Kamis, 01 Maret 2012

Historia Repete ... dan Sejarah Sudah "Ditakdirkan" Terus Berulang

Oleh : Muhammad Ilham

Hidup adalah siklus ...... sejarah terus berulang, karakter dan kepribadian manusia-pun terus berulang kembali. Sebagai makhluk yang berusaha menjaga eksistensinya, maka manusia-pun terus berusaha menjaga hal itu, walau tetap mengulang kesalahan manusia sebelumnya dalam "bungkusan" dan simbol yang secara substantif adalah sama.
(Ali Shariati, 1992)

April 1969, Presiden Suharto mencanangkan Pembangunan Lima Tahun Pertama 1969-1974 (Pelita : yang kemudian sangat "disakralkan"). Dari Maret 1966 hingga April 1969, para pelopor dan penegak Orde Baru, gencar mengumandangkan "pembaharuan" dan "pelurusan" terhadap apa yang disebut dengan "Orde Lama". Lucunya, ketika itu, "Orde Lama" dianggap sebagai total waktu pemerintahan Soekarno, dari tahun 1945-1967. Padahal secara resmi Orde Lama hanya berlangsung dari bulan Juli 1959 (ditandai dengan keluarnya Dekrit Presiden) sampai dengan Maret 1967. Antara 1966-1969, konsep politik yang "membahana" dalam ruang publik adalah "pembaharuan". Sedangkan, sejak Mei 1998, wacana yang familiar adalah "reformasi". Bila pada awal Orde Baru, kata-kata kunci yang "bersilewaran" dalam khazanah publik adalah "anti-korupsi" dan "anti-kelaliman", maka wacana sejak Mei 1998 adalah "anti-korupsi", "anti-KKN". Dahulu yang dihujat dalam setiap demonstrasi mahasiswa dan media cetak adalah Presiden Sukarno, mak selama Juni 1998-April 199, hampir setiap media cetak dan elektronika cenderung menyebut krisis yang (sedang) kita alami sebagai sesuatu yang bersumber semata-mata dari kesalahan-kesalahan Presiden Suharto. Rezim Orde Lama disalahkan untuk segala jenis krisis yang menimpa Indonesia selama 1966-1969, dan Rezim Orde Baru juga disalahkan sebagai penyebab krisis yang kita rasa sekarang.

Dalam setiap seminar dan sarasehan antara tahun 1998-1999 bahkan hingga sekarang, hampir setiap pembicara menolak segala sesuatu yang bertalian dengan Orde Baru, tak ada yang patut dipertahankan, diperbaharui apalagi dijunjung tinggi dari Rezim Suharto tersebut. Hal yang sama juga dirasakan pada tahun 1966-1969, hampir dalam setiap seminar dan sarasehan serta diskusi, selalu mengungkapkan bahwa Sukarno dan Rezim Orde Lama-nya tak ada yang patut untuk ditiru apalagi dihormati. Sebelum 11 Maret 1966, tak ada mahasiswa, tokoh politik dan intelektual yang berani menentang hegemoni Sukarno, namun setelah ini, mereka menjadi orang yang paling lantang bahkan paling galak menghujat Presiden Sukarno. Pada tahun 1998-1999, hampir setiap hari kita menyaksikan orang-orang yang sebelum 21 Mei 1998 tidak berani mengecam Presiden Suharto, ramai-ramai membuat pernyataan yang lebih menggelegar-meledak-membahana dari pembicara lainnya.

Pada tahun 1966-1969, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat-Sementara (MPR-S) menyatakan SETUJU terhadap keinginan Presiden Sukarno menjadi "Pemimpin Besar Revolusi" serta "Presiden se-Umur Hidup" ........ dan kemudian, mereka juga yang mencabutnya karena tidak sesuai dengan "semangat Orde Baru", katanya (meminjam istilah Nazaruddin). Hal ini juga terlihat pada Sidang MPR 1998 yang mencabut gelar "Bapak Pembangunan" kepada Suharto karena tidak sesuai dengan "semangat Orde Reformasi". Pada Sidang Umum MPRS 1967 dan 1968, tak ada satupun anggota MPRS yang menolak pengangkatan Jenderal Suharto sebagai pejabat Presiden dan Presiden penuh. Pada Sidang Umum MPR setiap Maret (1983, 1988, 1993 dan 1998), tak ada satupun anggota MPR yang berani bicara secara terbuka menyatakan bahwa Suharto lebih baik berhenti. Kemudian yang terjadi adalah, banyak anggota MPR yang menganggap diri mereka reformis pasca 1998 adalah "mereka" yang tidak berani bicara sebelumnya. Apa makna dari semua ini ? Historia Repette ..... sejarah berulang, berulang dan berulang kembali, bahkan bisa dalam bentuk yang lebih konyol dari sebelumnya. Dan kemudian ..... sejarah menempatkan mereka sebagai "insan" yang paling berani, padahal pengecut - insan yang bersih, padahal kotor dan insan yang menganggap dirinya murni, padahal masyarakat tidak kena penyakit "Parkinson". Realitas politik Indonesia belakangan ini sudah kembali menampakkan tanda-tanda seperti ini. Yang anti korupsi berteriak sebagai garda terdepan "Avand Garde", padahal publik tahu bahwa yang berteriak tak lebih dari insan yang hipokrit. Dan lucunya, mereka tidak menyadari atau berusaha untuk "melupakan" track mereka.

Foto : www.health.com

Tidak ada komentar: