Kamis, 17 November 2011

Mr. Assaat dan Peci Beludru

Oleh : Muhammad Ilham

Dalam sebuah artikelnya, "begawan pers" Indonesia Rosihan Anwar pernah menukilkan : "Selama ini, Mr. Asaat dan Syafruddin Prawiranegara tidak pernah disebut-sebut. Orang tidak kenal lagi. Makanya, saya bilang selama ini, bangsa ini brengsek".

Sekitar tahun 1946-1949, di Jalan Malioboro, Yogyakarta, sering terlihat seorang berbadan kurus semampai berpakaian sederhana sesuai dengan irama revolusi. Terkadang ia berjalan kaki, kalau tidak bersepeda menelusuri Malioboro menuju ke kantor KNIP tempatnya bertugas. Orang ini tidak lain adalah Mr. Assaat, yang selalu menunjukkan sikap sederhana berwajah cerah di balik kulitnya yang kehitam-hitaman. Walaupun usianya saat itu baru 40 tahun, terlihat rambutnya mulai memutih. Kepalanya tidak pernah lepas dari peci beludru hitam (Asvi Warman Adam, 2006)


Di bulan "Para Pahlawan" ini, saya ingin meng-up date Mr. Asaat. Pahlawan yang teramat sangat jarang disebut. Saya mulai tulisan ini dengan Fidel Castro. Ketika, si flamboyan asal Cuba, disidangkan dalam sebuah pengadilan ketika rencana kudetanya yang pertama tidak berhasil, Castro berteriak dengan lantang di pengadilan : "Historia Me Absolvera !". Biarlah sejarah yang akan membebaskanku, demikian kira-kira maksud tokoh berjambang dan berjanggut lebat ini. Castro benar. Sejarah (hampir) selalu untuk para pemenang. Risalah dan kisah orang-orang besar, yang hidup dan pemikirannya sangat inspiratif bagi generasi berikutnya, tapi karena pilihan politiknya yang tidak sejalan dengan pilihan politik pemegang kekuasaan, "orang-orang" ini diletakkan dalam "footnote" sejarah. Tapi tetap, setiap yang inspiratif itu akan muncul oleh perjalanan waktu - setidaknya demikian kata Hemingway dalam salah satu novelnya. Sekuat apapun daya upaya pemegang kekuasaan politik menghilangkan ketokohan seseorang, melawan waktu adalah sebuah kemustahilan. Ini berlaku pada Mr. Assaat.

Tokoh bangsa kelahiran Kubang Putih Banuhampu Sumatera Barat (Minangkabau) ini, mulai dibicarakan "kembali" namanya dalam sejarah pergerakan bangsa ini. Saya katakan "kembali", karena untuk beberapa masa - mungkin satu generasi - keberadaan Mr. Assaat dalam perbincangan sejarah bangsa ini seakan-akan dihilangkan. Tidaklah mengherankan apabila suami Roesiah, putri cantik Sungai Puar ini, tidak begitu "familiar" dalam memori anak bangsa. Asvi Warman Adam (2006), ingin menggugat - istilahnya "meluruskan" - sejarah yang selama ini dipegang bangsa ini. Bagi Asvi dan kalangan sejarawan lainnya, Mr. Assaat (18 September 1904–16 Juni 1976) adalah salah seorang Presiden Republik Indonesia tokoh pejuang Indonesia. Ia adalah pemangku jabatan Presiden Republik Indonesia pada masa pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta yang merupakan bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS). Menurut Asvi, Republik Indonesia ini dianggap pernah mengalami kekosongan atau vakum pemerintahan, bila Mr. Assaat ini tidak ditulis dalam sejarah sebagai presiden ke-3. "Bila tidak, maka RI pernah terputus sejarahnya," ujar Asvi yang mendapatkan doktor ilmu sejarahnya dari Universitas Sorbonne, Prancis ini. Beginilah versi urut-urutan Presiden Republik Indonesia menurut Asvi Warman Adam: 1. Presiden Soekarno (1945-1969) 2. Sjafruddin Prawiranegara, Presiden (Ketua) (PDRI) (1948-1949) 3. Mr Assaat, Presiden (RI-Yogyakarta) (1949-1950) 4. Presiden Soeharto (1967-1998) 5. Presiden Baharuddin Jusuf Habibie (1998-1999) 6. Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001) 7. Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004) 8. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009/2009-) .

Mungkin generasi muda sekarang kurang atau sedikit sekali mengenal perjuangan Mr. Assaat sebagai salah seorang patriot bangsa yang tidak kecil andilnya bagi menegakkan serta mempertahankan Republik Indonesia. Assaat adalah seorang yang setia memikul tanggung jawab, baik selama revolusi berlangsung hingga pada tahap akhir penyelesaian revolusi. Pada masa-masa kritis itu, Assaat tetap memperlihatkan dedikasi yang luar biasa. Ia tetap berdiri pada posnya di KNIP, tanpa mengenal pamrih dan patah semangat. Sejak ia terpilih menjadi ketua KNIP, jabatan ini tidak pernah terlepas dari tangannya. Sampai kepadanya diserahkan tugas sebagai Penjabat Presiden RI di kota perjuangan di Yogyakarta. Api revolusi mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945 terus menggelora. Belanda dengan kekuatan militernya melancarkan apa yang mereka namakan Agresi Militer II. Mr. Assaat ditangkap Belanda bersama Bung Karno dan Bung Hatta serta pemimpin Republik lainnya, kemudian di asingkan di Manumbing di Pulau Bangka. Rambutnya bertambah putih, karena uban makin melebat sejak diasingkan di Manumbing dan Mr. Assaat mulai memelihara jenggot. Assaat bukan ahli pidato, dia tidak suka banyak bicara, tetapi segala pekerjaan bagi kepentingan perjuangan semua dapat diselesaikannya dengan baik, semua rahasia negara dipegang teguh, itulah sebabnya dia disenangi dan disegani oleh kawan dan lawan politiknya. Ketika menjadi Penjabat Presiden, pers memberitakan tentang pribadinya, antara lain beliau tidak mau dipanggil Paduka Yang Mulia, cukup dengan panggilan Saudara Acting Presiden. Panggilan demikian memang agak canggung di zaman itu. Akhirnya Assaat bilang, panggil saja saya “Bung Presiden”. Di sinilah letak kesederhanaan Assaat sebagai seorang pemimpin. Ia yang pada masa kecil dan remaja ini belajar di sekolah agama “Adabiah” dan MULO Padang, dikenal religius dan menghargai waktu, sama halnya dengan Bung Hatta.

Dalam sejarah perjuangannya ikut menegakkan Republik Proklamasi, beberapa catatan mengenai Assaat antara lain pada tahun 1946-1949 (Desember) menjadi Ketua KNIP dengan Badan Pekerja. Desember 1949 hingga Agustus 1950 menjadi Penjabat Presiden Republik Indonesia di Yogyakarta. Dengan terbentuknya RIS (Republik Indonesia Serikat), jabatannya sebagai Penjabat Presiden pada Agustus 1950 selesai, demikian juga jabatannya selaku ketua KNIP dan Badan Pekerjanya. Sebab pada bulan Agustus 1950 negara-negara bagian RIS melebur diri dalam Negara Kesatuan RI. Selama memangku jabatan, Assaat menandatangani statuta pendirian Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. “Menghilangkan Assaat dari realitas sejarah kepresidenan Republik Indonesia sama saja dengan tidak mengakui Universitas Gadjah Mada sebagai universitas negeri pertama yang didirikan oleh Republik Indonesia,” ujar Bambang Purwanto dalam pidato pengukuhan sebagai guru besar UGM September 2004. Setelah pindah ke Jakarta, Mr. Assaat menjadi anggota parlemen (DPR-RI), sampai ia duduk dalam Kabinet Natsir jadi Menteri Dalam Negeri September 1950 sampai Maret 1951. Kabinet Natsir bubar, kembali jadi anggota Parlemen, semenjak itulah Assaat kurang terdengar namanya dalam bidang politik. Pada tahun 1955 namanya muncul lagi di permukaan, sebagai formatur Kabinet bersama Dr. Soekiman Wirjosandjojo dan Mr. Wilopo untuk mencalonkan Bung Hatta sebagai Perdana Menteri. Karena waktu itu terhembus angin politik begitu kencang, daerah-daerah kurang puas dengan beleid (kebijakan) pemerintahan Pusat. Daerah-daerah menyokong Bung Hatta, tetapi upaya tiga formatur tersebut menemui kegagalan, karena formal politis waktu itu, Parlemen menolaknya.

Ketika Demokrasi Terpimpin dicetuskan Soekarno, Assaat sebagai demokrat dan orang Islam menentangnya. Secara pribadi Bung Karno tetap dihormatinya, tetapi yang ditentangnya politik Bung Karno yang seolah-olah memberi angin pada Partai Komunis Indonesia. Mr. Assaat saat itu merasakan jiwanya terancam, karena Demokrasi Terpimpin adalah tak lain dari diktator terselubung, ia selalu diintip oleh intel serta orang-orang PKI. Kemudian dengan cara menyamar sebagai orang “akan berbelanja” bersama dengan keluarganya naik becak dari Jl. Teuku Umar ke Jl. Sabang, dari sana dilanjutkan dengan naik becak menuju Stasion Tanah Abang. Mr. Assaat beserta keluarga berhasil menyeberang ke Sumatera. Dia berdiam beberapa hari di Palembang. Ketika itu Sumatra Selatan sudah dibentuk “Dewan Gajah” yang dipimpin oleh Letkol Barlian. Di Sumatra Barat Letkol Ahmad Husein membentuk “Dewan Banteng”. Kol. Simbolon mendirikan “Dewan Gajah” di Sumatera Utara, sementara Kol. Sumual membangun “Dewan Manguni” di Sulawesi. Akhirnya dewan-dewan tersebut bersatu menentang Sukarno yang telah diselimuti oleh PKI. Terbentuklah PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia). Assaat yang ketika itu sudah tiba di Sumatera Barat bergabung dengan PRRI. Kemudian berkeliaran di hutan-hutan Sumatera, setelah Pemerintah Pusat menggempur kekuatan PRRI. Ketika berada di hutan-hutan Sumatera Barat dan Sumatera Utara, Mr. Assaat sudah merasa dirinya sering terserang sakit. Akhirnya dia ditangkap, dalam keadaan fisik lemah dan mejalani “hidup” di dalam penjara “Demokrasi Terpimpin” selama 4 tahun dari tahun 1962-1966. Ia baru keluar dari tahanan di Jakarta, setelah munculnya Orde Baru. Pada tanggal 16 Juni 1976, Mr. Assaat gelar Datuk Mudo ini meninggal dirumahnya yang sederhana di Warung Jati Jakarta Selatan.

Mr. Assaat yang kepalanya tidak pernah lepas dari peci beludru hitam. Peci beludrunya sudah mulai "menguning-lusuh", tapi oleh sejarah justru makin bermakna. Historia Me Absolvera !", demikian Castro.

Referensi : Asvi Warman Adam dan Bambang Purwanto (2006)

3 komentar:

gonzala mengatakan...

wahh bagus bgt infonya bng,,, bia qt yg muda2 ini tau siapa yg benar2 pernah berjasa bwat negara ini,,jgn sampai kepentingan2 tertentu menghapus mereka dari ctatan perjalanan bngsa ini.

fikri mengatakan...

sangat disesalkan. aku aja baru tahu hal ini. kemana para sejarahwan kita/? kemana media massa kita?? bisanya hanya menyoroti korupsi aja.

__wand mengatakan...

apakah masih ada situs peninggalan beliau??
agar kami yang muda muda bisa mengeksposnya kembali.