
Beruntung saya dalam minggu ini. Berjumpa dengan Prof. Taufik Abdullah, sejarawan "
gadang cimeeh" yang
terkenal itu. "
Gadang cimeeh" ini juga diakui oleh Profesor yang gempal dengan rambut memutih tersebut. Bahkan menurut
sahibul hikayat (saya tak menanggung dosa bila ini salah), dalam sebuah
Seminar
Internasional, seorang moderator menyodorkan lembaran biodata untuk diisi
Profesor Taufik Abdullah guna diperkenalkan nantinya ke audiens, dengan gayanya yang
khas beliau berkata, "cari saja di ensiklopedi !! ". Dan kepercayaan diri serta cimeeh tersebutlah, maka diskusi pada kesempatan ini menjadi hangat. Dua jam berdiskusi (tepatnya : mendengarkan dengan baik),
banyak hal-hal mencerahkan yang bisa diambil. Saya tak ingin bercerita
panjang mengenai jalannya diskusi tersebut yang umumnya banyak berkaitan
dengan "kerinduan" untuk memunculkan kembali paradigma multidisipliner
dalam melihat fenomena sosial-budaya. Sebagaimana halnya "host
fenomenal" Karni Ilyas yang selalu menutup segmen Talk Show-nya dengan
kutipan-kutipan inspiratif dan menggetarkan, maka dalam diskusi ini,
saya juga menunggu ungkapan-ungkapan Taufik Abdullah yang terkadang
terkesan puitis, sarkastis dan generalitatif - suatu kekuatan dan
kelebihannya bila kita membaca tulisan-tulisan beliau.
Diantara
banyak ungkapan-ungkapannya itu, ada satu dua kalimat yang bagi saya
bisa menjawab banyak pertanyaan hari ini. "
Politisi masa dulu, adalah
pemikir dan penulis. Sebutlah siapa diantaranya, Hatta, Soekano,
Syahrir, Tan Malaka ataupun Agus Salim", kata Taufik Abdullah. "
Siapa politisi masa lalu yang kalian benci", tantang Taufik Abdullah kepada kami, "
sebutlah !"
(untuk yang ini, saya pribadi tidak mau menjawab, karena ketika
menggunakan istilah membenci seseorang, maka saya menjadi insan yang
malang, tidak mampu menyerap nilai-nilai inspiratif dari seorang tokoh
karena tereduksi oleh kebencian subjektif). "
Katakanlah (Taufik Abdullah menggunakan istilah "katakanlah" yang cenderung objektif),
banyak yang membenci DN. Aidit ataupun tokoh-tokoh PKI seperti Nyoto ataupun Sudisman.
Walaupun mereka dibenci, mereka tetap politisi pemikir dan penulis. Inilah yang membedakan mereka dengan, katakanlah (sekali lagi "katakanlah"),
dengan politisi masa kini seperti Ruhut Sitompul ataupun Soetan Bathoegana". Taufik Abdullah ingin memberikan "pesan" bahwa
aktifis politik tempo doeloe
terdiri daripada figur-figur cendekiawan yang secara intelektual
sangat artikulatif. Pada umumnya, mereka adalah aktifis yang sekaligus
juga pemikir politik. Dalam diri mereka berpadu intelektualisme dan
aktifisme secara integral. Karena itu tak salah bila curiculum vitae mereka
dikenang oleh publik hingga sekarang "siapa" mereka dan "bagaimana"
dialektika antara gagasan dan sepak terjang kepolitikannya. Sesuatu yang secara umum (sekali lagi, secara umum) tidak terlihat pada politisi masa sekarang.

Herbert Feith & Lance Castel (ed.) dalam buku mereka yang terkenal,
Indonesian Political Thinking 1945-1965 (sudah diterjemahkan) melihat bahwa kehidupan politisi
tempo doeloe mencerminkan
pemikiran-pemikiran yang berasal dari pengamatan yang tajam dan
penghayatan yang dalam tentang masyarakat mereka. Mereka, bukan hanya
politisi tulen, tapi
rauzan fikr
- meminjam istilah sosiolog Iran Ali Shariati. Disitulah letak
kekuatan mereka sehingga berhasil melahirkan pemikiran-pemikiran yang
berbobot dan original. Bung Karno, misalnya, dalam sejarah tidak hanya
dikenal sebagai orator politik jempolan dan menggetarkan semata. Ia
juga dikenal sebagai sosok cendekiawan yang memiliki pemikiran melalui
karya-karya yang profokatif dan menggelora :
Indonesia Menggugat dan
Di Bawah Bendera Revolusi
adalah dua contoh dari begitu banyak karya intelektual Soekarno.
Demikian juga dengan Mohammad Hatta melalui karya reflektifnya :
Indonesia Merdeka dan
Kumpulan Karangan yang terdiri dari beberapa jilid. Dan jangan tanya tentang Tan Malaka.
Masterpiece-nya
Madilog - disamping beberapa karyanya yang lain seperti
Pacar Merah Indonesia, Dari Penjara ke penjara, Aslia dan
lain-lain - memperlihatkan kualitas intelektual sekaligus aktifitas
politik Ibrahim Tan Malaka ini. Aktifis politik Islam seperti Mohammad
Natsir juga dikenal dengan karya-karya visioner-nya seperti dua jilid
Capita
Selecta, Islam sebagai Dasar Negara, Islam sebagai Ideologie, Some
Observations Concerning the Role of Islam in National and International
Affairs dan "seabrek" karya visioner-nya yang lain. Syafruddin Prawiranegara yang menulis
Sistem Ekonomi Islam, HOS. Tjokroaminoto menulis
Islam dan Sosialisme, Zainal Abidin Ahmad dengan
Membentuk Negara Islam serta SH. Amin yang menulis
Indonesia di Bawah Demokrasi Terpimpin. Singkatnya, sebutkanlah nama-nama aktifis politik
tempo doeloe,
hampir semuanya meninggalkan jejak politik dan intelektual yang
mengagumkan. Publik mengenal mereka bukan semata-mata karena sepak
terjang politiknya, akan tetapi juga melalui jejak-jejak dinamis gagasan
dan pemikirannya, bahkan literal. Sesuatu yang (secara umum) tidak
kita temui pada politisi masa sekarang, apalagi pada si Poltak dan si Bathoegana.
Sumber foto (Prof. Taufik Abdullah) : vivanews.com
2 komentar:
Setidaknya hari ini kita masih punya Prof DR H M Amien Rais MA
sayang ya, penulis blog ini belum fasih berbahasa tulis yang rapih. agak mengganggu juga, sih. kalau soal bobot nggak perlu diulas.
Posting Komentar