Sabtu, 30 Oktober 2010

Hegemoni Wacana dan Kuasa Pengetahuan : "Dari Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Michael Foucault hingga Syekh Muhyiddin Al-Arabi

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Dimanakah posisi kita saat ini? Apakah pencari pengetahuan ataukah pemilik otoritas pengetahuan?

Penguasaan pengetahuan kadang membawa kita terjebak dalam Hegemoni Wacana dan Kuasa Pengetahuan itu sendiri. Tanpa kita sadari sedang terjebak dalam jebakan itu. Semua itu bersumber dari dialektika pemikiran yang tidak dilandasi nilai, etika, dan yang lebih penting adalah prinsip keterbukaan. Pada akhirnya ruang diskusi berubah menjadi ruang debat yang saling menghakimi, saling menjatuhkan serta saling menyalahkan. Lebih ironis lagi adalah ada yang sudah mengklaim kedaulatan Tuhan dengan bertindak sebagai hakim untuk menjatuhkan vonis SESAT dan KAFIR…!!!

"Pengetahuan adalah kuasa" diterjemahkan dari istilah paling populer itu .. knowledge is power (Francis Bacon). Siapa yang memiliki pengetahuan, maka ia memiliki kuasa. Dari itu, manusia berusaha untuk mendapatkan pengetahuan, karena dengannya ia akan dapat meraih kuasa. Sementara mereka yang berkuasa pula akan menghalangi pesaingnya untuk memiliki pengetahuan. Karena pengetahuan telah menjelma sebagai Ilmu dan Seni mempengaruhi orang. Bagi pihak yang menghalang sesuatu pengetahuan untuk diketahui umum, alasannya antara ialah untuk memelihara ketenteraman. Ini karena ada kalanya pengetahuan itu mendatangkan bahaya. Akhirnya apa yang dikatakan baik atau buruk adalah penilaian subjektif. Dalam hal ini knowledge is power, berkaitlah pula dengan ignorance is bliss. Maknanya ialah kejahatan itu ketenteraman. Dengan tidak mengetahui sesuatu perkara, mungkin ia lebih mendatangkan ketenteraman. Sehingga kritik dan protes bisa dieliminir dari pihak-pihak yang berbeda pandangan (oposisi).

“Keangkuhan”, “merasa paling benar”, dan “klaim universalitas”, adalah kata-kata yang pas untuk kita alamatkan kepada wacana, pendapat, dan analisis yang dipertontonkan secara refresif dalam nalar subyektif. Apa yang sering disampaikan dalam perdebatan pengetahuan dalam berbagai literatur dari wacana adalah sebuah bentuk “kolonialisme” wacana, hegemonisasi kultural, dan “pemaksaan” pendapat yang menganggap “yang lain” (otherness) sebagai “Salah dan Sesat”. Kadang kala Hegemoni Wacana dan Kuasa Pengetahuan dipertontonkan dalam wajah kebenaran umum (Mayoritas), sehingga yang sedikit (Minoritas) dianggap sebagai sempalan atau kaum tersesat. Inilah logika binarian dalam nalar atau tesis kaum Aristotelian. Sebuah wacana, penafsiran dan pengetahuan dianggap sah dan benar jika telah mampu menundukkan atau mengalahkan wacana atau penafsiran lainnya. Kadang yang sering kali terjadi adalah jika satu kalangan yang berada pada posisi tidak menguntungkan (tidak didukung oleh kecerdasan, wawasan dan penguasaan pengetahuan yang memadai) sering memindahkan objek dialektika atau serangan bukan lagi terhadap wacana yang diperdebatkan namun terhadap individual atau kepribadian (ad hominem). Persoalannya bahwa pengetahuan itu sesungguhnya objektif dan independen. Ia menjadi subjektif karena telah masuk dalam nalar ruang dan waktu (nalar sejarah). Faktanya Pengetahuan tidak dapat dinilai BENAR atau SALAH karena pertimbangan logika (penafsiran) apalagi voting (mayoritas vs minoritas). Pengetahuan akan menemukan kebenarannya berdasarkan lokalitas ruang dan waktu sehingga tidak bisa dipaksakan. Seorang Muhammad SAW. mampu membalikkan logika pengetahuan masyarakat quraisy dalam waktu cepat itu karena pendekatan komunikasi, momentum dan situasi yang memungkinkan beliau mampu melakukan hal tersebut. Demikian halnya seorang Galileo dan Copernicus yang mampu membalikkan kebenaran mayoritas versi gereja dan menjadi pandangan baru meskipun butuh waktu yang lama untuk diterima sebagai sebuah kebenaran baru.

Foucault, dalam teori kekuasaan memberi penjelasan bahwa, kekuasaan selalu terartikulasikan pada ilmu pengetahuan dan pengetahuan selalu punya efek kuasa. Penyelenggara kekuasaan, menurut Foucault, selalu memproduksi pengetahuan sebagai basis kekuasaannya. Pengetahuan bukan merupakan pengungkapan samar-samar dari relasi kuasa tetapi pengetahuan berada di dalam relasi-relasi kuasa itu sendiri. Kuasa memprodusir pengetahuan dan bukan saja karena pengetahuan berguna bagi kuasa. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa, dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Sebagai contoh cacat kuasa ilmu pengetahuan adalah ketika berabad lalu gereja yang mengatakan bahwa bumi datar, memiliki kuasa dan pengetahuan. Lantas mereka membantai orang-orang yang mengatakan bumi itu bundar seperti bola. Padahal kebenarannya? Kita bisa sampai pada pemahaman bahwa Pengetahuan selalu bersangkutan dengan kekuasaan. Pertautan yang tidak saling meniadakan, melainkan saling menguatkan. Coba kita pikirkan, berbekal pengetahuan psikologi, seseorang psikolog mempunyai kekuasaan untuk menghakimi kondisi mental orang lain. Demikian juga dengan seorang dokter. Dengan bekal pengetahuan kedokteran ia memiliki kuasa untuk memvonis status kejiwaan dan kesehatan seseorang. Begitu pula yang terjadi dengan dengan seorang ahli teologi, fiqih dan kalam. Dengan bekal pengetahuan fiqih dan kalam ia telah menjadikan dirinya sebagai hakim otoritatif untuk masalah-masalah keagamaan. Ada bagusnya jika itikad yang melandasi otoritas itu baik, namun bagaimana jika disusupi oleh sentimen dan i'tikad tidak baik?

Pembentukan wacana merupakan media perjumpaan sekaligus kontestasi antara pihak yang dominan dan pihak yang resisten. Pihak dominan membangun wacana dan memproduksi makna secara hegemonik. Wacana hegemonik tidak selalu bersifat destruktif-negatif, bisa jadi digerakkan oleh kepentingan kemaslahatan banyak orang. Jadi makna-makna tersebut tidak selalu diperuntukkan bagi kepentingan pihak dominan. Setiap kelompok berkontestasi mendaulat dirinya menjadi pemilik otoritas untuk menafsirkan, mendefinisikan, dan menyisipkan makna. Ironisnya, seringkali produksi makna terkait dengan kepentingan kelompok yang beroperasi di baliknya. Atas dasar itu, makna adalah hasil produksi yang dikontestasikan. Subjektivitas “bermain” dalam proses konstruksinya. Dalam rekonstruksi wacana yang hegemonik dengan kuasa pengetahuannya sering melahirkan tragedi-tragedi besar. Misalnya eksekusi Socrates oleh penguasa Athena. Juga eksekusi Galileo oleh pihak gereja karena pemahamannya yang berbeda dengan otoritas gereja. Demikian halnya eksekusi Syaikh Manshur al Hallaj serta Syaikh Siti Jenar dalam pergolakan pemikiran Islam oleh pihak penguasa.

Hegemoni wacana dan kuasa pengetahuan mulai dipraktekan dalam tradisi islam ketika terjadi benturan pemikiran antara kelompok Mu’tazillah (mutakallimun) dengan kalangan asy’arian terkait penafsiran teologi Islam. Puncak dari benturan pemikiran ini adalah dialektika pemikiran antara dua tokoh utama berbeda jaman yakni Imam Al-Ghazali yang menyerang kalangan filosof muslim dengan buku Tahafut Al-Falasifah (Kerancuan para Filosof) dan kemudian dibalas dengan buku Tahafut Al Tahafut (Kerancuan didalam Kerancuan) oleh Ibnu Rushd. Oleh para pengikut Al-Ghazali (kelompok mayoritas yang didukung pihak penguasa), Ibnu Rushd malah dicap sesat, dimaki, dituduh dan difitnah dengan berbagai dakwaan. Oleh orang-orang ini Ibnu Rushd dituduh sebagai pengacau keimanan dengan menyebarkan ilmu-ilmu Yunani. Rakyat Cordoba yang termakan fitnah kelompok ini mengejek dan menghina Ibnu Rushd dengan berbagai kalimat buruk dan tuduhan yang tidak berdasar.

Pernah satu kali, ketika Ibnu Rushd melaksanakan shalat Ashar bersama sahabatnya, dia diejek dan diusir dari masjid Cordoba. Masyarakat membakar karya-karyanya. Dan pada puncaknya, Khalifah al-Mansur yang menjadi penguasa di Cordoba waktu itu, sepakat dengan tuduhan masyarakat ini dan kemudian menghukum Ibnu Rushd. Sebagai hukuman atas “kesalahannya” Khalifah al-Mansur memerintahkan Ibnu Rushd untuk dibuang ke perkampungan Yahudi “Lucena”. Memang setahun setelah hukuman itu dikeluarkan, para ulama mengadakan protes agar Ibnu Rushd dibebaskan karena diantara kalangan ulama itu banyak yang meyakini kalau Ibnu Rushd tidak bersalah. Tekanan dari ulama yang pro Ibnu Rushd tersebut membuat Khalifah al-Mansur mengeluarkan surat pengampunan terhadap Ibnu Rushd. Klimaks dari pertarungan ini memang menggusur peran para pengikut Ibnu Rushd dari perkembangan Ilmu Pengetahuan peradaban Islam dalam periode waktu berikutnya. Namun efeknya sungguh dahsyat. Pelarian intelektual muslim akibat intimidasi penguasa Islam ke negeri-negeri eropa seperti Italia dan Francis melahirkan masa pencerahan (enlighment) atau yang kita kenal sebagai Renaisance Eropa sebagai tonggak awal berkembangnya peradaban Eropa. sebaliknya terjadi kemunduran dalam peradaban Islam. Hegemoni wacana dan kuasa pengetahuan makin menemukan maknanya di era pemikiran modern ketika rezim NAZI dibawah tangan Joseph Gobels menggunakan wacana dan pengetahuan sebagai alat “propaganda” dan “Agitasi”. Dan untuk pertama kalinya Hegemoni Wacana dan Kuasa Pengetahuan benar-benar dipraktekan dalam perang modern dengan metode yang sistematis dan terstruktur. So, haruskah kita terjebak dalam kasus-kasus seperti diatas?

Terakhir beta ingin sampaikan kisah tentang Syaikh Agung Muhyiddin Ibnu Arabi. Ja'far ibnu Yahya dari Lisabon memutuskan menjumpai Guru Agung Sufi untuk belajar pengetahuan. Ia-pun melakukan perjalanan dari Mekkah sebagaimana pemuda lainnya. Di sana ia bertemu dengan orang asing misterius, seorang laki-laki mengenakan jubah hijau, yang berkata kepadanya sebelum ia berbicara apa pun: "Engkau mencari Syeikh Agung, Guru yang sangat masyhur. Tetapi engkau mencarinya di Timur ketika ia berada di Barat. Dan ada sesuatu hal yang tidak benar dalam pencarianmu." Ia mengirim Ja'far kembali ke Andalusia, untuk menjumpai seseorang bernama Muhyiddin ibnu al-Arabi dari suku Hatim-Tai. "Dia itulah Guru Agung". Tanpa mengatakan kepada siapa pun mengapa ia mencarinya, Ja'far menemukan keluarga Tai di Murcia dan bertanya kepada putranya. Ja'far tahu bahwa sesungguhnya ia (Guru Agung) berada di Lisabon ketika dirinya berangkat pergi. Akhirnya ia menemukannya di Seville. "Di sana," ujar seorang pendeta, "Itulah Muhyiddin." Ia menunjuk kepada seorang pelajar muda, membawa sebuah kitab mengenai Tradisi (Hadis), tampak tergesa-gesa keluar dari ruang kuliah. Ja'far sangat bingung, tetapi dihentikannya pemuda tersebut dan bertanya, "Siapakah Guru Agung?" "Aku membutuhkan waktu untuk menjawab pertanyaan itu," jawabnya. "Apakah engkau Muhyiddin ibnu al-Arabi dari suku Tai?" tanya Ja'far sedikit meremehkan. "Benar.""Jika demikian aku tidak membutuhkanmu." Tiga puluh tahun kemudian di Aleppo, ia melihat Ja'far memasuki ruang kuliah Syeikh Agung, Muhyiddin ibnu al-Arabi dari suku Tai. Muhyiddin melihatnya ketika masuk, dan berkata: "Sekarang aku siap menjawab pertanyaanmu dulu, sebenarnya tidak perlu ada pertanyaan itu. Tigapuluh tahun lalu Ja'far, engkau tidak membutuhkan aku. Apakah engkau masih tidak membutuhkan diriku? Orang Berjubah Hijau mengatakan ada sesuatu yang salah dalam pencarianmu. Yaitu WAKTU dan TEMPAT." Ja'far ibnu Yahya lantas menjadi salah seorang murid al-Arabi yang terkemuka.

:: dari diskusi facebook (c) A. Mony. Foto (Muhyiddin Al-Arabi/google.com). Referensi tambahan, Ira M. Lapidus (1999) dan Marshal G. Hodgson (1996)

Tidak ada komentar: