Jumat, 02 Maret 2012

Nuklir, Iran vs Israel dan Soft Power

Oleh : Muhammad Ilham

Artikel ini telah penulis posting di Kompas-media.com pada bulan Nopember 2011 yang lalu. Karena kasus Nuklir Iran versus Israel ini kembali aktual dan menjadi headline banyak media massa dalam dan luar negeri, maka penulis mem-posting kembali (dengan mengurangi beberapa alinea) yang terkesan kehilangan konteks waktu. 





Amerika Serikat memiliki kepentingan politis dan ekonomis di Timur Tengah, itu sudah pasti.  Dan hanya Israel yang dianggap loyalist Amerika Serikat di kawasan ini (demikian juga sebaliknya, Amerika Serikat juga loyalist Israel). Hubungan dua negara ini bukan hanya bersifat simbiosis mutualisme ekonomis dan politis semata, tapi sudah menjadi hubungan “genetik-politik”. Beda dengan beberapa negara Kesultanan kaya Timur Tengah, seperti Arab Saudi yang juga (dianggap) sebagai loyalis Amerika Serikat. Hubungan mereka - dalam konteks perspektif rasional politik - hanyalah hubungan yang bersifat pragmatisme (ekonomi) politik. “Minyak” dan “tanah” untuk pangkalan senjata, tak lebih tak kurang. Dan, para Sultan di Timur Tengah berkepentingan untuk menjaga kekuasaan-absolut mereka. Sebuah contradictio-interminis dengan semangat demokrasi (semu) yang diusung-usung Amerika Serikat di bumi nan bulat ini. Pada siapa lagi para Sultan ini “bersandar” kalau bukan pada Obama ?. Jadi tidaklah mengherankan apabila Amerika Serikat (dan NATO, tentunya, plus PBB) menutup mata ketika tentara Arab Saudi membombardir pengunjuk rasa yang ingin menjatuhkan kekuasaan Sultan Al-Khalifa di Bahrain. Sultan Arab Saudi menyediakan tempat (dulunya) untuk menyerang “saudara muslimnya”, Saddam Hussein. Tak juga mengherankan pula, belakangan terdapat bocoran kawat diplomatik Inggris bahwa pemerintah Arab Saudi juga mendukung rencana serangan Israel ke Iran, bahkan mereka bersedia menyediakan tempat di negeri asal Rasulullah SAW. ini untuk menyerang Iran, sebuah negera paling demokratis di kawasan Timur Tengah selain Israel. Negara-negara lain di kawasan ini (hingga sekarang) masih ada yang mengenal sistem politik, “wanita tidak boleh jadi politisi”, Iran justru pernah menempatkan wanita menjadi wakil Presiden mereka. Ketika negara-negara di daerah kaya minyak ini masih mengenal sistem politik “tanpa pemilu”, Iran justru memiliki dinamika pemilu yang teramat menarik dan dinamis. Tapi mengapa semua negara yang banyak orang mengatakan sebagai negara-negara maju, justru menganggap Iran sebagai negara “orang gila” (seperti yang diutarakan Senator AS dari Texas), negara yang dipimpin oleh orang-orang despot, dan ……. “negara setan” ucap mantan Presiden Amerika Serikat George Walker Bush. 

Lalu mengapa Iran ? ….. Bila Khaddafi pantas untuk diturunkan oleh NATO (tentunya dibawah pimpinan Amerika Serikat dan justifikasi politik dari PBB) dikarenakan putra dari suku Tuareq ini memimpin negara kaya minyak, dan ….. tak mau dikontrol negara-negara yang (katanya) maju tersebut. Maka Iran, sejak Syah Reza Pahlevi dijatuhkan tahun 1979 dalam Revolusi Islam Islam dibawah pimpinan Ayatullah Ruhullah Khomeini, menjadi negara Timur Tengah yang selalu menegaskan posisi mereka secara jelas : Israel dan “keturunan-keturunannya” adalah musuh mereka. Titik. Sejak Iran dipimpin oleh Presiden Bani Sadr, Ali Raja’i, Rafsanjani, Khatami hingga Mahmoud Ahmadinedjad, posisi jelas-tegas tersebut tak pernah beranjak. Tentunya, hal ini membuat Israel dan Amerika Serikat menjadi “paranoid”. Iran bukanlah Suriah/Syiria yang juga “karengkang”, tapi negara pimpinan klan Al-Assad itu hanyalah negara yang tidak kaya dan (sekaligus) tidak pintar. Libanon ? …. sudah diporakporandakan Israel. Apalagi Mesir yang setiap tahun masih menjadi pelanggan setia IMF dan subsidi Amerika Serikat. Aljazair dan Tunisia ? Mereka masih disibukkan mencari format terbaik sistem politik negara mereka. Dan toh pun, mereka tak kaya amat. Minyak tidak ditakdirkan “singgah” di negara belahan atas benua Afrika ini. Negara-negara Teluk-kaya minyak lainnya seperti Oman, UEA, Kuwait dan Bahrain (tentunya dibawah komando Arab Saudi), hanyalah negara-negara “boneka barbie” Anglo-Saxon. Tapi Iran, beda. Mereka, seperti halnya Libya, juga kaya dengan minyak. Orang-orang Iran, memiliki “trah-genetik” lain dibandingkan negara Arab. Mereka keturunan Persia. Peradaban mereka dahulunya agung. Bahkan sejarah mencatat, Persia merupakan satu dari dua negara adikuasa pada zamannya, selain Romawi. Sehingga tidaklah mengherankan apabila Iran memiliki kebanggaan historis dan referensi sendiri, (serta) diperkaya dengan militansi teologis Syi’ah yang menggetarkan dalam sejarah. Buktinya, Saddam Hussein terpaksa mengeluarkan “bendera putih” dalam Perang 10 tahun Irak-Iran. Padahal Iran pada waktu itu masih sedang melakukan konsolidasi internal pasca kejatuhan Syah Reza Pahlevi. Kekayaan historis dan militansi inilah yang kemudian melahirkan kemandirian untuk tidak mau diinjak-injak negara lain. Dengan ditopang sumber daya manusia Iran yang masuk kategori pintar-pintar, Iran tumbuh dan berkembang menjadi negara yang kuat dan memiliki pengaruh besar di kawasan Timur Tengah. Intelektual mereka merupakan intelektual “papan atas”. Saintis yang mereka miliki, masuk kategori nobel. Bahkan secara berseloroh, seorang teman saya pernah mengatakan : “bila tak ada Iran, tentunya dunia Islam modern sekarang masih dianggap negara-negara Barat sedang belajar alif ba ta“. Karena itulah mungkin, Iran memiliki kepercayaan diri membangun kekuatan militer mereka melalui putra-putra terbaik mereka sendiri (dengan tentunya diback up Rusia). Proggres kekuatan militer Iran sekarang , menurut reuters, begitu menakutkan Amerika Serikat, terutama Israel. Ditambah lagi dengan proyek pengembangkan nuklir yang mereka lakukan, membuat Amerika Serikat dan Israel merasa perlu untuk menyerang instalasi nuklir Iran, dengan dalih “untuk perdamaian dunia”. Ditambah tentunya dengan diktum : “yang boleh memiliki nuklir itu hanyalah kami, bukan anda”.

Lalu dimana kekuatan Iran sejatinya dalam menghadapi ancaman Israel yang nota benenya didukung tanpa reserve oleh saudara tuanya - Amerika Serikat ? ..... Menurut pakar Hubungan Internasional, Dina Yulianti Sulaiman, Soft Power lah kekuatan utama negara para Mullah ini. Menurut Dina, dalam studi Hubungan Internasional, power, atau kekuatan negara-negara biasanya didefinisikan dalam dua kategori, hard power dan soft power. Hard power secara singkat bisa dimaknai sebagai kekuatan material, semisal senjata, jumlah pasukan, dan uang yang dimiliki sebuah negara. Umumnya pemikir Barat (atau pemikir Timur yang westernized) lebih memfokuskan pembahasan pada  hitung-hitungan hard power ini. Contohnya saja, seberapa mungkin Indonesia bisa menang melawan Malaysia jika terjadi perang? Yang dikedepankan biasanya adalah kalkulasi seberapa banyak senjata, kapal perang, kapal selam, dan jumlah pasukan yang dimiliki kedua negara. Begitu juga, di saat AS dan Israel berkali-kali melontarkan ancaman serangan kepada Iran, yang banyak dihitung oleh analis Barat adalah berapa banyak pasukan AS yang kini sudah dipindahkan ke pangkalan-pangkalan militer AS di kawasan sekitar Teluk Persia; seberapa banyak rudal yang dimililiki Iran, seberapa jauh jarak jelajahnya, dst. Bila memakai kalkulasi hard power, harus diakui bahwa sebenarnya kekuatan Iran masih jauh di bawah AS. Apalagi, doktrin militer Iran adalah defensive (bertahan, tidak bertujuan menginvasi Negara lain). Iran hanya menganggarkan 1,8% dari pendapatan kotor nasional (GDP)-nya untuk militer (atau sebesar 7 M dollar). Sebaliknya, AS adalah negara dengan anggaran militer terbesar di dunia, yaitu 4,7% dari GDP atau sebesar  687 M dollar. Bahkan, AS telah membangun pangkalan-pangkalan militer di berbagai penjuru dunia yang mengepung Iran.

Apa itu soft power? Secara ringkas bisa dikatakan bahwa subtansi soft power adalah sikap persuasif dan kemampuan meyakinkan pihak lain; sementara hard power menggunakan kekerasan dan pemaksaan dalam upayanya menundukkan pihak lawan. Karena itulah, menurut Mohammadi, dalam soft power, mentalitas menjadi kekuatan utama dan investasi terbesar yang dibangun Iran adalah membangun mental ini, bukan membangun kekuatan militer. Pemerintah Iran berusaha untuk menumbuhkan nilai-nilai bersama, antara lain nilai tentang kesediaan untuk berkorban dan bekerja sama dalam mencapai kepentingan nasional. Mohammadi mengidentifikasi ada 10 sumber kekuatan soft power Iran,tiga diantaranya adalah sebagai berikut :

Faktor Tuhan memang jarang disebut-sebut dalam analisis politik. Tapi, kenyataannya, memang inilah yang diyakini oleh rakyat Iran, dan inilah sumber kekuatan mereka. Menurut Mohammadi, bangsa Iran percaya bahwa orang yang berjuang melawan penentang Tuhan, pastilah dibantu oleh Tuhan. Dengan kalimat yang indah, Mohammadi mendefinisikan keyakinan ini sebagai berikut, “Kenyataannya, mereka [yang berjuang di jalan Allah] bagaikan tetesan air yang bergabung dengan lautan luas, lalu menghilang dan menyatu dalam lautan, kemudian menjelma menjadi kekuatan yang tak terbatas.” Keyakinan ini semakin kuat setelah bangsa Iran pasca Revolusi terbukti berkali-kali meraih kemenangan dalam melawan berbagai serangan dari pihak musuh, mulai dari invasi Irak (yang didukung penuh oleh AS, Eropa, Arab, dan Soviet), hingga berbagai aksi terorisme (pengeboman pusat-pusat ziarah, pemerintahan, dan aparat negara). Salah satu kejadian yang dicatat dalam sejarah Iran adalah kegagalan operasi rahasia Angkatan Udara AS untuk memasuki Teheran. Pada tahun 1980, Presiden AS Jimmy Carter mengirimkan delapan helicopter dalam Operasi Eagle Claw. Misinya adalah menyelamatkan 52 warga AS yang disandera para mahasiswa Iran di Teheran. Operasi itu gagal ‘hanya’ karena angin topan menyerbu kawasan Tabas, gurun tempat helikopter itu ‘bersembunyi’ sebelum meluncur ke Teheran. Angin topan dan pasir membuat helikopter itu saling bertabrakan dan rusak parah. Mengomentari kejadian ini, Imam Khomeini mengatakan, “Pasir dan angin adalah ‘pasukan’ Allah dalam operasi ini.” 

Kemudian, peran kepemimpinan dan komando adalah faktor yang sangat penting dalam situasi konflik, baik itu militer, politik, atau budaya. Pemimpin-lah yang menjadi penunjuk arah dalam setiap gerakan perjuangan. Dialah yang menyusun rencana dan strategi untuk berhadapan dengan musuh. Menurut Mohammadi, hubungan yang erat dan solid antara pemimpin dengan rakyatnya adalah sumber power yang sangat penting. Di Iran, karena yang menjadi pemimpin adalah ulama yang memiliki kredibilitas tinggi, kepatuhan kepada pemimpin bahkan dianggap sebagai sebuah gerakan relijius, dan inilah yang menjadi sumber utama kekuatan soft power Iran. Dalam kalimat Mohammadi, “[it] is a source of power per se, that assures the friends and frightens the foes.”  

Selanjutnya, Revolusi Islam Iran telah menggulingkan Shah Pahlevi yang didukung penuh oleh Barat. Pra-revolusi Islam, Barat sangat mendominasi Iran, baik dari sisi ekonomi, politik, maupun budaya. Kepentingan Barat di Iran terancam oleh naiknya seorang ulama yang menyuarakan independensi dan sikap anti kapitalisme-liberalisme, yaitu Imam Khomeini. Karena itulah, Barat dengan berbagai cara berusaha menggulingkan pemerintahan Islam, antara lain dengan memback-up Saddam Husein untuk memerangi Iran. Saddam yang sesumbar bisa menduduki Teheran hanya dalam sepekan, ternyata setelah berperang selama 8 tahun tetap tidak mampu mengalahkan Iran. AS dan Eropa kemudian menerapkan berbagai sanksi dan embargo; berusaha meminggirkan Iran dalam pergaulan internasional, mempropagandakan citra buruk terhadap pemerintahan Islam, dll. Karena didasari oleh dua faktor sebelumnya (keyakinan pada rahmat Tuhan dan faktor kepemimpinan relijius), bangsa Iran mampu bertahan hidup dalam situasi yang sulit dan berjuang untuk mengubah tekanan dan ancaman ini menjadi kesempatan untuk maju dan berdikari. Contoh mutakhirnya adalah, ketika akhir-akhir ini semakin marak pembunuhan terhadap pakar nuklir Iran yang didalangi oleh agen-agen rahasia asing; jumlah pendaftar kuliah di jurusan teknik nuklir justru semakin meningkat. Inilah jenis mental yang berhasil dibangun oleh pemerintah Iran selama 34 tahun terakhir:  semakin ditekan, semakin kuat semangat perjuangan mereka. Dalam pidato terbarunya di Teheran, pemimpin tertinggi Iran, Ayatullah Khamenei, menyinggung masalah ini. Beliau mengatakan, “Ketika kita diembargo, kemampuan kita justru semakin meningkat, potensi kita justru semakin terasah, kita tumbuh dari dalam. Jika kita tidak diembargo senjata, hari ini kita tidak akan mencapai kemajuan yang mengagumkan. Jika kita tidak diembargo dalam pengembangan nuklir –padahal reaktor nuklir Bushehr itu mereka [Barat] yang membangunnya—hari ini kita tidak memiliki kemampuan dalam pengayaan uranium,. Jika mereka tidak menutup pintu-pintu ilmu dari kita, hari ini kita tidak akan mampu menciptakan stem cell, menguasai ilmu antariksa dan mengirim satelit ke angkasa luar. Karena itu, semakin mereka mengembargo kita, semakin besar kita mampu menggali kemampuan dan potensi kita sendiri. Dan semakin hari, potensi kita itu akan semaki mekar berkembang. Karena itulah, embargo sesungguhnya bermanfaat bagi kita.”

Belajar dari Iran, kita perlu mengajukan pertanyaan, bagaimana dengan Indonesia hari ini? Faktor kepemimpinan yang lemah dan lebih mendahulukan membeli pesawat produk luar negeri jelas faktor yang sangat melemahkan soft power Indonesia. Namun sebagai bangsa, kita masih memiliki kekuatan untuk membangun dari dalam, dimulai dari diri sendiri, yaitu membangun kekuatan dan keyakinan spiritual; membangun etos perjuangan berbasis relijiusitas.

Sumber Foto : reuters.com/AFP News.
Referensi : Dina Yulianti S. 

Tidak ada komentar: