Dua orang wanita Minangkabau pada masa rezim Sukarno yang berani menentang "kemapanan" putra sang-Fajar ini. Pertama Rohana Kudus dan yang kedua Rahmah el-Yunusiyah.

Tidak banyak generasi masa kini yang kenal siapa Rahmah el Yunusiyah. Namun, jika membayangkan seberapa jauh gema kekuatannya, bisa dibayangkan ia bukan perempuan sembarangan. Perempuan yang lahir di Padang Panjang, 20 Desember 1900 dari pasangan ulama Minangkabau Muhammad Yunus bin Imanuddin dan Rafiah ini adalah perintis sekolah pesantren putri Diniyyah Putri di Padang Panjang, Sumatra Barat pada 1920. Inilah pesantren putri yang menjadi cikal bakal pendidikan Islam modern di awal abad 19. Dengan konsep pendidikan berasrama, Rahmah mendidik murid-murid perempuannya pendidikan umum dan agama. Tidak kurang 20 ribu alumni telah dihasilkan pondok pesantren ini. Muridnya pun merentang dari berbagai kalangan dan bangsa. Rasuna Said, salah seorang pahlawan nasional dan penggerak kaum perempuan, adalah salah satunya. Tokoh-tokoh besar lain yang pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren ini adalah Datin Aisyah Gani, bekas menteri di masa pemerintahan perdana menteri Malaysia, Mahathir Mohammad. Nama besar pesantren ini membuat banyak murid dari negara tetangga ikut menimba ilmu di sini. Selain Malaysia, murid-murid lainnya juga berasal dari Brunei dan Singapura.

Sejak kecil Rahmah memang dikenal keras hati dan berpikiran maju. Jika ada yang tidak disukainya, dengan berani ia mengatakan tidak. Ketika merintis sekolah ini di awal usia 20-an, Rahmah tidak segan-segan berjualan kue untuk menambah biaya pendirian sekolah. Seraya membangun sekolah, ia terus bergerak menentang kolonial Belanda di Sumatra Barat. Tidak heran jika petinggi Belanda di Padang Panjang dan Bukittinggi sangat membenci Rahmah. Ia bahkan pernah dijadikan tahanan rumah oleh komandan tentara Belanda karena aktif menggerakkan para pemuda Sumatra Barat. Ketika konfrontasi dengan Malaysia, murid-murid Rahmah yang bersuamikan para pejabat Malaysia ikut berperan mendinginkan panasnya api konfrontasi. Ketika Gubernur pertama Sumatra Barat, Harun Zein, berkunjung ke Malaysia dalam rangkaian diplomasi perdananya, nama Rahmah disebut-sebut dalam berbagai pertemuan. Karena terpesona oleh pola pendidikan yang diterapkan Rahmah pula, Rektor Al Azhar Syekh Abdurrahman Taj, yang berkunjung ke Diniyyah Putri pada 1961, kemudian terinspirasi untuk membangun Fakultas Khusus Perempuan di Mesir. Sikap keras Rahmah itu bertahan hingga masa tuanya. Ia tidak pernah mau berkompromi dengan pemerintah pusat, jika itu dinilainya menzalimi masyarakat daerah. Sebagaimana ulama-ulama teguh pendirian lainnya di masa perjuangan, Rahmah memilih berseberangan dengan pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar