Sabtu, 05 November 2011

Selamat Idhul Adha : "Ibadah Haji Membuat Orang Semakin Toleran"

Oleh : Muhammad Ilham

“… Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam,” (QS Ali ‘Imran [3]: 97).

" ... ibadah haji membuat orang semakin toleran" (Asim Hijaz Khawaja)

" ... kau tak bisa dikatakan menimba/jika air yang kaudapat/dari ember ... ! (C. Cahyono)


Haji, menurut Wahbah Zuhaeli dalam bukunya Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, berarti mengunjungi Kabah untuk melaksanakan beberapa perbuatan tertentu, di tempat-tempat tertentu, dan dalam waktu tertentu pula. Ibadah ini hanya diperuntukkan bagi mereka yang mampu menjalankannya. Al-Quran menyatakan, “… Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah, Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam,” (QS Ali ‘Imran [3]: 97). Pada tataran fisik, haji mencerminkan suatu perjalanan dan gerakan terarah. Semua aktifitas haji dilambangkan dengan gerak, dari thawaf, sa’i sampai melempar jumroh. Tapi tentu ibadah ini tidak hanya berhenti sebatas gerak. Saat itu, hati dan nalar menemukan peran spiritualitasnya yang paling nyata. Sebagai contoh, ketika melakukan thawaf, badan kita bergerak mengelilingi ka’bah secara sirkular, hati kita bergetar, dan pikiran kita pun sadar akan apa yang kita laksanakan. Ka’bah melambangkan ketetapan (konstansi) dan keabadian Allah, sedangkan manusia yang mengelilinginya melambangkan aktivitas dan transisi makhluk-makhluk ciptaan-Nya. Suatu aktivitas dan transisi yang terjadi secara terus menerus.

Dr. Ali Syariati dalam bukunya Hajj: Reflection on its Rituals (Refleksi Ritual Faji) mengulas dengan detail makna esensial ritual ibadah haji. Menurut filosof dan intelektual kontemporer asal Iran ini, ibadah haji merupakan ritual yang sarat dengan simbolisasi makna. Dalam buku ini, Ali Syariati mengajak kita untuk menyelami samudera makna ritual haji. Ali Syariati mengatakan bahwa ibadah haji merupakan sebuah langkah maju menuju “pembebasan diri”, bebas dari penghambaan kepada tuhan-tuhan palsu menuju penghambaan kepada Tuhan Yang Sejati, Allah Swt. Menurut Ali Syari’ati, pakaian adalah lambang status yang dapat memicu sikap diskriminasi, keakuan, dan egois. Pakaian telah memecah belah anak-anak Adam, karena itu, kata Ali Syari’ati, pakaian model ibadah ihram bukanlah penghinaan tetapi penggambaran kualitas manusia di hadapan Allah. Ali Syariati mengatakan bahwa pakaian ihram telah menuntun manusia untuk mengubur pandangan yang mengukur keunggulan karena kelas, kedudukan dan ras.

Sedang thawaf merupakan kegiatan ibadah mengelilingi Ka’bah. Di hadapan Ka’bah yang berbentuk kubus ini, kata Ali Syari’ati, para pelaku tawaf akan merenungkan keunikan Ka’bah yang menghadap ke segala arah, yang melambangkan universalitas dan kemutlakan Allah; suatu sifat Allah yang tidak berpihak tetapi merahmati seluruh alam. Dengan thawaf, umat manusia dididik aktif bergaul menjaring komunikasi dengan Allah dan antarmanusia. Selain itu, thawaf juga mendemonstrasikan cara kerja alam semesta. Bagaimana bumi, dan planet-planet di jagat raya ini berotasi dan mengelilingi orbitnya. Thawaf memberi pesan tersirat bahwa apa pun yang dilakukan manusia dalam hidupnya hendaknya selalu menjadikan Allah sebagai porosnya. Hendaknya dalam segala perbuatan Allah menjadi tujuan utama, bukan yang lain. Mengenai sa’i, Ali Syari’ati mengungkapkan bahwa ritual tersebut melambangkan kegigihan dalam berjuang mengarungi tantangan hidup. Sai, yang merupakan rekonstruksi peristiwa Siti Hajar mencari air Zamzam dari Bukit Shafa menuju Marwa, melambangkan figur manusia yang berjuang dari niat yang tulus (shafa), tanpa patah semangat mencapai tujuan (marwa).

Selanjutnya, setiap calon haji harus wukuf di Arafah. Arafah merupakan sebuah padang yang luas. Di tempat ini manusia singgah sebentar (wukuf). Lalu bermalam (mabit) di Muzdalifah dan tinggal di Mina. Arafah berarti pengetahuan dan Mina artinya cinta. Setelah wukuf di Arafah, para jamaah menuju ke Muzdalifah untuk mabit. Wukuf dilakukan pada siang hari, sementara mabit pada malam hari. Siang, demikian kata Syari’ati, melambangkan sebuah hubungan objektif ide-ide dengan fakta yang ada, sedangkan malam melambangkan tahap kesadaran diri dengan lebih banyak melakukan konsentrasi di keheningan malam. Kemudian di Mina, jamaah melempar Jumrah. Ritual haji ini melambangkan bahwa manusia harus senantiasa berjuang melawan bujuk rayu setan yang dengan segala cara berusaha menggelincirkan manusia dari jalan yang Ilahi. Melempar jumrah juga merupakan lambang perlawanan manusia melawan penindasan dan kebiadaban. Intinya, Ali Syariati ingin mengemukakan bahwa ibadah haji bukanlah sekadar prosesi lahiriah formal belaka, melainkan sebuah momen revolusi lahir dan batin untuk mencapai kesejatian diri sebagai manusia. Dengan kata lain, orang yang sudah berhaji haruslah menjadi manusia yang “tampil beda” (lebih lurus hidupnya) dibanding sebelumnya (haji mabrur). Dan ini adalah kemestian. Kalau tidak, maka ibadah haji tak ubahnya seperti berlibur ke tanah suci di musim haji.

Secara doktrinal, haji adalah ibadah yang sarat nilai-nilai sosial dan kemanusiaan adihulung. Hal ini misalnya tampak pada larangan menyakiti ataupun melakukan aksi-aksi kekerasan, berbuat fasik dan berbantah-bantahan. Dalam sebuah riset bertajuk “Estimating the Impact of the Haj: Religion and Tolerance in Islam’s Global Gathering” yang dilakukan Asim Ijaz Khwaja, guru besar kebijakan masyarakat di Kennedy School of Government, Harvard University, bersama Michael R. Kremer dan David Clingingsmith dari Case Western Reserve University, disimpulkan bahwa ibadah haji membuat orang semakin toleran. Penelitian yang dilakukan selama sekitar 8 bulan pada tahun 2006 ini menemukan fakta bahwa kelompok yang mendapat kesempatan pergi haji mengalami perasaan yang lebih positif terhadap berbagai kelompok etnis dan aliran Islam yang berbeda. Dalam konteks ini, tak salah jika dikatakan bahwa ibadah haji merupakan “sekolah” perdamaian dan toleransi bagi terciptanya perdamaian. Tak hanya perdamaian di internal umat Islam, melainkan juga perdamaian di antara semua keturunan Nabi Adam. Sebab, misi Islam adalah kerahmatan global (rahmatan lil alamin). Jika para jamaah haji mampu menyelami makna ritual haji, tidak hanya ritual fisik belaka, maka mereka akan menjadi “duta-duta” perdamaian yang diharapkan mampu menyebarkan dan mewujudkan perdamaian di daerah masing-masing.

Haji adalah wuquf di Padang Arafah, yang berarti pelajaran paling besar yang akan didapatkan oleh seluruh jamaah haji adalah selama pelaksanaan wuquf, yang merupakan waktu sakral yang memberikan kesempatan kepada semua jamaah haji untuk bisa 'berdialog' dengan Allah, menjalin hubungan mesra dan privat kepada Sang Maha Penentu Segala. Banyak orang beranggapan, wuquf hanya bisa dilaksanakan di Padang Arafah dan pada tanggal 9 Dzulhijjah, pendapat ini tentunya tidak terbantahkan, tetapi yang harus kita fahami adalah bahwa semangat wuquf tidak berhenti ketika kita keluar dari Padang Arafah ataupun setelah tanggal 9 Dzulhijjah. Semua yang dilakukan selama musim haji merupakan sebuah pembelajaran yang semestinya setelah itu akan menjadi kebiasaan kepada siapa saja untuk selalu menciptakan nuansa wuquf kapan dan dimanapun berada. Wallâhu a’lamu bis shâwab!!

Sumber : Al-Qur'an, Asim Ijaz Khwaja (1999), Ali Shariati (1997), CMM (Nop. 2009)


Foto - Foto IBADAH HAJI TEMPO DOELOE
(sumber - syarar.com)

Tidak ada komentar: