Sabtu, 17 September 2011

Perspektif Teori Muncul dan Bertahannya Dinasti Abbasiyah (1)

Oleh : Yulniza & Muhammad Ilham

Berakhirnya Dinasti Umayyah pada tahun 123 H./750 M. telah mengantarkan Dinasti Abbasiyah untuk naik ke panggung kekuasaan. Dinasti Umayyah selama masa pemerintahannya memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas membentang dari negeri Sindh hingga ke Spanyol. Dinasti ini telah mencapai tingkat kemajuan yang cukup tinggi pada masanya dalam bidang ekonomi, pendidikan-keilmuan, militer dan lain-lain. Meskipun pemerin-tahan Dinasti Umayyahdipatuhi oleh sebagian besar masyarakat yang takluk dibawah kekuasaannya, akan tetapi tidak sedikitpun Dinasti ini memperoleh apresiasi dari masyarakat. Itulah sebabnya, belum sampai satu abad Dinasti Umayyah berada di panggung sejarah, akhirnya digantikan oleh Dinasti Abbasiyah. Munculnya Dinasti Abbasiyah dalam sejarah peradaban Islam, telah membawa perobahan yang cukup signifikan dan radikal dalam catatan sejarah Islam. Hal ini tidak hanya sekedar pergantian kekuasaan saja, akan tetapi lebih dari itu adalah pergantian struktur social dan ideology. Karena itu, mayoritas ahli sejarah menilai bahwa kebangkitan Dinasti Abbasiyah merupakan suatu revolusi, seperti yang dikemukakan oleh Richard N. Frye[1] dalam artikelnya yang bertitelkan The Abbasid Conspiracy and Modern Revolutionary Theory yang menyatakan bahwa cirri-ciri yang menyertai kebangkitan Dinasti Abbasiyah sama dengan cirri-ciri yang menyertai revolusi di berbagai Negara di dunia modern saat sekarang ini. Frye menggunakan teori Anatomi Revolusi (Revolution Anatomy of Theory) yang dikembangkan oleh Crane Brinton[2] ketika mengamati empat revolusi besar dalam sejarah peradaban ummat manusia yaitu revolusi Industri di Inggris, revolusi Amerika, revolusi Perancis dan revolusi Rusia.Menurut Frye, paling tidak terdapat empat persamaan yaitu :

1. Bahwa pada masa sebelum revolusi, ideology yang berkuasa mendapat kritik yang keras dari masyarakat yang disebabkan oleh kekecewaan dan penderitaan masyarakat yang ditimbulkan oleh ketimpangan-ketimpangan dari ideology yang berkuasa itu.

2. Mekanisme pemerintahannya tidak efisien karena kelalaiannya dalam beradaptasi terhadap perkem-bangan dan perubahan-perubahan zaman yang terjadi secara dinamis.

3. Terjadinya penyeberangan kaum intelektual dari kondisi awal yaitu mendukung ideology penguasa kepada wawasan baru yang ditawarkan.

4. Bahwa revolusi itu pada umumnya bukan hanya dipelopori dan digerakkan oleh orang-orang lemah dan dan kaum bawahan, melainkan juga dipelopori dan digerakkan oleh kaum penguasa yang karena hal-hal tertentu merasa tidak puas dengan system yang ada atau system yang berjalan.

Sementara itu, Bernard Lewis[3] juga menggunakan istilah revolusi ketika menguraikan kebangkitan Dinasti Abbasiyah dalam bukunya The Arab in History. Ia mengatakan :

Penggantian Dinasti Umayyah oleh Dinasti Abbasiyah adalah lebih dari sekedar pergantian Dinasti atau kekuasan, melainkan suatu revolusi yang memiliki arti penting sebagai titik balik dalam sejarah Islam sebagaimana pentingnya revolusi Perancis dan revolusi Rusia. Bahwa kebangkitan Dinasti Abbasiyah bukanlah hasil dari suatu kudeta, melainkan hasil dari suatu usaha yang panjang dan memakan waktu yang lama dengan menggabungkan berbagai kepentingan golongan masyarakat kepada tujuan yang sama, yaitu menumbangkan Dinasti Umayyah, meskipun segera setelah revolusi itu berhasil dilaksanakan, mereka pun mulai tercerai berai”.

Berkaitan dengan sebab kebangkitan Dinasti Abbasiyah ini, para ahli sejarah mengemukakan beberapa teori yang masing-masing menitikberatkan kepada salah satu aspek sebab utama dari kebangkitan Dinasti Abbasiyah tersebut. Dalam hal ini paling tidak terdapat empat teori[4] yang dikemukakan yaitu :

1. Teori Faksionalisme Rasial atau Teori Pengelompok-kan Kebangsaan. Teori ini mengatakan bahwa Dinasti Umayyah pada dasarnya adalah kerajaan Arab yang mengutamakan kepentingan-kepentingan orang Arab dan melalaikan kepentingan-kepentingan orang-orang non-Arab. Atas perlakuan diskriminatif pihak penguasa, orang-orang Mawali merasa kecewa dan menggalang kekuatan untuk menggulingkan Dinasti Umayyahyang berpusat di Damaskus. Atas dasar itulah, menurut teori inijatuhnya Dinasti Umayyah merupakan kejatuhan kerajaan dan kepentingan Arab dan bangkitnya Dinasti Abbasuyah merupakan kebangkitan bagi orang-orang Persia.

2. Teori Faksionalisme Sektarian atau Teori Pengelompo kkan Golongan Atas Dasar Paham Keagamaan.Teori ini menerangkan bahwa kaum Syiah selamanya adalah lawan dari Dinasti Umayyah yang dianggap telah merampas kekuasaan dari tangan ‘Ali bin Abi Thalib. Keturunan Ali adalah orang-orang yang paling berhak. Keberhasilan Dinasti Abbasiyah dalam menggulingkan Dinasti Umayyah, dari perspektif teori ini adalah karena koalisi mereka dengan kelompok Syiah.

3. Teori Faksionalisme Kesukuan. Menurutv teori ini bahwa persaingan antara suku Arab a-la zaman Jahiliyyah sebenarnya terus berlangsung dan hidup kembali pada masa Dinasti Umayyah. Dua suku yang selalu bertentangan antara satu dengan yang lainnya yaitu suku Mudhariyah bagi orang-orang Arab yang dating dari sebelah utara dan suku Yamaniyah bagi orang-orang Arab yang berasal dari sebelah selatan. Menurut teori ini, setiap khalifah dari Dinasti Umayyah didukung oleh salah satu dari dua suku besar ini. Jika salah satu suku mendukung salah satu khalifah, maka suku yang lain akan memposisikan diri mereka sebagai oposisi. Maka potensi pertentangan antar dua suku ini terus membesar dan berkesinambungan serta menyebar ke daerah-daerah wilayah kekuasaan Dinasti Ummayah lainnya. Teori ini mengatakan bahwa kemenangan Dinasti Abbasiyah sebagai modal territorial pertama bagi pemerintahannya adalah akibat hasil dari manipulasi atas pertentangan dua suku tersebut.

4. Teori yang Menekankan Kepada Ketidakadilan Ekonomi dan Disparitas Regional. Teori ini mengatakan bahwa orang Arab dari Syiria mendapat perlakuan khusus dan mendapat keuntungan-keuntungan tertentu dari Dinasti Umayyah seperti memperoleh keringanan pajak dan hak-hak pengelolaan tanah di wilayah-wilayah yang baru ditaklukan. Sedangkan orang-orang Arab yang berasal dari sebelah Timur, khususnya Khurasan tidak memperoleh perlakuan atau hak-hak khusus tersebut. Mereka harus membayar pajak cukup tinggi. Dengan demikian, timbul kekecewaan di kalangan kelompok Arab ini pun akhirnya terakumulasi dari waktu ke waktu, dan pada akhirnya menjadi kekuatan atau potensi yang potensial dalam menumbangkan Dinasti Umayyah dengan alas an diskriminasi social.

Dari keempat teori tersebut akan terlihat dengan jelas bagaimana Dinasti Abbasiyah bias bangkit dan berhasil mengalahkan Dinasti Umayyah. Usaha-usaha Dinasti Abbasiyah untuk menduduki jabatan khalifah tersebut sebenarnya sudah pernah dimulainya jauh sebelum masa al-Saffah yaitu semenjak kakeknya ‘Ali bin ‘Abdullah bin al-‘Abbas bin ‘Abd al-Muthalib mulai menunjukkan ambisi politik mereka. Pada masa ini, ‘Ali bin ‘Abdullah sering berkunjung ke istana Dinasti Umayyah di Damaskus, terutama pada masa pemerintahan ‘Abd al-Malik bin Marwan. Pada masa pemerintahan khalifah Walib bin ‘Abd al-Malik, ambisi politik ‘Ali bin ‘Abdullah mulai tercium oleh kalangan istana Dinasti Umayyah sehingga Walid bin Abd al-Malik berusaha mencari alas an untuk menindak ‘Ali bin Abdullah. Tiga kali ‘Ali bin Abdullah terkena hukuman pukul. Pertama sekali ketika beliau mengawini janda Abdul Malik. Perbuatan ini dianggap oleh khalifah Marwan sebagai manifestasi penghinaan terhadap ayahnya. Kemudian yang kedua ketika beliau dicurigai melakukan kegiatan politik anti Dinasti Umayyah. Sedangkan yang ketiga, ketika ‘Ali bin Abdullah dituduh membunuh saudaranya Salid bin Abdulllah bin Abbas. Untuk kasus dan tuduhan yang ketiga ini, beliau diusir dari Damaskus dan kemudian tinggal di Humaimah hingga akhir hayatnya.[5]

Setelah ‘Ali bin Abdullah meninggal dunia, cita-cita politiknya diteruskan oleh putranya yang bernama Muhammad. Pada masa Muhammad inilah Bani Abbas resmi berkoalisi dengan Syiah, bahkan menyatakan dirinya sebagai imam dalam kelompok tersebut – imam dari kelompok garis non-Fathimah. Ahli sejarah mengatakan bahwa Syiah dari garis Fathimah ini moderat dan mau berkoalisi dengan Dinasti Umayyah sekalipun mereka harus menyembunyikan rasa kebencian mereka kepada Dinasti Ummayah ini. Namun ada juga yang konfrontatif langsung seperti halnya pemberontakan kaum Syiah yaitu pemberontakan al-Mukhtar pada tahun 685 M. Berkoalisi dengan Syiah ini akan mempermudah Bani Abbas dalam menambah kuantitas pengikut gerakan mereka. Ini juga sekaligus memberikan legitimasi dan justifikasi yang bersifat doktriner tentang pentingnya meruntuhkan kekuasaan Dinasti Umayyah dan menyerahkan jabatan khalifah kepada ahlul bait dimana Abbasiyah bernaung dibawahnya. Namun sampai masa itu, gerakan Bani Abbas masih bersifat Clandesten (gerakan bawah tanah). Simbol dan slogan yang digunakan belum lagi menggunakan bendera dan slogan Abbasiyah, tetapi masih menggunakan bendera ahlul bait atau al-Ridha Muhammad. Dibawah kepemimpinan Muhammad bin ‘Ali ini, mereka berusaha meluaskan pengaruhnya ke bahagian timur wilayah Islam. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Al-Thabari bahwa pada tahun 100 H., Muhammad bin ‘Ali mengirimkan Maisara ke Irak untuk menjajaki dan merekrut pengikut baru bagi gerakannya. Maisara dengan mudah mendapat dukungan dari orang-orang Kuffah. Dari Kuffah ini, kemudian ia mengirimkan tiga orang dari penduduk Kuffah ke Khurasan untuk meluaskan pengaruh gerakan Abbasiyah. Di Khurasan, ketiga orang ini kemudian membentuk Komite yang terdiri dari 12 orang yang dikenal dengan nama Nuqabaa. Dari Komite 12 ini kemudian dibentuk lagi Komite yang lebih besar yang terdiri dari 70 orang.[6]. Mekanisme yang demikian itu menyebabkan Bani Abbasiyah memutuskan Khurasan sebagai pusat kegiatan propagandanya. Muhammad bin ‘Ali memilih Khurasan tersebut didasarkan atas beberapa pertimbangan. Kuffah tidak dipilih karena dalam pandangan Muhammad bin ‘Ali orang-orangnya hanya mau mengikuti ‘Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Bashrah juga tidak dimasukkan kedalam prioritas karena penduduknya banyak yang menaruh simpati kepada khalifah Utsman bin Affan yang juga merupakan keturunan dari Dinasti Umayyah. Jazirah Arab tidak dipilih karena kebanyakan penduduknya merupakan pengikut Khawarij. Demikian juga dengan Damaskus yang berada dibawah pengaruh Dinasti Umayyah. Sedangkan Mekkah dan Medinah tidak dipilih karena Muhammad bin ‘Ali beranggapan bahwa masyarakatnya masih mengidolakan Abu Bakar dan Umar bin Khattab, tetapi tidak dengan ahlul bait. Sedangkan Mesir dianggap dekat dan menjadi sekutu Damaskus. Afrika dianggap jauh secara geografis ditambah lagi dengan tipikal penduduknya yang nomaden dan memiliki kecenderungan tidak menyukai gerakan yang berbau suku Arab, apapun namanya.

Oleh karena itu, satu-satunya daerah yang ditetapkan dan dianggap strategis dari berbagai sudut pertimbangan adalah Khurasan yang terleyak jauh disebelah timur. Selain pertimbangan geografis, Khurasan juga memiliki keuntungan social lainnya terutama bagi arah gerakan. Masyarakat Khurasan tidak anti dan alergi dengan gerakan-gerakan yang berkonotasi suku Arab, bahkan sebagian masyarakatnya berkebangsaan Arab. Disamping itu, penduduk Khurasan merupakan penduduk yang bertipikal berani, kuat fisiknya, tegap dan tinggi, konsisten dan tidak mudah terpengaruh dengan rayuan-rayuan politik. Keuntungan lainnya adalah masyarakat Khurasan memiliki kekecewaan-kekecewaan terhadap Dinasti Umayyah karena kebijakan pajak kharaj yang dirasakan oleh masyarakat Khurasan sangat memberatkan.[7] Muhammad bin ‘Ali meninggal dunia pada tahun 742 M. dan sebelum beliau meninggal tersebut ia telah menunjuk anaknya yang bernama Ibrahim sebagai penggantinya. Di tangan Ibrahim inilah kelak gerakan Abbasiyah bersifat terbuka dan memperoleh perkembangan yang maju. Pada tahun 743 M. Ibrahim menunjuk dan mengirim Abu Muslim al-Khurasani untuk memimpin perjuangan di Khurasan. Ia sukses dalam melaksanakan tugasnya dan mendapat kepercayaan dari Ibrahim. Dalam waktu tidak kurang dari sebulan, tentara Abu Muslim telah bertambah menjadi 7000 orang.[8] Gerakan yang diproklamasikan oleh Abu Muslim ini tidak menyebut-nyebut nama Baji Abbas. Nama yang dibawanya adalah Ridha min Ahlul Bait dan bendera yang digunakan adalah warna hitam. Oleh karena itu, dalam beberapa catatan sejarah mereka sering disebut dengan sebutan al-Suda (orang-orang yang berpakaian hitam). Warna hitam tersebut menurut sebahagian ahli sejarah adalah untuk melambang suasana berkabung, dalam artian merupakan refleksi dari gerakan rakyat tertindas. Tetapi sebahagian ahli sejarah warna hitam tersebut adalah bentuk usaha untuk mengikuti kebiasaan Nabi Muhammad SAW yang sewaktu berperang sering berpakaian hitam dan membawa bendera hitam. Bahkan ada pula yang berpendapat bahwa bendera hitam tersebut bukanlah pilihan Abu Muslim, melainkan perintah dari Imam Ibrahim bin Muhammad di Humaima. Sedangkan tujuan gerakan yang diproklamasikan itu adalah untuk menegakkan Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah SAW.[9]

Walaupun jumlah tentara Abu Muslim terus bertambah, tetapi gerakan atau perlawanan bersenjata belum bisa dilakukan karena kekuatan tersebut masih dianggap belum cukup memadai. Sementara itu, Abu Muslim terus berusaha memperkuat posisinya di Khurasan. Setelah merasa kuat, beliau kemudian mengirim sebahagian tentaranya ke berbagai kota di sekitar daerah Khurasan. Umumnya kedatangan tentara Abu Muslim tidak mendapat perlawanan yang cukup resisten. Satu-satunya kesulitan yang dihadapi oleh pasukan Abul Muslim adalah ketika hendak menguasai kota Balkh dan Tirmidh. Tapi akhirnya kedua kota ini tetap bisa mereka taklukkan. Ketika Abu Muslim masih sibuk dan terkonsentrasi melakukan konsolidasi di Khurasan, beliau menunjuk Abu Jahm bin Attiya sebagai penghubung politik dengan kekuatan gerakan yang dipimpin oleh Abu Salamah di Kuffah. Karena pendukungnya kebanyakan orang Syiah yang mempunyai keyakinan bahwa Negara harus dipimpin oleh seorang imam, dan memiliki otoritas keduniaan dan otoritas keagamaan. Akhirnya mereka segera mengangkat Ibrahim bin Muhammad sebagai imam. Hal ini kemudian tercium oleh Dinasti Umayyah. Imam Ibrahim bin Muhammad kemudian ditangkap dari Humaima dan ditahan di Harat. Ketika beliau tertangkap, Ibrahim bin Muhammad menyuruh anggota keluarganya untuk pindah ke Kuffah karena disana gerakan telah menguasai keadaan. Beliau meninggal dalam penjara pada tahun 132 H. tepatnya pada bulan Agustus 749 M. Namun mayoritas orang berpendapat bahwa beliau meninggal karena dibunuh. Ada sumber yang mengatakan bahwa sebelum meninggal dunia, Imam Ibrahim bin Muhammad sempat berwasiat supaya jabatannya sebagai imam digantikan oleh saudaranya Abu al-Abbas ‘Abdullah bin Muhammad. Tetapi ada sumber yang menyangkal pendapat ini.

Kurang lebih dua bulan lamanya setelah Ibrahim bin Muhammad meninggal dunia, maka anggota gerakan mengambil kebijakan dengan mengangkat Abu ‘Abbas bin Abdullah bin Muhammad sebagai pemimpin. Abul Abbas menerima dengan senang hati. Tahun 122 H./749 M. Abul Abbas dibawa ke masjid Kuffah dan secara resmi kemudian diumumkan sebagai khalifah pertama Dinasti Abbasiyah. Dengan dibai’atnya Abul Abbas sebagai khalifah, belum berarti gerakan ini sudah selesai karena kekuasaan mereka baru mencakup Khurasan dan Irak. Sedangkan di Damaskus masih berdiri Dinasti Umayyah dibawah pimpinan khalifah Marwan bin Muhammad. Karena itu, prioritas dan langkah pertama yang dilakukan oleh Abul Abbas adalah mengirim pasukannya ke Damaskus untuk menghadapi tentara khalifah Marwan bin Muhammad. Pertempuran antara pasukan Abbasiyah dengan pasukan Umayyah terjadi di tepi sungai Zab yang terletak antara Mosul dan Ibriel pada bulan Januari 750 M./123 H. Dalam pertempuran yang sengit tersebut, pasukan Dinasti Umayyah dibawah pimpinan khalifah Marwan bin Muhammad mengalami kekalahan total. Marwan dan tentaranya yang masih tersisa berusaha melarikan diri dengan menyeberangi sungai Tigris menuju Harran, kemudian pindah ke Damaskus dan terus ke Mesir. Di Mesir inilah khalifah Marwan bin Muhammad mati terbunuh, tepatnya pada awal Agustus 750 M./ 123 H. Dengan terbunuhnya Marwan bin Muhammad, maka berakhirlah kekuasaan Dinasti Umayyah dan kemudian secara resmi dalam sejarah berdirilah Dinasti Abbasiyah dengan Abu al-‘Abbas bin Muhammad sebagai khalifahnya yang pertama.[10]

:: Telah dipublikasikan di Jurnal Khazanah Edisi 2/ Juli-Desember 2010


[1] Richard N. Frye, “The Abbasid Conspiracy And Modern Revolutionary Theory” dalam Indo-Iranica, hal. 9-14. Artikel ini bahagian dari buku Richard N. Frye, Islamic Iran and Central Asia : 7th-12th Centuries, London: Varioum Reprints, 1979.

[2] Crane Brinton, The Anatomy of Revolution, New York and London: Basic Book Io., 1964.

[3] Bernard Lewis, Bangsa Arab Dalam Lintasan Sejarah, terj., Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1984, hal. 76

[4] Dikutip bebas dari M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, hal. 86-89

[5] Farouk Umar, Tabi’ah al-Da’wa al-Abbasiyah : Dirasat Tahliliyah li Wajihat al-Thurah al-Abbasiyah wa Tassiraatihaa, Beirut: Dar el-Irsyad, 1970, hal. 61-62

[6] Muhammad bin Ja’far al-Thabari, Tarikh al-Umam wa Mulk, Kairo: Mathba’ah Istiqomah, 1939, hal. 316-317

[7] Farouk Umar, The Abbasid Chaliphate, Baghdad: The National Printing and Publishing Company, 1969, hal. 69-70

[8] Abu Muslim al-Khurasani merupakan salah seorang pemimpin propaganda Dinasti Abbasiyah. Secara detail, tidak diketahui asal usulnya. Namun yang pasti, beberapa data sejarah menyatakan bahwa beliau bukanlah keturunan Bani Hasyim, bahkan bukan Arab. Diketahui beliau merupakan Mawali asal Iran. Nama aslinya adalah Abdurrahman sedangkan nama Abu Muslim al-Khurasani tersebut diberikan oleh Ibrahim. Lihat Atho’ Mudzhar, Pendekatan ……, hal. 105; Hassan A. Mahmud dan A. Ibrahim Syarif, Al-A’lam al-Islami fi al-‘Ashri al-Abbasi, Beirut: Dar al-Fikr, 1977, hal. 9

[9] MA. Shaban, The Abbasid.., hal. 158

[10] Zainal Abidin Ahmad, Sejarah Islam dan Ummatnya, Jakarta: Bulan Bintang, 1977, hal. 27

Tidak ada komentar: