(dari Majalah Tempo, 26 April 1975 cc. serbasejarah.wordpress.com)
BATAVIA, 1919. Sabtu
sore. Dari rumahnya di Tanah Abang ia bersepeda ke gang Kwini.
Pakaiannya selalu rapih, bersih. Dan selalu lima menit sebelum waktu
yang dijanjikan ia sudah berdiri depan sahabatnya di asrama STOVIA (School tit Opleiding voor Indische Artsen)
Gedung Kebangkitan Nasional jalan Abdurrahman Saleh 26 Jakarta
sekarang. Tak jarang keduanya lalu ke Pasar Baru, makan nasi goreng,
sate ayam atau nonton film. Lebih sering, acara malam Minggu itu mereka
isi dengan diskusi tentang keadilan sosial, sistem kapitalisme,
pikiran-pikiran sosialis Jerman Ferdinand Lasalle, dan agama. Pemuda belasan tahun asal Bukittinggi itu
semula bernama ‘Attar (minyak wangi). Barangkali haji Muhammad Djamil
berharap, kelak puteranya yang lahir 12 Agustus 1902 itu pun mengharum
namanya sebagai orang besar. Sehari-hari ia dipanggil sebagai Atta.
Ditambah Muhammad yang juga melekat pada nama sang ayah, jadilah
kemudian: Muhammad Hatta. Setengah abad kemudian, sejawatnya bersepeda
itu menulis dengan bahasa puitis: Wajahnya yang ketat, yang tidak
lekas mengundang seseorang untuk mendekatinya, hanya sekali-sekali
dilembutkan oleh senyuman yang menarik…..
Jakarta, 1975. Jalan Diponegoro bising oleh kendaraan. Seperti jalan besar lain di Ibukota. Tapi rumah besar bernomor 57 itu tampak tenang. Di sana tinggal orang tua itu: intelektuil, pejuang, salah seorang proklamator, bekas Wakil Presiden, bapak Republik. Rumah bercat putih itu biasa saja. Tanpa pengawal.
TEMPO: Kami yang muda uda ini agak sukar juga memanggil Bung Hatta. Dengan ‘bung’ atau ‘bapak’?
Hatta: Terserah. Di antara kawan-kawan lama memakai ‘bung’saja.
T: Apa ‘bung’ lebih demokratis ‘
Hatta: Ya.
T: Dari tulisan para pemuda Jong Soematranen Bond awal abad 20, banyak ungkapan pertentangan generasi. Anak-anak muda mengecam adat generasi lama dan sebaliknya. Apakah itu hanya terdapat di kalangan Jong Soematra saja?
Hatta: Pertentangan melawan adat konservatif ada di mana-mana. Yang sana ketahui di Jong Soematra. Itu selalu ada, tak perlu dikecam. Biarkan saja.
T: Waktu itu siapa teladan anak-anak muda?
Hatta: Tak ada, Mereka jalan sendiri,
T: Bagaimana dengan generasi sekarang?
Hatta: Sekarang leih jauh. Yang perlu dikecam misalnya kontes-kontes kecantikan dan yang semacam itu: manusia diperlombakan seperti ternak, seperti yang pernah ditulis Prof: Prijono dulu.
T: Tahun berapa Bung Hatta ketemu Bung Karno pertama kali?
Hatta: 1932, di Bandung
T: Bagaimana kesan pertama?
Hatta: Biasa saja. Saya
sudah membaca pidato pembelaannya sewaktu saya masih di negeri Belanda,
Saya juga sudah berkorespondensi dengannya. Misalnya saya sarankan agar
lebih memperhatikan organisasi, bukan hanya agitasi saja. Surat itu
masih tersimpan di Arsip Kolonial negeri Belanda.
Fisiknya memang sudah udzur. Tapi ingatannya
masih segar bugar. Idealisme dan semangatnya tak kunjung menurun. Sikapnya
selalu prinsipiil. Sejak muda suka berolah raga, terutama sepak bola dan pernah
belajar pencak silat. Sampai sekarang pun tak jarang Hatta menyempatkan diri
nonton pertandingan sepak bola. Dalam usia lebih setengah abal sekarang, sehari
dua kali ia berlatih Orhiba (olah raga hidup baru). Dan Minggu jam enam pagi
orang sering melihat Bung Hatta jalan kaki di lapangan parkir timur Senayan.
Waktu-waktu terluang di penjara kolonial dulu, ia suka mengajukan
cerdas-tangkas pengasah otak di kalangan rekan-rekan seperjuangannya. Dan ia
kutu buku. Pindah dari penjara ke penjara, dari kota satu ke kota lain, harta
benda utamanya belasan kopor buku. Kecerdasannya tampak ketika sebagai ketua
Perhimpoenan Indonesia (1926) ia mengucapkan pidato Economische Wereldbouw en
Machtstegenstellingen yang mengupas pertentangan kulit putih (penjajah) versus
kulit berwarna (terjajah). Pada usia 25 tahun ia bicara tentang Indonesie et
son probleme de Independence (tentang eksploitasl kapital asing terhadap
Indonesia) delan forum Kongres Liga anti Imperialis (Desember 1927, Brussels),
yang tahun sebelumnya diselenggarakan di Bierville, Perancis. Ia juga hadir
dalam Kongres Wanita Internasional di Gland, Swiss. Pada Kongres Liga di
Frankfurt (Juli 1929), sidang bertepuk-tangan beberapa menit. Hatta berpidato
dalam tiga bahasa: Inggeris. Perancis, Jerman …..
T: Tidakkah disadari sejak tahun-tahun
pertama pergerakan nasional adanya perbedaan konsepsi mengenai Indonesia
Merdeka’?
Hatta: Untuk mencapai ‘Indonesia
Merdeka’ memang ada perbedaan antara penganjur kerja sama dengan Belanda dengan
golongan non-koperasi’. Yang pertama, misalnya Hadi dan Susanti, menghendaki kerja
sama dengan Belanda dulu sampai kita mendapatkan status dominion, baru kemudian
melepaskan diri. Saya menolak itu.
T: Bagaimana konsepsi tentang Indonesia
setelah Merdeka’?
Hatta: Perhimpoenan Indonesia
sudal punya kinsepsi. Yakni ekonominya berdasarkan koperasi dan sistem
politiknya demokrasi.
T: Bagaimana dengan konsepsi Marxisme dan
Pancasila?
Hatta: Tak ada hubungan antara
Marxisme dan Pancasila. Waktu persiapan kemerdekaan dulu ketika menyiapkan UUD,
Dr. Radjiman bertanya negara yang akan kita dirikan ini dasarnya apa? Pada 1
Juni 1945 Bung Karno yang menjawab dan itulah Pancasila. Belakangan ini saya
diminta ikut merumuskan penafsiran Pancasila. hasil panitia sudah diserahkan
kepada Jenderal Surono, ketua Angkatan ’45.
T: Sejauh mana itu nanti menjadi penafsiran
resmi? Bagaimana kalau ada orang lain yang berbeda pendapat?
Hatta: Itu terserah pemerintah.
T: Bagaimana tentang kritik terhadap Maklumat
Wakil Presiden No.X tahun 1945 yang dianggap menyimpang dari UUD ’45 ?
Hatta: Sudah baca maklumat ini atau
belum ? Mana isi Maklumat yang menunjukkan menyimpang dari UUD ’45:’ Dapatkah
saudara perkirakan bahwa saya yang seumur hidup menentang libralisme yang
mencelakakan kehidupan rakyat jelata dan saya yang ikut memmbuat UUD ’45 – saya
lagi yang menyelewengkannya ?
T: Apa sebenarnya alasan yang mendorong
keluarnya Maklumat itu?
Hatta: Perlu saya peringatkan satu hal yang harus diketahui dan sebenarnya dianggap sudah diketahui. Perang dunia II adalah perang antara Demokrasi dam Facisme (facisme Jerman Italia, Jepang) disertai kemudian oleh Soviet Uni pada pihak Demokrasi. Apalagi, kemudian dibentuk Partai Persatuan atas anjuran Bung Karno pada sidang pertama Komite Nasional Pusat 29 Agustus 1945 dengan nama Partai Nasional Indonesia Rata-rata Partai Persatuan itu ditentang dan dianggap mirip dengan Facisme sebagai tidak sesuai dengan Demokrasi. Dikuatirkan negara-negara Sekutu turun-tangan dan membantu Belanda kembali ke Indonesia dengan segala perlengkapannya. Kemudian berhubung Kabinet akan mengadakan pemilihan umum secara sederhana bulan Januari 1946, keluarkan suara dalam masyarakat dan dalam Komite Nasional Pusat, supaya partai-partai boleh didirikan kembali dengan syarat tertentu supaya dapat melaksanakan UUD ’45 pasal 1 ayat 2. Inilah yang menjadi alasan keluarnya Maklumat Wakil Presiden 3 Nopember 1945 yang membolehkan berdirinya partai-partai dengan syarat yang tertentu
T: Apa syarat itu?
Hatta: Maklumat itu menyatakan bahwa partai gunanya memimpin aliran faham dalam masarakat ke jalan yang teratur. Ada pula restriksi, partai-partai hendaknya memperkuat perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan. Dalam rangka UUD ’45 di masa itu di bawah pimpinan Presiden dan wakil Presiden tak ada kemungkinan menyeleweng ke arah liberalisme. Penyelewengan baru terjadi dalam rangka Konstitusi 1950 yang berdasar demokrasi parlementer di mana Presiden dan Wakil Presiden menjadi Kepala Negara yang tak mempunyai tanggung jawab polik.
Hatta: Perlu saya peringatkan satu hal yang harus diketahui dan sebenarnya dianggap sudah diketahui. Perang dunia II adalah perang antara Demokrasi dam Facisme (facisme Jerman Italia, Jepang) disertai kemudian oleh Soviet Uni pada pihak Demokrasi. Apalagi, kemudian dibentuk Partai Persatuan atas anjuran Bung Karno pada sidang pertama Komite Nasional Pusat 29 Agustus 1945 dengan nama Partai Nasional Indonesia Rata-rata Partai Persatuan itu ditentang dan dianggap mirip dengan Facisme sebagai tidak sesuai dengan Demokrasi. Dikuatirkan negara-negara Sekutu turun-tangan dan membantu Belanda kembali ke Indonesia dengan segala perlengkapannya. Kemudian berhubung Kabinet akan mengadakan pemilihan umum secara sederhana bulan Januari 1946, keluarkan suara dalam masyarakat dan dalam Komite Nasional Pusat, supaya partai-partai boleh didirikan kembali dengan syarat tertentu supaya dapat melaksanakan UUD ’45 pasal 1 ayat 2. Inilah yang menjadi alasan keluarnya Maklumat Wakil Presiden 3 Nopember 1945 yang membolehkan berdirinya partai-partai dengan syarat yang tertentu
T: Apa syarat itu?
Hatta: Maklumat itu menyatakan bahwa partai gunanya memimpin aliran faham dalam masarakat ke jalan yang teratur. Ada pula restriksi, partai-partai hendaknya memperkuat perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan. Dalam rangka UUD ’45 di masa itu di bawah pimpinan Presiden dan wakil Presiden tak ada kemungkinan menyeleweng ke arah liberalisme. Penyelewengan baru terjadi dalam rangka Konstitusi 1950 yang berdasar demokrasi parlementer di mana Presiden dan Wakil Presiden menjadi Kepala Negara yang tak mempunyai tanggung jawab polik.
T: Bagaimana pendapat Bung Karno ?
Hatta: Antara Bung Karno dan
saya ada permufakatan untuk melancarkan ancamannya pemerintahan. Bila seorang
di antara kami tak ada di Ibukota, yang di Jakarta mengurus segala-galanya yang
urgen dan akan disetujui oleh yang keluar kota. Di masa ini Bung Karno memang
banyak sekali ke luar kota. Itulah sebabnya saya mengeluarkan Maklumat Wakil
Presiden No. X dan Maklumat 3 Nopember 1945, keduanya disetujui Bung Karno
setelah ia kembali ke Ibukota. Baru kemudian setelah liwat 12 tahun, setelah
menjadi penganjur Nasakom, Bung Karno mengatakan tidak bertangung jawab
terhadap Maklumat Wakil Presiden 3 Nopember 1945. Waktu saya di Sumatera
(ketika itu meleus Clash I dan saya tertahan kira-kira tujuh bulan) saya tidak
campur tangan dalam perundingan di bawah Komisi Tiga Negara. Tapi tentang
akibatnya yang tak baik bagi Republik, saya mengaku ikut bertanggung jawab.
Akibat dari Maklumat Wakil Presiden 3 Nopember 1945 ini terlalu
dibesar-besarkan seolah-olah lalu banyak timbul partai-partai politik yang
menjurus ke liberalisme. Waktu itu partai-partai yang sudah ada dan baru muncul
berdasarkan Maklumat tersebut tak lebih dari enam: Masjumi, PNI, PSI, Parkindo,
Partai Katolik dan Partai Murbanya Tan Malaka. Awal tahun 60-an, apalagi
setelah Manipol dicanangkan (Juli 1959), tak sedikit guru-guru sejarah bicara depan
kelas bahwa Maklumat itu adalah biang keladi berkecamuknya “setan liberalisme”.
Baru sekarang–15 tahun kemudian – Bung Hatta menjelaskannya.
T: Jadi adakah bukti-bukti penyelewengan itu?
Hatta: Tunjukkanlah dengan bukti
bahwa di masa in, selama Dwitunggal memimpin negara, ada partai atau
partai-partai yang menyelewengkan politik negara ke arah aliran liberalistik.
Sebagai bukti dapat saya katakan bahwa di masa RI pertama itu tidak ada aliran
yang menyeleweng ke sana. Aliran menyeleweng ke liberalisme baru disebut dan
diulang-ulang setelah Bung Karno mengatakan tak bertanggung jawab terhadap
Maklumat tersebut. Di masa Republik pertama itu, Dwitunggal tetap utuh, tiada
keretakan sedikit pun sampai pemulihan kedaulatan. Keretakan Dwitunggal baru
bermula waktu kita kembali menjadi Negara Kesatuan di bawah UUD 1950. Dengan
perubahan Kabinet Presidentiil menjadi kabinet Parlementer, di mana tampuk
pimpinan tidak lagi pada Presiden dan Wakil Presiden tapi pada Kabinet,
Dwitunggal menjadi Dwitanggal. di masa itulah jumlah partai menjadi banyak.
Terutama karena perpecahan di kalangan partai masing-masing.
T: Angkatan 20-an yang memperjoangkan
kemerdekaan terdiri dari cendekiawan yang berfikiran konsepsionil. Bagaimana
dulu peranan rakyat, terutama di desa-desa, dalam gerakan nasional itu?
Hatta: Kalau dilihat dari
rapat-rapat umum di masa itu saja, tampak rakyat ikut aktif dan punya keinginan
merdeka. Waktu itu rapat-rapat tak perlu izin. Yang datang kebanyakan malah
bukan orang-orang kota. Penduduk kota rnasih sedikit. Rakyat tahu bahwa kita
sedang menuju dunia baru. Jadi mereka datang bukan karena agitasi para pemimpin
politik. Desa kita kan lain dari desa di India, misalnya. Di India, lembaga
kepala desa yang seperti kita tak ada. Rakyat kita memilih sendiri kepala
desanya.