Jumat, 29 Juni 2012

Mewawancarai “kembali” Bung Hatta


Ditulis ulang : Muhammad Ilham
(dari Majalah Tempo, 26 April 1975 cc. serbasejarah.wordpress.com) 

BATAVIA, 1919. Sabtu sore. Dari rumahnya di Tanah Abang ia bersepeda ke gang Kwini. Pakaiannya selalu rapih, bersih. Dan selalu lima menit sebelum waktu yang dijanjikan ia sudah berdiri depan sahabatnya di asrama STOVIA (School tit Opleiding voor Indische Artsen) Gedung Kebangkitan Nasional jalan Abdurrahman Saleh 26 Jakarta sekarang. Tak jarang keduanya lalu ke Pasar Baru, makan nasi goreng, sate ayam atau nonton film. Lebih sering, acara malam Minggu itu mereka isi dengan diskusi tentang keadilan sosial, sistem kapitalisme, pikiran-pikiran sosialis Jerman Ferdinand Lasalle, dan agama. Pemuda belasan tahun asal Bukittinggi itu semula bernama ‘Attar (minyak wangi). Barangkali haji Muhammad Djamil berharap, kelak puteranya yang lahir 12 Agustus 1902 itu pun mengharum namanya sebagai orang besar. Sehari-hari ia dipanggil sebagai Atta. Ditambah Muhammad yang juga melekat pada nama sang ayah, jadilah kemudian: Muhammad Hatta. Setengah abad kemudian, sejawatnya bersepeda itu menulis dengan bahasa puitis: Wajahnya yang ketat, yang tidak lekas mengundang seseorang untuk mendekatinya, hanya sekali-sekali dilembutkan oleh senyuman yang menarik….. 


Jakarta, 1975. Jalan Diponegoro bising oleh kendaraan. Seperti jalan besar lain di Ibukota. Tapi rumah besar bernomor 57 itu tampak tenang. Di sana tinggal orang tua itu: intelektuil, pejuang, salah seorang proklamator, bekas Wakil Presiden, bapak Republik. Rumah bercat putih itu biasa saja. Tanpa pengawal.  

TEMPO: Kami yang muda uda ini agak sukar juga memanggil Bung Hatta. Dengan ‘bung’ atau ‘bapak’?  

Hatta: Terserah. Di antara kawan-kawan lama memakai ‘bung’saja. 

T: Apa ‘bung’ lebih demokratis ‘ 

Hatta: Ya. 

T: Dari tulisan para pemuda Jong Soematranen Bond awal abad 20, banyak ungkapan pertentangan generasi. Anak-anak muda mengecam adat generasi lama dan sebaliknya. Apakah itu hanya terdapat di kalangan Jong Soematra saja? 

Hatta: Pertentangan melawan adat konservatif ada di mana-mana. Yang sana ketahui di Jong Soematra. Itu selalu ada, tak perlu dikecam. Biarkan saja. 

T: Waktu itu siapa teladan anak-anak muda? 

Hatta: Tak ada, Mereka jalan sendiri, 

T: Bagaimana dengan generasi sekarang? 
Hatta: Sekarang leih jauh. Yang perlu dikecam misalnya kontes-kontes kecantikan dan yang semacam itu: manusia diperlombakan seperti ternak, seperti yang pernah ditulis Prof: Prijono dulu.
T: Tahun berapa Bung Hatta ketemu Bung Karno pertama kali?
Hatta: 1932, di Bandung
T: Bagaimana kesan pertama?

Hatta: Biasa saja. Saya sudah membaca pidato pembelaannya sewaktu saya masih di negeri Belanda, Saya juga sudah berkorespondensi dengannya. Misalnya saya sarankan agar lebih memperhatikan organisasi, bukan hanya agitasi saja. Surat itu masih tersimpan di Arsip Kolonial negeri Belanda. 

Fisiknya memang sudah udzur. Tapi ingatannya masih segar bugar. Idealisme dan semangatnya tak kunjung menurun. Sikapnya selalu prinsipiil. Sejak muda suka berolah raga, terutama sepak bola dan pernah belajar pencak silat. Sampai sekarang pun tak jarang Hatta menyempatkan diri nonton pertandingan sepak bola. Dalam usia lebih setengah abal sekarang, sehari dua kali ia berlatih Orhiba (olah raga hidup baru). Dan Minggu jam enam pagi orang sering melihat Bung Hatta jalan kaki di lapangan parkir timur Senayan. Waktu-waktu terluang di penjara kolonial dulu, ia suka mengajukan cerdas-tangkas pengasah otak di kalangan rekan-rekan seperjuangannya. Dan ia kutu buku. Pindah dari penjara ke penjara, dari kota satu ke kota lain, harta benda utamanya belasan kopor buku. Kecerdasannya tampak ketika sebagai ketua Perhimpoenan Indonesia (1926) ia mengucapkan pidato Economische Wereldbouw en Machtstegenstellingen yang mengupas pertentangan kulit putih (penjajah) versus kulit berwarna (terjajah). Pada usia 25 tahun ia bicara tentang Indonesie et son probleme de Independence (tentang eksploitasl kapital asing terhadap Indonesia) delan forum Kongres Liga anti Imperialis (Desember 1927, Brussels), yang tahun sebelumnya diselenggarakan di Bierville, Perancis. Ia juga hadir dalam Kongres Wanita Internasional di Gland, Swiss. Pada Kongres Liga di Frankfurt (Juli 1929), sidang bertepuk-tangan beberapa menit. Hatta berpidato dalam tiga bahasa: Inggeris. Perancis, Jerman …..


T: Tidakkah disadari sejak tahun-tahun pertama pergerakan nasional adanya perbedaan konsepsi mengenai Indonesia Merdeka’?

Hatta: Untuk mencapai ‘Indonesia Merdeka’ memang ada perbedaan antara penganjur kerja sama dengan Belanda dengan golongan non-koperasi’. Yang pertama, misalnya Hadi dan Susanti, menghendaki kerja sama dengan Belanda dulu sampai kita mendapatkan status dominion, baru kemudian melepaskan diri. Saya menolak itu.

T: Bagaimana konsepsi tentang Indonesia setelah Merdeka’?

Hatta: Perhimpoenan Indonesia sudal punya kinsepsi. Yakni ekonominya berdasarkan koperasi dan sistem politiknya demokrasi.

T: Bagaimana dengan konsepsi Marxisme dan Pancasila?

Hatta: Tak ada hubungan antara Marxisme dan Pancasila. Waktu persiapan kemerdekaan dulu ketika menyiapkan UUD, Dr. Radjiman bertanya negara yang akan kita dirikan ini dasarnya apa? Pada 1 Juni 1945 Bung Karno yang menjawab dan itulah Pancasila. Belakangan ini saya diminta ikut merumuskan penafsiran Pancasila. hasil panitia sudah diserahkan kepada Jenderal Surono, ketua Angkatan ’45.

T: Sejauh mana itu nanti menjadi penafsiran resmi? Bagaimana kalau ada orang lain yang berbeda pendapat?

Hatta: Itu terserah pemerintah.

T: Bagaimana tentang kritik terhadap Maklumat Wakil Presiden No.X tahun 1945 yang dianggap menyimpang dari UUD ’45 ?

Hatta: Sudah baca maklumat ini atau belum ? Mana isi Maklumat yang menunjukkan menyimpang dari UUD ’45:’ Dapatkah saudara perkirakan bahwa saya yang seumur hidup menentang libralisme yang mencelakakan kehidupan rakyat jelata dan saya yang ikut memmbuat UUD ’45 – saya lagi yang menyelewengkannya ?

T: Apa sebenarnya alasan yang mendorong keluarnya Maklumat itu? 

Hatta: Perlu saya peringatkan satu hal yang harus diketahui dan sebenarnya dianggap sudah diketahui. Perang dunia II adalah perang antara Demokrasi dam Facisme (facisme Jerman Italia, Jepang) disertai kemudian oleh Soviet Uni pada pihak Demokrasi. Apalagi, kemudian dibentuk Partai Persatuan atas anjuran Bung Karno pada sidang pertama Komite Nasional Pusat 29 Agustus 1945 dengan nama Partai Nasional Indonesia Rata-rata Partai Persatuan itu ditentang dan dianggap mirip dengan Facisme sebagai tidak sesuai dengan Demokrasi. Dikuatirkan negara-negara Sekutu turun-tangan dan membantu Belanda kembali ke Indonesia dengan segala perlengkapannya. Kemudian berhubung Kabinet akan mengadakan pemilihan umum secara sederhana bulan Januari 1946, keluarkan suara dalam masyarakat dan dalam Komite Nasional Pusat, supaya partai-partai boleh didirikan kembali dengan syarat tertentu supaya dapat melaksanakan UUD ’45 pasal 1 ayat 2. Inilah yang menjadi alasan keluarnya Maklumat Wakil Presiden 3 Nopember 1945 yang membolehkan berdirinya partai-partai dengan syarat yang tertentu 

T: Apa syarat itu? 

Hatta: Maklumat itu menyatakan bahwa partai gunanya memimpin aliran faham dalam masarakat ke jalan yang teratur. Ada pula restriksi, partai-partai hendaknya memperkuat perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan. Dalam rangka UUD ’45 di masa itu di bawah pimpinan Presiden dan wakil Presiden tak ada kemungkinan menyeleweng ke arah liberalisme. Penyelewengan baru terjadi dalam rangka Konstitusi 1950 yang berdasar demokrasi parlementer di mana Presiden dan Wakil Presiden menjadi Kepala Negara yang tak mempunyai tanggung jawab polik.

T: Bagaimana pendapat Bung Karno ?

Hatta: Antara Bung Karno dan saya ada permufakatan untuk melancarkan ancamannya pemerintahan. Bila seorang di antara kami tak ada di Ibukota, yang di Jakarta mengurus segala-galanya yang urgen dan akan disetujui oleh yang keluar kota. Di masa ini Bung Karno memang banyak sekali ke luar kota. Itulah sebabnya saya mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden No. X dan Maklumat 3 Nopember 1945, keduanya disetujui Bung Karno setelah ia kembali ke Ibukota. Baru kemudian setelah liwat 12 tahun, setelah menjadi penganjur Nasakom, Bung Karno mengatakan tidak bertangung jawab terhadap Maklumat Wakil Presiden 3 Nopember 1945. Waktu saya di Sumatera (ketika itu meleus Clash I dan saya tertahan kira-kira tujuh bulan) saya tidak campur tangan dalam perundingan di bawah Komisi Tiga Negara. Tapi tentang akibatnya yang tak baik bagi Republik, saya mengaku ikut bertanggung jawab. Akibat dari Maklumat Wakil Presiden 3 Nopember 1945 ini terlalu dibesar-besarkan seolah-olah lalu banyak timbul partai-partai politik yang menjurus ke liberalisme. Waktu itu partai-partai yang sudah ada dan baru muncul berdasarkan Maklumat tersebut tak lebih dari enam: Masjumi, PNI, PSI, Parkindo, Partai Katolik dan Partai Murbanya Tan Malaka. Awal tahun 60-an, apalagi setelah Manipol dicanangkan (Juli 1959), tak sedikit guru-guru sejarah bicara depan kelas bahwa Maklumat itu adalah biang keladi berkecamuknya “setan liberalisme”. Baru sekarang–15 tahun kemudian – Bung Hatta menjelaskannya.

T: Jadi adakah bukti-bukti penyelewengan itu?

Hatta: Tunjukkanlah dengan bukti bahwa di masa in, selama Dwitunggal memimpin negara, ada partai atau partai-partai yang menyelewengkan politik negara ke arah aliran liberalistik. Sebagai bukti dapat saya katakan bahwa di masa RI pertama itu tidak ada aliran yang menyeleweng ke sana. Aliran menyeleweng ke liberalisme baru disebut dan diulang-ulang setelah Bung Karno mengatakan tak bertanggung jawab terhadap Maklumat tersebut. Di masa Republik pertama itu, Dwitunggal tetap utuh, tiada keretakan sedikit pun sampai pemulihan kedaulatan. Keretakan Dwitunggal baru bermula waktu kita kembali menjadi Negara Kesatuan di bawah UUD 1950. Dengan perubahan Kabinet Presidentiil menjadi kabinet Parlementer, di mana tampuk pimpinan tidak lagi pada Presiden dan Wakil Presiden tapi pada Kabinet, Dwitunggal menjadi Dwitanggal. di masa itulah jumlah partai menjadi banyak. Terutama karena perpecahan di kalangan partai masing-masing.

T: Angkatan 20-an yang memperjoangkan kemerdekaan terdiri dari cendekiawan yang berfikiran konsepsionil. Bagaimana dulu peranan rakyat, terutama di desa-desa, dalam gerakan nasional itu?

Hatta: Kalau dilihat dari rapat-rapat umum di masa itu saja, tampak rakyat ikut aktif dan punya keinginan merdeka. Waktu itu rapat-rapat tak perlu izin. Yang datang kebanyakan malah bukan orang-orang kota. Penduduk kota rnasih sedikit. Rakyat tahu bahwa kita sedang menuju dunia baru. Jadi mereka datang bukan karena agitasi para pemimpin politik. Desa kita kan lain dari desa di India, misalnya. Di India, lembaga kepala desa yang seperti kita tak ada. Rakyat kita memilih sendiri kepala desanya.

Tidak ada komentar: