Minggu, 01 April 2012

Pram dengan Satu Batang Rokok

Oleh : Muhammad Ilham

Kala awal kuliah tahun 1993, nama Pram bagi saya adalah ...sesuatu yang "asing". Sampai suatu masa kala Tetralogi nya yang terkenal itu saya baca (yang saya beli dengan gaji satu bulan dari profesi mulia saya ketika mahasiswa .... gharin masjid) hingga puluhan kali. Sebuah mahakarya novel sejarah (Tetralogi : Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca), yang hingga hari ini sulit saya cari tandingannya, setidaknya bagi saya. Panggil Saya Kartini, Arus Balik dan Gadis Pantai serta Arok Dedes, adalah empat buah novel karya Pram yang memberikan pada saya kontribusi untuk memahami sebuah "ketidaknyambungan" beberapa peristiwa sejarah. Mungkin bahan bacaan saya terlampau miskin. Tapi entahlah, saya coba membaca beberapa karya sastrawan lainnya, Mochtar Lubis dengan Harimau-Harimau-nya itu dan yang lainnya, namun - sekali lagi, subjektifitas saya mengatakan, Pram memang aduhai. Sehingga tidaklah mengherankan apabila dalam diskusi via facebook dengan beberapa kawan yang concern dengan sejarah dan susastra, Pramoedya Ananta Toer mendapat tempat yang begitu hangat. Membicarakannya, seperti membicarakan Ayatullah Khomeini dan Che Guevara, atau Soekarno dan Ho Chi Minh. Membincangkan Pram seperti menimbulkan "kegairahan puitis" kala menelaah karya-karya Raja Ali Haji atau Amir Hamzah, bisa jadi seindah Chairil Anwar. Selalu aktual.  

Pukul 08.55 tanggal 30 April 2006 di usianya yang ke-81 tahun, ia menemui ajalnya. Konon, dalam sakitnya, bibir Pram selalu diselipkan "satu batang rokok".

Tidak ada komentar: