Jumat, 21 Januari 2011

Aburizal Bakrie is the Real President

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

... who get what, how and when" (Harold Lasswel)

Setelah sempat saling memojokkan dan saling ancam akhirnya kedua kubu itu berdamai, yang sekaligus menunjukkan ancaman mereka satu kepada yang lain dengan embel-embel bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah demi penegakan hukum, demi bangsa dan negara, adalah omong kosong belaka. Yang benar adalah demi kepentingan politik jangka pendek (SBY dan Ical Bakrie) masing-masing. Di Indonesia dewasa ini, ungkap mantan menkeu Sri Mulyani sebelum ''pergi atau minggat'' ke Bank Dunia Amerika Serikat, Sri tegaskan, terjadi kawin politik meski jenis kelaminnya sama, ada perkawinan oleh sosok-sosok kepentingan dengan jenis kelamin yang sama. Dahsyat, metafora Sri Mulyani. Dengan kata lain, para aktivis dan analis-merujuk metafora Sri Mulyani-menyebut, dewasa ini SBY dan Ical saling memegang ''kelamin kepentingan'' masing-masing di tengah rumitnya pertarungan politik-ekonomi yang sarat korupsi, kolusi. Demikianlah sinetron Pansus Bank Century yang dimotori oleh Golkar dengan ketua umumnya Aburizal Bakrie sempat membuat SBY terpojok. Semula dia masih mencoba bertahan untuk tidak memenuhi keinginan Aburizal Bakrie untuk menggeser Sri Mulyani – satu-satunya orang di pemerintahan yang berani melawan sang konglomerat, dengan menggunakan ancaman tak langsung untuk mengusut kasus-kasus pajak yang diduga kuat melibat tiga perusahaan milik Grup Bakrie. SBY pada waktu itu (Februari 2010) mengatakan bahwa pengemplangan pajak merupakan suatu kejahatan terhadap negara. Oleh karena itu demi kepentingan bangsa dannegara memerintahkan kepada Polri untuk mengusut tuntas para penggepalangan pajak. Waktu itu juga telah dilangsir daftar 10 perusahaan pengemplang pajak, tiga di antaranya dari Grup Bakrie.

Dalam hal ini SBY mungkin mengira dengan melontarkan pernyataan tersebut publik akan menaruh apresiasi kepadanya bahwa dia seorang presiden yang begitu perduli dan begitu tegas terhadap kasus pengemplangan pajak, tak perduli melibatkan grup konglomerat. Tetapi sebenarnya yang terjadi sebaliknya, publik justru mencibir, melihat ada udang di baliknya. Kalau memang presiden serius, kenapa setelah dirinya terpojok baru tiba-tiba melontarkan penrnyataan demikian? Padahal sudah cukup lama media melangsir dugaan pengemplangan pajak di tiga perusahaan Grup Bakrie tersebut. Tidak itu saja, lewat Partai Demokrat pun ditebar ancaman bahwa Presiden SBY akan melakukan reshuffle kabinet yang pada intinya adalah menglengserkan tiga menteri asal Golkar dari Kabinet Indonesia Bersatu Jilid Dua itu. Alih-alih kedua ancaman tersebut mempan, Aburizal Bakrie malah balik menantang. “Saya bukan orang yang suka main ancam, tetapi jangan coba-coba ancam saya. Mati pun saya tidak takut,” katanya waktu itu.
Aburizal yakin SBY tak punya nyali untuk melawannya. Betapa tidak dalam pilpres 2004 dia adalah penyumbangterbesar kampanye SBY-JK sebagaimana pernah dilangsir majalah Tempo, dan diakui oleh JK. Entah dalam pilpres 2009 lalu? “Golkar tidak terpengaruh dan berubah pikiran, demi kepentingan bangsa dan negara akan terus mengusut skandal Bank Century sampai benar-benar tuntas,” katanya lebih lanjut. Maka nyali kubu Demokrat dan SBY pun segera susut. Mau menggertak, balik digertak, malah susut nyalinya. Tak terdengar lagi ancaman-ancaman seperti itu. Sampai kemudian kita dapat kabar bahwa SBY telah menyetujui Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk mundur dari jabatannya, dengan alasan untuk bekerja di Bank Dunia di Washington sebagai Direktur Operasional Bank Dunia. Persetujuan SBY yang demikian cepat sangat kotradiksi dengan pernyataannya sebelumnya ketika membela Sri Mulyani yang dijadikan sasaran tembak utama Pansus DPR. Waktu itu SBY mengatakan tidak akan mengganti Sri Mulyani, dan bahwa Sri Mulyani adalah anak bangsa terbaik yang pernah dimiliki bangsa ini. Jasanya sangat besar dalam menghindari Indonesia dari malapetaka krisis ekonomi jilid dua. Pertanyaannya, kalau memang nilai seorang Sri Mulyani sebegitu tinggi di matanya, kenapa sedemikian cepat dan mudahnya SBY melepaskan Sri Mulyani ke Bank Dunia? Kabar yang beredar, jabatan itu ditawarkan kepada Sri Mulyani oleh Presiden Bank Dunia Robert B. Zoelick, setelah berbicara dengan SBY. Dan SBY pun langsung setuju. Apakah ini suatu kebetulan agar SBY punya alasan tepat untuk menglengserkan Sri Mulyani dari kabinet yang dipimpinnya sekaligus memenuhi kehendak Aburizal Bakrie, ataukah jangan-jangan malah dia sendiri yang menyodorkan Sri Mulyani kepada Presiden Bank Dunia itu, sebagai suatu trik agar Sri Mulyani bisa dilepas dengan alasan yang bagus. Yang ujung-ujungnya demi memenuhi kehendak pihak Aburizal Bakrie juga. Setelah mencoba berbagai cara untuk tetap bertahan gagal. Merasa semakin terpojok dengan skandal Bank Century di Pansus, SBY akhirnya terpaksa menjadikan Sri Mulyani semacam tumbal politiknya.

Demi memenuhi kepentingan politiknya, SBY juga rela menjadikan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Anggito Abimanyu sebagai salah satu tumbal politiknya yang lain. Anggito sebelumnya oleh SBY sendiri telah dipersiapkan sebagai wakil menteri keuangan. Tinggal menunggu dilantik saja. Tetapi tanpa pemberitahuan sebelumnya, seiring dengan mundurnya Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan diganti oleh Agus Martowardojo, tiba-tiba saja yang dilantik orang lain, Anny Ratnawati. Sampai sekarang pun tidak ada kabar kepada Anggito kenapa dia tidak jadi dilantik sebagai wakil menteri keuangan itu. Tidak berlebihan jika dia menyatakan merasa harga dirinya terusik dengan ulah SBY tersebut. Tapi mana SBY perduli?! Kenapa bisa begitu? Jangan-jangan ini juga bagian dari kesepakatannya dengan kubu Aburizal, bahwa yang menentukan siapa Menteri Keuangan dan Wakilnya adalah Aburizal? Anggito juga tidak disukai karena dia dikenal sangat dekat dengan Sri Mulyani, yang bisa jadi malah nanti jadi ganjalan baru. Kalau bukan karena itu, lalu kenapa? Setelah Sri Mulyani berhasil dilengserkan, maka ganjalan utama hubungan antara SBY dengan Aburizal Bakrie pun tersingkir, maka keduanya pun bersatu kembali untuk memenuhi kepentingannya masing-masing, dengan membentuk Sekretariat Gabungan Koalisi dengan ketuanya Aburizal Bakrie. Yang dalam beberapa hal mempunyai kewenangan yang nyaris setara dengan Wakil Presiden, atau bahkan Presiden! Seperti memanggil para menteri, menentukan arah kebijakan pemerintah sebelum kebijakan itu dijalankan, dan seterusnya.

Aburizal Bakrie dengan terang-terangan berkata bahwa dengan sekretariat gabungan koalisi itu kini Golkar memegang peran sentral di pemerintahan. Rasanya lebihtepat apabila disebutkan Aburizal Bakrie lah yang memegang peran sentral dipemerintahan. Barangkali menjadi seperti “presiden bayangan” khususnya dalam menentukan arah kebijakan pemerintah yang menyangkut kepentingan bisnis dan politik Golkar? Maka jangan harap kalau ada kasus-kasus apapun yang menyangkut kepentingan bisnisnya, pemerintah bisa mengusutnya. Kalau sampai benar akan menjadi seperti ini, berarti SBY setelah “menyingkirkan” JK, gara-gara JK sering dibilang “The Real President,” sekarang malah dia sendiri yang menciptakan “The Real President” yang baru, yang lebih kuat daripada JK? Sampai-sampai Mabes Polri saja takut, atau barangkali lebih tepat karena bagian tak langsung dari koalisi ini, atau harus patuh kepada atasannya (Presiden yang telah berkoalisi demikian)? Karena kesannya Polri tidak serius dalam menindaklanjuti pengakuan Gayus Tambunan yang mengaku menerima sedikitnya Rp 65 miliar dari tiga perusahaan Grup Bakrie yang saat ini sedang mendapat sorotan kuat. Mungkin untuk menepis kesan tersebut, Mabes Polri mengaku bahwa Polri sangat hati-hati dalam memeriksa Grup Bakrie (Jawa Pos, Selasa, 07 Juni 2010). Kenapa mesti memberi keterangan seperti ini, apa kalau dengan pihak lain Polri tidak “sangat hati-hati”? Atau memang betul saking kuatnya Bakrie, sampai Polri saja takut. Maklum saja, Presidennya saja takut, kok? Pembentukan sekretariat gabungan koaliasi dengan kewenangan seperti ini menjadi sistem politik Negara ini akan menjadi kacau. Majalah Tempo edisi 17-23 Mei 2010 dalam opininya menulis: “Pembentukan sekretariat gabungan koalisi bisa memperancu sistem politik kita. Wadah baru ini akan memindahkan pembahasan politik di gedung Dewan Perwakilan Rakyat ke ruang tertutup dengan peserta yang terbatas. Alih-alih memperkuat posisi pemerintah melalui koalisi yang diformalkan, sekretariat bisa menjadi wahana “patgulipat yang dilembagakan.” Apalagi jika agenda yang dibahas mengutamakan kepentingan politik jangka pendek bagi segelintir orang, bukan untuk memperjuangkan kemaslahatan rakyat.” Jadi, seolah-olah sekretariat gabungan koalisi ini bukan saja mengambil-alih sebagian kewenangan presiden dan wakil presiden, tapi juga kewenangan dari DPR. Sebelum suatu masalah dibicarakan di DPR, wajib dibahas dan diputuskan di Sekretariat Gabungan Koalisi ini. Setelah itu baru dibawa ke DPR, yang hanyalah formalitas saja? Kalau pun ada fraksi yang menolak hasil tersebut, pasti akan kalah ketika voting dilakukan. Mau jadi apa, atau mau dibawa kemana bangsa dan negara ini oleh para pimpinan dan politikusnya? Seolah-olah negara ini merupakan prasarana mereka itu untuk mencapai maksud dan tujuan, kepentingan, dan ambisi pribadi dan kelompoknya saja.

Setelah sekretariat koalisi ini terbentuk maka jelaslah bahwa pernyataan kedua orang ini, SBY dan Aburizal tentang tekad mereka masing-masing untuk membongkar kejahatan demi kepentingan bangsa dan negara sebagaimana saya singgungkan di atas adalah bohong belaka. Semuanya adalah demi kepentingan jangka pendek mereka. Pernyataan Aburizal bahwa Golkar telah bertekad bulat, tidak akan berubah pikiran, tidak akan terpengaruh oleh apa dan siapapun, karena sangat yakin bahwa ada kejahatan besar dalam skandal Bank Century, dan oleh karena itu demi kepentingan bangsa dan Negara akan membongkarnya sampai tuntas, terbukti hanya bohong belaka. Semuanya ada udang di balik batu. Pansus Bank Century, dan lain-lain hanyalah prasasaran untuk mencapai tujuan politik kelompoknya. Setelah terbentuk Sekretariat Bersama Gabungan Koalisi, semua tekad Golkar itu tiba-tiba tenggelam. Seolah hilang tanpa bekas. Sekian miliar rupiah yang telah digunakan membentuk Pansus dan kerjanya selama berbulan-bulan menjadi sia-sia, karena maksud dan tujuan politiknya telah tercapai. Demikian sama saja dengan SBY. Pernyataannya yang menyinggung pihak Bakrie, bahwa pemerintah akan mengusut kasus-kasus pajak di perusahaan-perusahaan besar, terbukti hanya bualan politik saja. Setelah terbentuk Sekretariat Bersama Gabungan Koalisi tersebut, tak terdengarl lagi semangatnya yang berkoar-koar memberantas kasus perpajakan di perusahan-perusahaan besar, khususnya pada Grup Bakrie. Seperti yang saya singgung di atas, polisi saja kelihatannya takut terhadap Grup Bakrie ini. Meskipun Gayus telah mengakui telah menerima uang sedikitnya Rp 65 miliar dari Grup Bakrie, polisi dengan alasan “sangat hati-hati” belum juga terdengar melakukan pengusutan yang serius.

Saya yakin kasus ini cepat atau lambat akan tenggelam di polisi, seperti halnya kasus Bank Century tenggelam di DPR. Kalau hal-hal tersebut di atas adalah benar semua, maka rasanya sebutan koalisi di sini kurang tepat, barangkali lebih tepat digunakan istilah “Sekretariat Bersama Gabungan Konspirasi” Menyinggung sedikit lagi tentang Gayus Tambunan yang bermuara ke Grup Bakrie ini. Fenomena seperti ini seolah menjadi bumerang bagi Bakrie. Pihaknya lah sebagai pelopor dan motor utama mengungkap kasus skandal Bank Century, sampai merembet ke mana-mana. Sampai juga mengena Susno Duadji, yang mengungkapkan peran Gayus Tambunan sebagai makelar kasus pajak. Dari Gayus ini kemudian keluarlah pengakuan menerima uang haram tersebut dari Grup Bakrie juga. Senjata makan tuan? Tapi tuan yang sangat sakti, jadi senjata itu akan dengan mudah ditepisnya?

Sumber : Diskusi Kompasiana/facebook (c) Daniel H.T.

Tidak ada komentar: