
Setiap pemilik suara bebas menentukan pilihannya.
Bebas di sini tentu bukan karena fulus yang mengalir ke kantong. Kalau
karena uang, tentu bukan kebebasaan lagi tetapi kebablasan. Apalagi
jikalau beberapa calon menggunakan cara yang sama. Tinggalah siapa beri
lebih tinggi dia yang dapat suara. Karena dasarnya uang,
manusia pun jadi lupa diri. Apabila calonnya kalah, mereka pun pecah
dengan kelompok pemenang. Akhirnya timbul kegaduhan yang membuat suasana
partai tidak kondusif. Kalau apa yang dikatakan Nazar itu benar, hal
ini pula yang terjadi pada Partai Demokrat. Pantas saja, mengapa sampai
timbul faksi-faksi dalam partai itu. Tidak mungkin sebegitunya andai
pertarungan itu dilakukan fair demi menyenangkan Sang Bapak. Bahkan Sang
Bapak itu—menurut Nazaruddin lagi—tahu apa yang terjadi tapi didiamkan
sehingga Sang Bapak sampai perlu membantah lewat konferensi pers. Dari kejadian ini, saya jadi paham mengapa partai-partai lebih suka
menggunakan cara-cara feodal dalam memilih ketua. PDI Perjuangan
misalnya, selalu memunculkan Megawati, padahal banyak kader potensial
yang dimilik partai ideologis Bung Karno itu. Hanya pada Megawati
“orang-orang Banteng” patuh karena cintanya pada Bung Karno serta
perjuangan Megawati sendiri selama Orba. Bisa jadi bukan karena itu
saja. Ada alasan lain seperti hasrat tiada henti Mega sendiri untuk
menjadi raja capres di tahun 2014 nanti. Tapi paling tidak kita bisa
melihat PDI sampai sekarang tetap adem-ayem. Mereka satu suara mendengar
petuah Sang Ibu. Dia bilang “oposisi”, tidak ada yang berani bantah.
Wakil Walikota Surabaya yang berniat mundur karena tidak suka menjadi
orang nomor dua—sebelumnya menjabat walikota—mengurungkan niatnya
lantaran Sang Ibu tidak beri restu. Partai lain semisal PKB dan
PKS hampir sama polanya. Yang satu dulu Gus Dur yang beri perintah
sedangkan yang kedua lewat lembaga Majelis Syura yang digenggam seorang
ustadz. Partai-partai ini ideologis dan kultural.
Mereka haus kekuasaan
juga, tapi sadar bahwa kekuasan itu harus diraih lewat kekompakan tanpa
konflik. Walau mereka tahu hal itu tidaklah demokratis. Mungkin, demokrasi di negeri ini masih jauh realita dari cita. Semua
serba paradoks. Yang satu nampak demokratis meski penuh intrik; sedang
yang lain hadirkan ketenteraman walau feodal. Semoga yang dikatakan
Nazar itu salah adanya… !
Referensi : diskusi antar blogger di kompasiana/c. s. saragih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar