Sejarah  mencatat, kebangkitan peradaban dunia "barat" berawal dari zaman   pencerahan, pasca renaisan. Salah satu issu sentral dalam abad   pencerahan adalah apresiasi yang maksimal terhadap potensi akal (rasio)   dan upaya minimalisir peranan agama bahkan sampai pada titik yang   terkesan menyederhanakan - untuk tidak menyebut melecehkan. Gerakan ini   dipelopori oleh para filsof, terutama Immanuel Kant (1724-1804) dan   Voltaire (1694-1778). Voltaire, misalnya, mengabdikan dirinya pada   "jihad intelektual" melawan fanatisme agama. Kesemua surat-surat dan   karya tulisnya yang hampir 30.000 halaman, senantiasa ditutupnya dengan   kalimat yang maknanya kira-kira "ganyang barang brengsek itu!". Yang   dimaksud Voltaire dengan "barang brengsek" tersebut adalah kejumudan dan   fanatisme. Karyanya Ecraszed   L'infameLetters on the English yang diterbitkan tahun 1734 (?)   merupakan tanda sesungguhnya dari era pembaharuan Perancis yang kemudian   memberikan inspirasi bagi pembaharuan dunia barat pada umumnya. Pada   masa ini berkembang dua macam aliran yang menghargai posisi akal yaitu   di bidang agama dan di bidang filsafat. Pada abad Pencerahan, aliran ini   melahirkan perlawanan pada otoritas gereja dan dipergunakan untuk   mengkritisi ajaran agama. Namun, sebetapapun sinisnya pandangan para   filosof terhadap agama, semangat sekuler gerakan pencerahan sama sekali   tak mampu melenyapkan agama, dalam artian agama sebagai ajaran normatif   dan institutif. Gerakan pencerahan hanya berhasil mengurangi pengaruh   agama yang demikian besar terhadap kehidupan kemanusiaan sebagaimana   yang terjadi pada abad pertengahan. Implikasi abad pencerahan terhadap   agama lebih terasa dalam aspek pemikiran dan politik. Abad pencerahan   melahirkan kondisi marginalisasi peran agama. Perhatian agama beralih   dari "centre of life" ke "phery-phery of life" - meminjam istilah   sejarawan Immanuel Wallerstein. Secara historis, hal ini tak terlepas   dari peran signifikan Isaac Newton yang "menyerang" otoritas kebenaran   agama dengan pendekatan ilmiah-saintifik.Diantara sebab-sebab di  atas, ada sebab  lain yang begitu penting yaitu orang mulai berpergian  lebih jauh  menjelajahi bumi dan menemukan bahwa di belahan dunia lain  ditemui  peradaban dari bangsa dan kepercayaan lain. Bahkan interaksi  dengan  dunia luar out siders mereka,   menimbulkan anggapan ada peradaban lain yang setinggi peradaban barat.   Anggapan bahwa agama Kristen sebagai satu-satunya agama dan iman yang   benar, mulai diragukan bahkan dipertanyakan. Dalam ketenangan abad ke   18, demikian kata sejarawan-orientalis William Montgomery Watt, orang   dapat membuang rasa takut, rasa bebas dari intimidasi dan teror serta   ketidakpastian karena perang dan mulai mengejar kesenangan (yang dalam   filsafat sejarah dikenal dengan aliran pragmatisme-hedonistisme). Di   Inggris pada abad ke 17, para penganut Plato di Universitas Cambidge nan   fenomenal itu, memberikan anjuran agar ajaran Kristen dirangkum  kembali  dan di re-interpretasi dalam beberapa bentuk dan rumusan   logis-rasional, yang kemudian dikenal dengan teologi rasional. Teologi   rasional ini dianut oleh kelompok yang cukup besar yang kemudian dalam   sejarah pemikiran agama-agama dikenal dengan kelompok Latitudarian. Kaum   ini menganggap diri mereka sebagai orang Kristiani yang baik, tapi   kesahalehan mereka sedang-sedang saja sehingga hampir tidak kelihatan   bedanya dengan sopan santun masyarakat awam pada umumnya. Jadi janganlah   heran, bila ada individu "barat" sana yang dalam kesehariannya sangat   baik-humanis, namun tidak mau terkooptasi atau diberikan label dengan   aturan-aturan agama tertentu. Perjalanan historis mereka memberikan   justifikasi. John Locke, seorang cendekiawan Inggris pada masa ini   adalah figur yang menyebarluaskan gagasan-gagasan Latitudarian. Bahkan   John Locke dianggap oleh filosof sejarah abad ini, Bertrand Russel   (1872-1970) sebagai filosof yang paling beruntung karena pandangan   filsafat dan politiknya dipahami secara luas dan disambut hangat oleh   orang-orang semasanya. John Locke dianggap sebagai filosof yang   mempopulerkan bahwa manusia haruslah bersikap "tahu batas" terhadap   rahasia-rahasia alam dan beranggapan bahwa wahyu agama hanyalah   merupakan sebuah kelanjutan dari akal budi. Mukjizat katanya, adalah   sesuatu kejadian alam biasa, bukan unik apalagi sesuatu yang luar biasa.
Beberapa  buku diterbitkan untuk  memperkuat dan menyebarkan pendapat-pendapat  se"irama" dengan pendapat  John Locke di atas. Tahun 1696, buku yang  berjudul Agama Kristen Bukan Rahasia karangan   John Tolland dipublikasikan kepada publik. Menyusul kemudian buku   Thomas Waltson yang mengarang buku Enam   Ulasan Mengenai Mukjizat. Buku-buku tersebut mendapat respon   antusias masyarakat, tapi disisi lain dianggap melecehkan agama (dalam   hal in : institusi gereja). Namun buku yang paling terkenal sekaligus   kontroversial adalah Philosophy   Dictionary yang terbit pada tahun 1764, tanpa pengarang.   Substansi buku ini menyangkal adanya campur tangan nilai-normatif   teologis dalam peristiwa-peristiwa alam. Berangkat dari spirit buku ini   pula, kemudian berkembang wacana "liar" yang mulai meragui adanya   peranan Tuhan bahkan lebih ekstrimnya, mulai meragui adanya eksistensi   dan "adanya" Tuhan itu sendiri. Mereka beranggapan bahwa tanpa campur   tangan (intervensi) Tuhan-pun, mereka mampu untuk mewujudkan impian dan   cita-cita mereka. Cita-cita, tujuan dan keinginan kehidupan tidak   bergantung, menurut mereka, secara mutlak dengan takdir ke-illahi-an.   Tidak ada intervensi Tuhan terhadap proses kehidupan manusia, atau dalam   bahasa sederhananya, manusialah yang sebenarnya mengatur proses   kehidupannya. manusia mampu untuk mendisain tujuan kehidupannya. Sebagai   konsekuensi logis dari pemikiran-pemikiran ini, pada gilirannya,  mereka  meninggalkan agama Kristen dan kemudian mereka menggantikan  sorga yang  sesungguhnya dengan masyarakat yang baik .... di dunia.  Nilai-nilai yang  berpusat kepada transedental normatif-teologis  kemudian digantikan oleh  nilai-nilai yang berpusat pada kebaikan dan  potensi manusia (antropomorphisme).Intinya, nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia dengan "setting" universal a-la barat, tentunya tidaklah fair bila dianggap sebagai sesuatu yang harus mutlak "diterima semuanya" oleh kita yang memiliki latar kultural dan sejarah yang berbeda dengan mereka. Apalagi, kecurigaan terhadap agama, telah menjadi cause-awal lahirnya beberapa ideologi dan nilai-nilai demokrasi dan HAm yang dianggap sebagian dari kita sebagai nilai-nilai universal. Padahal, filosof sejarawan sekuler, Bertrand Russel, mengatakan : "Sebuah ideologi, tidaklah pernah universal, ia lahir dan tumbuh berkembang dari perjalana sejarah panjang mereka". Karena itu, alangkah naifnya kita "mengadopsi" dan menganggap sesuatu ideologi yang nyata-nyata lahir dan tumbuh berkembang dari sebuah komunitas/entitas sosial yang memiliki latar historis berbeda dengan kita. Bukan berarti menolak, karena menolak tanpa kompromi dan pemahaman komprehensif juga bukan sesuatu yang baik tapi menganggap sebagai sesuatu yang mutlak, juga menjerumuskan kita pada fanatisme dalam bentuk lain dan menjadi insan yang a-historis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar