" ...... Jangan kamu cari arti kata-kata/tapi pahami bagaimana kata-kata itu difungsikan !(Gadamer)

Sulit memang menganggap semua karya sejarah akan bersikap objektif. Karena subjektifiyas itu merupakan kondisi objektif dalam penulisan sejarah. Standar keilmiahan sebuah disiplin ilmu, secara umum biasanya diukur dari cara kerja (metodologi) disiplin ilmu itu sendiri yang mengacu kepada metode-metode baku sehingga hasil dari kerja ilmiahnya akan dinilai sebagai sesuatu yang objektif, sebagaimana halnya pada disiplin-disiplin ilmu lainnya – eksak, khususnya. Disiplin ilmu sejarah memiliki kaedah-kaedah metode penelitian tersendiri sehingga dikatakan sebagai disiplin ilmu yang objektif. Ungkapan nan “klasik” Leopold van Ranke bahwa sejarah itu harus dikaji “seperi apa yang sebenarnya ia terjadi” memberikan pondasi awal ke-objetifitasan disiplin ilmu sejarah itu sendiri. J.B. Burry misalnya mengatakan bahwa “sejarah itu sains, ia memiliki metode sendiri, tak lebih tak kurang”, kembali mempertegas bahwa ilmu sejarah bisa objektif karena metode sendiri. Karena memiliki metode sendiri, maka kebenarannya bisa dipertanggungjawabkan dengan merujuk kepada metode yang dimilikinya. Karena memiliki metode sendiri, maka pola kerja dalam sebuah penelitian serta penulisan bisa dianggap sama dikalangan sejarawan di seluruh dunia. Dalam konteks inilah, objektif ilmu sejarah tersebut dipahami.
Bila ada perdebatan-perdebatan dari sebuah karya sejarah, biasanya berawal dari teknik analisis dimana teori-teori/paradigma/pendekatan dari si penulis sejarah/sejarawan tersebut “bermain”. Karena ini pula, hasil sebuah penelitian/tulisan sejarah terkadang berbeda-beda. Tapi, hampir semua disiplin ilmu, khususnya ilmu sosial, perbedaan-perbedaan tersebut selalu bersumber dari paradigma/pendekatan yang digunakan. Berangkat dari pemahaman ini, maka kerapkali kita menemukan beberapa karya sejarah dengan tema yang sama justru menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Karena seringkali karya sejarah tersebut menghasilkan simpulan yang berbeda, timbul anggapan bahwa karya sejarah tersebut dalam proses rekonstruksinya, tidak objektif. Padahal, perbedaan kesimpulan yang didapatkan bukan karena metode penelitian yang berbeda. Metode-nya sama, akan tetapi pendekatan yang digunakan berbeda.

Kita masih ingat dengan ungkapan filosof - sejarawan Italia, Bennedicto Croce yang pernah mengeluarkan ungkapan terkenal : “storia e storia contemporanea”. Artinya kira-kira, sejarah yang benar-benar sejarah adalah sejarah kekinian. Ungkapan ini bisa dipahami dalam dua perspektif. Pertama, Croce ingin mengatakan bahwa penulisan sejarah yang baik haruslah berangkat dari kondisi atau realitas kekinian yang untuk kemudian dicari “akar”nya kedalam “relung panjang sejarah” – meminjam istilah Taufik Abdullah. Pemahaman kedua, Croce ingin menjelaskan posisinya dalam melihat sejarah. Baginya sejarah tersebut sangat terikat dengan konteks masanya yang diistilahkannya sebagai contemporanea – kekiniaan atau ke-masa-an. Intinya adalah, penulisan sejarah, nilai objektifitasnya tersebut sangat terikat dengan ruang dan waktu. Pemahaman orang terhadap suatu fenomena sejarah pada suatu era, akan berbeda dengan era yang lain. Ketika sebuah kalimat tertera dalam sebuah arsip yang dicatat pada era 1910-an : ”Anak-anak di Air Bangis berjalan di tepian soengai pada senja hari pergi sumbajang dan mengadji ke langgar dan poelang tidak pernah laroet malam sehingganja sumbajang isa’ (Isya: pen.) hanja diikoeti oleh orang-prang tua sahaja” (Lihat HAA. Haars, Hikajat Perang : Catatan 1st the Luittenant der Infanteri, Batavia: G. Golf and Co., 1897. Buku dalam bentuk PDF Penulis dapatkan dari kiriman seorang kawan dari Leiden Universitet Belanda). Kalimat “miring” akan berbeda pemahamannya bila ditafsirkan pada masa sekarang. Senja pada masa itu akan dipahami dalam durasi waktu pukul 4 – 5 sore, sedangkan larut malam dimaknai sebelum sholat Isya (lebih kurang pukul 8 malam). Bila hal tersebut ditafsirkan menurut “kacamata” sekarang, maka senja itu adalah pukul 6 – 7 malam, sedangkan larut malam diatas pukul 10 malam. Demikian juga dengan konsepsi poligami, misalnya. Banyak karya-karya sejarah, khususnya yang berkaitan dengan biografi ulama yang berkaitan dengan praktek poligami. Misalnya penggalan kalimat berikut : Syekh Halaban yang dianggap sebagai ulama kharismatik. Dengan potensi kepemimpinan seperti ini, sangatlah mudah bagi Syekh Halaban untuk memiliki istri banyak, bahkan para orang tua berlomba-lomba untuk “menyodorkan” anak mereka menjadi istri Syekh yang juga guru dari ulama tradisional Minangkabau terkenal – Syekh Inyiak Canduang” (Tim Peneliti FIBA, 2007). Konsepsi poligami dalam kalangan masyarakat pada masa-masa tersebut diatas adalah suatu kondisi sosial yang fungsional, baik bagi masyarakat maupun bagi elit agama itu sendiri. Nilai-nilai dan fungsi ini hanya bisa diletakkan pada era itu. Ini tidak akan bisa kita tempatkan pada masa-masa A’a Gym ataupun Zainuddin MZ.

Dalam penulisan sejarah, ada kesan subjektif yang pada umumnya menimbulkan penulisan yang bias atau berat sebelah. Memang, kecenderungan untuk lumrah terjadi karena seorang sejarawan yang dalam bahasa sosiologi-nya : “seorang manusia individu, ia adalah gejala sosial, hasil proses dari masyarakatnya” dan dalam kedudukan seperti itulah, ia berusaha untuk mendekati sejarah/merekonstruksi sejarah itu sendiri yang pada prinsipnya hanya terjadi satu kali atau einmalig tersebut. Tentu, subjektifitas sangat sulit untuk dihindarinya. Bahkan, subjektifitas sejarawan itu sendiri juga sebuah entitas objektif dalam penulisan sejarah. Ketika ia mulai memilih judul dan pendekatan yang (akan) digunakannya, maka, subjektifitas tersebut telah “masuk” dan bermain. Oleh karena itu, hal-hal yang berkaitan dengan subjektifitas, tidak bisa dihindari.
Namun yang tidak boleh dilakukan adalah subjektifitas dalam pengertian mengebiri data, memalsukan dokumen dan menyesuaikan dokumen-dokumen yang ada agar sesuai dengan “tuntutan” yang ada. Inilah yang dinamakan dengan subjektifitas ekstrem. Buku Babon Sejarah Nasional Indonesia yang “dimotori”oleh Nugroho Notosusanto, sebagai contoh, adalah salah satu bentuk “pemerkosaan dokumen” agar sejarah yang ditulis tersebut mengkisahkan peran besar Orde Baru, marginalisasi peran sipil, hegemoni dan keunggulan militer (dalam hal ini : Angkatan Darat) dan kesalahan yang “melulu” harus ditimpakan pada Soekarno dan PKI dibalik terjadinya Gerakan 30 September 1965. Peran histories Nugroho Notosusanto ini dibuka secara gambling oleh Katherine Mac. Gregory yang membongkar habis “kepalsuan”Nugroho Notosusanto serta bagaimana Nugroho ini “memilah-milah” dokumen yang seharusnya masuk dalam bagian analisis, justru disisihkan karena berpotensi merendahkan peran histories Suharto, Orde Baru dan militer. Karena itu pulalah Chaterine memberi judul bukunya dengan “Ketika Sejarah Berseragam”. Cukup banyak buku-buku sejarah yang ditulis dengan memalsukan berbagai dokumen agar penulisan sejarah tersebut bisa sesuai dengan kehendak yang memesan (biasanya pemerintah).
Di Negara-negara otoriter seperti Korea Utara, Irak pada masa Saddam Hussein, Protocol Zion dalam menjustifikasi “duka-lara” sejarah bangsa Yahudi – merupakan beberapa contoh subjektifitas ekstrim dalam penulisan sejarah. Interpretasi dari penulis merupakan bentuk subjektifitas yang tidak bisa dihindari. Subjektifitas jenis ini bisa diminimalisir dengan latihan dan kepatuhan akan metode yang ada. Akan tetapi, subjektifitas dengan “memalsukan” dokumen-dokumen yang ada agar menguntungkan pihak tertentu, itulah subjektifitas yang tidak dibolehkan. Dan ini tidak membutuhkan latihan ataupun kepatuhan ketat terhadap metode penelitian, karena seorang Prof. Doktor “botak” sekalipun, bisa “terjebak” dan mau “dijebak” dalam subjektifitas ekstrem ini.
Foto : www.google.picture.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar