatan Deliar Noer dikemukakan sebelum terjadinya pembaruan di Minangkabau, banyak ulama-ulama surau terfokus pada kajian-kajian klasik dan hafalan-hafalan, seperti menghafal sifat dua puluh dengan lantunan nyanyian sehingga enak didengar. Pada tahap ini pula, pergumulan pengamalan Islam dan adat kebiasaan pengikut Islam belum tegas dipisahkan, sehingga pada pengamalan masih dibayang-bayangi oleh sinkritisme. Kondisi ini, terjadi dimungkinkan karena Islam datang tidak secara meliterisme yang tegas, tetapi Islam datang dengan lunak dan jinak. Di samping itu pada masa awal itu, literasi Islam lebih banyak dipergunakan untuk kepentingan magis, Islam seperti ini
Menurut Gellner, lebih populer disebut dengan folk Islam atau low Islam atau populer Islam. Jika dalam dokrin Islam skriptual ditekankan pentingnya literasi dalam folk Islam dipergunakan untuk kepentingan-kepentingan magis dari pada kepentingan ke ilmuan. Singkatnya folk Islam lebih menekankan magis dari pada Ilmu; ekstasi daripada pengalaman ketentuan-ketentuan hukum Islam. Institusi terpenting folk Islam adalah perikatan-perikan longgar-tetapi eksklusif yang berpusat dari seorang individu yang nyaris dipandang suci, sehingga sering menciptakan kultus indvidu. Kondisi fiolk Islam ini, menyebabkan ulama, kiyai atau Tuanku sering memainkan banyak peran, selain sebagai dikenal tokoh agama ia juga diyakini sebagai tabib, peramal dan seterusnya, sehingga pengikutnya meyakini literasi yang dikuasai oleh ulama dapat dipergukana sebagai kekuatan magis. Maka ulama sering didatangi pengikutnya tidak saja berkaitan dengan masalah ke Islam-an tetapi juga menyangkut, kemagisan yang dimiliki oleh ulama tersebut. Dengan keserbabisaan ulama ini, maka ulama atau kiyai itu dikultuskan, bahkan ada yang menyebut nabi. Di Minangakabu kultus itu pun juga ada, seperti kultus terhadap aliran tariqat. Seorang ulama, mempunyai otoritas terhadap suatu tariqat, misalnya ulama Ulakan, yang dipelopori oleh Burhanuddin biasanya dikultuskan oleh pengikutnya sebagai orang “suci” dalam tariqat tersebut, dan ia bisa dimintai petunjuk dalam masalah apa saja.
Secara garis besar, ada dua pendapat yang bisa dipegang tentang kapan masuknya Islam ke Minangkabau, pertama pendapat Hamka yang menyatakan Islam telah masuk ke Minangkabau sekitar abad ke-7 Masehi. Pendapat Hamka ini, bisa dikuatkan melalui sejarah perdagangan orang Arab ke berbagai belahan dunia. Khusus, masalah masuknya Islam awal ke Minangkabau, sebagaimana diceritakan dalam catatan sejarah klasik Mubalighul Islam disebutkan pada dasarnya Islam telah masuk ke Minangkabau pada tahun 580 H. Masuknya Islam ini diawali dari sejarah terdamparnya saudagar Arab di perairan Minangkabau, yang kemudian menemukan perkempungan penduduk. Sudagar itu bernama Saidi Abdullah. Mereka diterima oleh penduduk dan sebagai anggota masyarakat. Melalui Saidi Abdullah ini pula Islam diperkenalkan kepada keluarga yang menerimanya. Kemudian kawin dengan putri kepala Dusun yang konon kepala dusun tersebut berasal dari keturuna raja Pagaruyung. Dusun yang dihuni dan sekaligus sebagai tempat penyebaran Islam itu adalah kampung durian yang terletak dipinggir kota Padang Sebelah Timur. Namun, setelah Saidi Abdullah meninggal, maka terjadi kekosongan-kekosongan penyebaran Islam, bahkan masyarakat kembali kepada agama lamanya. Sementara itu ada yang menyebutkan pada abad ke-13 Masehi seiring dengan penguniversalan masuknya Islam di Nusantara ditandainya dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai. Namun, dalam perkembangan Islam di Minangkabau, selanjutnya ditandai dengan diperintahnya kerajaan Pagaruyung oleh Raja Sultan Alif yang beragama Islam pada abad 16-M.
Beberapa kajian sejarah masuknya Islam atau periode awal Islam di Minangkabau, umumnya lebih terfokus pada peran Burhanuddin, setelah ia kembali menuntut ilmu bersama seorang guru di Aceh yang bernama Al-Kalani Amin bin Abd Rauf Singkil Al-Jawi bin Al-Fansyuri. Kehadiran Burhanuddin, pada masa awal ini disebut-sebut sebagai peletak dasar Islam di Minangkabau, namun jika menilik pada alur sejarah, sebelum itu Islam sudah hadir di Minangkabau tetapi akibat tidak adanya survivalisme maka agama Islam dalam pengamalan masyarakat Minangkabau mengalami pasang surut. Burhanuddin dengan pendidikan suraunya, telah mengembangkan tradisi ke Islam. Murid-murid yang telah selesai belajar di surau Burhanuddin, juga mendirikan surau ditempat lain atau dikampung halamnnya, transmisi dan diffusi agama ketika ini kuat dilakukan oleh murid-murid Buhanuddin. Oleh sebab itu revivalisme ajaran seorang ulama menyebar dan murid-muridnya sangat fanatik terhadap ajaran gurunya.
Pada masa ini, surau sangat identik dengan ulama. Ulama melangsungkan pendidikan dan membentuk jemaah di surau. Bentuk pendidikan yang dilangsungkan sederhana. Namun, dalam catatan sejarah pendidikan di Minangkabau, pendidikan surau belum terlihat dikalsifikasikan seperti halnya perkembangan pondok pesantren di Jawa. Di Jawa kata Soedjoko Prasodjo , ada lima pola pesantren mulai dari sederhana sampai pada yang modern. Lima pola itu adalah : Pola I yaitu pesantren terdiri hanya dari masjid dan rumah kiyai. Pola II terdiri dari masjid, rumah kiyai dan pondok. Pola III, terdiri dari masjid, rumah kiyai dan madrasah. Pola IV, yakni masjid, rumah kiyai, pondok, madrasah dan tempat keterampilan. Pola V yakni masjid, rumah kiyai, pondok, madrsah, tempat keterampilan, universitas, gedung pertemuan, tempat olah raga dan sekolah umum.
Pendidikan surau Burhanuddin sama dengan pola surau besar (masjid-pondok), rumah kiyai dan surau kecil (tempat keterampilan dan penginapan). Surau besar, bisanya surau tempat berlangsungnya pendidikan secara bersama, ulama mengajar disini, ia sekaligus menjadi pemilik surau. Sedangkan surau kecil yakni, tempat tinggal santri. Di surau kecil ini berlangsung juga pendidikan, dimana murid yang senior mengajarkan murid yunior atas persetujuan ulama (guru). Di surau kecil ini santri tingal sehari-hari dan di surau kecil ini pula murid melakukan berbagai aktivitas untuk mematangkan dirinya. Dalam tahap penyebaran Islam kedua oleh Trimingham dinamakan dengan tahap tariqah. Dalam perpektif Trimingham, pada fase ini berkembang aliran-aliran mistis dan diiringi dengan munculnya pendidikan sufi. Di sini literasi masih banyak dipergunakan dalam kepentingan mistik, ketimbang kepentingan keilmuan.
Kelompok konsevatif tidak siap menerima fenomena keberagamaan yang sinkretisme. Bagi mereka agama dipahami sesuai dengan informasi literasi, mungkin gerakan pembaruan dan pemurinian Islam yang dilakukan oleh Wahabi, bisa diletakkan dalam konteks ini. Peran ulama, terpecah menjadi dua, yakni ulama yang beraliran folk Islam dan ulama konservatif. Ulama konsevatif di Minangkabau disebut ulama pembaharu. Ulama konservatif lahir, setelah terjadinya kontak Minangkabau dengan Mekkah, hal ini terjadi sekitar tahun 1784 - 1803 atau disebut juga dengan Gerakan Kebangkitan Islam pertama di Minangkabau. Kontak ke Islaman ini terus terjadi, apalagi setelah adanya pengaruh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy (1863-1915) terhadap generasi muda Minangkabau untuk menuntut ilmu di Mekkah. Pada masa ini, di dunia Islam terjadi gerakan pembahruan Islam yang dipelopori oleh Muhammad Ibn Abd al-Wahab (1703-1792). Gerakan ini, lebih kental disebut dengan gerakan pemurnian Islam, di kalangan umat Islam Minangkabau kelompok pemurnian dikenal dengan ulama konservatif Hariamau Nan Salapan Kelompok ini melihat, bahwa Islam di kalangan masyarakat Minangkabau masih bercampur aduk antara adat kebiasaan yang sinkretisme dengan ajaran Islam, oleh sebab itu diperlukan pemurnian ajaran Islam, yang disebut dengan puritan. Gerakan puritan, secara langsung atau tidak langsung menjadi cikal bakal pergerakan nasionalis. Diberbagai daerah penyebaran Islam, pada umumnya ada tokoh sentral yang mempengaruhi diterimanya Islam sebagai agama oleh masyarakat. Tokoh sentral ini, sangat penting artinya. Ia adalah figur yang dikultuskan sebagai agent of knowledge. Dalam masa pembaruan-pemurnian Islam di Minangkabau, agaknya tokoh kunci ini tidak terlepas peranannya. Pada proses penyebaran Islam ke dua ini, lebih disebut dengan proses puritanisasi. Puritanisasi ini dalam catatan sejarah Minangkabau, menjadi bakal gerakan nasionalisme yang tergabung dalam gerakan Paderi. Kelompok puritan di mulai semenjak kepulangan tiga Haji ke ranah Minang. Diantaranya Haji Miskin, ia pergi ke Mekkah dengan teman-temannya, ketika itu berlangsung gerakan pemurnian.
Gerakan ini menjadi inspirasi pergerakan, sehingga kepulangannya di ranah Minang bergema gerakan pemurnian Islam. Semula, gerakan yang dilakukan oleh Haji Miskin ini tidak bisa diterima oleh masyarakat, karena gerakannya terkesan keras dan sering berbenturan dengan masyarakat, bahkan ia pernah membakar pasar yang sering dijadikan gelanggang judi, tuak dan adu jago. Di samping itu, kekerasan Haji Miskin, sering dihadang oleh kubu-kubu yang tidak senang dengan cara yang frontal, misalnya Haji Miskin dan pengikut pernah terlibat perkelahian dengan kelompok yang yang tidak sealiran dengannya. Dalam perkelahian ini, kelompoknya kalah dan Haji Miskin melarikan diri ke Bukit Kamang. Walaupun puritanisasi sering gagal dan sering tidak diterima oleh masyarakat, namun pergerakan ini tidak pernah berhenti. Haji Miskin dalam pelariannya, menemukan seorang teman yang selairan dengannya (yang menerima gerakan pemurinian) yakni Tuanku Nan Renceh. Kabolarasi dua tokoh ini, nampaknya pemurnian Islam di Minangkabau semakin militan. Tuanku Nan Renceh tidak sabar untuk menegakan syariat Islam dengan mencontoh tatanan Wahabi, dalam kotbahnya selalu menyerukan jihad yang terintegral. Bahkan dikabarkan, Tuanku Nan Renceh memulai jihadnya ini dengan membunuh kakak perempuan ibunya, gara-gara mengkonsumsi tembakau, karena dalam perspektif Islam mengisap tembakau tidak cocok dengan syariat. Kemudian, gerakan militannya menjalar menembus pembasmian parktik-praktik jahiliyah lainnya yang masih mengkontaminasi masyarakat.
Gerakan-gerakan puritanisasi ini, kelihatannya secara bertahap mulai bisa diterima oleh masyarakat Minangkabau. Terutama, ditandai dengan berkembangnya wilayah-wilayah dakwah dari kelompok puritan dan juga ditopang oleh kinerja Harimau Nan Salapan. Gerakan puritanisasi juga mulai merambah menjadi gerakan perjuangan, melawan strategi penjajahan Belanda, maka kemudian terbentuklah gerakan Paderi, yang secara terorganisir-sistematik (setidaknya untuk zaman ini) terlihat ketika Tuanku Imam Bonjol berjuang dalam menentang penjajahan Belanda. Menurut Schrike seperti dikutip Taufik Abdullah menyatakan bahwa gerakan Paderi ini merupakan revolusi pemimpin agama yang kecewa di dalam masyarakat yang tidak memberinya tempat dalam hirarki sosial. Revolusi ini, tidak sia-sia. Selanjutnya dikatakan Taufik Abdullah semakin mengokohkan Islam di Minangkabau, bahkan mencoba menstrukturisasi kepimpinan dalam Islam dengan formulasi islamisasi.
Dalam istilah Greetz, revolusi itu sebutnya sebagai revolusi skriptualisme. Menurut Geerz, kaum revolusiner skriptualisme ini di nusantra menjadi cikal bakal pergerakan perjuangan untuk kemederdekaan bangsa. Inilah yang terpenting dalam gerakan keagamaan sebelum kemerdekaan, di Indonesia. Bahwa kemerdekaan sangat besar dipengaruhi oleh move achievment kaum skriptualisme. Peran ulama, mempunyai doble legal, yakni sebagai ulama yang menyempurnakan pemahaman dan penyebaran ajaran agama di tengah umatnya, yang kedua ulama mengambil peran sebagai kelompok integritas kebangsaan. Mungkin inilah makna jihad yang dimaksud oleh Tuanku Nan Renceh, ketika hendak melakukan puritanisasi di Minangkabau – Jihad hati dan jihad lidah dan tangan yang terangkum dalam gerakan perang suci. Dalam beberapa penelitian keagamaan yang diadakan sosiolog, tercermin bahwa salah satu tuga utama agama adalah memodifikasi sikap modernis terhadap umatnya. Modern bukan diartikan sebagai “komponen Barat” tetapi lebih dimaknai sebagai setting keilmuan dan kemajuan sain yang berakar dari nilai-nilai agama. Misalnya Max Weber, Robert N. Bellah, Karen Amstrong dan Clifford Geertz, melihat agama sebagai inspirator dari sebuah gerakan humanisasi, sain, budaya dan seterusnya(semuanya terangkum dalam koloborasi makna modernisasi) . Durkheim juga mengungkapkan agama itu sui generis, oleh Richardson disebutnya sebagai felt whole – “perasaan kemenyeluruhan” yang dibangun oleh agama, sehingga agama hadir dalam konteks apa pun. Dan itu dijadikan sebagai inspirator oleh manusia sebagai makhluk Tuhan yang berakal untuk mencerahkan peradaban. Weber melihat, modernisasi ekonomi lahir dari etika protestan. Bellah juga menemukan, kemajuan politik, budaya di jepang tidak dapat dilepaskan dari sprit Tokugawa. Di Nusantara kata Geertz agama telah memberikan move perjuangan untuk menuju kemerdekaan. Ini merupakan fakta sosial yang telah dijenearal dalam teori ilmuan. Namun, yang terpenting di sini adalah aktor atau “penabuh” inspirator agama itu, inilah yang dinamakan dengan missionaris atau ulama dalam kancah keislaman. Dalam masyarakat Kristen misalnya, Calvin bisa dikatakan sebagai agent atau aktor yang sangat berjasa dalam memoderniskan pengikut agama tersebut. Menurut Calvin, umat kristen harus mengungkapkan keimanan mereka dengan cara ambil bagian dalam kehidupan sosial dan politik, bukannya dengan cara menyepi di biara. Al kitab bukanlah berisi sekedar informasi tersurat tentang geografi atau kosmologi, Al kitab berusaha memberikan kebenaran hakiki dalam bahasa yang bisa dipahami nalar manusia yang terbatas.
Fenomena itu, memberikan isyarat umat agama sering terjebak kedalam kontek pemahaman literasi yang picik, oleh sebab itu para agamawan atau ulama haru memodernisasi pemahaman kedalam konteks yang sui generis, sehingga agama tidak terasing di tengah perubahan masyarakatnya. Akibat pemahaman literasi yang sempit itulah, barangkali para pengikut Marx mendefenisikan agama ke dalam defenisi yang diskursus domana agama dituding sebagai candu masyarakat. Ketika inilah dibutuhkan “penerangan” agama holistik dan terintegral, dimana agama tidak hanya sebagai “penenang jiwa” tetapi juga harus dijelaskan sebagai sumber dari tata sains dan ilmu pengetahuan. Dalam sejarah Islam, perkembangan sains sudah mulai dibentangkan, dimana agama membenarkan dan memberikan informasi sains tersebut, kewajiban pengikutnyalah untuk mengolah informasi tersebut. Semenjak diterima filsafat dalam kahazanah perkembangan sains Islam, setidaknya sudah terlihat kearah pembuktian keholistikan dan keintegralan pemahaman ajaran agama tersebut. Bagaimana, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd dan seterusnya membuktikan kehadapan publik bahwa agama tidak hanya berkutik dalam “ranah” penyepian-kontemplatif yang hanya membicarakan alam setelah mati, tetapi agama juga sarat dengan firman Tuhan yang membangun hidup kekinian.
Namun, karena umat membangun agama itu sebagai “monumen” yang sudah final dan tidak bisa diutak-atik lagi, menyebabkan pemahanan terhadap informasi yang ada dalam literasi, agak kaku dan bahkan cendrung diterima apa adanya, tidak diberi hermeneutik, sehingga menyebabkan agama terasa kaku dan tidak “mengerti’ dengan konteks zaman. Di sinilah ketertinggalan komunitas, ia lebih membicarakan firman Tuhan sebagai konteks “penenang” jiwa, ketimbang menjadi sumber dari sains dan ilmu pengetahuan, seperti kasus folk Islam yang dijelaskan Gellner. Proses modernisasi, dalam merubah identional diperoleh melalui dua cara : Pertama, melalui injection motivation, dan kedua melalui revolusi think tank. Pada kasus modernisasi pertama, lebih dimotivasi oleh kemajuan dunia luar. Di Minangkabau, modernisasi dalam institusi pendidikan sangat dpengaruhi oleh sistem pendidikan luar terutama Mekah dan Mesir. Sistem ini dibawa oleh ulama-ulama Minangkabau, dan diterapkan dalam sistem pendidikan Islam lokal Minangkabau. Akhirnya terjadi pembaruan dalam isntitusi pendidikan surau menjadi madrasah, yang klasikal dan tidak lagi berhalaqah, serta terjadi perombakan-perombakan dalam kurikulum pendidikan. Aktor pembaharuan ini, diantarannya Syech Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Sjech Taher Djalaluddin, Syech Muhammad Djamil Djembek, Inyiak Rasul atau Haji Abdul Karim Amrullah, dan Abdullah Ahmad.
Kedua, mengilhami modernisasi itu adalah revolusi think tank, yakni gagasan pembaruan yang datang dari tokoh-tokoh pemikir yang tidak siap menerima ketertinggalan kelompoknya dalam meratas percaturan dunia. Menurut kelompok ini, ketertinggalan itu bisa diatasi melalui pengotimalan pemahaman ajaran Islam. Dalam pandangan kalangan modernis Islam ini, ketertinggalan umat islam merupakan kesalahan umat Islam itu sendiri, karena memahami agama secara picik dan kepicikan berfikir. Di samping itu, enggan menerima pluralitas sebagai khazanah dan fitrah budaya. Kemudian, menjadikan perbedaan sebagai konfrontatif yang melelahkan. Setting kelompok modernis Islamisasi, tidak terjebak dalam pemikiran ke Islaman yang sempit, biasanya lebih mementingkan kesimbangan pemahaman tariqah dengan syariah. Tariqah merupakan pemahaman keagaman menuju kekayaan bathiniah, sedangkan syariah adalah hukum yang harus didekonstruksi oleh Islam dalam kehidupannya. Perpaduan ini lebih tepat disebut dengan keseimbangan antara eksotoritik dengan esotorik. Dalam hal ini, yang lebih tegas dilakukan oleh kelompok modernis Islami adalah meletakan Islam sebagai idologi atau pardigma dalam tranformasi sosial. Tugas ini lah yang harus dilakukan oleh agamwan atau ulama. Tidak semua ulama yang dapat menjalankan missi tersebut. Tugas ini, kemudian banyak diambil alih oleh kelompok akademisi, yang terdidik dan menaruh perahtian terhadap Islam. Era ini di Minangkabau sangat terlihat pada zamannya Hamka, Muhammad Hatta dengan gerakan ekonomis-sosialis Islam. Modernisasi Islam, dipahami sebagai paradigma pemikiran umat Islam, bukan membangun defenisi Islam yang baru. Di lihat dari alur pemikiran lahirnya, paradigma ini disebabkan ketidak “relaan” kelompok pemikir ini terhadap ketertinggalan umat Islam dalam “merancah” dunia sosialnya, serta kepicikan pemikiran umat Islam itu sendiri dalam mentransfer literasinya ke dalam dunia nyata.
Di Minangkabau, paradigma pemikiran modernisasi Islam ini, sebenarnya sudah muncul semenjak lahirnya puritanisasi sebagai pendobrak pemurnian pemahaman Islam orang Minangkabau yang sinkretisme. Namun, modernisasi Islam ini lebih berkembang ketika awal abad ke-19 seiring dengan, bergeraknya kaum agama membangun sekolah-sekolah agama modern di Minangkabau. Modernisasi Islam, lebih menekankan pada pembentukan karakteristik umat Islam untuk memanifestasikan hidup dengan konteks keberagamaan yang sesungguhnya. Oleh sebab itu, diperlukan pengajaran dan sisitem pendidikan agama yang signifikan terhadap tujuan tersebut. Maka dalam modernisasi awal ini, sangat kentara terjadinya pembaharuan-pembaharuan isntitusi, organisasi ke Islaman, seperti lahirnya madrasah-madrasah dengan pola modernis dan munculnya organisasi plat form Islam. Di Minangkabau, dimulai dengan menukar sistem surau yang tardisional dengan sistem pendidikan modern, yang mengenal kelasikan, berijazah dan memiliki kurikulum yang terarah. Di Padang Panjang misalnya, surau Jembatan Besi dengan duet tenaga pengajar yakni Haji Abdullah Ahmad dan Haji Rasul menjadi cikal bakal sekolah Thawalib. Eksistensi sekolah ini sangat berpengaruh di Minangkabau.
Pada masa modernisasi Islam awal ini, ada dua pendekatan yang dilakukan ulama untuk membangun ke Islaman umat, yakni pendekatan pendidikan dan pendekatan pergerakan. Pendekatan pendidikan; lebih tertuju pada perubahan idetional dalam generasi muda. Sedangkan pendekatan pergerakan, di dalamnya tercakup pembentukan jemaah dan institusi Islam yang progresiv, seperti organisasi-organisasi ke Islaman. Pendidikan yang dikelola oleh ulama-ulama konservatif ini, setidaknya telah melahirkan peta pemikiran ke Islaman Minangkabau sekaligus terjadinya pergeseran pemikiran Islam dari folk Islam ke modernisasi Islam. Lahirnya madrasah-madrasah modernis ini, secara langsung atau tidak langsung jelas menjadikan Minangkabau tidak lama mengalami kekosongan sistem pendidikan. Sementara itu, ulama pada masa modernisasi Islam ini terbagi menjadi dua kutup, yakni ulama kaum muda dan kaum tua. Ulama kaum muda yakni ulama-ulama modernis dan konservatif, biasanya ulama-ulama punya view oriented, dan mereka terpengaruh oleh konsep-konsep pembaruan dari luar. Sementara kaum tua, ulama yang masih bertahan dengan konsep-konsep surau masa lalu, serta masih mempertahankan tradisi ritualisasi-ritualisasi keguruan.
Bagi kelompok ulama modernisasi Islam, agama itu diaplikasikan secara realistis. Agama ditujukan untuk pemberdayaan umat secara keseluruhan. Dalam masa awal ini, konseptual itu belum sepenuhnya terkembang, karena masih terkendala oleh sistem penjajahan. Di samping itu, madrasah-madrasah yang dikembangkan hanya baru bergerak dengan sistem pendidikan yang teoritik keagamaan dan belum dilengkapi dengan skill education. Akibatnya, ketika terjadi perubahan terutama berkembangnya pasar dalam sistem ekonomi masyarakat Minangkabau, alumni surau-madrasah sulit mengikut perkembangan ini. Inilah salah satu kelemahan. Kedatangan Islam ke Minangkabau menjadikan surau sebagai tempat ritualisasi Islam, kemudian berkembang sebagai tempat pendidikan. Di institusi inilah, revilisme mpemikiran Islam pertama berlangsung di Minangkabau. Surau sebagai akademis ilmu agama orang Minang. Surau menjadi media diffusi Islam. Ulama-ulama mendirikan surau sebagai tempat penyebaran Islam. Murid-murid yang telah selesai menempuh pendidikan pun mendirikan surau di kampung halamnnya, sehingga Islam di Minangkabau cepat diakses oleh masyarakat. Sekaligus surau semakin populer sebagai media penyebaran Islam, dan yang penting adalah surau telah membentuk karakteristik masyarakat Minangkabau.
Gelombang surau ini, merupakan tonggak sejarah pemikiran Islam di Minangkabau. Dari surau ulama-ulama membangun think tank Islam. Surau menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam pendidikan dan pemikiran ke Islaman orang Minangkabau. Corak dan karakteristik surau sangat ditentutakan oleh otoritas ulama surau. Ulama sebagai pemilik surau membangun tradisi suraunya secara tersendiri. Bahkan surau sangat identik dengan corak pemikiran ke Islaman seorang ulama. Otoritas keulamaan ini kentara terlihat dalam tariqat yang diamalkan oleh ulama tersebut.
Gerakan ini menjadi inspirasi pergerakan, sehingga kepulangannya di ranah Minang bergema gerakan pemurnian Islam. Semula, gerakan yang dilakukan oleh Haji Miskin ini tidak bisa diterima oleh masyarakat, karena gerakannya terkesan keras dan sering berbenturan dengan masyarakat, bahkan ia pernah membakar pasar yang sering dijadikan gelanggang judi, tuak dan adu jago. Di samping itu, kekerasan Haji Miskin, sering dihadang oleh kubu-kubu yang tidak senang dengan cara yang frontal, misalnya Haji Miskin dan pengikut pernah terlibat perkelahian dengan kelompok yang yang tidak sealiran dengannya. Dalam perkelahian ini, kelompoknya kalah dan Haji Miskin melarikan diri ke Bukit Kamang. Walaupun puritanisasi sering gagal dan sering tidak diterima oleh masyarakat, namun pergerakan ini tidak pernah berhenti. Haji Miskin dalam pelariannya, menemukan seorang teman yang selairan dengannya (yang menerima gerakan pemurinian) yakni Tuanku Nan Renceh. Kabolarasi dua tokoh ini, nampaknya pemurnian Islam di Minangkabau semakin militan. Tuanku Nan Renceh tidak sabar untuk menegakan syariat Islam dengan mencontoh tatanan Wahabi, dalam kotbahnya selalu menyerukan jihad yang terintegral. Bahkan dikabarkan, Tuanku Nan Renceh memulai jihadnya ini dengan membunuh kakak perempuan ibunya, gara-gara mengkonsumsi tembakau, karena dalam perspektif Islam mengisap tembakau tidak cocok dengan syariat. Kemudian, gerakan militannya menjalar menembus pembasmian parktik-praktik jahiliyah lainnya yang masih mengkontaminasi masyarakat.
Gerakan-gerakan puritanisasi ini, kelihatannya secara bertahap mulai bisa diterima oleh masyarakat Minangkabau. Terutama, ditandai dengan berkembangnya wilayah-wilayah dakwah dari kelompok puritan dan juga ditopang oleh kinerja Harimau Nan Salapan. Gerakan puritanisasi juga mulai merambah menjadi gerakan perjuangan, melawan strategi penjajahan Belanda, maka kemudian terbentuklah gerakan Paderi, yang secara terorganisir-sistematik (setidaknya untuk zaman ini) terlihat ketika Tuanku Imam Bonjol berjuang dalam menentang penjajahan Belanda. Menurut Schrike seperti dikutip Taufik Abdullah menyatakan bahwa gerakan Paderi ini merupakan revolusi pemimpin agama yang kecewa di dalam masyarakat yang tidak memberinya tempat dalam hirarki sosial. Revolusi ini, tidak sia-sia. Selanjutnya dikatakan Taufik Abdullah semakin mengokohkan Islam di Minangkabau, bahkan mencoba menstrukturisasi kepimpinan dalam Islam dengan formulasi islamisasi.
Dalam istilah Greetz, revolusi itu sebutnya sebagai revolusi skriptualisme. Menurut Geerz, kaum revolusiner skriptualisme ini di nusantra menjadi cikal bakal pergerakan perjuangan untuk kemederdekaan bangsa. Inilah yang terpenting dalam gerakan keagamaan sebelum kemerdekaan, di Indonesia. Bahwa kemerdekaan sangat besar dipengaruhi oleh move achievment kaum skriptualisme. Peran ulama, mempunyai doble legal, yakni sebagai ulama yang menyempurnakan pemahaman dan penyebaran ajaran agama di tengah umatnya, yang kedua ulama mengambil peran sebagai kelompok integritas kebangsaan. Mungkin inilah makna jihad yang dimaksud oleh Tuanku Nan Renceh, ketika hendak melakukan puritanisasi di Minangkabau – Jihad hati dan jihad lidah dan tangan yang terangkum dalam gerakan perang suci. Dalam beberapa penelitian keagamaan yang diadakan sosiolog, tercermin bahwa salah satu tuga utama agama adalah memodifikasi sikap modernis terhadap umatnya. Modern bukan diartikan sebagai “komponen Barat” tetapi lebih dimaknai sebagai setting keilmuan dan kemajuan sain yang berakar dari nilai-nilai agama. Misalnya Max Weber, Robert N. Bellah, Karen Amstrong dan Clifford Geertz, melihat agama sebagai inspirator dari sebuah gerakan humanisasi, sain, budaya dan seterusnya(semuanya terangkum dalam koloborasi makna modernisasi) . Durkheim juga mengungkapkan agama itu sui generis, oleh Richardson disebutnya sebagai felt whole – “perasaan kemenyeluruhan” yang dibangun oleh agama, sehingga agama hadir dalam konteks apa pun. Dan itu dijadikan sebagai inspirator oleh manusia sebagai makhluk Tuhan yang berakal untuk mencerahkan peradaban. Weber melihat, modernisasi ekonomi lahir dari etika protestan. Bellah juga menemukan, kemajuan politik, budaya di jepang tidak dapat dilepaskan dari sprit Tokugawa. Di Nusantara kata Geertz agama telah memberikan move perjuangan untuk menuju kemerdekaan. Ini merupakan fakta sosial yang telah dijenearal dalam teori ilmuan. Namun, yang terpenting di sini adalah aktor atau “penabuh” inspirator agama itu, inilah yang dinamakan dengan missionaris atau ulama dalam kancah keislaman. Dalam masyarakat Kristen misalnya, Calvin bisa dikatakan sebagai agent atau aktor yang sangat berjasa dalam memoderniskan pengikut agama tersebut. Menurut Calvin, umat kristen harus mengungkapkan keimanan mereka dengan cara ambil bagian dalam kehidupan sosial dan politik, bukannya dengan cara menyepi di biara. Al kitab bukanlah berisi sekedar informasi tersurat tentang geografi atau kosmologi, Al kitab berusaha memberikan kebenaran hakiki dalam bahasa yang bisa dipahami nalar manusia yang terbatas.
Fenomena itu, memberikan isyarat umat agama sering terjebak kedalam kontek pemahaman literasi yang picik, oleh sebab itu para agamawan atau ulama haru memodernisasi pemahaman kedalam konteks yang sui generis, sehingga agama tidak terasing di tengah perubahan masyarakatnya. Akibat pemahaman literasi yang sempit itulah, barangkali para pengikut Marx mendefenisikan agama ke dalam defenisi yang diskursus domana agama dituding sebagai candu masyarakat. Ketika inilah dibutuhkan “penerangan” agama holistik dan terintegral, dimana agama tidak hanya sebagai “penenang jiwa” tetapi juga harus dijelaskan sebagai sumber dari tata sains dan ilmu pengetahuan. Dalam sejarah Islam, perkembangan sains sudah mulai dibentangkan, dimana agama membenarkan dan memberikan informasi sains tersebut, kewajiban pengikutnyalah untuk mengolah informasi tersebut. Semenjak diterima filsafat dalam kahazanah perkembangan sains Islam, setidaknya sudah terlihat kearah pembuktian keholistikan dan keintegralan pemahaman ajaran agama tersebut. Bagaimana, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd dan seterusnya membuktikan kehadapan publik bahwa agama tidak hanya berkutik dalam “ranah” penyepian-kontemplatif yang hanya membicarakan alam setelah mati, tetapi agama juga sarat dengan firman Tuhan yang membangun hidup kekinian.
Namun, karena umat membangun agama itu sebagai “monumen” yang sudah final dan tidak bisa diutak-atik lagi, menyebabkan pemahanan terhadap informasi yang ada dalam literasi, agak kaku dan bahkan cendrung diterima apa adanya, tidak diberi hermeneutik, sehingga menyebabkan agama terasa kaku dan tidak “mengerti’ dengan konteks zaman. Di sinilah ketertinggalan komunitas, ia lebih membicarakan firman Tuhan sebagai konteks “penenang” jiwa, ketimbang menjadi sumber dari sains dan ilmu pengetahuan, seperti kasus folk Islam yang dijelaskan Gellner. Proses modernisasi, dalam merubah identional diperoleh melalui dua cara : Pertama, melalui injection motivation, dan kedua melalui revolusi think tank. Pada kasus modernisasi pertama, lebih dimotivasi oleh kemajuan dunia luar. Di Minangkabau, modernisasi dalam institusi pendidikan sangat dpengaruhi oleh sistem pendidikan luar terutama Mekah dan Mesir. Sistem ini dibawa oleh ulama-ulama Minangkabau, dan diterapkan dalam sistem pendidikan Islam lokal Minangkabau. Akhirnya terjadi pembaruan dalam isntitusi pendidikan surau menjadi madrasah, yang klasikal dan tidak lagi berhalaqah, serta terjadi perombakan-perombakan dalam kurikulum pendidikan. Aktor pembaharuan ini, diantarannya Syech Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Sjech Taher Djalaluddin, Syech Muhammad Djamil Djembek, Inyiak Rasul atau Haji Abdul Karim Amrullah, dan Abdullah Ahmad.
Kedua, mengilhami modernisasi itu adalah revolusi think tank, yakni gagasan pembaruan yang datang dari tokoh-tokoh pemikir yang tidak siap menerima ketertinggalan kelompoknya dalam meratas percaturan dunia. Menurut kelompok ini, ketertinggalan itu bisa diatasi melalui pengotimalan pemahaman ajaran Islam. Dalam pandangan kalangan modernis Islam ini, ketertinggalan umat islam merupakan kesalahan umat Islam itu sendiri, karena memahami agama secara picik dan kepicikan berfikir. Di samping itu, enggan menerima pluralitas sebagai khazanah dan fitrah budaya. Kemudian, menjadikan perbedaan sebagai konfrontatif yang melelahkan. Setting kelompok modernis Islamisasi, tidak terjebak dalam pemikiran ke Islaman yang sempit, biasanya lebih mementingkan kesimbangan pemahaman tariqah dengan syariah. Tariqah merupakan pemahaman keagaman menuju kekayaan bathiniah, sedangkan syariah adalah hukum yang harus didekonstruksi oleh Islam dalam kehidupannya. Perpaduan ini lebih tepat disebut dengan keseimbangan antara eksotoritik dengan esotorik. Dalam hal ini, yang lebih tegas dilakukan oleh kelompok modernis Islami adalah meletakan Islam sebagai idologi atau pardigma dalam tranformasi sosial. Tugas ini lah yang harus dilakukan oleh agamwan atau ulama. Tidak semua ulama yang dapat menjalankan missi tersebut. Tugas ini, kemudian banyak diambil alih oleh kelompok akademisi, yang terdidik dan menaruh perahtian terhadap Islam. Era ini di Minangkabau sangat terlihat pada zamannya Hamka, Muhammad Hatta dengan gerakan ekonomis-sosialis Islam. Modernisasi Islam, dipahami sebagai paradigma pemikiran umat Islam, bukan membangun defenisi Islam yang baru. Di lihat dari alur pemikiran lahirnya, paradigma ini disebabkan ketidak “relaan” kelompok pemikir ini terhadap ketertinggalan umat Islam dalam “merancah” dunia sosialnya, serta kepicikan pemikiran umat Islam itu sendiri dalam mentransfer literasinya ke dalam dunia nyata.
Di Minangkabau, paradigma pemikiran modernisasi Islam ini, sebenarnya sudah muncul semenjak lahirnya puritanisasi sebagai pendobrak pemurnian pemahaman Islam orang Minangkabau yang sinkretisme. Namun, modernisasi Islam ini lebih berkembang ketika awal abad ke-19 seiring dengan, bergeraknya kaum agama membangun sekolah-sekolah agama modern di Minangkabau. Modernisasi Islam, lebih menekankan pada pembentukan karakteristik umat Islam untuk memanifestasikan hidup dengan konteks keberagamaan yang sesungguhnya. Oleh sebab itu, diperlukan pengajaran dan sisitem pendidikan agama yang signifikan terhadap tujuan tersebut. Maka dalam modernisasi awal ini, sangat kentara terjadinya pembaharuan-pembaharuan isntitusi, organisasi ke Islaman, seperti lahirnya madrasah-madrasah dengan pola modernis dan munculnya organisasi plat form Islam. Di Minangkabau, dimulai dengan menukar sistem surau yang tardisional dengan sistem pendidikan modern, yang mengenal kelasikan, berijazah dan memiliki kurikulum yang terarah. Di Padang Panjang misalnya, surau Jembatan Besi dengan duet tenaga pengajar yakni Haji Abdullah Ahmad dan Haji Rasul menjadi cikal bakal sekolah Thawalib. Eksistensi sekolah ini sangat berpengaruh di Minangkabau.
Pada masa modernisasi Islam awal ini, ada dua pendekatan yang dilakukan ulama untuk membangun ke Islaman umat, yakni pendekatan pendidikan dan pendekatan pergerakan. Pendekatan pendidikan; lebih tertuju pada perubahan idetional dalam generasi muda. Sedangkan pendekatan pergerakan, di dalamnya tercakup pembentukan jemaah dan institusi Islam yang progresiv, seperti organisasi-organisasi ke Islaman. Pendidikan yang dikelola oleh ulama-ulama konservatif ini, setidaknya telah melahirkan peta pemikiran ke Islaman Minangkabau sekaligus terjadinya pergeseran pemikiran Islam dari folk Islam ke modernisasi Islam. Lahirnya madrasah-madrasah modernis ini, secara langsung atau tidak langsung jelas menjadikan Minangkabau tidak lama mengalami kekosongan sistem pendidikan. Sementara itu, ulama pada masa modernisasi Islam ini terbagi menjadi dua kutup, yakni ulama kaum muda dan kaum tua. Ulama kaum muda yakni ulama-ulama modernis dan konservatif, biasanya ulama-ulama punya view oriented, dan mereka terpengaruh oleh konsep-konsep pembaruan dari luar. Sementara kaum tua, ulama yang masih bertahan dengan konsep-konsep surau masa lalu, serta masih mempertahankan tradisi ritualisasi-ritualisasi keguruan.
Bagi kelompok ulama modernisasi Islam, agama itu diaplikasikan secara realistis. Agama ditujukan untuk pemberdayaan umat secara keseluruhan. Dalam masa awal ini, konseptual itu belum sepenuhnya terkembang, karena masih terkendala oleh sistem penjajahan. Di samping itu, madrasah-madrasah yang dikembangkan hanya baru bergerak dengan sistem pendidikan yang teoritik keagamaan dan belum dilengkapi dengan skill education. Akibatnya, ketika terjadi perubahan terutama berkembangnya pasar dalam sistem ekonomi masyarakat Minangkabau, alumni surau-madrasah sulit mengikut perkembangan ini. Inilah salah satu kelemahan. Kedatangan Islam ke Minangkabau menjadikan surau sebagai tempat ritualisasi Islam, kemudian berkembang sebagai tempat pendidikan. Di institusi inilah, revilisme mpemikiran Islam pertama berlangsung di Minangkabau. Surau sebagai akademis ilmu agama orang Minang. Surau menjadi media diffusi Islam. Ulama-ulama mendirikan surau sebagai tempat penyebaran Islam. Murid-murid yang telah selesai menempuh pendidikan pun mendirikan surau di kampung halamnnya, sehingga Islam di Minangkabau cepat diakses oleh masyarakat. Sekaligus surau semakin populer sebagai media penyebaran Islam, dan yang penting adalah surau telah membentuk karakteristik masyarakat Minangkabau.
Gelombang surau ini, merupakan tonggak sejarah pemikiran Islam di Minangkabau. Dari surau ulama-ulama membangun think tank Islam. Surau menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam pendidikan dan pemikiran ke Islaman orang Minangkabau. Corak dan karakteristik surau sangat ditentutakan oleh otoritas ulama surau. Ulama sebagai pemilik surau membangun tradisi suraunya secara tersendiri. Bahkan surau sangat identik dengan corak pemikiran ke Islaman seorang ulama. Otoritas keulamaan ini kentara terlihat dalam tariqat yang diamalkan oleh ulama tersebut.
Dengan tradisi tariqat ini pula sangat mudah mencari link antara surau yang satu dengan lainnya. Surau-surau yang mempunyai aliran traiqat syatariah akan berhubungan dan berkaitan secara emosional dengan penganut traiqat yang sama, begitu pula dengan surau yang menjalankan traiqat naqsyabandiah akan terus menjalin hubungan dengan surau yang sealiran dengannya. Keterkaitan aliran surau ini sangat mudah menjejaki tradisi ke Islaman yang berkembang pada surau, karena link pemikiran dan tradisi yang berkembang selalu menurut alur tradisi guru terdahulu. Tradisi guru menjadi panutan dan dikembangkan oleh murid atau pengikut-pengikut selanjutnya. Diffusi ini secara langsung atau tidak langsung telah mempengaruhi tingkat pengamalan keislaman masyarakat Pada masa ini ada dua kekuatan mendasar membangun tradisi pemikiran ke Islaman di minangkabau, pertama tradisi pendidikan surau dan kedua tradisi tariqat. Pada tradisi pendidikan surau, ulama adalah guru secara akademik, yang memberikan transfer knowledge. Yakni memberikan pengetahuan ke Islaman kepada murid-muridnya dengan sistem pendidikan kesurauan, atau dengan sistem salaf.
Ulama di Minangkabau pada masa-masa awal sangat terkait dengan tariqat. Tariqat suatu jalan menuju kedekatan dengan Allah. Tariqat di Minangkabau pertama kali di bawa oleh Burhanuddin dari setalah berguru di Aceh, kemudian suraunya di ulakan menjadi otortitas tariqat syatariah di Minangkabau. Tariqat, biasanya tidak terpaut pada guru dan murid saja tetapi sudah menyebar kedalam jemaah. Tariqat lebih banyak bersentuhan dengan bathin, dalam ritualisasinya diimami oleh ulama yang memiliki aliran tariqat baik naqsyabandiah maupun satariyah. Tariqat mempunyai ritualisasi ibadah salah satunya dinamakan dengan suluk. Di Minangkabau, ulama pertama kali mewarisi ilmunya di surau, Surau, dalam masa perkembangannya sekitar abad ke-18 dan ke-19 Masehi, merupakan laboratorium pendidikan bagi orang Minang. Ulama sekaligus pemiliki surau. Biasanya surau memiliki ciri khas ke ilmuan tersendiri, sesuai dengan ilmu yang dimiliki oleh ulama pemilik surau tersebut.
Ulama di Minangkabau pada masa-masa awal sangat terkait dengan tariqat. Tariqat suatu jalan menuju kedekatan dengan Allah. Tariqat di Minangkabau pertama kali di bawa oleh Burhanuddin dari setalah berguru di Aceh, kemudian suraunya di ulakan menjadi otortitas tariqat syatariah di Minangkabau. Tariqat, biasanya tidak terpaut pada guru dan murid saja tetapi sudah menyebar kedalam jemaah. Tariqat lebih banyak bersentuhan dengan bathin, dalam ritualisasinya diimami oleh ulama yang memiliki aliran tariqat baik naqsyabandiah maupun satariyah. Tariqat mempunyai ritualisasi ibadah salah satunya dinamakan dengan suluk. Di Minangkabau, ulama pertama kali mewarisi ilmunya di surau, Surau, dalam masa perkembangannya sekitar abad ke-18 dan ke-19 Masehi, merupakan laboratorium pendidikan bagi orang Minang. Ulama sekaligus pemiliki surau. Biasanya surau memiliki ciri khas ke ilmuan tersendiri, sesuai dengan ilmu yang dimiliki oleh ulama pemilik surau tersebut.
Sampai saat ini, sistem tradisional masih dijalani oleh ulama-ulama surau. Diantaranya, bisa ditemukan beberapa surau di daerah Pariaman sebagai wilayah pesisir dari alam Minangkabau. Di sini seorang ulama yang bergelar Tuanku mengajar di surau, dengan sistem yang belum berubah. Mata pelajarannya dan buku literatur yang dipakai pun masih seperti yang lama. Life style, kehidupan santrinya pun “ala” surau, yakni bermukim di surau. Santri diajak mandiri. Di samping itu, santri diperbolehkan untuk berjalan keliling untuk minta sedekah, dengan satu karung kain yang disandangnya. Di tengah masyarakat mereka di juluki oleh masyarakat dengan sebutan fakih atau orang surau. Malahan atribut mereka ini, menyimbolkan kesurauan. Di Minangkabau ulama merupakan tokoh kunci dalam membangun building karakteristik Minangkabau yang berasaskan Adat Basandi Syarak, Syarak Bansandi Kitabullah. Dari segi pemikiran, ulama sebenarnya telah membentangkan pemikirannya melalui institusi pendidikan yang didirikannya sendiri, terutama sekali melalui institusi pendidikan surau. Pendidikan dalam pergerakan eksistensi ulama sekurang-kurangya telah memberikan dua sumbangsih, yakni sebagai penyebaran aliran, ajaran agama Islam, dan kedua sebagai penyebaran pemikiran ulama itu sendiri. Penyebaran pemikiran ini, kemudian menjadi cikal bakal pergerakan dan kemudian membuat link guru dengan murid tidak terputus dan dapat ditelusuri. Dalam kultur link seperti ini, sangat mempercepat penyebaran Islam dan transformasi masyarakat Minangkabau dan secara tidak langsung, mereka ini kemudian juga memiliki kontribusi sebagai penggerak ”pendulum” sejarah nasional Indonesia.
Dalam sejarah, banyak ulama Minangkabau yang tercatat dalam tinta emas sebagai "penggerak" arah sejarah nasional Indonesia yang berwibawa serta dihormati. Sebutlah diantaranya seperti Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi -- ulama terkemuka asal Minangkabau yang mendapat pengakuan internasional dalam sejarah sebagai "guru besar" mazhab Syafii di Masjidil Haram pada masanya. Banyak murid-muridnya yang menyebar dan mentransfer ilmu ke beberapa negara seperti Indonesia, Semenanjung Malaysia, Singapura (Temasek) dan Thailand Selatan (Pattani, Narathiwat dan Yala). Disamping itu juga dikenal ulama-ulama lain seperti Syekh Sulaiman Ar-Rasuli, Syekh Abbas Padang Japang, Syekh Muhammad Djamil Djambek, Syekh Djamil Djaho, Abdullah Ahmad, Haji Abdul Karim Amrullah atau Inyiak Dotor dan anaknya HAMKA serta banyak lagi ulama-ulama lainnya yang memiliki pengaruh seperti mereka dalam masing-masing kecenderungan bidang yang mereka dalami, minimal untuk skala yang bersifat lokal. Sebagai bukti ilmiah, sudah banyak buku yang telah diterbitkan serta penelitian ilmiah yang dilakukan oleh berbagai kalangan.
Dalam perkembangan tradisi ilmiah, khususnya penelitian mengenai ulama-ulama Minangkabau, terlihat kecenderungan bahwa penulisan buku ilmiah ataupun penelitian yang dilakukan terfokus kepada riwayat hidup (include : vieuw world, dinamika zaman, pola transfer ilmu, hubungan guru-murid) ulama-ulama yang memiliki pengaruh atau "nama" skala nasional atau lintas geo-kultural. Sedangkan penelitian ilmiah serta penulisan buku tentang pengaruh ulama-ulama lokal sangat jarang dilakukan. Kalaupun itu ada, selalu bersifat parsial dan individual. Padahal, secara epistimologis, keberadaan dan kebesaran ulama-ulama kaliber nasional dan internasional Minangkabau diatas bisa diterima dengan melihat beberapa indikator, salah satunya adalah diaspora (penyebaran) pengaruhnya yang terlihat dari seberapa banyak murid-murid yang mereka miliki. Melalui murid-murid mereka inilah akan terjadi pula diaspora pengaruh keilmuan ulama itu sendiri. Pada umumnya, murid-murid ulama-ulama besar Minangkabau yang dikenal dalam sejarah terdapat diberbagai daerah di Sumatera Barat yang secara pengaruh, umumnya masih bersifat lokal, akan tetapi secara substansi mereka tetap sebagai definer of reality dalam masing-masing komunitas mereka. Mereka juga dianggap sebagai – atau dalam istilah atau term sosiologi – kelompok ataupun strata yang memiliki pengaruh signifikan, walaupun bersifat lokal-spasial.
Dalam sejarah, banyak ulama Minangkabau yang tercatat dalam tinta emas sebagai "penggerak" arah sejarah nasional Indonesia yang berwibawa serta dihormati. Sebutlah diantaranya seperti Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi -- ulama terkemuka asal Minangkabau yang mendapat pengakuan internasional dalam sejarah sebagai "guru besar" mazhab Syafii di Masjidil Haram pada masanya. Banyak murid-muridnya yang menyebar dan mentransfer ilmu ke beberapa negara seperti Indonesia, Semenanjung Malaysia, Singapura (Temasek) dan Thailand Selatan (Pattani, Narathiwat dan Yala). Disamping itu juga dikenal ulama-ulama lain seperti Syekh Sulaiman Ar-Rasuli, Syekh Abbas Padang Japang, Syekh Muhammad Djamil Djambek, Syekh Djamil Djaho, Abdullah Ahmad, Haji Abdul Karim Amrullah atau Inyiak Dotor dan anaknya HAMKA serta banyak lagi ulama-ulama lainnya yang memiliki pengaruh seperti mereka dalam masing-masing kecenderungan bidang yang mereka dalami, minimal untuk skala yang bersifat lokal. Sebagai bukti ilmiah, sudah banyak buku yang telah diterbitkan serta penelitian ilmiah yang dilakukan oleh berbagai kalangan.
Dalam perkembangan tradisi ilmiah, khususnya penelitian mengenai ulama-ulama Minangkabau, terlihat kecenderungan bahwa penulisan buku ilmiah ataupun penelitian yang dilakukan terfokus kepada riwayat hidup (include : vieuw world, dinamika zaman, pola transfer ilmu, hubungan guru-murid) ulama-ulama yang memiliki pengaruh atau "nama" skala nasional atau lintas geo-kultural. Sedangkan penelitian ilmiah serta penulisan buku tentang pengaruh ulama-ulama lokal sangat jarang dilakukan. Kalaupun itu ada, selalu bersifat parsial dan individual. Padahal, secara epistimologis, keberadaan dan kebesaran ulama-ulama kaliber nasional dan internasional Minangkabau diatas bisa diterima dengan melihat beberapa indikator, salah satunya adalah diaspora (penyebaran) pengaruhnya yang terlihat dari seberapa banyak murid-murid yang mereka miliki. Melalui murid-murid mereka inilah akan terjadi pula diaspora pengaruh keilmuan ulama itu sendiri. Pada umumnya, murid-murid ulama-ulama besar Minangkabau yang dikenal dalam sejarah terdapat diberbagai daerah di Sumatera Barat yang secara pengaruh, umumnya masih bersifat lokal, akan tetapi secara substansi mereka tetap sebagai definer of reality dalam masing-masing komunitas mereka. Mereka juga dianggap sebagai – atau dalam istilah atau term sosiologi – kelompok ataupun strata yang memiliki pengaruh signifikan, walaupun bersifat lokal-spasial.
Pahlawan
Oleh : Muhammad Ilham
Asvi Warman Adam, sejarawan urang awak tamatan EHESS Perancis ini suatu waktu pernah menjawab secara tegas pertanyaan yang terus bergelayut dalam memori historis masyarakat Sumatera Barat : “Mengapa Muhammad Natsir belum diberi label Pahlawan ?”. Asvi bilang, Muhammad Natsir merupakan tokoh historis panutan, tapi sayang, beliau memiliki kesalahan politis – “Muhammad Natsir seorang pemberontak”. Kemudian, ragam pendapat bermunculan. Asvi mengecilkan peranan Natsir dalam belantara sejarah Indonesia. Asvi tidak berangkat dari rasa empati dan seterusnya. Bahkan kita “menangisi” mengapa orang Sumatera Barat sekaliber Asvi – yang notabenenya memiliki otoritas keilmuan untuk “meluruskan” anggapan Natsir sebagai pemberontak tersebut – justru terkesan tidak membela. Asvi bahkan dianggap sebagai orang Minangkabau yang mengecilkan tokoh besar Minangkabau, “anak tak mau membesarkan ayah”. Kontroversi Asvi ini kemudian juga berlanjut ketika salah seorang jurnalis-birokrat juga menulis dan memberikan perbandingan : “Pahlawan : Mana yang lebih pantas Natsir dibandingkan Fatmawati yang hanya menjahit sang saka merah putih ?” Sebuah komparasi historis yang kehilangan konteks.
Saya teringat, ketika itu bulan September 2007. Pemprov Sumbar mengundang beberapa pakar sejarah (diantaranya Taufik Abdullah dan Anhar Gonggong). Gawe ketika itu – Seminar untuk “kembali” mengusulkan Natsir jadi pahlawan. “Kembali” karena usulan pertama ditolak. Dari awal dan akhir seminar, semua sepakat, kontribusi Natsir jauh lebih besar dari cacat politiknya. Salah satu otak pemberontakan PRRI yang dianggap sebagai cacat politik tersebut, pada prinsipnya bisa dilihat dari latar belakang penyebabnya, tentunya dengan diperkuat data-data sejarah. Ketika itu, saya dan mungkin semua yang hadir hampir sepakat, tak ada lagi alasan rasional untuk tetap menolak Natsir memberikan label pahlawan. Peluh, keringat, nilai-nilai luhur, kemanusiaannya dan nilai-nilai adiluhung yang diberikan oleh Natsir bagi “peradaban sejarah Indonesia” ini, rasanya jauh “menggunung” dibandingkan “onggokan kecil” cacat politiknya.
Tapi nyatanya, “kembali” Natsir ditolak. Majalah Tempo bahkan dalam tahun ini mengeluarkan edisi khusus untuk mengenang Natsir. Natsir dijulang. Sabak dan air mata berlinangan, kita baca riwayat hidup Natsir sebagaimana air mata juga berlinangan ketika kita baca Riwayat Hidup Ali bin Abi Thalib karangan sejarawan Yahudi, George Jordac. Kita tak menyamakan Natsir dengan Ali, tapi setidaknya episode kehidupan mereka yang sangat kontributif bagi ummat manusia, tidak diapresiasi oleh sejarah. Indonesia (baca: pemerintah Indonesia) menganggap Natsir bukan Pahlawan. Beliau yang bersahaja ini tetap dianggap sebagai pemberontak. Setiap pemberontakan, apabila sudah ada komitmen untuk bersatu, apapun latar belakangnya, dianggap subversif. Itu diktum yang sudah menjadi hukum dalam dunia politik. Mengapa Kahar Muzakkar memberontak ? J. Soumokil melawan, Dewan Banteng karengkang, Buya Daud Beureuh marah pada Soekarno yang dianggapnya munafik, Hasan Tiro dan Ahmad Zaini serta Malik Mahmud mendirikan GAM dan masuk hutan Aceh dan lari ke Swedia dan seterusnya, Natsir serta Syafruddin Prawiranegara dan Soemitro Djojohadikusumo masuk dalam lingkaran “PRRI” dan seterusnya? Justifikasi historis tak diperlukan. Dalam dunia politik, mereka pemberontak.
Kita tidak tahu, kapan gelar pahlawan akan diberikan kepada mereka. Mungkin nanti atau tidak sama sekali. Padahal, ada alasan-alasan “rasional” untuk setidaknya kita bisa memahami latar belakang mengapa mereka berseberangan dengan pemegang tampuk politik masanya. Mungkin “ketidakpuasan” atau alasan koreksi terhadap kebijakan pusat yang tak adil. Tapi sudahlah, jelang 17 Agustus selalu ada Pahlawan-Pahlawan baru dalam “belantara politik Indonesia”. 10 November menjadi hari “keramat” untuk para Pahlawan. Selalu ada pahlawan yang “datang”, walaupun terkadang pahlawan itu (di)muncul(kan) belakangan. Benarkah kita butuh Pahlawan ? Tokoh-tokoh yang termasyhur, para pemimpin rakyat dan komandan pasukan ? Jika masa lampau dengan label kepahlawanan macam itu yang akan kita kenang, barangkali sejarah kita cukup selesai dengan serangkaian hidup orang-orang besar. Bukan itu sebenarnya yang kita butuhkan.
Pahlawan adalah domain politik. Sejarah tidak pernah satu kalipun memberikan label pahlawan. Sejarah hanya mengenal “aktor sejarah”. Aktor-aktor tersebutlah, pada prinsipnya yang akan memberikan “warna” sejarah. Warna yang diterima pada masanya, tapi kemudian ditolak pada masa generasi setelah ia lewat. Dan mungkin, warna itu diterima secara bergairah kembali dua atau tiga generasi berikutnya. Al Pacino, sang aktor watak Hollywood secara filosofis dalam sebuah filmnya mendefenisikan siapa sebenarnya pahlawan itu? Pahlawan adalah manusia yang memiliki integritas dan menjadi inspirasi terbaik bagi zaman ketika dan setelah ia hidup. Sangat filosofis. Ada tiga kata yang perlu digarisbawahi disini. Manusia, Integritas dan Inspirator.
Pahlawan bukan malaikat. Pahlawan adalah manusia. Hidupnya dipenuhi dengan perspektif. Suatu perspektif tidak akan pernah diterima secara bulat-menyeluruh. Ia terikat dengan zaman. Karena itu, terkadang kita tidak adil melihat seorang anak manusia dari perspektif kita atau “kekinian”. Parahnya lagi, tanpa menggunakan parameter yang jelas. Siapa yang bisa menjamin Sukarno adalah manusia yang sempurna, apalagi dilihat dari perspektif sekarang. Mengapa kita marah-bergejolak ketika ada yang “menggugat” kepahlawanan Imam Bonjol ? Siapa yang meragukan dedikasi total Tan Malaka terhadap Indonesia, walaupun oleh Rudolf Mrazek dan Poetze, sang putra Pandan Gadang Suliki ini dianggap pernah berusaha “mengkudeta” supremasi ketokohan Sukarno-Hatta. Meniti episode demi episode kehidupan Tan Malaka, sungguh sangat menggairahkan. Mungkin, beliulah satu-satunya orang Asia Tenggara yang tercatat dalam Manifesto Politbiro Komunis Rusia sebagai salah seorang inspirator ideologi sosialis-komunis Asia.
Beliau dianggap jauh lebih besar dibandingkan Mao Tse Tung maupun Ho Chi Minh. Seluruh hidupnya dipenuhi oleh aura revolusioner demi martabat Indonesia. Sebagaimana halnya Muhammad Hatta, Tan Malaka adalah makhluk Tuhan yang cool pada wanita, karena beliau terlampau hot untuk berjuang demi Indonesia. Ibrahim Datuk Tan Malaka yang dikagumi orang Filiphina ini, mati secara tragis ditangan bangsanya sendiri. Padahal ditangan bangsa lain – ketika ditangkap oleh orang Belanda maupun ketika ditangkap di Filiphina dan Tiongkok – beliau selamat. Tapi sayang, Tan Malaka adalah “manusia” (manusia dalam tanda kutip). Sejarah hidupnya tidaklah konstan. Ketika sesuatu tidak sesuai dengan apa yang menjadi prinsipnya, ia melawan. Itulah konstanta Tan Malaka. Untung Tan Malaka diberi gelar Pahlawan pada masa Soekarno. Bila ia tak tertembak, dan hidup terus sampai Orde Baru, mungkin kita tidak akan mengenal ada Jalan Tan Malaka (walupun jalan-jalan Tan Malaka tak pernah diberikan untuk jalan-jalan protokol) saat sekarang ini. Dijamin : Tan Malaka tak akan menjadi pahlawan. Padahal, sebagaimana halnya Muhammad Natsir, garansi akademik dan kontribusi positif rasanya telah melebihi cum.
Siapa yang tidak kenal DN. Aidit ? Dipa Nusantara Aidit atau Danu Nusantara Aidit atau Dja’far Nawawi Aidit atau apalah namanya. Bersama-sama dengan “teman-teman mudanya”, seperti Soekarni dan Chairul Saleh, anak muda kelahiran Bangka Belitung dari ayah yang merupakan keturunan Maninjau ini, menculik Sukarno Hatta dan “memaksa” Dwi Tunggal ini memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Melalui biduk “ideologi komunis” beliau mengaktualisasikan potensi politiknya. Dalam usia yang relatif “hijau”, 27 tahun, ia mengambil alih kepemimpinan PKI dari Muso. Bersama dia, ada Lukman yang 30 tahun, Sudisman 31 tahun dan Nyoto 25 tahun. Dalam bukunya Indonesian Communism under Soekarno, Rex Mortimer mengatakan bahwa Aidit adalah figur yang menjunjung idealismenya, dan “miskin” dengan bumbu-bumbu politik seperti yang familiar terjadi pada sat sekarang yaitu uang dan seks. Sejarah menunjukkan bahwa Aidit kemudian “terjerambab” dalam kesalahan pilihan ideologis. Kemudian, ia bukan pahlawan. Kemudian ia terhina. Kemudian ia seakan-akan bukan bahagian dari “kita”. Ini bukan profokatif dan saya tak memiliki kepentingan politis apapun terhadap Aidit dan “anak cucu” ideologisnya. Saya pun tak memiliki referensi yang bisa meyakinkan saya untuk kagum pada Aidit. Tapi setidaknya, itulah yang namanya ketidakdilan sejarah (baca: sejarah versi pemegang kekuasaan).
Dalam pergulatan sejarah pemikiran Islam akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 Masehi, Minangkabau pernah memiliki seorang Datuk, namanya Datuk Batuah – lengkapnya Ahmad Chatib gelar Haji Datuk Batuah. Orang Koto Laweh ini, pada masa itu sangat mencengangkan dan sekaligus mencemaskan. Melalui media massa yang didirikannya – Pemandangan Islam dan Djago Djago – Datuk Batuah memaklumkan diri sebagai “orang komunis”. Persoalannya, bukan pilihan politiknya itu. Persoalannya adalah Datuk Batuah yang haji itu adalah murid ulama ternama Haji Rasul alias Inyiak Dotor, ayahanda ulama legendaris HAMKA. Beliau sendiri sampai awal tahun 1923 berprofesi sebagai guru dan menjadi pengurus Thawalib Padangpanjang, Batusangkar dan Bukittinggi. Dalam sejarah, nama Datuk Batuah bukanlah nama yang bagus dikalangan pergerakan Islam, hingga kini. Padahal, kontribusi pencerahan yang dirintis oleh Datuk Batuah dengan Pemandangan Islam dan Djago Djago sungguh sangat luar biasa. Kono, pada masa ini, ada tiga media massa paling berpengaruh di Hindia Belanda, dua diantaranya terdapat di Minangkabau …… Pemandangan Islam dan Djago Djago. Bahkan, Ruth Mc Vey dalam bukunya The Rise of Indonesian Communism dan Takashi Shiraishi dalam bukunya Zaman Bergerak mengatakan bahwa Datuk Batuah dan Haji Misbach (yang ini tokoh Islam “kiri” Surakarta), sangat dihormati oleh kolonial Belanda bukan karena mereka “penjilat” akan tetapi idealisme mereka yang sangat tinggi untuk mencerahkan lingkungan masyarakat dan bangsanya. Coba lihat ending film The Lion of Desert, film biografi kepahlawanan Ahmad Mochtar (yang ini pahlawan Libya melawan Italia yang dibintangi Antony Quinn), dengan senyuman bahkan sempat bercanda dengan seorang anak kecil, dengan kepala tegak penuh martabat, Ahmad Mochtar menuju tiang gantungan yang telah dipersiapkan oleh Italia di bawah Mussolini.
Diantara euforia pimpinan militer Italia menyaksikan kematian tragis musuh bebuyutan mereka tersebut, ada seorang elit militer Italia kala itu terpana-terpukau dan berlinangan air matanya melihat Ahmad Mochtar “kembali ke haribaan Tuhan”. Bukan kematian tragisnya yang membuat sang tentara menangis, tapi keyakinan dan idealisme Ahmad Mochtar-lah yang dikaguminya. Dalam keadaan yang bisa “menjilat”, beliau justru “pergi” karena membela keyakinannya. Gelar Pahlawan bukan berarti menjadi garansi untuk menjadi referensi bagi generasi berikut tentang arti kepemimpinan dan keluhuran budi. Tao, sang filsuf Cina Klasik mengatakan : “Seorang pemimpin yang baik adalah ibarat sebuah danau. Dia tak lasak seperti sungai di gunung, tapi tak dalam. Dia tak berada di puncak yang tinggi, tapi menampung. Dia tahu bahwa sumber airnya adalah air yang datang dari jauh di pedalaman, sebuah telaga tak bermula dari air yang tergenang setelah kebetulan hujan”. Karena itu, kepemimpinan dan figur yang baik itu bukan ditentukan atau dinilai dari keberanian bertindak. Kepemimpinan yang baik terjadi ketika sebuah tindakan merupakan bagian dari hidup yang utuh yang mengaktualisasikan diri …. Good leadership concist of doing less being more, setidaknya demikian nasehat Ahlan Ahmad Sahlan (diplomat Dinasti Abbasiyah yang diperankan oleh Antonio Banderas) dalam film The 13th Centuries Warrior.
Rasanya, tokoh-tokoh diatas dan begitu banyak aktor-aktor sejarah Indonesia lainnya adalah orang yang memiliki integritas. Integritas itulah yang pahlawan, bukan “haru biru” peperangan. Dari integritas itulah generasi berikutnya mampu mendapatkan “pelajaran berarti” agar yang namanya Pahlawan tersebut memiliki makna. Natsir, dan Datuk Batuah dan lain-lain adalah orang-orang yang pantas dan harus kita hormati dan hargai bukan karena mereka tidak dijadikan Pahlawan versi pemerintah sebagaimana kita juga kita menghormati Muhammad Hatta, Agus Salim dan lain-lain bukan karena gelar pahlawan mereka. Integritas dan totalitas perjuangan mereka yang memang akan terus kita kagumi. Karena itulah warisan paling berharga dari mereka. Sudah sepantasnya kita memandang putra-putra terbaik sejarah Indonesia dengan cara itu. Karena nilai-nilai substantif dari kepahlawanan itu bukan dari tampilan heroisme ataupun kepiluan episode pengorbanan hidupnya, akan tetapi pada kekuatannya untuk mempertahankan nilai-nilai integritasnya. Selamat Hari Pahlawan !
:: telah diterbitkan dalam PADANG EKSPRES, Minggu, 09 November 2008.
Asvi Warman Adam, sejarawan urang awak tamatan EHESS Perancis ini suatu waktu pernah menjawab secara tegas pertanyaan yang terus bergelayut dalam memori historis masyarakat Sumatera Barat : “Mengapa Muhammad Natsir belum diberi label Pahlawan ?”. Asvi bilang, Muhammad Natsir merupakan tokoh historis panutan, tapi sayang, beliau memiliki kesalahan politis – “Muhammad Natsir seorang pemberontak”. Kemudian, ragam pendapat bermunculan. Asvi mengecilkan peranan Natsir dalam belantara sejarah Indonesia. Asvi tidak berangkat dari rasa empati dan seterusnya. Bahkan kita “menangisi” mengapa orang Sumatera Barat sekaliber Asvi – yang notabenenya memiliki otoritas keilmuan untuk “meluruskan” anggapan Natsir sebagai pemberontak tersebut – justru terkesan tidak membela. Asvi bahkan dianggap sebagai orang Minangkabau yang mengecilkan tokoh besar Minangkabau, “anak tak mau membesarkan ayah”. Kontroversi Asvi ini kemudian juga berlanjut ketika salah seorang jurnalis-birokrat juga menulis dan memberikan perbandingan : “Pahlawan : Mana yang lebih pantas Natsir dibandingkan Fatmawati yang hanya menjahit sang saka merah putih ?” Sebuah komparasi historis yang kehilangan konteks.
Saya teringat, ketika itu bulan September 2007. Pemprov Sumbar mengundang beberapa pakar sejarah (diantaranya Taufik Abdullah dan Anhar Gonggong). Gawe ketika itu – Seminar untuk “kembali” mengusulkan Natsir jadi pahlawan. “Kembali” karena usulan pertama ditolak. Dari awal dan akhir seminar, semua sepakat, kontribusi Natsir jauh lebih besar dari cacat politiknya. Salah satu otak pemberontakan PRRI yang dianggap sebagai cacat politik tersebut, pada prinsipnya bisa dilihat dari latar belakang penyebabnya, tentunya dengan diperkuat data-data sejarah. Ketika itu, saya dan mungkin semua yang hadir hampir sepakat, tak ada lagi alasan rasional untuk tetap menolak Natsir memberikan label pahlawan. Peluh, keringat, nilai-nilai luhur, kemanusiaannya dan nilai-nilai adiluhung yang diberikan oleh Natsir bagi “peradaban sejarah Indonesia” ini, rasanya jauh “menggunung” dibandingkan “onggokan kecil” cacat politiknya.
Tapi nyatanya, “kembali” Natsir ditolak. Majalah Tempo bahkan dalam tahun ini mengeluarkan edisi khusus untuk mengenang Natsir. Natsir dijulang. Sabak dan air mata berlinangan, kita baca riwayat hidup Natsir sebagaimana air mata juga berlinangan ketika kita baca Riwayat Hidup Ali bin Abi Thalib karangan sejarawan Yahudi, George Jordac. Kita tak menyamakan Natsir dengan Ali, tapi setidaknya episode kehidupan mereka yang sangat kontributif bagi ummat manusia, tidak diapresiasi oleh sejarah. Indonesia (baca: pemerintah Indonesia) menganggap Natsir bukan Pahlawan. Beliau yang bersahaja ini tetap dianggap sebagai pemberontak. Setiap pemberontakan, apabila sudah ada komitmen untuk bersatu, apapun latar belakangnya, dianggap subversif. Itu diktum yang sudah menjadi hukum dalam dunia politik. Mengapa Kahar Muzakkar memberontak ? J. Soumokil melawan, Dewan Banteng karengkang, Buya Daud Beureuh marah pada Soekarno yang dianggapnya munafik, Hasan Tiro dan Ahmad Zaini serta Malik Mahmud mendirikan GAM dan masuk hutan Aceh dan lari ke Swedia dan seterusnya, Natsir serta Syafruddin Prawiranegara dan Soemitro Djojohadikusumo masuk dalam lingkaran “PRRI” dan seterusnya? Justifikasi historis tak diperlukan. Dalam dunia politik, mereka pemberontak.
Kita tidak tahu, kapan gelar pahlawan akan diberikan kepada mereka. Mungkin nanti atau tidak sama sekali. Padahal, ada alasan-alasan “rasional” untuk setidaknya kita bisa memahami latar belakang mengapa mereka berseberangan dengan pemegang tampuk politik masanya. Mungkin “ketidakpuasan” atau alasan koreksi terhadap kebijakan pusat yang tak adil. Tapi sudahlah, jelang 17 Agustus selalu ada Pahlawan-Pahlawan baru dalam “belantara politik Indonesia”. 10 November menjadi hari “keramat” untuk para Pahlawan. Selalu ada pahlawan yang “datang”, walaupun terkadang pahlawan itu (di)muncul(kan) belakangan. Benarkah kita butuh Pahlawan ? Tokoh-tokoh yang termasyhur, para pemimpin rakyat dan komandan pasukan ? Jika masa lampau dengan label kepahlawanan macam itu yang akan kita kenang, barangkali sejarah kita cukup selesai dengan serangkaian hidup orang-orang besar. Bukan itu sebenarnya yang kita butuhkan.
Pahlawan adalah domain politik. Sejarah tidak pernah satu kalipun memberikan label pahlawan. Sejarah hanya mengenal “aktor sejarah”. Aktor-aktor tersebutlah, pada prinsipnya yang akan memberikan “warna” sejarah. Warna yang diterima pada masanya, tapi kemudian ditolak pada masa generasi setelah ia lewat. Dan mungkin, warna itu diterima secara bergairah kembali dua atau tiga generasi berikutnya. Al Pacino, sang aktor watak Hollywood secara filosofis dalam sebuah filmnya mendefenisikan siapa sebenarnya pahlawan itu? Pahlawan adalah manusia yang memiliki integritas dan menjadi inspirasi terbaik bagi zaman ketika dan setelah ia hidup. Sangat filosofis. Ada tiga kata yang perlu digarisbawahi disini. Manusia, Integritas dan Inspirator.
Pahlawan bukan malaikat. Pahlawan adalah manusia. Hidupnya dipenuhi dengan perspektif. Suatu perspektif tidak akan pernah diterima secara bulat-menyeluruh. Ia terikat dengan zaman. Karena itu, terkadang kita tidak adil melihat seorang anak manusia dari perspektif kita atau “kekinian”. Parahnya lagi, tanpa menggunakan parameter yang jelas. Siapa yang bisa menjamin Sukarno adalah manusia yang sempurna, apalagi dilihat dari perspektif sekarang. Mengapa kita marah-bergejolak ketika ada yang “menggugat” kepahlawanan Imam Bonjol ? Siapa yang meragukan dedikasi total Tan Malaka terhadap Indonesia, walaupun oleh Rudolf Mrazek dan Poetze, sang putra Pandan Gadang Suliki ini dianggap pernah berusaha “mengkudeta” supremasi ketokohan Sukarno-Hatta. Meniti episode demi episode kehidupan Tan Malaka, sungguh sangat menggairahkan. Mungkin, beliulah satu-satunya orang Asia Tenggara yang tercatat dalam Manifesto Politbiro Komunis Rusia sebagai salah seorang inspirator ideologi sosialis-komunis Asia.
Beliau dianggap jauh lebih besar dibandingkan Mao Tse Tung maupun Ho Chi Minh. Seluruh hidupnya dipenuhi oleh aura revolusioner demi martabat Indonesia. Sebagaimana halnya Muhammad Hatta, Tan Malaka adalah makhluk Tuhan yang cool pada wanita, karena beliau terlampau hot untuk berjuang demi Indonesia. Ibrahim Datuk Tan Malaka yang dikagumi orang Filiphina ini, mati secara tragis ditangan bangsanya sendiri. Padahal ditangan bangsa lain – ketika ditangkap oleh orang Belanda maupun ketika ditangkap di Filiphina dan Tiongkok – beliau selamat. Tapi sayang, Tan Malaka adalah “manusia” (manusia dalam tanda kutip). Sejarah hidupnya tidaklah konstan. Ketika sesuatu tidak sesuai dengan apa yang menjadi prinsipnya, ia melawan. Itulah konstanta Tan Malaka. Untung Tan Malaka diberi gelar Pahlawan pada masa Soekarno. Bila ia tak tertembak, dan hidup terus sampai Orde Baru, mungkin kita tidak akan mengenal ada Jalan Tan Malaka (walupun jalan-jalan Tan Malaka tak pernah diberikan untuk jalan-jalan protokol) saat sekarang ini. Dijamin : Tan Malaka tak akan menjadi pahlawan. Padahal, sebagaimana halnya Muhammad Natsir, garansi akademik dan kontribusi positif rasanya telah melebihi cum.
Siapa yang tidak kenal DN. Aidit ? Dipa Nusantara Aidit atau Danu Nusantara Aidit atau Dja’far Nawawi Aidit atau apalah namanya. Bersama-sama dengan “teman-teman mudanya”, seperti Soekarni dan Chairul Saleh, anak muda kelahiran Bangka Belitung dari ayah yang merupakan keturunan Maninjau ini, menculik Sukarno Hatta dan “memaksa” Dwi Tunggal ini memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Melalui biduk “ideologi komunis” beliau mengaktualisasikan potensi politiknya. Dalam usia yang relatif “hijau”, 27 tahun, ia mengambil alih kepemimpinan PKI dari Muso. Bersama dia, ada Lukman yang 30 tahun, Sudisman 31 tahun dan Nyoto 25 tahun. Dalam bukunya Indonesian Communism under Soekarno, Rex Mortimer mengatakan bahwa Aidit adalah figur yang menjunjung idealismenya, dan “miskin” dengan bumbu-bumbu politik seperti yang familiar terjadi pada sat sekarang yaitu uang dan seks. Sejarah menunjukkan bahwa Aidit kemudian “terjerambab” dalam kesalahan pilihan ideologis. Kemudian, ia bukan pahlawan. Kemudian ia terhina. Kemudian ia seakan-akan bukan bahagian dari “kita”. Ini bukan profokatif dan saya tak memiliki kepentingan politis apapun terhadap Aidit dan “anak cucu” ideologisnya. Saya pun tak memiliki referensi yang bisa meyakinkan saya untuk kagum pada Aidit. Tapi setidaknya, itulah yang namanya ketidakdilan sejarah (baca: sejarah versi pemegang kekuasaan).
Dalam pergulatan sejarah pemikiran Islam akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 Masehi, Minangkabau pernah memiliki seorang Datuk, namanya Datuk Batuah – lengkapnya Ahmad Chatib gelar Haji Datuk Batuah. Orang Koto Laweh ini, pada masa itu sangat mencengangkan dan sekaligus mencemaskan. Melalui media massa yang didirikannya – Pemandangan Islam dan Djago Djago – Datuk Batuah memaklumkan diri sebagai “orang komunis”. Persoalannya, bukan pilihan politiknya itu. Persoalannya adalah Datuk Batuah yang haji itu adalah murid ulama ternama Haji Rasul alias Inyiak Dotor, ayahanda ulama legendaris HAMKA. Beliau sendiri sampai awal tahun 1923 berprofesi sebagai guru dan menjadi pengurus Thawalib Padangpanjang, Batusangkar dan Bukittinggi. Dalam sejarah, nama Datuk Batuah bukanlah nama yang bagus dikalangan pergerakan Islam, hingga kini. Padahal, kontribusi pencerahan yang dirintis oleh Datuk Batuah dengan Pemandangan Islam dan Djago Djago sungguh sangat luar biasa. Kono, pada masa ini, ada tiga media massa paling berpengaruh di Hindia Belanda, dua diantaranya terdapat di Minangkabau …… Pemandangan Islam dan Djago Djago. Bahkan, Ruth Mc Vey dalam bukunya The Rise of Indonesian Communism dan Takashi Shiraishi dalam bukunya Zaman Bergerak mengatakan bahwa Datuk Batuah dan Haji Misbach (yang ini tokoh Islam “kiri” Surakarta), sangat dihormati oleh kolonial Belanda bukan karena mereka “penjilat” akan tetapi idealisme mereka yang sangat tinggi untuk mencerahkan lingkungan masyarakat dan bangsanya. Coba lihat ending film The Lion of Desert, film biografi kepahlawanan Ahmad Mochtar (yang ini pahlawan Libya melawan Italia yang dibintangi Antony Quinn), dengan senyuman bahkan sempat bercanda dengan seorang anak kecil, dengan kepala tegak penuh martabat, Ahmad Mochtar menuju tiang gantungan yang telah dipersiapkan oleh Italia di bawah Mussolini.
Diantara euforia pimpinan militer Italia menyaksikan kematian tragis musuh bebuyutan mereka tersebut, ada seorang elit militer Italia kala itu terpana-terpukau dan berlinangan air matanya melihat Ahmad Mochtar “kembali ke haribaan Tuhan”. Bukan kematian tragisnya yang membuat sang tentara menangis, tapi keyakinan dan idealisme Ahmad Mochtar-lah yang dikaguminya. Dalam keadaan yang bisa “menjilat”, beliau justru “pergi” karena membela keyakinannya. Gelar Pahlawan bukan berarti menjadi garansi untuk menjadi referensi bagi generasi berikut tentang arti kepemimpinan dan keluhuran budi. Tao, sang filsuf Cina Klasik mengatakan : “Seorang pemimpin yang baik adalah ibarat sebuah danau. Dia tak lasak seperti sungai di gunung, tapi tak dalam. Dia tak berada di puncak yang tinggi, tapi menampung. Dia tahu bahwa sumber airnya adalah air yang datang dari jauh di pedalaman, sebuah telaga tak bermula dari air yang tergenang setelah kebetulan hujan”. Karena itu, kepemimpinan dan figur yang baik itu bukan ditentukan atau dinilai dari keberanian bertindak. Kepemimpinan yang baik terjadi ketika sebuah tindakan merupakan bagian dari hidup yang utuh yang mengaktualisasikan diri …. Good leadership concist of doing less being more, setidaknya demikian nasehat Ahlan Ahmad Sahlan (diplomat Dinasti Abbasiyah yang diperankan oleh Antonio Banderas) dalam film The 13th Centuries Warrior.
Rasanya, tokoh-tokoh diatas dan begitu banyak aktor-aktor sejarah Indonesia lainnya adalah orang yang memiliki integritas. Integritas itulah yang pahlawan, bukan “haru biru” peperangan. Dari integritas itulah generasi berikutnya mampu mendapatkan “pelajaran berarti” agar yang namanya Pahlawan tersebut memiliki makna. Natsir, dan Datuk Batuah dan lain-lain adalah orang-orang yang pantas dan harus kita hormati dan hargai bukan karena mereka tidak dijadikan Pahlawan versi pemerintah sebagaimana kita juga kita menghormati Muhammad Hatta, Agus Salim dan lain-lain bukan karena gelar pahlawan mereka. Integritas dan totalitas perjuangan mereka yang memang akan terus kita kagumi. Karena itulah warisan paling berharga dari mereka. Sudah sepantasnya kita memandang putra-putra terbaik sejarah Indonesia dengan cara itu. Karena nilai-nilai substantif dari kepahlawanan itu bukan dari tampilan heroisme ataupun kepiluan episode pengorbanan hidupnya, akan tetapi pada kekuatannya untuk mempertahankan nilai-nilai integritasnya. Selamat Hari Pahlawan !
:: telah diterbitkan dalam PADANG EKSPRES, Minggu, 09 November 2008.
Romantisme Sejarah Islam
Oleh : Muhammad Ilham
Berkatalah Frintjof Capra (1986: 93-94) bahwa peradaban ummat manusia dipat planet bumi ini yang memiliki potensi berkuasa adalah peradaban ummat manusia yang menempatkan ilmu dengan berpusat kepada universitas dan institusi intelektual. Artinya, apabila peradaban ummat Islam ingin memegang peranan, mau tidak mau ummat Islam harus mampu menguasai ilmu pengetahuan. Peradaban ummat Islam pada masa dahulu pernah menjadi peradaban avant garde. Sumbu dan pusat sejarah terdepan ummat manusia pada masanya. Dan sejarah membuktikan, posisi terdepan peradaban ummat Islam tersebut muncul dengan gagah-berkualitas karena peradaban tersebut mampu menjadi wadah untuk bersemai dan berseminya bulir-bulir bernas intelektual, tanpa sekat, tanpa batas primordialisme maupun egoisme sektoral. Pada masa ini, sebagaimana yang pernah dikatakan oleh sang filosof Muhammad Iqbal dalam khudi-nya bahwa peradaban Islam betul-betul merupakan peradaban universal dan tidak hanya terpaku kepada latar belakang munculnya ilmu tersebut. Pada masa tradisi Cordoba dan tradisi Baghdad, ilmu tidak memiliki nasionalisme. Sejak zaman Rasulullah SAW., peradaban Islam berkembang terus menerus sejalan dengan perkembangan pemikiran dan meluasnya wilayah teritorial kekuasaan politik ummat Islam. Salah satu letak keunikan peradaban Islam yang berpusat pada al-Qur’an tersebut adalah keberanian dan kedinamisannya untuk keluar dari “relung sunyi habitat sosial mereka” dan kemudian menyerbu untuk keluar dari keterbelakangan kebudayaan bangsa Arab yang hidup dan terisolir di “belantara” gurun-gurun pasir tandus-gersang dan kemudian mengambil apa yang yang dapat diambil dari peradaban-peradaban tua yang telah menyejarah dan berevolusi selama ribuan tahun.
Dari Persia dan Byzantium, diambil bermacam-macam gaya upacara dan estetika-seni. Dari India, matematik dan ilmu perbintangan. Dari negeri “para dewa” Yunani, diambil antara lain filsafat dan logika. Dalam khazanah intelektual Islam, unsur-unsur yang diperoleh dari peradaban lain tersebut tidak hanya ditiru an sich tetapi ada improvisasi, ada pengembangan dan kemudian diberi perspektif dan aura keIslaman. Perkembangan peradaban ummat Islam yang paling menarik antara abad ke-VII hingga XIII Masehi tersebut adalah bagaimana peradaban dan agama yang berasal dari bangsa Arab di gurun pasir yang miskin lagi terpencil itu, seolah-olah tahu sekali bahwa yang pertama sekali harus direbutnya adalah ilmu pengetahuan. Pada saat ini sangat kentara sekali kegairahan para elit dan anggota-anggotanya mengumpulkan bermacam-macam ilmu pengetahuan, dari berbagai disiplin ilmu dari berbagai negara manapun juga. Banyak muslim pilihan pada masa ini yang melakukan perjalanan intelektual, keluar dari habitat teritorial mereka. Perjalanan intelektual tersebut melahirkan catatan-catatan ilmiah berdasarkan pengamatan empirik. Catatan-catatan ini kemudian disampaikan pada muslim lainnya. Buku-buku berkualitas diterjemahkan secara massif kedalam bahasa Arab. Perguruan tinggi dan institusi intelektual lainnya di pusat-pusat agama dan politik Islam seperti Cordoba Spanyol, Baghdad dan Cairo menjadi sentra pemikiran dan penyelidikan bergengsi dan bermartabat pada zamannya.
Dibelahan peradaban Islam Timur Tengah, ilmu pengetahuan berhasil berkembang pada masa Khalifah Al-Mansur, harun al-Rasyid dan al-Makmum. Pada masa al-Mansur amat berkembang ilmu bahasa dan kesusasteraan. Proyek penterjemahan dilakukan secara besar-besaran, terutama dari bahasa Pesia, India dan Yunani. Pada masa al-Mansur ini hidup Ibnu al-Muqaffa, pakar bahasa Arab dan Persia. Beliaulah yang menterjemahkan buku monumental Kalilah wa Deminah yang memuncak dalam cerita Seribu Satu Malam (1001 Malam). Ia juga menterjemahkan buku Shah Namah yang memuat cerita-cerita raja dan pahlawan-pahlawan Iran. Dibawah kepemimpinan al-Mansur yang liberal, faham rasionalisme muktazilah mendapat kesempatan untuk berkembang. Pada masa ini juga sarjana-sarjana Islam berkesempatan menyusun Hadits dan hukum Islam secara baik. Imam Abu Hanifah menyelesaikan sistem hukumnya pada masa kekuasaan al-Mansur, sedangkan Imam Maliki dan Syafei pada masa Harun al-Rasyid. Sedangkan dibawah al-Makmum dikenal adanya institusi yang menampung begitu banyak buku yang disebut dengan Baitul Hikmah. Di perpustakaan yang kaya dengan buku ini – konon koleksinya mendekati bahkan mungkin lebih 400.000 jilid buku – bekerja sarjana-sarjana dari berbagai ragam bangsa dan agama.
Sementara itu di Mesir, Dinasti Fathimiyah juga terdapat perpustakaan besar yang memuat lebih kurang 200.000 buku dan mayoritas tentang ilmu Yunani klasik, tata bahasa, lexikografi, hadits, sejarah, kimia dan biografi raja-raja. Dinasti ini memberikan otonomi khusus bagi Cairo untuk mendirikan Universitas Al-Azhar yang kesohor itu. Lebih penting lagi, Khalifah al-Hakim mendirikan sentra ahli-ahli hukum yang dinamakan Darul Hikmah. Kegemilangan yang sama juga terjadi di Spanyol. Emir Abdurrahman III dikenal sebagai penguasa Islam yang memiliki tingkat apresiasi tinggi terhadap ilmu pengetahuan disamping hobbinya pada musik. Beliau meletakkan iklim dan tradisi kondunsif untuk penulisan dan penterjemahan buku-buku kedokteran, filsafat da mistisisme. Hal ini kemudian diteruskan oleh putera-puteranya yang menjadikan Cordoba menjadi sentral ilmu pengetahuan ungulan pada masanya. Pakar sejarah Timur Tengah Klasik, Philip K. Hitti mengatakan bahwa pada masa ini, sebahagian istana dikosongkan dan dijadikan tempat bekerja sehingga disana hanya ditemui juru penyalin dan juru penjilid. Luar biasa. Diperkirakan jumlah buku mencapai 400.000 buah buku. Universitas Cordoba menjadi universitas terkenal dan bermutu. Pendidikan tidak dikenakan pajak.
Cerita manis ini akhirnya berhenti hingga abad ke-XIII Masehi. Selanjutnya, apresiasi terhadap rasio mulai redup. Perdebatan serius antara al-Ghazali dan Ibnu Rusyd, antara Sunni dan Muktazilah, membuat kebebasan berfikir dan melakukan pengayaan ilmu pengetahuan mulai meredup seiring dengan kejatuhan kekuasaan Islam dan munculnya tradisi glamour pada penguasa yang tidak respek terhadap pengembagan intelektual. Bersama-sama dengan hilangnya semangat pemikiran dan penyelidikan ilmu yang menjadi ciri khas kebesaran dan kemajuan Islam selama enam abad masa-masa keemasannya, maka kegairahan untuk memajukan ilmu mulai berkurang dari posisi tawar golongan sarjana mulai menurun.
Malahan dibeberapa tempat seperti Baghdad, perpusatakaannya habis dibakar, dirampas dan dimusnahkan oleh Tentara Tartar – ”Petarung jempolan buta huruf yang penuh dengan kutu dan mengerti betul pentingnya arti mandi apatah lagi arti buku”, demikian kata Goenawan Muhammad dalam salah satu Catatan Pinggir-nya. Tentara Tartar, demikian ratap Iqbal, telah melahirkan peristiwa tragis paling memiriskan dalam sejarah intelektual Islam. Nasib perpustakaan Fathimiyah di Cairo adalah contoh terbaik perubahan mentalitas dalam kejatuhan peradaban Islam. Perampasan yang pertama terjadi pada waktu berjangkitnya kelaparan dan anarkhisme yang menghancurkan kerajaan Khalifah Musanjadid. Beribu buku-buku berharga tentang keindahan kaligrafi, ditinggalkan kepada Budak. Konon, kata sejarawan Thomas Marzuk (2000), para Budak tersebut membuka kulit-kulit buku itu untuk dijadikan sepatu. Banyak buku-buku yang dilemparkan ke Sungai Nil sebagaimana halnya buku-buku Dinasti Abbasiyah yang dibuang tentara Tartar ke Sungai Eufrat dan Tigris, sehingga warna sungai ”berubah hitam karena tinta”. Sebahagian buku diselamatkan. Dan akhirnya, tahun 1122, Darul Hikmah ditutup.
Nasib sarjana dan perpustakaan ditempat lain, tak jauh beda. Semangat ilmu tersebut universal dan tidak memiliki nasionalisme mulai hilang dan kemudian berganti dengan semangat ideologis-parsial. Ahli-ahli hukum mazhab Maliki, misalnya, sangat giat membakar naskah-naskah Yunani klasik kecuali naskah-naskah yang berhubungan dengan kedokteran dan aritmetika, kamus, tata bahasa, hukum da hadits. Disamping dibakar, banyak buku-buku berharga dari hasil penterjemahan dan pengayaan tradisi intelektual Yunani Klasik dan Pesia dijual dengan harga murah. Khazanah kaya tersebut akhirnya berpindah ke pusat-pusat yang lain yang berusaha menyamai Cordoba. Peradaban Islam pada masa ini diisi oleh iklim dengan mental yang berbeda dengan mental sebelumnya. Pada sisi lain, pada waktu itu Eropa sedang bergairah menterjemahkan buku-buku dari bahasa Arab. Perpustakaan dan lembaga-lembaga penyelidikan banyak bermunculan. Pusat penterjemahan dari bahasa Arab yang sangat terkenal dalam sejarah eropa pada abad ke-XIII Masehi terdapat di sebelah barat Eropa. Santa Maria di Rippol di kaki gunung Pirrenia menjadi catatan emas sejarah intelektual Eropa. Tempat ini dikenal sebagai tempat paling produktif dalam menterjemahkan berbagai buku dari bahasa Arab ke bahasa Latin.
Di perpustakaan Vatikan di Roma, di Bibliothegue Nationalle di Paris dan di British Museum London terdapat sejumlah naskah terjemahan dari abad ke-XII Masehi. Penterjemah terkenal pada masa ini adalah Pedro Alfonso, seorang Kristen keturunan Yahudi dan Abraham van Hiyya al-Bargelouni serta Gerardo di-Cremona dari Toledo. Di Italia, penterjemahan berpusat di Sicilia dan Napoli – dua wilayah yang sebelumnya pernah berinteraksi dengan Islam secara politik – dengan tokohnya Michael Scott. Kegelisahan berfikir dan penyelidikan yang menandai kemajuan peradaban Islam hingga abad ke-XIII Masehi, mulai berpindah ke Eropa-Kristen. Kedinamisan dunia Islam yang menyatukan spirit peradaban dari batas China hingga Atlantik segera diatasi oleh bangsa-bangsa Eropa. Marcopolo menjelajah Asia dari 1271 – 1295. Christopher Colombus menemukan benua Amerika tahun 1498. Vasco da Gama mengelilingi Afrika dan mendarat di kalikut tahun 1498 sebagai usaha orang Portugis untuk memerangi kerajaan-kerajaan Islam. Dari tahun 1519 – 1522, Magelheins mengelilingi dunia. Dan kemudian sejarah mencatat, denga penguasaan dan penjajahan bangsa Eropa atas dunia berjalan hingga abad kita. Dan kita tahu, bagaimana selanjutnya, Eropa kemudian berkembang sangat pesat dengan revolusi ilmu pengetahuan yang berpangkal dari revolusi industri pada abad ke-XIX Masehi.
Memperhatikan dan membandingkan sifat peradaban Islam di zaman keemasannya dengan peradaban modern dalam beberapa abad belakangan ini, tidak mengherankan banyak orang Islam yang berpendapat bahwa kemajuan dunia modern ini pada hakikatnya adalah kemajuan yang dikehendaki agama Islam seperti yang terjadi pada abad ke VII – XIII Masehi. Pada hakikatnya, orang Eropa-lah yang melanjutkan spirit Intelektual Islam. Mungkin ini terkesan bertendensi apologis dan romatisme sejarah. Tapi tidak salah bila kita bersikap dengan dua episode sejarah diatas. Peradaban Islam maju ketika tradisi intelektual berkembang tanpa memandang dari mana ilmu tersebut berasal. Demikian juga halnya ketika tradisi intelektual eropa yang menghilangkan ego-parsial mereka dan mereka mau berkata, ”walaupun ilmu tersebut berbahasa Arab, tapi tidak salah kita ambil dan kita bawa ke dunia kita”. Haruskah selanjutnya pada zaman kita saat sekarang ini, kita selalu mengedepankan bahwa ilmu dari ”out-group” kitatidak bagus dan tidak Islami? Kalau ini yang terus kita lakukan, ”nilai yang terus dipelihara”, historia not-repete – sejarah tidak akan berulang. Cerita manis masa lalu akan tetap dalam bungkusan apologia. Sebuah kompensasi atas inferioritas atau hanya sebatas romantisme sejarah. Wallau ’Alam.
:: Artikel ini telah diterbitkan dalam PADANG EKSPRES, 23 April 2008
Berkatalah Frintjof Capra (1986: 93-94) bahwa peradaban ummat manusia dipat planet bumi ini yang memiliki potensi berkuasa adalah peradaban ummat manusia yang menempatkan ilmu dengan berpusat kepada universitas dan institusi intelektual. Artinya, apabila peradaban ummat Islam ingin memegang peranan, mau tidak mau ummat Islam harus mampu menguasai ilmu pengetahuan. Peradaban ummat Islam pada masa dahulu pernah menjadi peradaban avant garde. Sumbu dan pusat sejarah terdepan ummat manusia pada masanya. Dan sejarah membuktikan, posisi terdepan peradaban ummat Islam tersebut muncul dengan gagah-berkualitas karena peradaban tersebut mampu menjadi wadah untuk bersemai dan berseminya bulir-bulir bernas intelektual, tanpa sekat, tanpa batas primordialisme maupun egoisme sektoral. Pada masa ini, sebagaimana yang pernah dikatakan oleh sang filosof Muhammad Iqbal dalam khudi-nya bahwa peradaban Islam betul-betul merupakan peradaban universal dan tidak hanya terpaku kepada latar belakang munculnya ilmu tersebut. Pada masa tradisi Cordoba dan tradisi Baghdad, ilmu tidak memiliki nasionalisme. Sejak zaman Rasulullah SAW., peradaban Islam berkembang terus menerus sejalan dengan perkembangan pemikiran dan meluasnya wilayah teritorial kekuasaan politik ummat Islam. Salah satu letak keunikan peradaban Islam yang berpusat pada al-Qur’an tersebut adalah keberanian dan kedinamisannya untuk keluar dari “relung sunyi habitat sosial mereka” dan kemudian menyerbu untuk keluar dari keterbelakangan kebudayaan bangsa Arab yang hidup dan terisolir di “belantara” gurun-gurun pasir tandus-gersang dan kemudian mengambil apa yang yang dapat diambil dari peradaban-peradaban tua yang telah menyejarah dan berevolusi selama ribuan tahun.
Dari Persia dan Byzantium, diambil bermacam-macam gaya upacara dan estetika-seni. Dari India, matematik dan ilmu perbintangan. Dari negeri “para dewa” Yunani, diambil antara lain filsafat dan logika. Dalam khazanah intelektual Islam, unsur-unsur yang diperoleh dari peradaban lain tersebut tidak hanya ditiru an sich tetapi ada improvisasi, ada pengembangan dan kemudian diberi perspektif dan aura keIslaman. Perkembangan peradaban ummat Islam yang paling menarik antara abad ke-VII hingga XIII Masehi tersebut adalah bagaimana peradaban dan agama yang berasal dari bangsa Arab di gurun pasir yang miskin lagi terpencil itu, seolah-olah tahu sekali bahwa yang pertama sekali harus direbutnya adalah ilmu pengetahuan. Pada saat ini sangat kentara sekali kegairahan para elit dan anggota-anggotanya mengumpulkan bermacam-macam ilmu pengetahuan, dari berbagai disiplin ilmu dari berbagai negara manapun juga. Banyak muslim pilihan pada masa ini yang melakukan perjalanan intelektual, keluar dari habitat teritorial mereka. Perjalanan intelektual tersebut melahirkan catatan-catatan ilmiah berdasarkan pengamatan empirik. Catatan-catatan ini kemudian disampaikan pada muslim lainnya. Buku-buku berkualitas diterjemahkan secara massif kedalam bahasa Arab. Perguruan tinggi dan institusi intelektual lainnya di pusat-pusat agama dan politik Islam seperti Cordoba Spanyol, Baghdad dan Cairo menjadi sentra pemikiran dan penyelidikan bergengsi dan bermartabat pada zamannya.
Dibelahan peradaban Islam Timur Tengah, ilmu pengetahuan berhasil berkembang pada masa Khalifah Al-Mansur, harun al-Rasyid dan al-Makmum. Pada masa al-Mansur amat berkembang ilmu bahasa dan kesusasteraan. Proyek penterjemahan dilakukan secara besar-besaran, terutama dari bahasa Pesia, India dan Yunani. Pada masa al-Mansur ini hidup Ibnu al-Muqaffa, pakar bahasa Arab dan Persia. Beliaulah yang menterjemahkan buku monumental Kalilah wa Deminah yang memuncak dalam cerita Seribu Satu Malam (1001 Malam). Ia juga menterjemahkan buku Shah Namah yang memuat cerita-cerita raja dan pahlawan-pahlawan Iran. Dibawah kepemimpinan al-Mansur yang liberal, faham rasionalisme muktazilah mendapat kesempatan untuk berkembang. Pada masa ini juga sarjana-sarjana Islam berkesempatan menyusun Hadits dan hukum Islam secara baik. Imam Abu Hanifah menyelesaikan sistem hukumnya pada masa kekuasaan al-Mansur, sedangkan Imam Maliki dan Syafei pada masa Harun al-Rasyid. Sedangkan dibawah al-Makmum dikenal adanya institusi yang menampung begitu banyak buku yang disebut dengan Baitul Hikmah. Di perpustakaan yang kaya dengan buku ini – konon koleksinya mendekati bahkan mungkin lebih 400.000 jilid buku – bekerja sarjana-sarjana dari berbagai ragam bangsa dan agama.
Sementara itu di Mesir, Dinasti Fathimiyah juga terdapat perpustakaan besar yang memuat lebih kurang 200.000 buku dan mayoritas tentang ilmu Yunani klasik, tata bahasa, lexikografi, hadits, sejarah, kimia dan biografi raja-raja. Dinasti ini memberikan otonomi khusus bagi Cairo untuk mendirikan Universitas Al-Azhar yang kesohor itu. Lebih penting lagi, Khalifah al-Hakim mendirikan sentra ahli-ahli hukum yang dinamakan Darul Hikmah. Kegemilangan yang sama juga terjadi di Spanyol. Emir Abdurrahman III dikenal sebagai penguasa Islam yang memiliki tingkat apresiasi tinggi terhadap ilmu pengetahuan disamping hobbinya pada musik. Beliau meletakkan iklim dan tradisi kondunsif untuk penulisan dan penterjemahan buku-buku kedokteran, filsafat da mistisisme. Hal ini kemudian diteruskan oleh putera-puteranya yang menjadikan Cordoba menjadi sentral ilmu pengetahuan ungulan pada masanya. Pakar sejarah Timur Tengah Klasik, Philip K. Hitti mengatakan bahwa pada masa ini, sebahagian istana dikosongkan dan dijadikan tempat bekerja sehingga disana hanya ditemui juru penyalin dan juru penjilid. Luar biasa. Diperkirakan jumlah buku mencapai 400.000 buah buku. Universitas Cordoba menjadi universitas terkenal dan bermutu. Pendidikan tidak dikenakan pajak.
Cerita manis ini akhirnya berhenti hingga abad ke-XIII Masehi. Selanjutnya, apresiasi terhadap rasio mulai redup. Perdebatan serius antara al-Ghazali dan Ibnu Rusyd, antara Sunni dan Muktazilah, membuat kebebasan berfikir dan melakukan pengayaan ilmu pengetahuan mulai meredup seiring dengan kejatuhan kekuasaan Islam dan munculnya tradisi glamour pada penguasa yang tidak respek terhadap pengembagan intelektual. Bersama-sama dengan hilangnya semangat pemikiran dan penyelidikan ilmu yang menjadi ciri khas kebesaran dan kemajuan Islam selama enam abad masa-masa keemasannya, maka kegairahan untuk memajukan ilmu mulai berkurang dari posisi tawar golongan sarjana mulai menurun.
Malahan dibeberapa tempat seperti Baghdad, perpusatakaannya habis dibakar, dirampas dan dimusnahkan oleh Tentara Tartar – ”Petarung jempolan buta huruf yang penuh dengan kutu dan mengerti betul pentingnya arti mandi apatah lagi arti buku”, demikian kata Goenawan Muhammad dalam salah satu Catatan Pinggir-nya. Tentara Tartar, demikian ratap Iqbal, telah melahirkan peristiwa tragis paling memiriskan dalam sejarah intelektual Islam. Nasib perpustakaan Fathimiyah di Cairo adalah contoh terbaik perubahan mentalitas dalam kejatuhan peradaban Islam. Perampasan yang pertama terjadi pada waktu berjangkitnya kelaparan dan anarkhisme yang menghancurkan kerajaan Khalifah Musanjadid. Beribu buku-buku berharga tentang keindahan kaligrafi, ditinggalkan kepada Budak. Konon, kata sejarawan Thomas Marzuk (2000), para Budak tersebut membuka kulit-kulit buku itu untuk dijadikan sepatu. Banyak buku-buku yang dilemparkan ke Sungai Nil sebagaimana halnya buku-buku Dinasti Abbasiyah yang dibuang tentara Tartar ke Sungai Eufrat dan Tigris, sehingga warna sungai ”berubah hitam karena tinta”. Sebahagian buku diselamatkan. Dan akhirnya, tahun 1122, Darul Hikmah ditutup.
Nasib sarjana dan perpustakaan ditempat lain, tak jauh beda. Semangat ilmu tersebut universal dan tidak memiliki nasionalisme mulai hilang dan kemudian berganti dengan semangat ideologis-parsial. Ahli-ahli hukum mazhab Maliki, misalnya, sangat giat membakar naskah-naskah Yunani klasik kecuali naskah-naskah yang berhubungan dengan kedokteran dan aritmetika, kamus, tata bahasa, hukum da hadits. Disamping dibakar, banyak buku-buku berharga dari hasil penterjemahan dan pengayaan tradisi intelektual Yunani Klasik dan Pesia dijual dengan harga murah. Khazanah kaya tersebut akhirnya berpindah ke pusat-pusat yang lain yang berusaha menyamai Cordoba. Peradaban Islam pada masa ini diisi oleh iklim dengan mental yang berbeda dengan mental sebelumnya. Pada sisi lain, pada waktu itu Eropa sedang bergairah menterjemahkan buku-buku dari bahasa Arab. Perpustakaan dan lembaga-lembaga penyelidikan banyak bermunculan. Pusat penterjemahan dari bahasa Arab yang sangat terkenal dalam sejarah eropa pada abad ke-XIII Masehi terdapat di sebelah barat Eropa. Santa Maria di Rippol di kaki gunung Pirrenia menjadi catatan emas sejarah intelektual Eropa. Tempat ini dikenal sebagai tempat paling produktif dalam menterjemahkan berbagai buku dari bahasa Arab ke bahasa Latin.
Di perpustakaan Vatikan di Roma, di Bibliothegue Nationalle di Paris dan di British Museum London terdapat sejumlah naskah terjemahan dari abad ke-XII Masehi. Penterjemah terkenal pada masa ini adalah Pedro Alfonso, seorang Kristen keturunan Yahudi dan Abraham van Hiyya al-Bargelouni serta Gerardo di-Cremona dari Toledo. Di Italia, penterjemahan berpusat di Sicilia dan Napoli – dua wilayah yang sebelumnya pernah berinteraksi dengan Islam secara politik – dengan tokohnya Michael Scott. Kegelisahan berfikir dan penyelidikan yang menandai kemajuan peradaban Islam hingga abad ke-XIII Masehi, mulai berpindah ke Eropa-Kristen. Kedinamisan dunia Islam yang menyatukan spirit peradaban dari batas China hingga Atlantik segera diatasi oleh bangsa-bangsa Eropa. Marcopolo menjelajah Asia dari 1271 – 1295. Christopher Colombus menemukan benua Amerika tahun 1498. Vasco da Gama mengelilingi Afrika dan mendarat di kalikut tahun 1498 sebagai usaha orang Portugis untuk memerangi kerajaan-kerajaan Islam. Dari tahun 1519 – 1522, Magelheins mengelilingi dunia. Dan kemudian sejarah mencatat, denga penguasaan dan penjajahan bangsa Eropa atas dunia berjalan hingga abad kita. Dan kita tahu, bagaimana selanjutnya, Eropa kemudian berkembang sangat pesat dengan revolusi ilmu pengetahuan yang berpangkal dari revolusi industri pada abad ke-XIX Masehi.
Memperhatikan dan membandingkan sifat peradaban Islam di zaman keemasannya dengan peradaban modern dalam beberapa abad belakangan ini, tidak mengherankan banyak orang Islam yang berpendapat bahwa kemajuan dunia modern ini pada hakikatnya adalah kemajuan yang dikehendaki agama Islam seperti yang terjadi pada abad ke VII – XIII Masehi. Pada hakikatnya, orang Eropa-lah yang melanjutkan spirit Intelektual Islam. Mungkin ini terkesan bertendensi apologis dan romatisme sejarah. Tapi tidak salah bila kita bersikap dengan dua episode sejarah diatas. Peradaban Islam maju ketika tradisi intelektual berkembang tanpa memandang dari mana ilmu tersebut berasal. Demikian juga halnya ketika tradisi intelektual eropa yang menghilangkan ego-parsial mereka dan mereka mau berkata, ”walaupun ilmu tersebut berbahasa Arab, tapi tidak salah kita ambil dan kita bawa ke dunia kita”. Haruskah selanjutnya pada zaman kita saat sekarang ini, kita selalu mengedepankan bahwa ilmu dari ”out-group” kitatidak bagus dan tidak Islami? Kalau ini yang terus kita lakukan, ”nilai yang terus dipelihara”, historia not-repete – sejarah tidak akan berulang. Cerita manis masa lalu akan tetap dalam bungkusan apologia. Sebuah kompensasi atas inferioritas atau hanya sebatas romantisme sejarah. Wallau ’Alam.
:: Artikel ini telah diterbitkan dalam PADANG EKSPRES, 23 April 2008
Menjaga Peradaban
Oleh : Muhammad Ilham
Salah seorang wartawan perang CNN legendaris, Peter Arrnet pernah meliput Perang Irak-Iran secara Live pada tahun 1982. Ia pernah melihat salah seorang ibu tua renta berdiri berjam-jam di stasiun kereta api milik tentara Iran. Peter Arrnet menanyakan siapa yang ditunggu oleh ibu tersebut. Si Ibu menjawab, "Saya menantikan anak kedua saya pulang dari front melawan "Yazid" Saddam Hussein, anak pertama saya telah syahid, mati di barisan depan agar pasukan pelapis bisa maju, sekarang saya menunggu dengan bahagia kedatangan anak kedua saya, hidup atau mati. Nanti saya berencana ingin mengirim anak bungsu saya yang sekarang telah berumur 18 tahun, keluarga kami adalah keluarga pejuang dan saya bangga karena rahim saya telah melahirkan para pejuang Iran dan Islam".
Menurut hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh USA Today (1997, 2001 dan 2003) terhadap anak-anak Palestina dijelaskan bahwa mereka merasa tidak memiliki harapan terhadap masa depan. Mereka merasa hidup mereka tidak berarti lagi. Karena itu tidak ada pilihan lain lagi kecuali melawan dengan berbagai cara. Demikian juga halnya dengan sebuah penelitian yang dilakukan oleh sejarawan Peter O'Gonnor White terhadap komunitas Tamil di Sri Langka. Sri Langka, sebuah negara yang secara genetik dekat dengan Hindustan, akan tetapi mayoritas beragama Budha. Etnis terbesar yang terdapat di negara ini adalah etnis Sinhala (mayoritas) dan Tamil. Etnis terakhir ini merupakan etnis minoritas yang beragama Hindu, dan berada dibawah bayang-bayang diskriminasi sosial politik yang dilakukan oleh etnis Sinhala. Berbagai usaha dilakukan etnis Tamil agar mereka bisa berpisah dari Sri Langka. Akan tetapi, usaha melalui jalur diplomasi dan kerusuhan-kerusuhan sporadis tidak membuahkan hasil. Akibatnya, mereka merasa kehilangan harapan. Maka jalan satu-satunya adalah mentradisikan bom bunuh diri secara simultan dengan harapan timbulnya ekses psikologis dan perhatian dunia. Sejak kecil para pemuda Tamil diajarkan sisi-sisi negatif etnis Sinhala dan "kaburnya" masa depan mereka. Militansi dan jiwa altruisme ditanamkan sedari kecil. Keputuasaan, hampir dalam berbagai kasus, selalu diakhiri dengan prinsip altruisme radikal dan dijustifikasi oleh nilai-nilai agama. Kelompok Radikal HAMAS di Palestina selalu mengatakan bahwa pengorbanan yang dilakukan oleh pemuda Palestina dalam meledakkan diri mereka bukan "kematian mubazir", tapi dalam konteks Islam menurut mereka kematian tersebut adalah syahid.
Begitu juga dengan statement yang pernah diungkapkan oleh ulama muda syiah kharismatis Irak, Moqtada al-Shadr, yang mengatakan bahwa tindakan martyrdom yang dilakukan oleh kelompok perlawanan Irak terhadap Amerika Serikat di Irak bukanlah kesia-siaan, akan tetapi merupakan "jalan yang benar". Demikian juga halnya dengan apa yang dilakukan oleh MNLF di Filiphina ataupun pola diaspora terror yang dilakukan oleh Osama bin Laden. Keputussaan terhadap ketidakberhasilan membebaskan Arab Saudi dan Timur Tengah dari Amerika Serikat, membuat Osama bin Laden "meluaskan" wilayah operasinya.Sama halnya dengan beberapa pejuang dalam sejarah setiap bangsa di dunia ini, Ia akhirnya merantau, keluar dari "relung sucinya" atau negaranya demi satu tujuan yang makro. Mungkin ini juga yang dilakukan oleh Azhari cs. dan Hambali cs, yang satu “melanglang ke Indonesia”, satu lagi ke Thailand dan Malaysia.
Ada sebuah artikel menarik dalam salah satu situs “dunia maya” yang melihat perbandingan menarik antara Osama bin Laden dengan para pejuang-pejuang yang merantau dari negeri mereka sendiri. Belasan teroris yang menghantam Amerika pada 11 September, selain berpendidikan tinggi dan bermotif politik dan ideologis kuat, semuanya adalah perantau. Mereka pernah bermukim lama di negeri orang. Teroris atau bukan, para perantau cenderung membawa misi politik. Seringkali mereka membuat sejarah ketika mereka berkelana, atau berkelana untuk membuat sejarah. Tan Malaka, misalnya, yang diangkat anak oleh seorang pejabat Belanda dan disekolahkan di Haarlem, terbuai oleh Marxisme pada 1920an, giat di Eropa, lalu keliling Asia. Dia adalah orang Indonesia pertama yang menguak bab sejarah untuk negeri lain: di Filipina dia memperkenalkan Marxisme. Tujuannya satu : eksistensi politis Indonesia. Ada pula yang membawa ide-ide chauvenis, otoriter dan semi-fasis, seperti Soepomo dan Ki Hajar Dewantara sekembali dari Belanda pada 1920an, atau Sarloth Sar (Pol Pot) dan Khieu Samphan, dua mahasiswa Kamboja yang sepulang dari Perancis menjadi arsitek negara-teror Khmer Merah pada 1970-an. Sementara di belahan dunia lain, Che Guevara mengembara dari tanah airnya, Bolivia, untuk berevolusi di Kuba dan Afrika. Perantauan, meski ragam, punya daya, ilham, tekad, dan dinamika tersendiri. Osamah bermimpi mewujudkan cita-citanya melalui “LSM” Al-Qaeda, tapi tak pernah memberi batasan apa dan di mana cita-citanya itu ingin diwujudkannya. Orang tak tahu dia berjuang untuk apa, siapa, dan negeri apa. Jangankan dibanding dengan Tan Malaka, bahkan dengan Khomeini-pun, pola Osamah amat berbeda dan terbelakang. Khomein punya target yang spesifik (Iran), Osamah tidak.
Secara sosiologis, cinta terbesar adalah cinta terhadap agama dan ideologi yang sering dipersonifikasikan dengan konsep fanatisme. Kecintaan terhadap agama mengalahkan kecintaan terhadap yang lain karena agama memiliki daya tarik luar biasa dengan justifikasi normatif religiusnya. Ingat, Surat-Surat Cinta DR. Azahari kepada istrinya dan penggalan Surat (wasiat) Imam Samudra dalam bentuk Puisi beberapa hari jelang kematian dan eksekusi ? Secara umum terlihat bahwa keputusan yang diambilnya tersebut merupakan bentuk kebenciannya terhadap Amerika Serikat dan sekutunya dan kecintaannya terhadap (menurutnya) eksistensi agama Islam. Demikian juga dengan apa yang dilakukan oleh Ayip Firdaus dan Misno (pengakuan mereka secara lisan yang direkam dan kemudian ditayangkan di media massa Indonesia setelah CD-nya ditemukan oleh Densus 88 Anti Teror). Dalam rekaman "ucapan perpisahan" bagi keluarga mereka, baik Ayip maupun Misno seragam mengatakan bahwa tindakan mereka ini merupakan perwujudan dari kecintaan mereka terhadap agama Islam dan kemudian terselip ungkapan bersifat "investasi" yaitu "kesyahidan (menurut mereka) mereka adalah jalan bagi terbawanya 70 anggota keluarga mereka untuk masuk sorga".
Sosiolog Emille Durkheim mengatakan bahwa dalam kasus-kasus yang lebih altruistik, pelaku bunuh diri (baca : pengebom bunuh diri) menyimpulkan bahwa kehidupan mereka yang selamat lebih bernilai dibandingkan dengan kehidupannya sendiri atau bahkan kelangsungan hidup mereka bisa terjamin bila ada yang meninggal. Tipe seperti ini biasa terjadi dalam peran ketika seseorang mengobankan dirinya sendiri dengan harapan bahwa kawan-kawannya akan selamat. Banyak peristiwa-peristiwa tragis kepahlawanan yang pada akhirnya peristiwa itu memberikan inspirasi tentang kepahlawanan (terlepas dari salah atau benarnya). Prosesi "Minum Racun"nya Socrates karena keteguhan akan memegang prinsip justru memberikan inspirasi besar terhadap perjalanan filsafat pemikiran dunia setelahnya. Begitu juga dengan sang ana al haq al Hallaj dan Syekh Siti Jenar. Mishio Torugawa, seorang petinggi militer Jepang pada masa Perang Dunia II, sebelum melakukan harakiri (bunuh diri bercirikan kultural a-la Jepang) mengatakan bahwa kematiannya merupakan "tumbal" untuk kejayaan Jepang pada masa yang akan datang. Demikian juga yang terlihat dalam peristiwa Puputan yang dilakukan oleh I Gusti Ngurah Rai di Bali dan kematian Robert Walter Monginsidi. Di Filiphina, hal ini bisa terlihat dari Jose Rizal. Kemudian juga terlihat dari apa yang diungkapkan oleh "Singa Padang Pasir" dari Libya Omar Mochtar sebelum menuju tiang gantungan yang dipersiapkan oleh penjajah Italia.
Standar kultural dan kepercayaan mungkin membawa seseorang untuk siap melepaskan hidupnya untuk menunjukkan keberanian atau menunjukkan dirinya berarti. Hasil dari tindakan ini adalah terjaminnya keberlangsungan hidup anggota keluarganya. Mereka dapat hidup dengan kebanggaan dan harapan. Faktor budaya sangat memegang peranan yang signifikan dalam melahirkan anggapan ini. Bagi kultur masyarakat Jepang klasik dan Palestina hingga saat sekarang, jiwa altruisme dengan bentuk tindakan bom bunuh diri (dengan embel-embel demi negara dan agama tentunya) justru meninggalkan kebanggaan individual-komunal. Dari sudut pandang sosiologi, menurut Emille Durkheim, fenomena terorisme dan bom bunuh diri tersebut merupakan suatu fakta sosial dan bukanlah fenomena individual. Untuk mengantisipasinya, maka harus dicari penyebab yang juga merupakan fakta sosial. Dalam konteks ini, berbagai fenomena terorisme dan bom bunuh diri terjadi karena adanya pemahaman norma-norma religius yang destruktif, perilaku tidak adil dalam realitas sosial dan lain-lain yang bersifat diskriminasi struktural. Oleh karena itu, perlu para "pemegang otoritas" agama (Islam) untuk kembali memikirkan pola dakwah, pendidikan dan pendekatan terhadap transformasi ajaran Islam tersebut kepada ummat Islam itu sendiri. Pertanyaan logis yang mengedepan di benak kita harus dengan jujur untuk kita jawab yaitu: Mengapa ummat Islam memiliki potensi besar melakukan tindakan teror ? Mengapa para pelaku teroris di Indonesia tersebut adalah orang-orang yang dekat dengan pondok pesantren?
Kedepan kurikulum dalam dunia pendidikan Indonesia, khususnya ummat Islam Indonesia, harus menekankan pendekatan yang humanis, hubungan dengan Tuhan juga berkorelasi erat dengan hubungan dengan manusia serta penekanan terhadap ajaran bahwa manusia yang Islami dan disayang oleh Allah SWT. adalah manusia yang menjaga peradaban dan ciptaan Allah. Disamping itu, diskriminasi dan ketimpangan sosial harus sedikit demi sedikit diperbaiki. Keadilan harus ditegakkan, tanpa pandang bulu. Rasa persaudaraan antar ummat beragama perlu dikembangkan dan dianggap perlu, bukan dilestarikan. Bila dilihat secara historis, budaya kekerasan ada dalam setiap budaya di Indonesia yang kadang-kadang dijustifikasi oleh ajaran agama (Islam). Kasus Perang Aceh dengan Hikayat Perang Sabil yang termaktub dalam analisis antropologisnya (terdapat dalam buku yang diterbitkan INIS : Nasehat-Nasehat Snouck Hourgronje Jilid I - IX) Snouck Hourgronje memperkuat hal ini. Oleh karena itu, untuk kedepan, disamping menekankan pendekatan humanis terhadap ajaran Islam, kita juga harus menekankan jiwa humanis budaya-budaya di Indonesia. Karena bagaimanapun juga, seperti dalam setiap agama di dunia ini, setiap budaya lahir untuk menjaga dan mengembangkan peradaban ummat manusia.
:: Artikel ini telah diterbitkan dalam PADANG EKSPRES, Desember 2008.
Salah seorang wartawan perang CNN legendaris, Peter Arrnet pernah meliput Perang Irak-Iran secara Live pada tahun 1982. Ia pernah melihat salah seorang ibu tua renta berdiri berjam-jam di stasiun kereta api milik tentara Iran. Peter Arrnet menanyakan siapa yang ditunggu oleh ibu tersebut. Si Ibu menjawab, "Saya menantikan anak kedua saya pulang dari front melawan "Yazid" Saddam Hussein, anak pertama saya telah syahid, mati di barisan depan agar pasukan pelapis bisa maju, sekarang saya menunggu dengan bahagia kedatangan anak kedua saya, hidup atau mati. Nanti saya berencana ingin mengirim anak bungsu saya yang sekarang telah berumur 18 tahun, keluarga kami adalah keluarga pejuang dan saya bangga karena rahim saya telah melahirkan para pejuang Iran dan Islam".
Menurut hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh USA Today (1997, 2001 dan 2003) terhadap anak-anak Palestina dijelaskan bahwa mereka merasa tidak memiliki harapan terhadap masa depan. Mereka merasa hidup mereka tidak berarti lagi. Karena itu tidak ada pilihan lain lagi kecuali melawan dengan berbagai cara. Demikian juga halnya dengan sebuah penelitian yang dilakukan oleh sejarawan Peter O'Gonnor White terhadap komunitas Tamil di Sri Langka. Sri Langka, sebuah negara yang secara genetik dekat dengan Hindustan, akan tetapi mayoritas beragama Budha. Etnis terbesar yang terdapat di negara ini adalah etnis Sinhala (mayoritas) dan Tamil. Etnis terakhir ini merupakan etnis minoritas yang beragama Hindu, dan berada dibawah bayang-bayang diskriminasi sosial politik yang dilakukan oleh etnis Sinhala. Berbagai usaha dilakukan etnis Tamil agar mereka bisa berpisah dari Sri Langka. Akan tetapi, usaha melalui jalur diplomasi dan kerusuhan-kerusuhan sporadis tidak membuahkan hasil. Akibatnya, mereka merasa kehilangan harapan. Maka jalan satu-satunya adalah mentradisikan bom bunuh diri secara simultan dengan harapan timbulnya ekses psikologis dan perhatian dunia. Sejak kecil para pemuda Tamil diajarkan sisi-sisi negatif etnis Sinhala dan "kaburnya" masa depan mereka. Militansi dan jiwa altruisme ditanamkan sedari kecil. Keputuasaan, hampir dalam berbagai kasus, selalu diakhiri dengan prinsip altruisme radikal dan dijustifikasi oleh nilai-nilai agama. Kelompok Radikal HAMAS di Palestina selalu mengatakan bahwa pengorbanan yang dilakukan oleh pemuda Palestina dalam meledakkan diri mereka bukan "kematian mubazir", tapi dalam konteks Islam menurut mereka kematian tersebut adalah syahid.
Begitu juga dengan statement yang pernah diungkapkan oleh ulama muda syiah kharismatis Irak, Moqtada al-Shadr, yang mengatakan bahwa tindakan martyrdom yang dilakukan oleh kelompok perlawanan Irak terhadap Amerika Serikat di Irak bukanlah kesia-siaan, akan tetapi merupakan "jalan yang benar". Demikian juga halnya dengan apa yang dilakukan oleh MNLF di Filiphina ataupun pola diaspora terror yang dilakukan oleh Osama bin Laden. Keputussaan terhadap ketidakberhasilan membebaskan Arab Saudi dan Timur Tengah dari Amerika Serikat, membuat Osama bin Laden "meluaskan" wilayah operasinya.Sama halnya dengan beberapa pejuang dalam sejarah setiap bangsa di dunia ini, Ia akhirnya merantau, keluar dari "relung sucinya" atau negaranya demi satu tujuan yang makro. Mungkin ini juga yang dilakukan oleh Azhari cs. dan Hambali cs, yang satu “melanglang ke Indonesia”, satu lagi ke Thailand dan Malaysia.
Ada sebuah artikel menarik dalam salah satu situs “dunia maya” yang melihat perbandingan menarik antara Osama bin Laden dengan para pejuang-pejuang yang merantau dari negeri mereka sendiri. Belasan teroris yang menghantam Amerika pada 11 September, selain berpendidikan tinggi dan bermotif politik dan ideologis kuat, semuanya adalah perantau. Mereka pernah bermukim lama di negeri orang. Teroris atau bukan, para perantau cenderung membawa misi politik. Seringkali mereka membuat sejarah ketika mereka berkelana, atau berkelana untuk membuat sejarah. Tan Malaka, misalnya, yang diangkat anak oleh seorang pejabat Belanda dan disekolahkan di Haarlem, terbuai oleh Marxisme pada 1920an, giat di Eropa, lalu keliling Asia. Dia adalah orang Indonesia pertama yang menguak bab sejarah untuk negeri lain: di Filipina dia memperkenalkan Marxisme. Tujuannya satu : eksistensi politis Indonesia. Ada pula yang membawa ide-ide chauvenis, otoriter dan semi-fasis, seperti Soepomo dan Ki Hajar Dewantara sekembali dari Belanda pada 1920an, atau Sarloth Sar (Pol Pot) dan Khieu Samphan, dua mahasiswa Kamboja yang sepulang dari Perancis menjadi arsitek negara-teror Khmer Merah pada 1970-an. Sementara di belahan dunia lain, Che Guevara mengembara dari tanah airnya, Bolivia, untuk berevolusi di Kuba dan Afrika. Perantauan, meski ragam, punya daya, ilham, tekad, dan dinamika tersendiri. Osamah bermimpi mewujudkan cita-citanya melalui “LSM” Al-Qaeda, tapi tak pernah memberi batasan apa dan di mana cita-citanya itu ingin diwujudkannya. Orang tak tahu dia berjuang untuk apa, siapa, dan negeri apa. Jangankan dibanding dengan Tan Malaka, bahkan dengan Khomeini-pun, pola Osamah amat berbeda dan terbelakang. Khomein punya target yang spesifik (Iran), Osamah tidak.
Secara sosiologis, cinta terbesar adalah cinta terhadap agama dan ideologi yang sering dipersonifikasikan dengan konsep fanatisme. Kecintaan terhadap agama mengalahkan kecintaan terhadap yang lain karena agama memiliki daya tarik luar biasa dengan justifikasi normatif religiusnya. Ingat, Surat-Surat Cinta DR. Azahari kepada istrinya dan penggalan Surat (wasiat) Imam Samudra dalam bentuk Puisi beberapa hari jelang kematian dan eksekusi ? Secara umum terlihat bahwa keputusan yang diambilnya tersebut merupakan bentuk kebenciannya terhadap Amerika Serikat dan sekutunya dan kecintaannya terhadap (menurutnya) eksistensi agama Islam. Demikian juga dengan apa yang dilakukan oleh Ayip Firdaus dan Misno (pengakuan mereka secara lisan yang direkam dan kemudian ditayangkan di media massa Indonesia setelah CD-nya ditemukan oleh Densus 88 Anti Teror). Dalam rekaman "ucapan perpisahan" bagi keluarga mereka, baik Ayip maupun Misno seragam mengatakan bahwa tindakan mereka ini merupakan perwujudan dari kecintaan mereka terhadap agama Islam dan kemudian terselip ungkapan bersifat "investasi" yaitu "kesyahidan (menurut mereka) mereka adalah jalan bagi terbawanya 70 anggota keluarga mereka untuk masuk sorga".
Sosiolog Emille Durkheim mengatakan bahwa dalam kasus-kasus yang lebih altruistik, pelaku bunuh diri (baca : pengebom bunuh diri) menyimpulkan bahwa kehidupan mereka yang selamat lebih bernilai dibandingkan dengan kehidupannya sendiri atau bahkan kelangsungan hidup mereka bisa terjamin bila ada yang meninggal. Tipe seperti ini biasa terjadi dalam peran ketika seseorang mengobankan dirinya sendiri dengan harapan bahwa kawan-kawannya akan selamat. Banyak peristiwa-peristiwa tragis kepahlawanan yang pada akhirnya peristiwa itu memberikan inspirasi tentang kepahlawanan (terlepas dari salah atau benarnya). Prosesi "Minum Racun"nya Socrates karena keteguhan akan memegang prinsip justru memberikan inspirasi besar terhadap perjalanan filsafat pemikiran dunia setelahnya. Begitu juga dengan sang ana al haq al Hallaj dan Syekh Siti Jenar. Mishio Torugawa, seorang petinggi militer Jepang pada masa Perang Dunia II, sebelum melakukan harakiri (bunuh diri bercirikan kultural a-la Jepang) mengatakan bahwa kematiannya merupakan "tumbal" untuk kejayaan Jepang pada masa yang akan datang. Demikian juga yang terlihat dalam peristiwa Puputan yang dilakukan oleh I Gusti Ngurah Rai di Bali dan kematian Robert Walter Monginsidi. Di Filiphina, hal ini bisa terlihat dari Jose Rizal. Kemudian juga terlihat dari apa yang diungkapkan oleh "Singa Padang Pasir" dari Libya Omar Mochtar sebelum menuju tiang gantungan yang dipersiapkan oleh penjajah Italia.
Standar kultural dan kepercayaan mungkin membawa seseorang untuk siap melepaskan hidupnya untuk menunjukkan keberanian atau menunjukkan dirinya berarti. Hasil dari tindakan ini adalah terjaminnya keberlangsungan hidup anggota keluarganya. Mereka dapat hidup dengan kebanggaan dan harapan. Faktor budaya sangat memegang peranan yang signifikan dalam melahirkan anggapan ini. Bagi kultur masyarakat Jepang klasik dan Palestina hingga saat sekarang, jiwa altruisme dengan bentuk tindakan bom bunuh diri (dengan embel-embel demi negara dan agama tentunya) justru meninggalkan kebanggaan individual-komunal. Dari sudut pandang sosiologi, menurut Emille Durkheim, fenomena terorisme dan bom bunuh diri tersebut merupakan suatu fakta sosial dan bukanlah fenomena individual. Untuk mengantisipasinya, maka harus dicari penyebab yang juga merupakan fakta sosial. Dalam konteks ini, berbagai fenomena terorisme dan bom bunuh diri terjadi karena adanya pemahaman norma-norma religius yang destruktif, perilaku tidak adil dalam realitas sosial dan lain-lain yang bersifat diskriminasi struktural. Oleh karena itu, perlu para "pemegang otoritas" agama (Islam) untuk kembali memikirkan pola dakwah, pendidikan dan pendekatan terhadap transformasi ajaran Islam tersebut kepada ummat Islam itu sendiri. Pertanyaan logis yang mengedepan di benak kita harus dengan jujur untuk kita jawab yaitu: Mengapa ummat Islam memiliki potensi besar melakukan tindakan teror ? Mengapa para pelaku teroris di Indonesia tersebut adalah orang-orang yang dekat dengan pondok pesantren?
Kedepan kurikulum dalam dunia pendidikan Indonesia, khususnya ummat Islam Indonesia, harus menekankan pendekatan yang humanis, hubungan dengan Tuhan juga berkorelasi erat dengan hubungan dengan manusia serta penekanan terhadap ajaran bahwa manusia yang Islami dan disayang oleh Allah SWT. adalah manusia yang menjaga peradaban dan ciptaan Allah. Disamping itu, diskriminasi dan ketimpangan sosial harus sedikit demi sedikit diperbaiki. Keadilan harus ditegakkan, tanpa pandang bulu. Rasa persaudaraan antar ummat beragama perlu dikembangkan dan dianggap perlu, bukan dilestarikan. Bila dilihat secara historis, budaya kekerasan ada dalam setiap budaya di Indonesia yang kadang-kadang dijustifikasi oleh ajaran agama (Islam). Kasus Perang Aceh dengan Hikayat Perang Sabil yang termaktub dalam analisis antropologisnya (terdapat dalam buku yang diterbitkan INIS : Nasehat-Nasehat Snouck Hourgronje Jilid I - IX) Snouck Hourgronje memperkuat hal ini. Oleh karena itu, untuk kedepan, disamping menekankan pendekatan humanis terhadap ajaran Islam, kita juga harus menekankan jiwa humanis budaya-budaya di Indonesia. Karena bagaimanapun juga, seperti dalam setiap agama di dunia ini, setiap budaya lahir untuk menjaga dan mengembangkan peradaban ummat manusia.
:: Artikel ini telah diterbitkan dalam PADANG EKSPRES, Desember 2008.
Langganan:
Postingan (Atom)