Sabtu, 02 Juni 2012

Chairul Saleh : "Entah Dimana Ia Dicatat"

Oleh : Muhammad Ilham

Ketika Tembok Cina selesai berdiri, kemanakah para budak di (ter)sembunyikan, mengapa justru Shih Huang Ti yang direkam sejarah ? .......... ketika Piramida selesai dibangun, kemanakah para budak dihilangkan, mengapa justru Firaun yang dicatat dalam sejarah ? (Ernst Bloch)

Ada satu "event" yang paling implikatif dalam perjalanan panjang sejarah Indonesia, yaitu peristiwa Rengasdengklok. Ketika membicarakan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, maka Rengasdengklok akan selalu disinggung. Rengasdengklok seumpama "Bukik Marapalam" ketika membicarakan sejarah konflik dan asimilasi adat dan agama (Islam) di Minangkabau, seperti daerah Dien Bhin Pu ketika membahas ketokohan Ho Chi Minh di Vietnam atau seperti daerah Semanggi ketika mengupas seputar lahirnya era reformasi di Indonesia. Rengasdengklok dijadikan salah satu titik terpenting dalam merangkai narasi sejarah proklamasi Indonesia karena daerah ini menjadi tempat penculikan yang dilakukan oleh sejumlah pemuda yang dipimpin oleh Chairul Saleh dari Menteng 31 terhadap Soekarno dan Hatta. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 04.30. WIB, Soekarno dan Hatta dibawa atau lebih tepatnya diamankan ke Rengasdengklok, Karawang, untuk kemudian didesak agar mempercepat proklamasi.

Dalam catatan sejarah dijelaskan bahwa Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia rencananya akan dibacakan Bung Karno dan Bung Hatta pada hari Kamis, 16 Agustus 1945 di Rengasdengklok, di rumah Djiaw Kie Siong. Naskah teks proklamasi sudah ditulis di rumah itu. Bendera Merah Putih sudah dikibarkan para pejuang Rengasdengklok pada Rabu tanggal 15 Agustus, karena mereka tahu esok harinya Indonesia akan merdeka. Karena tidak mendapat berita dari Jakarta, maka Jusuf Kunto dikirim untuk berunding dengan pemuda-pemuda yang ada di Jakarta. Namun sesampainya di Jakarta, Kunto hanya menemui Mr. Achmad Soebardjo, kemudian Kunto dan Achmad Soebardjo ke Rangasdengklok untuk menjemput Soekarno, Hatta, Fatmawati dan Guntur. Achmad Soebardjo mengundang Bung Karno dan Hatta berangkat ke Jakarta untuk membacakan proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56. Pada tanggal 16 tengah malam rombongan tersebut sampai di Jakarta. Keesokan harinya, tepatnya tanggal 17 Agustus 1945 pernyataan proklamasi dikumandangkan dengan teks proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang diketik oleh Sayuti Melik menggunakan mesin ketik yang "dipinjam" (tepatnya sebetulnya "diambil") dari kantor Kepala Perwakilan Angkatan Laut Jerman, Mayor Laut Dr. Kandeler. Dan ..... sejarah menukilkan : Proklamasi Indonesia bersumbu pada Soekarno Hatta, Pemuda, Menteng 31 dan Rengasdengklok. Sejarah tidak "lupa" atau "melupakan diri" terhadap figur Soekarno-Hatta (walau untuk kasus Soekarno, terajadi reduksi ketokohan pada era Soeharto), demikian juga dengan daerah yang bernama Rengasdengklok dan Menteng 31. Setidaknya buku-buku sejarah yang diajarkan selalu mengekspose fakta-fakta di atas. Namun ada satu yang terkesan ambigue, yaitu Pemuda. Sejarah hanya mencatat bahwa Pemuda-lah yang memiliki kontribusi "menculik" dan memaksa Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Sejarah (terutama yang diajarkan dan "dipaksakan" oleh rezim Orde Baru) tidak berani mengelaboreasi lebih detail, siapa-siapa saja "pemimpin" pemuda dan yang menjadi inspirator "penculikan" Soekarno-Hatta. Jadi jangan heran, apabila banyak orang Indonesia yang hanya berkutat pada kesimpulan, hanya pemuda yang memiliki kontribusi tersebut tanpa memiliki kemampuan elaboratif untuk menerangkan dan memahami siapa tokoh dari kelompok sosial yang bernama "pemuda" itu. Hal ini tidak bisa dipungkiri, memang telah terjadi "peminggiran" sejarah terhadap figur-figur sentral peristiwa Rengasdengklok tersebut. Peminggiran ini terjadi secara signifikan dan massif ketika Orde Baru memegang kekuasaan politik Indonesia. Sebagai rezim yang "alergi" dengan komunisme dan sosialisme serta Soekarnoisme, maka figur-figur yang berada dalam "konsorsium" ini, sebetapapun kontributifnya mereka, maka rezim akan "meminggirkan" mereka, bahkan terkadang menghilangkan mereka dalam catatan sejarah, salah satunya Chairul Saleh. Chairul Saleh, pemuda pintar yang memimpin kawan-kawan muda lainnya menculik Soekarno dan memaksa memproklamirkan kemerdekaan RI, tidak disebut-sebut dalam catatan sejarah. Ia dilebur dalam sebuah konsep yang bernama "pemuda".


Nama lengkapnya Chairul Saleh Datuk Paduko Rajo, lahir 13 September 1916 di Sawahlunto (Sumatera Barat). Sebagai anak dokter, dia mendapatkan pendidikan terbaik, siswa sekolah dasar ELS Bukittinggi kemudian melanjutkan di HBS Medan. Menurut kesaksian BM Diah, "Di Medan, hampir setiap hari saya berpapasan dengan orang muda yang bersepeda. Pemuda itu tampan, badannya berisi dan caranya mengayuh sepeda seperti atlet terlatih. "Saya mengenal Chairul waktu saya jadi mahasiswa RHS. Pada waktu itu dia Ketua Persatuan Pemuda Pelajar Indonesia," kata Subadio Sastrosatomo sambil melanjutkan, "Kesan saya, dia selalu memonopoli semangat nasionalisme, sebab dia menilai mahasiswa yang tidak menjadi anggota PPPI bukan nasionalis. Sebagai mahasiswa RHS, jalannya, gayanya selalu menunjukan, ini lho nasionalis." Sementara SKTrimurti, tokoh wanita pejuang melukiskan, "...penilaian saya, Chairul selalu kurang ajar" (Tempo, Agustus 2007). Maklum, dia tokoh pemuda dan selalu berjiwa muda. Bahwa Chairul tokoh pemuda yang konsisten dalam kata dan tindakannya, nampak menjelang runtuhnya kekuasaan Jepang. Ia mengajak teman-temannya menentang kaum tua yang masih percaya kepada ketulusan sikap Jepang, membantu persiapan kemerdekaan Indonesia. Ia menolak ikut keanggotaan Badan Persiapan Usaha Pencarian Kemerdekaan Indonesia. Ia juga berada di balik aksi penculikan Soekarno-Hatta sehari menjelang proklamasi kemerdekaan. Sumbangan terbesar Chairul mungkin pada keberaniannya mempertahankan pendapat saat perumusan Naskah Proklamasi. Bung Karno, yang (mungkin) mengacu kepada penyusunan Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, meminta semua hadirin bertanggung jawab, karena itu mereka harus mencantumkan tanda tangan. Sebaliknya, Chairul dengan tegas menentang. Ia berpendapat, sebagian dari hadirin adalah pegawai Jepang. Bagaimana mungkin, mereka ikut menandatangani proklamasi? Apa sumbangan mereka kepada perjuangan kemerdekaan. Chairul ngotot mempertahankan pendapatnya. Ia tidak mau berkompromi. Kenekatannya saat itu dalam mempertahankan keyakinan mungkin malahan bisa menggagalkan pembacaan proklamasi. Akhirnya, Bung Karno menyerah. Naskah proklamasi, atas nama bangsa Indonesia, (hanya) ditandatangani Bung Karno dan Bung Hatta. Pada sisi lain, selaku penentang Konferensi Meja Bundar, Chairul kembali masuk hutan, begitu kedaulatan Indonesia diserahkan. Ia memimpin laskar rakyat dan berjuang melawan Republik Indonesia Serikat. Tahun 1950 Chairul ditangkap Kolonel Nasution, dipenjarakan dan kemudian dibuang ke luar negeri. Dia muncul kembali di Tanah Air, persis ketika Bung Karno sedang menata pemerintahan dengan prinsip Demokrasi Terpimpin. Kali ini, Chairul dengan sadar menjadi pendukung gigih Presiden Soekarno. Sebaliknya, Bung Karno yang saat itu sedang memperluas basis dukungan politik, memerlukan dukungan massa pemuda yang dikuasai Chairul. Bintang Chairul melesat. Diangkat jadi Menteri Veteran, lalu Menteri Perindustrian Dasar dan Pertambangan sampai akhirnya, Wakil Perdana Menteri III. Kecuali itu, jabatan politiknya melonjak, dari Ketua Angkatan 45 diangkat selaku Ketua MPRS.

Dari sekian jejaknya, masyarakat masa kini mungkin tak tahu tekad Chairul membela prinsip negara kepulauan. Konsepsinya mengenai Wawasan Nusantara, di mana batas teritorial secara sepihak ditentukan 12 mil laut (agar semua laut yang ada di antara pulau-pulau jadi wilayah teritorial) langsung diberlakukan pemerintah Indonesia tanggal 13 Desember 1957. Pemikiran Chairul ini baru bisa disahkan tahun 1982 dalam konvensi internasional tentang Hukum Laut di Montego Bay, Jamaika. "Perjuangan tersebut memakan waktu 25 tahun. Saya beruntung mendapat dorongan dari Uda Chairul Saleh. Dari tidak ada sampai tercipta dan diterimanya konsepsi Wawasan Nusantara, sekaligus diterimanya konsepsi baru kita ini," kata Prof Dr Mochtar Kusuma Atmadja mengenang keteladanan Chairul. Tapi, sejarah sering menyeret seseorang ke arah lain. Pada masa Orde Lama, massa komunis dengan gegap gempita menuding Chairul gembong kapitalis birokrat yang harus dilenyapkan. Namun, dalam masa pancaroba kebangkitan Orde Baru, dia malahan masuk tahanan karena dianggap pendukung Soekarno. Meskipun telanjur mati dalam tahanan (8 Februari 1967) dan tidak sempat diajukan ke depan sidang pengadilan, "...yang dapat saya beritahukan, Bung Chairul tidak terlibat G30S/PKI," begitu pernyataan Panglima TNI-AD Jenderal Soeharto, ketika secara pribadi mengirimkan ucapan bela sungkawa kepada istri Chairul Saleh.

Pertanyaannya kini, sebagai politikus ulung yang pasti membaca tanda-tanda zaman, mengapa dia tidak mau pindah posisi ketika fajar kebangkitan Orde Baru muncul di cakrawala? Mengapa dia tidak sebagaimana Adam Malik, rekannya sesama tokoh Murba, melakukannya? Mengapa Chairul tidak menjadi tikus-tikus yang berebut meninggalkan kapal karam, seperti kelakuan rekan-rekannya semasa regim Soekarno mulai nampak menyurut? Analisis tentang ini dengan indah dilukiskan oleh Mochtar Lubis. "...tak ubahnya seperti pahlawan Yunani kuno, melakukan apa yang mereka yakini harus mereka lakukan, karena itulah suratan hidup yang ditentukan para dewata. Mereka tahu yang menanti adalah nista dan maut. Namun, dalam tragedi yang mereka masuki dengan kesadaran, mereka mencapai kebesaran yang tidak sempat diraih semasa (mereka) masih hidup." "... di mata saya, sebagai seorang sahabat, dia tampil sebagai tokoh pahlawan tragis," kenang Mochtar Lubis (Tempo, Agustus 2007). Chairul Saleh dengan penuh kesadaran melangkah menjalani nasib yang dipilihnya, karena itulah kewajiban yang harus dilaksanakan. Inilah puncak tragedi seorang pejuang kemerdekaan yang sangat memilukan.

Referensi : Tempo, Agustus 2007/Foto : hispanically.com

Tidak ada komentar: