Rabu, 11 April 2012

Namanya Deng

Oleh : Muhammad Ilham

Namanya Deng Xiao Ping (1904-1997), bertubuh mungil tak sebesar Churchill ataupun Nasser. Ia tak gagah seperti John Fritzgerald Kennedy ataupun kamerad Chou En-Lai yang beralis tebal, apatah lagi bila dibandingkan dengan si flamboyan Soekarno. Selepas Revolusi Kebudayaan yang meluluhlantakkan secara massif pondasi dan kekayaan intelektual China pada masa Mao Ze Dong (Mao Tse Tung), Deng yang selamat dari persaingan politik, mengambil alih kekuasaan politik pasca kematian Mao. Di tangannya, China yang komunis itu, berubah luar biasa. Perkembangan China yang teramat pesat hari ini di bidang ekonomi, bahkan mengalahkan negara-negara Eropa dan Amerika Serikat (setidaknya dari cadangan devisa yang mereka miliki : 2011 China memiliki cadangan devisa terbesar sepanjang sejarah negara-negara modern), tak terlepas dari "tangan dingin" dan "ucapan inspiring"  yang merubah paradigma pembangunan ekonomi China ..... tanpa meninggalkan ideologi mereka (komunisme).  Sebagai akibat dari kebijaksanaan masa lalu yang salah arah dan peristiwa revolusi, negara China pernah berada dalam kondisi kritis dan ketidakpastian. Namun Negara Tirai Bambu ini sungguh beruntung mempunyai seorang Deng Xiaoping. Tanpa kehadiran Deng,  sulit membayangkan China yang maju sekarang ini.  Deng yakin keberadaan orang-orang yang mempunyai standar hidup lebih baik atau lebih sukses, bisa memotivasi dan menjadi pemicu bagi lainnya untuk lebih berprestasi. Ironisnya dengan sebagian masyarakat kita. Bukannya merasa terdorong untuk maju melihat orang lain lebih sukses, tetapi justru iri, marah, benci dan mengumpat-ngumpat.

Ketika Deng memimpin China, keluar-lah dua kalimat yang terkenal itu :
"Jangan perdebatkan warna kucing, bila ia pandai menangkap tikus ..... pakai !" 
"menjadi kaya itu mulia" (zìfù shì guāngróng)"

Hingga hari ini, dari sepanjang sejarah bangsa yang tidak begitu panjang, "atas nama rakyat" dan "atas nama suara mayoritas", kita masih terus memperdebatkan ideologi ideal bangsa ini, tanpa pernah memberikan bukti sejarah bahwa ideologi-ideologi (politik) tersebut mampu menyejahterakan anak bangsa. 
"Masih berkutat pada debat warna merah, hitam, putih seekor kucing ...... tapi melupakan apakah kucing itu bisa menangkap tikus", setidaknya demikian perumpamaan Deng yang kecil-tambun itu.


Sumber foto : proudchina.com


Beberapa tanggapan/diskusi di Muhammad Ilham Fadli Facebook mengenai topik ini, penulis publish beberapa penggal :

Nico Varnindo Vargas
Kalau begitu bagaimana formula-nya,  perlu langsung mencari tahu semua sepak terjang ekonomi cina yang sebenarnya, apakah benar-benar liberalisme disegala bidang termasuk sektor penting dilepas kepada mekanisme pasar dan sebagainya ? Apakah ada perusahaan cina swasta apalagi asing yang menguasai sektor-sektor sensitif ?

Muhammad Ilham :
entahlah bung Nico,  ilmu saya teramat dangkal dalam bidang ekonomi. Tapi saya hanya berusaha memahami bagaimana pragmatisme-nya kamerad Deng ini, dengan tujuan besar. Ia tak mau tampaknya terlibat intensif dalam hal-hal ideologis.

Nico Varnindo Vargas
Apa tidak ada kaitannya dengani "grand design" yang telah dirancang oleh founding father RRC?,  sebagaimana founding fathers RI. Apa benar setelah Dr. Sun Yat Sen, Mao dan Chiang Kai Sek., ternyata Deng-lah yang membuat formula itu semua ?...seolah setelah Soekarno-Hatta dan lain-lain, ternyata formula politik-ekonomi dst. bagi bangsa indonesia yang sesungguhnya hanya dilakukan dan disebabkan oleh seorang Soeharto ? Mungkinkah Dr. Sun Yat Sen tak sempat merumuskan apa-apa, lalu Chiang Kai Sek yang menggantikannya juga bukan golongan pemikir dan juga berkonflik dengan Mao (komunis)...jika demikian benarlah mungkin deng yang mulai merumuskan semuanya...dan ia hadir setelah mao berlalu, setelah menyaksikan bagaimana negerinya terpuruk oleh banyak konflik diantara para seniornya ?... itulah ia mungkin memformulakan kembali segala hal, seolah-olah ia-lah founding fathers gelombang kedua bagi RRC ?...sepertinya begitu...begitukah ?. Bagaimana dengan RI ?...apa kita setuju rumusan ekonom Soeharto bukan tindakan melanggar kesepakatan pendiri bangsa yang bahkan tampaknya founding fathers RI "jauh lebih maju" dari pendiri cina ?...mengingat Sun Yat Sen hanya bersekolah di Hongkong, sementara pendahulu kita melanglang buana melihat banyak hal di negeri-negeri di Eropa sana ?...sehingga itu sebabnya pasal 33 UUD '45 yang konon kabarnya adalah kesimpulan Bung Hatta setelah melihat ketimpangan2-ketimpangan dan kesenjangan kelas yang terjadi di masyarakat Eropa., kala itu Eropa juga tidak sebaik hari ini. Mmungkinkah yang sesungguhnya terjadi bahwa cina konsisten dengan semua "blueprint" yang dirancang oleh Deng yang berkuasa di tahun 70-an/80-an, sementara kita, kita tidak setuju dengan trickle down effect Soeharto yang juga mulai berkuasa sejak akhir 1960-an., karena yang dikerjakan soeharto menghamba kepada kepentingan asing dan segelintir elit, seolah meneruskan kebiasaan raja-raja di nusantara yang juga menjadi kaki tangan penjajah asing di era kolonial sebelumnya...sementara deng dengan kebijakannya konsisten plus tidak menghamba kepada asing, sesuatu yang seksi di mata wong cilik di belahan dunia manapun, begitukah ?

Muhammad Ilham :
Bung, bisa iya bisa juga tidak. Tidaknya, kamerad Deng justru melihat Mao teramat gandrung dengan aura ideologi-nya (salah satunya : kasus revolusi kebudayaan). Deng melihat (sebagaimana yang pernah diulas TIMES dengan cover dpan Deng Xiao Ping), Mao gagal (diaspora ideiologi mungkin ia berhasil). Blue print Sun Yat Sen justru bukan menjadi patokan utama Mao (kasus : Chiang Kai Sek dengan improvisasi Taiwannya, membuktikan hal ini). Intinya, sebagaimana halnya pepatah Minangkabah "sakali aia mangalia, sakali tapian barubah", Deng ingin menempatkan persoalan ideologis tersebut dalam kerangka landasan-utopia sebuah negara (karena memang ideologi, kecuali agama, umumnya adalah UTOPIA). Karena Deng ingin realistis, nampaknya. "Bukan Warna Kucingnya, tapi kemampuan menangkap Tikusnya". 

Nico Varnindo Vargas
Saya kira yang dilakukan deng sangat dekat dengan apa yang dituliskan oleh founding fathers RI.  Kita mungkin perlu cari tahu misalnya, perusahaan energi dan keuangan di cina, bagaimana komposisi kepemilikan sahamnya. Diatas itu semua, seorang banker Indonesia cabang Shanghai pernah sharing bahwa cina punya kebijakan tegas....yang intinya, (bisnis) apapun yang ada dibawah langit negeri Tiongkok itu harus tunduk kepada apapun yang diatur oleh pemerintah negara tersebut. jJdi memang keberpihakan pemerintahnya kepada isu kepentingan nasional tetap nomor satu, apa yang lazim di Eropa Amerika bisa tidak berlaku di negeri itu, jika itu bertentangan dengan kepentingan nasional RRC.  Apalagi jika kita telusuri semua perusahaan BUMN Cina tetap di kuasai pemerintah Cina, perusahaan milik swasta jika sahamnya dikuasai investor asing pun, apalagi jika tidak, tetap tunduk pada semua yang diatur oleh pemerintah Cina... kalau tidak mau silahkan angkat kaki, kita bisa lihat contohnya polemik perusahaan IT dari USA (google) yang sempat berpolemik di cina beberapa waktu lalu...dan pada akhirnya perusahaan IT lainnya seperti twitter beberapa waktu lalu juga mengumumkan kebijakan mereka yang intinya tidak akan menyamaratakan perlakuan bisnis mereka sama di seluruh dunia, dengan kata lain mereka tunduk kepada peraturan tegas di negara-negara tertentu, seperti China, ya negeri tirai bambu itu tahu betul siapa yang butuh siapa. Bedanya pragmatis kamerad Deng dituntaskan hingga ke level detail dibawah, ditindaklanjuti dan konsisten...sementara utopia founding fathers kita tidak sampai detail diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari bahkan kebanyakan rakyat juga tidak paham, apa saja misalnya sektor yang dimaksud oleh pasal 33 UUD' 45 tersebut, apalagi mau menindaklanjutinya ?... pekerjaan rumah untuk menuntaskan apa yang belum sempat disempurnakan para pendahulu ada ditangan generasi hari ini.

Tidak ada komentar: