
Israel berdalih, program nuklir Iran akan menjadikan negara itu sebagai negara paling berbahaya di dunia. Keberhasilan uji coba rudal Israel beberapa hari lalu menunjukkan, negara Yahudi itu serius dengan ancaman dan ketakutannya pada Iran. Sebab, rudal itu mampu membawa hulu ledak nuklir dan menghantam Iran. Hubungan antara Israel dan Iran sejak lama berada dalam situasi panas. Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad pernah menyatakan, Israel seharusnya dihapuskan saja dari peta dunia. Namun, situasi keras saat ini memasuki babak frontal. Kali ini, untuk pertama kalinya kedua negara itu saling menantang secara terbuka. Tahun lalu, Iran pernah unjuk kekuatan dengan keberhasilan menguji tembak rudal jarak sedang Shahab-1 dan Shahab-2, rudal jarak jauh Shahab-3 serta rudal Fateh, Tondar, dan Zelzal. Rudal Shahab-3 diklaim mampu mencapai Israel. Uji coba ketika itu direspons dengan retorika keras dari Israel dan Barat. Sementara saat ini, pemimpin Israel juga melakukan langkah-langkah politis di dalam negeri untuk menggalang dukungan legalitas bagi serangan terhadap Iran. Dengan kemampuan nuklir Israel, serangan terhadap Iran akan berdampak sangat merusak kestabilan geopolitik Timur Tengah. Israel sejak 1964 telah memiliki reaktor nuklir di Dimona, Gurun Negev, yang menghasilkan plutonium untuk bahan baku bom atom serta memiliki 200 hulu ledak nuklir.
Ancaman terbuka Israel dikhawatirkan semakin mempercepat kemungkinan terjadinya perang nuklir. Padahal, perang nuklir sekalipun tidak akan menghentikan langkah Iran untuk menguasai teknologi nuklir yang diklaim hanya untuk suplai energi semata. Kemungkinan menahan laju ketegangan kali ini tampaknya sangat tipis karena laporan IAEA yang bakal diedarkan dalam waktu dekat ini akan memuat bukti-bukti paling meyakinkan bahwa program nuklir Iran bertujuan memproduksi senjata nuklir. Ancaman Israel dan eskalasi ketegangan di Timur Tengah kali ini adalah ujian bagi Presiden Barack Obama untuk tidak melibatkan diri dalam konflik ini. Sebaliknya, AS harus mendorong PBB untuk menangani krisis itu jika tidak ingin konflik menjadi ledakan yang menghancurkan perdamaian dunia.
Sumber : suaramerdeka.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar