Rabu, 20 Oktober 2010

In the Age of Divorce

Oleh : Muhammad Ilham

Gunnar Myrdal dalam bukunya Asian Drama : An Inquiry into the Poverty of Nations mensyinyalir bahwa kebangkitan ekonomi di benua Asia berkorelasi dengan memburuknya eksistensi institusi keluarga. Ini berbeda dengan beberapa penelitian dengan kasus Indonesia, diantaranya Sukrisno Hadi (2000), Sylvia Astuti (2001) dan Sylvia Chen (2005) - yang menyimpulkan bahwa ada korelasi signifikan antara pertumbuhan ekonomi dengan tingkat perkawinan. Tingkat perekonomian semakin membaik, maka jumlah perkawinan akan semakin meningkat secara signifikan. Sebaliknya, dalam suasana ekonomi mandeg, jumlah perceraian justru menjadi tinggi. Dalam masyarakat yang "maju", sebagaimana yang disinyalir Myrdal, ekonomi membaik, ternyata situasi perkawinan bukan membaik, malahan memburuk. Di negara-negara maju (dan gejalanya sudah mulai terasa di Indonesia) perceraian - sebagaimana halnya perkawinan dan ulang tahun - telah menjadi industri atau bussines. Cerai dan embel-embelnya telah tumbuh berkembang menjadi industri bagi para lawyer, travel agent, percetakan kartu undangan, wartawan infotainment (khusus bagi untuk selebritis). Cerai yang dahulu dianggap sebagai sesuatu yang tabu dan menjadi parameter status sosial seseorang, kini telah menjadi biasa. Bagi kalangan selebritis, perceraian berkorelasi dengan tingkat popularitas. Bahkan, perceraian yang baru "isu" bisa menjadi berita populer dan selebritis yang diisukan itu menjadi kerap tampil di media massa. "Cerita ranjang" yang seharusnya tidak dipublikasikan, justru dengan bangga dan bahagia diceritakan dan menjadi santapan publik.

Dalam tradisi ilmu sosiologi (khususnya sosiologi keluarga) belakangan ini, defenisi keluarga terpaksa "direvisi ulang". Pemahaman keluarga telah kembali kepada zaman biadab. Masyarakat, terutama di negara-negara maju, telah biasa mendapati keluarga yang "non-konvensional" seperti keluarga satu jenis (homoseksual atau lesbian), single parent, dan samen leven atawa kumpul kebo. Bahkan di Indonesia, beberapa selebritis memproklamirkan diri mereka sebagai pengikut Samen Leven dan dengan bangga memperkenalkan anak-anak hasil samen leven mereka. Ada pula selebritis yang tidak percaya sama sekali dengan institusi keluarga, membiarkan perutnya "buncit" tanpa diketahui siapa pemegang "hak paten"nya dan ketika ditanya "Why", maka mereka akan menjawab, "Saya aja tak ambil pusing dengan siapa ayah bayi yang saya kandung, mengapa kalian banyak yang usil". Enteng, tanpa beban. Dan ini hampir setiap hari ditonton oleh masyarakat. Krisis ekonomi adalah lahan utama bagi ahli ekonomi. Itu wajar dan sudah semestinya. Maka krisis keluarga ini harus menjadi lahan utama tokoh agama. Kesadaran semua tokoh dan pemimpin ummat beragama untuk reformasi agama (tentunya : berdasarkan tekstual dalam konteks perubahan sosial) akan dapat menjadi drug of choice (obat manjur) untuk melindungi anak cucu kita dari penderitaan "krisis keluarga" dalam membina keluarga in the age of divorce (tahun mewabahnya perceraian).

Tidak ada komentar: