
Sejarawan Peter Carey pada tahun 1821 melaporkan bahwa para petani terpaksa menjual seluruh hasil kebun tembakaunya hanya untuk membayar pajak tanah, sementara mereka harus tetap hidup hanya dengan memakan sedikit jagung belaka. Sistem pajak yang amat sangat menekan itu ditambah lagi dengan pajak lain - pajak "tol". Orang-orang Cina yang mendapat "lisensi" pengelolaan jenis pajak ini, meninggikan sewa jalan-jalan "tol" yang harus dilalui pedagang dari berbagai desa. Ironisnya, para pedagang tersebut seringkali "terpisah" dengan dagangannya hanya untuk bisa membayar pajak "tol" ini. Para Bupati dan kaum bangsawan, berselingkuh dengan kolonial Belanda, untuk memperkaya pundi-pundi mereka. Sistem pajak yang menghinakan dan menyengsarakan ini, membuat rakyat kecil merindukan kedatangan Ratu Adil. Ketika Pangeran Diponegoro, yang juga memiliki keprihatinan mendalam, langsung menyambutnya. Jawa berkobar dengan biaya mahal. Perang Jawa, menurut Carey telah melibatkan 2 juta rakyat Jawa dan menewaskan hampir 200.000 orang, 8.000 pasuka Eropa dan 7.000 "Belanda Hitam". Pemerintah Belanda harus mengeluarkan dana hingga 20 juta gulden untuk memadamkan Pangeran Diponegoro. Hampir 5 tahun, Jawa bergenangan darah.
Kalau bolehlah saya berandai-andai (itupun kalau boleh), bila persoalan mafia pajak tidak tertangani menurut prinsip keadilan, tidak kecil kemungkinan peristiwa Pangeran Diponegoro dalam "bentuk lain" akan terjadi di Indonesia. Historia Me Absolvera, biarlah sejarah yang membebaskan atau menilai, demikian Castro. Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar