Oleh : Muhammad Ilham

Kalaulah
kita boleh berandai-andai bila Habibie tak diterima "arus umum",
kemudian Presidium terbentuk, lantas Pemilihan Umum berlangsung tahun
1998 itu juga. Maka pasti banyak yang bersepakat bahwa Amien rais akan
tampil sebagai Presiden Republik Indonesia yang ke-4. Siapa yang tidak
kenal Amien Rais kala itu. Sahabat Buya Ahmad Syafii Ma'arif ini
dianggap sebagai tokoh paling terkenal dan paling "bersuara" serta
representasi dari tokoh pembangkang era 1997-1999. Gus Dur dimana ?
Suaranya tidak begitu terdengar, sementara Megawati lebih banyak
diam-senyum. Maka praktis hanya Amien Rais yang berjalan di depan
gelombang besar mahasiswa. Bahkan dalam konteks nativisme, Amien Rais
dipandang sebagai Juru Selamat. Bak HOS. Tjokroaminoto, Samin
Surosantiko, Diponegoro ataupun Soekarno pada masanya. Ia juga memiliki
pengakuan dari rezim berkuasa sebagai bukti bahwa ia memang tokoh yang
dianggap oposan paling serius. Buktinya, ketika Soeharto mengundang
beberapa tokoh masyarakat ketika demonstrasi 1998 menjalar sedemikian
cepat dan anarkis, Amien Rais adalah tokoh yang direkomendasikan oleh
banyak kalangan, tapi ia ditolak Soeharto. Ketika para tokoh yang
diundang Soeharto tersebut mengatakan bahwa reformasi harus jalan tetapi
dibawah kendali Soeharto, maka Amien Rais menjelaskan posisinya :
tidak. Reformasi harus tanpa Soeharto. Dan sejarah-pun kemudian
mencatat, Soeharto tak berdaya. Kekuasaan kemudian diserahkan kepada
Habibie. Ketika kekuasaan tersebut diberikan kepada Habibie oleh
Soeharto, praktis gelombang besar publik sedang menunggu bagaimana
komentar Amien Rais terhadap naiknya Habibie tersebut.
Apa
kata Amien Rais ? "Biarlah kita beri kesempatan kepada Habibie untuk
memimpin pemerintahan transisi. Pemerintahan transisi ini tidak akan
lama, sekitar tiga hingga enam bulan", kata Amien. Ketika Amien
mengeluarkan statement ini, saya masih ingat dengan tanggapan seorang
wartawan Luar Negeri yang diwawancarai Majalah Forum Keadilan, "Waktu
itulah, Amien Rais telah berhenti menjadi reformis". Walaupun tak
sepenuhnya benar, tapi kekecewaan publik boleh jadi memang pada
tempatnya. Ekspektasi publik yang luar biasa padanya, harus berhadapan
dengan kenyataan lain bahwa ia berkompromi dengan Habibie. Coba kalau
waktu itu ia menolak pelantikan Habibie, tentu pergolakan akan
berlanjut, demonstrasi akan (kembali) marak terjadi, sampai pada
akhirnya diambil solusi nasional : membentuk Presedium. Jangankan
pembentukan Presidium, bila Amien Rais pandai menggelindingkan bola
panas revolusi, bukan hanya sebatas reformasi, maka back up sosial
politiknya sangat besar, meski hal ini akan ditolak oleh mbah "fikih
konstitusi" masa itu, Yusril Ihza Mahendra. Namun yang jadi soal adalah,
mengapa Amien menerima Habibie ? (Walau pada masa itu, ke dua orang
ini, disamping Yusril Ihza Mahendra, adalah figur yang saya pandang
dengan mata binar seorang aktifis-Ketua Senat Mahasiswa Fakultas salah
satu Perguruan Tinggi Negeri Sumbar , tapi tetap Amien Rais lebih
"bahenol").
Tentu banyak yang geram pada Amien Rais,
mengapa menerima Habibie. Paling tidak bagi kalangan masyarakat yang
memiliki ekspektasi tinggi padanya. Pada detik-detik ketika takdir
kepresidenan menggantung-gantung di atas kepalanya, alamaaak ternyata ia
malah menerima orang lain. Akhirnya, bak kata Syubah Asa, jalan sejarah
akhirnya berbelok bagai pekik seorang pengawal yang meneriaki Pangeran
Hector, menyebabkan Perang Troya dalam sejarah Yunani Klasik yang sudah
dihalang-halangi agar tidak meletus, pada akhirnya meledak jua. Dalam
konteks Amien Rais, ia justru dianggap "dihalangi" menjadi Presiden,
bukan karena Amien Rais tidak mau. Dan penghalangnya itu adalah ICMI -
Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia. Amien Rais dan Habibie adalah dua
sahabat yang berseberangan. Mereka berdua seumpama Agus Salim dengan
Sutan Syahrir atau Soekarno dengan Hatta "dikemudian hari". Habibie
merupakan murid Soeharto (bahkan, kalau saya tak salah, Amien Rais
termasuk tokoh yang paling sering mengingatkan suatu hal : "bagi
Habibie, Soeharto adalah Profesornya") dan Amien Rais adalah musuh
Soeharto. Bila dihadapkan pada Soeharto, maka posisi Amien Rais dan
Habibie teramat jelas berseberangan. Tapi ICMI, organisasi yang dibentuk
atas restu Soeharto dimana Habibie duduk sebagai Ketua-nya dan Amien
rais menjadi Ketua Dewan Pakar (walau kemudian ia didepak atas "pesanan"
Soeharto) adalah sebuah corps, sebuah kubu. Dan bila kita lihat dalam
konteks ini, sangat layak bila dikatakan bahwa pribadi dan pejuang ormas
Islam seperti Amien Rais (kala itu ia masih menjabat sebagai Ketua PP
Muhammadiyah) menumbuhkan perasaan satu corps-satu kubu dengan Habibie.
ICMI adalah jembatan pupuk hati antara Habibie dan Amien Rais. Minimal,
Amien Rais merasa tidak tega menolak naiknya Habibie jadi Presiden pasca
kejatuhan Soeharto. Seandainya Amien Rais bukan satu corps dengan
Habibie, mungkin Presiden RI ke-4 bukan putra Pare-Pare Sulawesi Selatan
bermata bulat ini. Tapi itulah politik. Politik adalah memilih,
demikian kata Mohandas Karamachand Gandhi yang Mahatma itu.
Sumber foto : jppn.com
Sumber foto : jppn.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar