"Namanya juga akar, tak mungkin satu, pasti banyak dan berkelindan, bila hilang atau dipotong satu, akan tumbuh juga ... kok" (Celotehan seorang teman di sebuah lepau kala minum Cappucino sehabis sholat Isya, pada suatu malam)
 "Menyelesaikan masalah korupsi dan radikalisme, mudah sekali, cari akar masalahnya, maka akan selesai !!", setidaknya demikian yang sering saya dengar dalam berbagai dialog di media televisi. Berbagai persoalannya rasanya "terselesaikan" dengan formula "Akar Masalah". Bila dahulu - ketika saya masih kecil - sering juga terdengar, sesuatu yang jelek-busuk-tak berfungsi, lebih baik dipotong atau dibuang, habis perkara !. Resep sederhana ... akar masalah dan buang, habis perkara. Bila Jonstein Gardner mampu memudahkan "dunia Filsafat" yang demikian rumit dalam novel fiksi-nya Dunia Sophie atau Johannes Surya yang "men-simple-kan Fisika sehingga mengasyikkan", maka ini banyak pengamat-pengamat kita belakangan ini "memudahkan" semua hal.
"Menyelesaikan masalah korupsi dan radikalisme, mudah sekali, cari akar masalahnya, maka akan selesai !!", setidaknya demikian yang sering saya dengar dalam berbagai dialog di media televisi. Berbagai persoalannya rasanya "terselesaikan" dengan formula "Akar Masalah". Bila dahulu - ketika saya masih kecil - sering juga terdengar, sesuatu yang jelek-busuk-tak berfungsi, lebih baik dipotong atau dibuang, habis perkara !. Resep sederhana ... akar masalah dan buang, habis perkara. Bila Jonstein Gardner mampu memudahkan "dunia Filsafat" yang demikian rumit dalam novel fiksi-nya Dunia Sophie atau Johannes Surya yang "men-simple-kan Fisika sehingga mengasyikkan", maka ini banyak pengamat-pengamat kita belakangan ini "memudahkan" semua hal.Rasanya, celotehan teman saya diatas menjadi "matching". Teringat saya kala sekolah dahulu. Guru biologi saya mengatakan bila menebang akar pohon akan mematikan  seluruh pohon itu. Dalam birokrasi pemerintahan Indonesia, sulit  mengandaikan bahwa pemerintahan akan efektif kalau korupsi dikikis habis  dengan cara apa pun. Dapat dibayangkan bahwa kalau korupsi diberantas  dengan tangan besi dalam waktu singkat, birokrasi akan kehilangan  demikian banyak pegawai, di samping hilang juga sistem insentif yang  selama bertahun-tahun dimungkinkan oleh korupsi. Akibatnya, seluruh  birokrasi mungkin akan macet total, baik karena kekurangan tenaga maupun  karena ketiadaan sistem insentif alternatif. Argumentasi ini bukan  bermaksud membenarkan korupsi, melainkan ingin memperlihatkan bahwa  sukar sekali menentukan suatu keadaan sebagai akar masalah sosial,  karena kalau akar itu dicabut, mungkin tumbuh pohon baru yang lain sama  sekali wujudnya.
 Demikian juga dengan radikalisme. Radikalisme - entah mengapa - selama ini  mudah  mendapat penganut, karena dengan itu muncul harapan bahwa banyak soal  akan segera teratasi kalau akar persoalan dibereskan. Kesulitannya  adalah bahwa akar itu mungkin tidak ada karena segala soal telah  jalin-menjalin, sehingga apa yang tidak menjadi akar di Jakarta dapat  menjadi akar di Ambon, Palu, Tarakan dan sebaliknya. Demikian pun, sikap militan yang  lahir dari radikalisme itu tidak memberi banyak ruang untuk pikiran  kritis, yang sering kali menimbulkan kesan reseh tetapi tidak membawa  penyelesaian cepat dan spektakuler. Hubungan antara militansi dan kritik  bersifat saling meniadakan. Orang yang kritis tidak pernah akan terlalu  militan karena dia selalu berusaha mengambil jarak terhadap soal,  bahkan terhadap perjuangannya sendiri. Sebaliknya, orang yang militan  tidak boleh terlalu kritis, dan kalau perlu sedikit dogmatis. Dia harus  yakin akan apa yang dikerjakan dan diperjuangkannya. Radikalisme antara  lain disukai karena dia mematikan sikap kritis yang meletihkan itu, di  samping memberi harapan bahwa penyelesaian tuntas dapat dicapai dengan  satu serangan kepada akar masalah. Mencari akar  persoalan dapat menimbulkan sikap totaliter. Kalau kita menganggap bahwa  akar semua persoalan sudah ditemukan, akan muncul anggapan berikutnya  bahwa kita berhak memaksa orang lain turut membereskan akar persoalan  tersebut, dan tidak memberi kemungkinan bahwa orang-orang lain  mengangggap soal lain sebagai masalah yang lebih penting untuk  ditangani. Uniknya, sikap totaliter ini sering tidak menimbulkan  rasa-bersalah, karena sekelompok orang merasa telah menemukan kebenaran  dan kemudian merasa harus menyampaikan kebenaran itu kepada orang lain,  bahkan dengan kekerasan. Dalam sosiologi berlaku peribahasa "siapa yang  hanya mempunyai palu sebagai alatnya di tangan akan mengubah semua orang  menjadi paku, dan siapa yang hanya mempunyai sapu sebagai alatnya akan  mengubah semua orang menjadi sampah".
Demikian juga dengan radikalisme. Radikalisme - entah mengapa - selama ini  mudah  mendapat penganut, karena dengan itu muncul harapan bahwa banyak soal  akan segera teratasi kalau akar persoalan dibereskan. Kesulitannya  adalah bahwa akar itu mungkin tidak ada karena segala soal telah  jalin-menjalin, sehingga apa yang tidak menjadi akar di Jakarta dapat  menjadi akar di Ambon, Palu, Tarakan dan sebaliknya. Demikian pun, sikap militan yang  lahir dari radikalisme itu tidak memberi banyak ruang untuk pikiran  kritis, yang sering kali menimbulkan kesan reseh tetapi tidak membawa  penyelesaian cepat dan spektakuler. Hubungan antara militansi dan kritik  bersifat saling meniadakan. Orang yang kritis tidak pernah akan terlalu  militan karena dia selalu berusaha mengambil jarak terhadap soal,  bahkan terhadap perjuangannya sendiri. Sebaliknya, orang yang militan  tidak boleh terlalu kritis, dan kalau perlu sedikit dogmatis. Dia harus  yakin akan apa yang dikerjakan dan diperjuangkannya. Radikalisme antara  lain disukai karena dia mematikan sikap kritis yang meletihkan itu, di  samping memberi harapan bahwa penyelesaian tuntas dapat dicapai dengan  satu serangan kepada akar masalah. Mencari akar  persoalan dapat menimbulkan sikap totaliter. Kalau kita menganggap bahwa  akar semua persoalan sudah ditemukan, akan muncul anggapan berikutnya  bahwa kita berhak memaksa orang lain turut membereskan akar persoalan  tersebut, dan tidak memberi kemungkinan bahwa orang-orang lain  mengangggap soal lain sebagai masalah yang lebih penting untuk  ditangani. Uniknya, sikap totaliter ini sering tidak menimbulkan  rasa-bersalah, karena sekelompok orang merasa telah menemukan kebenaran  dan kemudian merasa harus menyampaikan kebenaran itu kepada orang lain,  bahkan dengan kekerasan. Dalam sosiologi berlaku peribahasa "siapa yang  hanya mempunyai palu sebagai alatnya di tangan akan mengubah semua orang  menjadi paku, dan siapa yang hanya mempunyai sapu sebagai alatnya akan  mengubah semua orang menjadi sampah".Analogi tersebut  melukiskan betapa berbahayanya mengklaim menemukan akar persoalan,  karena apa yang menjadi akar pada dasarnya adalah apa yang dianggap  sebagai akar masalah. Pemilihan dan penetapan anggapan ini memang  didasarkan pada sejumlah pengetahuan. Tetapi apa jadinya kalau  pengetahuan tersebut keliru, sementara kita telah mengorbankan demikian  banyak orang?  Sukarno menganggap akar masalah adalah bahwa  bangsa ini tidak cukup revolusioner, dan akibatnya ekonomi berantakan  tidak keruan. Soeharto menganggap akar masalah adalah ketidakstabilan  politik dan pertumbuhan ekonomi yang rendah, dan akibatnya adalah  hak-hak demokratis menjadi porak-poranda. Habibie menganggap akar  masalah adalah keterbelakangan teknologi, dan akibatnya adalah  pemborosan yang fantastis dengan proyek pesawat terbang yang ternyata  sulit dijual. Gus Dur mungkin berpendapat akar masalah adalah  disintegrasi, dan kenyataannya kerusuhan di berbagai wilayah tetap berlanjut dan  Jakarta mengalami berbagai ledakan bom. Kalau kita sekarang menganggap  akar masalah adalah politik, sangat mungkin kita tidak akan pernah dapat  mengatasi krisis ekonomi yang berkepanjangan ini. Sebaliknya, kalau  kita menganggap akar masalah adalah ekonomi (dan politik harus mengalami  moratorium), maka jebakan kepada developmentalisme ala Orde Baru  kembali disiapkan dengan sebaik-baiknya. Wallahu 'alam !
:: Inspired ... I. Kleden (2008) dan Gus Dur (2007)
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar