
Dari keluarganya, darah Syafruddin memang darah pejuang. Tidak cuma sang kakek yang melawan Belanda. Saat Syafruddin berumur 12 tahun, sang ayah yang merupakan seorang jaksa juga dibuang ke Kediri, Jawa Timur, karena dianggap memihak pribumi. Raden Arsjad sebagai pejabat pemerintah Belanda menolak duduk bersila di lantai saat memberi laporan kepada pejabat Belanda. Duduk bersila dan memakai bahasa Sunda halus saat itu sudah menjadi aturan baku bagi pejabat pribumi bila berhadapan dengan penguasa Belanda. Namun Arsjad menentang aturan tersebut. Saat sang ayah dibuang ke Kediri, Syafruddin pun mengikutinya. Dengan begitu, masa hidup presiden kedua RI yang memimpin 207 hari Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) ini tidak banyak dilewatkan di Banten. Tidak mengherankan bila kita akan kesulitan untuk menemukan jejak Sjafruddin di kota Jawara tersebut. Ia tidak dikenal di Banten karena Syafruddin menimba ilmu (keIslaman) bukan di daerah ini, tapi di Sumatera Barat. Tidak mengherankan bila pemberian gelar pahlawan nasional kepada Syafruddin pun mengejutkan masyarakat Banten. Mayoritas masyarakat Banten baru mengetahui bila pria yang memimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) ini merupakan orang Banten.
Selain itu, ketidaktahuan masyarakat juga diakibatkan lamanya sosok Syafruddin dilupakan dalam sejarah kemerdekaan RI. Kehidupannya semakin dikucilkan dari ruang publik ketika dijebloskan penjara dengan cap pemberontak karena terlibat Pemerintah Revolusioner RI (PRRI) oleh Presiden Soekarno. Bahkan, ketika Presiden Soeharto pun sosok yang satu ini pun dianggap musuh, karena sering mengkritisi kebijakan Orde Baru. Pada Juli 1980, Sjafruddin bersama AM Fatwa, dan Bung Tomo, dilarang memberikan khutbah Idul Fitri dengan alasan kutbah mereka bisa memancin emosi masyarakat. Khutbah Syafruddin berjudul 'Kembali Pada Pancasila dan UUD 1945' isinya 80 persen soal politik. Tapi sekali lagi, biasa saja orang lahir di sebuah daerah, namun dianggap menjadi milik daerah lain. Che Guevarra yang merupakan orang Argentina, justru diagungkan kaum sosialis Bolivia. Demikian dengan Tan Malaka yang dihormati pejuang Filiphina, hingga sekarang. Beberapa ulama penyebar Islam di Sulawesi "hanya" menumpang lahir dan DNA dari ranah Minangkabau, karena orang Bugis menganggap mereka bagian dari icon Bugis itu sendiri. Tanyalah pada orang Malaysia, siapa Syekh Taher Djalaluddin. Mereka pasti secara serempak akan menjawab, "Syekh Taher adalah orang mulia Melayu Malaysia". Padahal, Syekh yang bergelar al-Falaki (karena dianggap ahli ilmu Falak tersebut) merupakan "produk asli" Minangkabau. Tapi bila ditanya pula orang Minangkabau, siapakah DN. Aidit ? Secara serempak pasti mengatakan : "gembong PKI". Dan banyak diantara orang Minangkabau akan merasa "risih" ataupun bengong, rupanya DNA DN. Aidit ini berasal dari "air danau Maninjau" - ayahnya, Haji Aidit adalah ulama dari daerah di pinggiran Danau Maninjau, dan ketika memberi nama anaknya dengan Dja'far Nawawi (DN) Aidit ketika si anak lahir di Bangka Belitung. Belakangan, Dja'far Nawawi ini diganti oleh Aidit menjadi Dipa Nusantara. "Kurang terkesan proletar", ujarnya suatu ketika kala ditanya mengapa ia mengganti nama yang "Islami" tersebut. Wallahu a'lam.
Referensi : detik.com+/7-11-2011.
Foto : masyumicentre.com
2 komentar:
bagus, sangat mencerahkan
Aidit gk diakui lg sbg orang minang karena sdh kafir jd komunis.
Posting Komentar