Senin, 12 Maret 2012

Main Sore, Main Padang : Perilaku Orang Minangkabau dalam Sepakbola

Oleh : Deddy Arsya & (ed.) Muhammad Ilham

Selama sepekan setelah hari raya, di kampung kami biasanya akan berlangsung pertandingan sepakbola. Turnamen antar nagari itu memperebutkan Piala Bapak Camat. Atau kadang-kadang jika panitia sedang beruntung mendapat bantuan dana dari pejabat teras kabupaten, turnamen menjadi sedikit lebih bergengsi: Bupati Cup. Ada satu idiom yang paling diingat dari pertandingan sepakbola itu. Bagaimana saya harus mendefinisikan idiom itu dalam tulisan ini? Begini saja. Jika para penonton di pinggir lapangan sudah meneriakkannya, sudah dapat dipastikan, permainan tidak akan berlanjut dengan baik. Para pemain yang tak profesional dan terlalu gampang disulut amarahnya itu sudah tak memperhitungkan lagi pelanggaran dan kartu merah. Jika sudah begitu, di tengah lapang kaki para pemain akan beradu sama kaki, badan membentur badan, bola terbang entah ke mana tak terpedulikan lagi. Tumit sepatu bisa setinggi dagu, lutut sampai di rusuk, siku bisa menerobos ke selangkang. Hasrat untuk mencetak gol telah tergantikan oleh hasrat mencelakai lawan. Mulanya penonton yang menyulut amarah pemain, lalu lama kelamaan penonton yang tersulut menyaksikan permainan yang menjurus kasar dan licik. Jika sudah begitu, berteriaklah penonton sesama penonton, berserulah mereka sesama mereka. Dengan satu komando saja, penonton yang di sana dan penonton yang di situ sudah bertemu ‘di medan laga’.  Berkucatak perkelahian, batu dapat batu dilemparkan, kayu dapat kayu dipungkangkan.

Idiom itu berbunyi: “Main sore, main sore!”. 

Pada buku sejarah (Asvi Marwan Adam, 2010: 61) dituliskan, dalam dunia sepakbola pada masa Belanda dulu dikenal istilah “Main Padang”. Istilah Main Padang konon digunakan orang-orang di tanah Jawa untuk menunjuk pada corak permainan sepakbola yang licik dan cenderung kasar. Apakah istilah ini semakna artinya atau merujuk kepada istilah “Main Sore”? Dan apakah ini juga mengindikasikan bahwa, pernah dalam sejarah, permainan sepakbola tim dari Padang licik dan cenderung kasar? Atau hanya merupakan stigma yang dilekatkan oleh kekuasaan tertentu, kekuasaan Belanda misalnya, untuk memberi citra negatif pada orang Minang?. Pada buku sejarah yang ditulis Freek Colombijn (2006: 105) dikatakan pula bahwa pertandingan antar suku dan antar kampung di Padang memang adalah permainan yang paling kasar dan berpotensi pecah perkelahian. Setiap tim dari Pauh dan tim dari Koto Tangah bertemu dalam pertandingan, misalnya, hampir dapat dipastikan ujung-ujungnya akan berkelahi. Bahkan, pernah dalam suatu pertandingan antar kampung, pemain sampai berkelahi dengan polisi, dan melibatkan para penonton. Para pemain dan penonton yang agresif seperti itu dijebloskan ke penjara selama satu atau dua bulan.  

Barangkali karena masyarakat kita, Minangkabau, tidak punya tradisi bermain permainan yang ‘beradu fisik beradu badan’, maka jika dihadapkan pada permainan sepakbola menjadi gampang tersulut amarahnya, menjadi mudah berkelahi. Permainan yang menggunakan alat seperti bola hanya permainan “sipak rago”. Ini merupakan permainan ketangkasan memainkan rago, memindahkan rago dari satu pemain ke pemain lain dengan menggunakan kaki tanpa rago boleh menyentuh tanah, tanpa satu pemain dan pemain lain berkontak secara badaniah. Pemain tidak merebut bola dari pemain lain, tapi memberikan bola sebaik mungkin kepada pemain lain agar dapat diterima dengan baik, begitu seterusnya. Tidak ada kalah-mengalahkan, yang ada hanya ‘menciptakan permainan yang indah’. Sepakbola otomatis dibawa orang-orang Belanda ke daerah kita. Tidak berlebihan jika kita katakan bahwa permainan sepakbola dimainkan pertama kali oleh sinyo-sinyo Belanda dan populer hanya di kalangan mereka awalnya. Sebuah  foto bertahun 1906 (Rusli Amran, 1986: 171), misalnya, memperlihatkan: pemain tim “Ster van Agam”, Bintang Agam, hampir seluruhnya berwajah Belanda. Terlihat, setidak-tidaknya, dari 11 orang pemain yang berfose, hanya 2 orang yang tampak berwajah pribumi.  Begitu pun lawan tandingnya dalam foto itu, berkostum bergaris-garis vertikal, pemain THOR juga didominasi wajah-wajah Belanda.   

Dari orang-orang Belanda itulah sepakbola kemudian ‘ditularkan’ kepada pribumi-pribumi yang telah secara ‘kultural’ memiliki kedekatan hubungan dengan mereka. Biasanya para ambtenaar (pegawai negeri) atau pun kaum terpelajar sekolah-sekolah Belanda. Untuk yang disebutkan terakhir, banyak pemuda-pemuda Indonesia yang bersekolah di sekolah Belanda adalah pemain-pemain bola, setidak-tidaknya pecinta bola. Sebut saja Tan Malaka, Sjahrir, atau Bung Hatta. Atau bisa jadi tidak begitu. Toh, kerusuhan suporter terjadi di hampir setiap daerah yang bahkan telah punya tradisi sepakbola yang tua sekali pun. Barangkali di sisi ini Colombijn bisa dipakai: sepakbola masa itu merupakan sarana mengekspresikan identitas sesuatu etnis dalam beroposisi dengan etnis lainnya. Tim sepakbola merekrut pemain berdasarkan prinsip-prinsip kesukuan. Dan pertandingan antarklub—yang menghimpun anggotanya yang sesama etnis itu—merupakan sarana pelepasan uneg-uneg mereka terhadap etnis lain. Dan di sisi lain, pertandingan sepakbola juga  merupakan sarana untuk menunjukkan bahwa etnis tertentu lebih superior dibanding etnis lain. Perasaan etnisitas yang kuat dan cendrung berlebihan akan menyebabkan orang dengan gampang berkelahi mempertahankan marwah etnisnya yang tengah dipertaruhkan di lapangan. Jika marwah etnisnya diinjak-injak, karena kalah atau dicemooh, mereka akan membelanya mati-matian. Begitu pun jika yang bermain kampungnya, kampungnya yang dibela. Tidakkah dikenal prinsip: “tegak di kaum membela kaum, tegak di kampung membela kampung”? Tidakkah ini bisa juga dipakai dalam sepakbola?  Setiap anggota suku maupun anggota kampung, dengan begitu, berpotensi untuk menjadi agresif dalam membela etnis dan kampungnya. Namun, pada orang Minang, keakuan itu sedikit lebih besar sehingga berkelahi pun mereka mau jika superioritas itu terganggu. Untuk sementara kita bisa memberi jawabnya, bahwa ke-aku-an etnisitas yang tinggi dari orang Minang itulah, yang menganggap dirinya superior yang tidak boleh kalah dan harus menang, yang jadi soalnya. Kebanggaan yang berlebihan menyebut diri “aku orang Minang!” atau “aku anak nagari kampung itu yang harus membela kampungnya” itulah barangkali yang membuat sentimen kesukuan maupun sentimen kedaerahan gampang tersulut di lapangan hijau.

Perasaan superior di kalangan orang Minangkabau itu konon pernah meredup pasca-PRRI. Orang-orang inferior untuk menunjukkan identitas keminangkabauannya. Namun tampaknya, toh, identitas kesukuan itu kini kuat dan meninggi lagi, setidak-tidaknya dalam sepakbola. Sampai hari ini, di saat etnis lain sudah tidak terlalu menonjolkan warna-warna kesukuan, nama-nama klup sepakbola dari Padang masih berumbul-umpul etnisitas. Jika masa Belanda ada klub dengan nama Minangkabau Voetbalbond, kini PSP Padang, misalnya, diberi gelar Pandeka Minang yang nyata-nyata menunjuk pada kebanggaan etnis Minangkabau sebagai pandeka, pendekar. Semen Padang diberi julukan Kabau Sirah yang juga menunjuk pada lambang kerbau sebagai icon Minangkabau yang kuat dan tangguh. Dan yang terakhir adalah club teranyar asal Padang yang pernah ikut dalam Liga Primer Indonesia (LPI) diberi nama Minangkabau FC, yang semakin nyata menunjukkan ke-aku-an etnisitas orang Minangkabau di tengah etnis lain yang nyaris tidak memiliki kluk sepakbola yang bernada suku. Bukankah tidak ada Batak FC, PS. Dayak, atau Sunda Berjaya misalnya? Tampaknya, ekpresi kesukuan yang semarak pada masa Belanda itulah pula yang masih hendak diperlihatkan orang Minang dalam sepakbola dan melalui sepakbola sekarang ini. Sekali pun, siapa pun tahu, bahwa pemain-pemain klub-klub sepakbola itu hampir-hampir tidak ada lagi yang orang Minang, tapi orang asing yang disewa. Apakah ini sebuah kemajuan atau justru kemunduran bagi pertumbuhan semangat kebangsaan yang hendak meretas batas-batas kesukuan itu? Atau ini merupakan ekspresi belaka dari sebuah etnis yang superioritas dalam diri masyarakatnya dipadamkan oleh kekuasaan selama berpuluh-puluh tahun? Oleh cap pemberontak, atau stigma Padang bengkok, misalnya? 

:: Artikel akan dipublikasikan di Jurnal Khazanah edisi Januari-Juni 2012

Tidak ada komentar: