Sabtu, 28 April 2012

Namanya : Profesor (Anumerta) Widjojono

Oleh : Muhammad Ilham 

Gustave Le Bon (1944) mengatakan, "kepahlawanan yang kecil tapi terus menerus adalah jauh lebih sulit daripada kepahlawanan yang besar dan yang terjadi kebetulan". Pahlawan, sebuah konsep-kata yang mengandung aura heroik-emosional. Di mana-mana, di kota kecil atau besar, selalu ada taman makam pahlawan. Mereka dimakamkan lewat upacara sarat air mata dalam suasana syahdu. Salvo ditembakkan ke udara, makam ditimbun dan diatasnya diletakkan karangan bunga. Semua orang yang masih hidup dengan takzim menundukkan kepala. Bak kata penyair Chairil Anwar - "mereka telah beri apa yang mereka punya". Nyawa. Apa yang lebih berharga dari pada nyawa ? Mereka telah hembuskan napas terakhir tanpa mengharapkan hadiah dan imbalan. Bersimbah darah dan terguling di tanah. Untuk apa mereka mati kalau bukan untuk kita hidup lebih baik. Tidak semua pahlawan dimakamkan di taman makam pahlawan. Di antara mereka ada yang dimakamkan di pekuburan biasa ..... dan tak sempat dikuburkan dengan prosesi salvo serta deraian air mata. Tapi dimanapun mereka, semerbak nama mereka tetap di kenang oleh sejarah dan oleh mereka yang masih hidup.




/ anak ayam keluar dari cangkangnya /

demikian, nyanyian terakhir Wakil Menteri ESDM Widjojono Partowidagdo, di gunung Tambora.
Profesor eksentrik yang rendah hati ini, mengingatkan kita kembali bahwa jabatan dan kekuasaan itu sangat manusiawi di tangan manusia-manusia yang ikhlas. 

/ di gunung  Tambora, Profesor dan Wakil Menteri pecinta gunung ini ........ "anumerta".

Berikut :  Tulisan kenangan kompas.com mengenai Wakil Menteri eksentrik berambut gimbal-gondrong ini : 

Kepergian Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Widjajono Partowidagdo yang begitu mendadak meninggalkan kenangan bagi orang-orang di dekatnya. Pria bersahaja itu meninggal dunia dalam pendakiannya di Gunung Tambora, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, Sabtu (21/4/2012). Tidak ada yang menyangka bila pria pencinta alam itu pergi sedemikian cepat. Tak ada tanda-tanda bahwa Widjajono mengalami sakit. Juga tak ada pesan khusus yang ia sampaikan kepada keluarga atau orang-orang dekatnya. Sebelum berpulang, Guru Besar Institut Teknologi Bandung itu memang sempat mengirimkan pesan di mailing list Ikatan Alumni ITB. Dalam tulisan itu, ia berpesan kepada rekan-rekannya untuk tetap berserah kepada Yang Maha Esa. Inilah tulisan tangan terakhir sang profesor itu sebelum meninggalkan dunia:
 
Kalau kita menyayangi orang-orang yang kita pimpin, Insya Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang akan menunjukkan cara untuk membuat mereka dan kita lebih baik. Tuhan itu Maha Pencipta, segala kehendak-Nya terjadi.

Saya biasa tidur jam 20.00 WIB dan bangun jam 02.00 WIB pagi lalu Salat malam dan meditasi serta ceragem sekitar 30 menit, lalu buka komputer buat tulisan atau nulis email.

Dalam meditasi biasa menyebutkan:

“Tuhan Engkau Maha Pengasih dan Penyayang, aku sayang kepadaMu dan sayangilah aku… Tuhan Engkau Maha Pencipta, segala kehendak-Mu terjadi…”

Lalu saya memohon apa yang saya mau…
(dan diakhiri dgn mengucap)
“Terima kasih Tuhan atas karuniaMu.”

Subuh saya Sholat di Mesjid sebelah rumah lalu jalan kaki dari Ciragil ke Taman Jenggala (pp sekitar 4 kilometer). Saya menyapa Satpam, Pembantu dan Orang Jualan yang saya temui di jalan dan akibatnya saya juga disapa oleh yang punya rumah (banyak Pejabat, Pengusaha dan Diplomat), sehingga saya memulai setiap hari dengan kedamaian dan optimisme karena saya percaya bahwa apa yang Dia kehendaki terjadi dan saya selain sudah memohon dan bersyukur juga menyayangi ciptaan-Nya dan berusaha membuat keadaan lebih baik. Oh ya, Tuhan tidak pernah kehabisan akal, jadi kita tidak perlu kuatir. Percayalah…

Salam,

widjajono 


Tidak ada komentar: