Selasa, 08 November 2011

Akhir Saddam Hussein, Osama bin Laden dan Moammar Khaddafi

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Peristiwa peledakan gedung WTC (World Trade Center atau Menara Kembar), 11 September 2001, pelakunya sering dihubungkan dengan orang yang beragama Islam (Muslim). Kini, citra Muslim di mata dunia identik dengan kekejaman, kebencian, kekerasan, dan kekacauan. Apalagi para pemimpin Muslim (orang yang beragama Islam) kerap dibenci, diejek, dikutuk, dan dituduh diktator serta otoriter. Seperti dicontohkan Akbar S Ahmed, antropolog Muslim dan dosen di Amerika Serikat, para pemimpin Muslim kerap dikaitkan dengan tokoh-tokoh jahat dalam karya Walt Disney; misalnya nama Khomeini (tokoh revolusi Iran) diubah menjadi "Kho Maniac (gila)", Kadafi (presiden Libya) menjadi "Wacky (aneh) Kaddafi", dan Arafat (presiden otoritas Palestina dan pemimpin PLO) menjadi "Yucky (jijik) Arafat". Semua itu, menjadi alasan (dalih) pembenaran buat negara Barat; Amerika, Inggris, Perancis, Itali, dan NATO (North Atlantic Treaty Organization) atau OTAN dalam bahasa Prancis (l'Organisation du Traite de l'Atlantique Nord) untuk menyerang (invansi militer) negara yang mayoritas berpenduduk Muslim, seperti Afganistan, Irak, dan Libya. Kendatipun, misalnya Barack Hussein Obama, setelah dilantik menjadi presiden Amerika Serikat (AS) dan berkunjung ke Mesir serta berpidato secara empatik mengenai Islam dan kaum Muslim. Perbuatan Obama terhadap pemimpin Islam, seperti membuang jasad Osama bin Laden ke laut, rencana Amerika memveto hak Palestina menjadi anggota PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), dan terakhir keterlibatan Amerika dan NATO mendukung oposisi Libya, yang akhirnya membunuh presiden Muammar Khadafi.

Menunjukkan dan menjadi bukti, tindakan Obama tidak sesuai dengan isi pidatonya waktu di Mesir, tahun 2009. Perlakuan seperti itu adalah sikap zalim (melampaui batas) dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh seorang presiden dan sekutunya, terutama jika ditilik dari pengamatan (cara pandang) seorang Muslim. Sewaktu runtuhnya gedung WTC, beberapa televisi Barat memberitakan sekelompok Muslim di beberapa negara Muslim bergembira dan bersorak-sorai menyaksikan gendung WTC roboh. Oleh banyak pengamat dan analis Barat, kegembiraan sebagian masyarakat Muslim itu disimpulkan sebagai bahan (argumentasi) bahwa Islam terorisme dan benci Barat; Amerika. Penulis Amerika lain, semisal Robert Spencer mengatakan pemerintahan dan tokoh Muslim tidak mengecam peristiwa peledakan gedung WTC menjadi bukti lain bahwa doktrin Islam sarat dengan kekerasan. Lalu, apa yang terjadi di Barat, Amerika dan Sekutunya, saat Saddam Hussein (mantan presiden Irak), Osama bin Laden (Pemimpin Al-Qaida), dan Muammar Kadafi (presiden Libya) dibunuh? Banyak warga negara Barat (Amerika dan sekutunya) menyambut kematian para pemimpin yang beragama Islam itu dengan gembira serta menenteng bendera negaranya (Barat) sebagai simbol kemenangan. Tidak ketinggalan, para tokoh dunia pun memberi komentar lega setelah kematian tiga pemimpin Muslim (Saddam, Osama, dan Khadafi) itu, khususnya Khadafi. Presiden AS Barack Obama mengatakan, "Peristiwa tewasnya Khadafi menunjukkan betapa hebatnya serangan yang dilakukan NATO".

Menlu AS, Hillary Clinton, girang. "Wow..! Khadafi ditangkap". Kata Hillary, sesaat membaca pesan singkat melalui ponselnya, Kamis (20/10/2011). "Libya bisa bergerak maju dari permasalahan jika Muammar Khadafi dibunuh," tutur Hillary. Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon berkomentar, "Hal ini, awal Libya yang baru". Presiden Perancis, Nicolas Sarkozy menilai, "Kematian pemimpin otoriter Khadafi membuka lembaran baru bagi rakyat Libya dan menandakan dimulainya proses demokrasi". Presiden Rusia, Dmitry Medvedev juga berkomentar, "Rakyat Libya harus menentukan nasib mereka sendiri pasca Khadafi". Menteri Luar Negeri Italia, Franco Frattini, mengatakan, "Jika benar Khadafi tewas, ini kemenangan besar bagi rakyat Libya". Negara Barat, terutama NATO benar-benar bersatu, satu kata untuk memusuhi, mengecam, bahkan membunuh orang yang dianggap menjadi musuh bersama (sekutu) mereka. Bahkan, komentar dan kutukan (perlakuan) mereka terhadap yang sudah mati, tetap sama. Hanya Presiden Venezuela, Hugo Chavez, sahabat Khadafi yang tetap setia dan menyatakan kemarahannya atas kematian pemimpin Libya, Muammar Khadafi. Ia berpendapat, Khadafi adalah seorang pejuang yang rela berkorban sampai titik darah penghabisan. "Mereka (NATO) membunuh Khadafi. Kita akan mengingat seluruh kehidupan Khadafi sebagai seorang pejuang besar, seorang revolusioner dan martir," kata Chavez. Dan Uni Afrika yang selama ini akrab dengan Khadafi memilih bungkam atau tidak berkomentar ihwal tewasnya Khadafi.

Sekarang, bagaimana tanggapan kita, sebagai Muslim saat menyaksikan, mendengar, atau membaca di surat kabar tentang kematian para pemimpin Muslim, seperti Saddam Hussein, Osama bin Laden, dan Muammar Khadafi yang tidak manusiawi? Kita sering memilih sikap diam, tidak berkomentar, atau menyimpannya dalam hati. Sebagaimana halnya yang ditunjukkan sebagian besar para pemimpin/kepala negara Muslim, memilih bungkam, tidak berkomentar. Mungkin, karena ada kekhawatiran jika menunjukkan empati terhadap kematian Saddam, Osama, dan Kadafi, takut dicap otoriter dan pro (memihak) fundamentalisme atau terorisme. Singkatnya, kita waswas dicap musuh Barat dan antidemokrasi. Terlepas, dari setuju atau tidaknya kita dengan sistem/pola/gaya kepemimpinan Saddam Hussein (mantan presiden Irak), Osama bin Laden (pimpinan organisasi Al-Qaida), dan Muammar Khadafi (presiden Libya). Mestinya, sebagai orang Muslim (sesama Muslim), para pemimpin Muslim tetap harus dikoreksi dan dinasihati saat khilaf, sebagaimana dianjurkan dalam Al-Quran, Surah Al-Asri; saling menasihati dalam kebenaran. Atau kalau mereka terbukti bersalah, mesti melalui proses hukum yang adil, bukan dengan jalan membunuh secara brutal.

Malang, nasib tiga pemimpin (Saddam, Osama, dan Khadafi) diperlakukan secara sewenang-wenang, tanpa melalui jalur hukum yang berkeadilan. Bukan hanya kematian mereka yang tragis, melainkan juga cara memperlakukan jasad (tubuh) mereka yang sudah tidak bernyawa. Nyawa Saddam Hussein misalnya berakhir di tiang gantungan setelah mengikuti proses hukum yang cacat dan dikendalikan pihak pemerintah Irak dan sekutunya. Lalu, Osama bin Laden diciduk dan dibunuh pada malam hari di Pakistan, melalui operasi rahasia militer (Navy SEAL) Amerika. Anehnya, jasad Osama dibuang ke laut karena menurut pihak Amerika, tidak ada negara yang bersedia menerima pemakaman Osama di darat, termasuk Arab Saudi, asal negara Osama. Terkini, Muammar Khadafi setelah ditangkap, ditembak, dipukuli, bahkan dikeroyok tentara oposisi. Padahal, sebelum kematiaannya, Khadafi memohon pada para penangkapnya, "Anakku, tolong jangan bunuh aku"!. Sebagaimana Khadafi menyurati Barack Obama, dengan sebutan, "Anakku"! Ternyata, permintaan presiden yang memerintah Libya selama empat puluh dua tahun itu tidak digubris oleh anak bangsanya sendiri, apalagi Obama. Khadafi telah tewas. Kini, tinggal pemakamannya pada suatu daerah (tempat) yang dirahasiakan. Haruskah, begitu cara kita memperlakukan para pemimpin Muslim atau bangsa, bagaimanapun, sedikit–banyaknya, mereka telah berupaya membuat sejarah bangsanya yang berdaulat dan berkelanjutan?. Bukankah membunuh mereka secara keji atau memberi izin pihak lain ikut campur dalam urusan negara kita, justru kian menunjukkan atau mempertontonkan pada dunia betapa buruknya potret masyarakat kita sebagai Muslim?

(c) detik.com/Ahmad Arif

Tidak ada komentar: