Sabtu, 17 September 2011

Objektifitas dan Paradigmatik Penjelajahan Ilmu

Oleh : Muhammad Ilham

Sungguh tak ada yang objektif dalam proses pencarian kebenaran ilmu, kata sejarawan Taufik Abdullah, tapi justru paradigmatik, termasuk dalam hal ini, ilmu sejarah. Dalam sejarah ilmu pengetahuan, ilmu manusia tersusun dari hal-hal yang sederhana. Contohnya, kalau kita hendak mengetahui manusia, maka kita terlebih dahulu harus mengetahui definisi manusia sehingga kita dapat membedakan antara manusia dari yang lainnya. Pengetahuan kita tentang manusia tersusun dari beberapa hal-hal yang simple yaitu bahwa manusia itu berpikir, berbadan, dan perasa. Akan tetapi, yang menjadi objek kajian para filosof Islam ialah: dari manakah manusia mendapatkan ilmu-ilmu simple tersebut? Dengan metode atau perangkat apakah manusia mendapatkan ilmu-ilmu simple tersebut? Dari sinilah munculnya perbedaan antara filosof-filosof dari zaman Yunani sampai sekarang: antara Plato dan Aristoteles, antara Avessina dan Syuhrawardi, antara kaum paripatetik dan intuitivis, serta antara rasionalis dan empiris. Sementara dalam Islam, sumber ilmu itu diperoleh melalui tiga sumber utama yang banyak dijelaskan oleh Al-Quran, yaitu as-sam‘u, al-basharu, dan al-fuâdu. Ketiga hal ini merepresentasikan tiga akar epistema, yaitu Informasi (al-khabar), Indera (al-hiss), dan Rasio (al-‘aql). Sumber yang reliabel dari kegiatan keilmuan yang berbasis tiga akar ini wujudnya adalah informasi yang valid (naql mushaddaq) atau kajian yang akurat (bahts muhaqqaq). Selain kedua hal ini, yang ada adalah karangan palsu (hadzayân musarwaq). Dan dari semua materi sumber keilmuan yang ada di dunia, meteri yang diberikan oleh Kalâmu’llâh, Sunnatu’r Rasûl, dan Ijmâ‘u’l Ummah adalah yang paling bisa dipertanggungjawabkan. Sebab informasi yang paling valid adalah informasi yang diberikan oleh ketiga sumber ini, dan kajian yang paling akurat adalah juga kajian yang disajikan oleh ketiga sumber ini. Sedangkan di luar tiga sumber ini, semuanya masih mengandung kemungkinan salah informasi, invaliditas pengamatan, atau keluputan penalaran.

Kaitan Ilmu dengan Nilai adalah worldview atau pandangan hidup. Matrik dari worldview sendiri bisa diukur dari apa yang ada dipikiran orang, sebab di dalam worldview terdapat kerangka-kerangka kerja konseptual (framework). Worldview sendiri mempunyai kaitan erat dengan cultural, sains maupun religi, oleh karena itu kita mengenal, misalnya istilah Christianity Worlview, Medieval Worldview, Scientific Worldview, Modern Worldview dan Islamic Worldview. Di Barat orang lebih sreg menerima denominasi berdasarkan istilah worldview ketimbang “agama”. Hegel misalnya, ketika ia membaca teologi Hindu maka ia menyebutnya dengan Indichen Worldview. Nilai-nilai yang dihasilkan dari masing-masing Worldview inilah yang kemudian menjadikan worldview mirip dengan kepercayaan keagamaan yang bersifat individual yang kemudian mengkolektif (Hussel dalam Crisis Of European Sains). Oleh sebab itu, masing-masing peradaban mempunyai karakteristik yang berbeda dengan peradaban lainnya. Pandangan Barat misalnya, yang memandang ilmu yang hanya sebatas modulus sensilibis atau dunia indrawi saja (Hegel & Goethe), ini berbeda dengan pandangan Islam yang memandang luasan worldview itu seluas skala wujud “ru’yatan Islam lil wujud” (SM.
Naquib Al Attas).

Oleh sebab itu Thomas S Kuhn mengungkapkan bahwa sesungguhnya worldview merupakan paradigma yang menyediakan nilai, standart dan metodologi tertentu yang mengikat kuat kerja-kerja saintifik. Disatu sisi inilah worldview merupakan dinamika pemikiran yang positif. Worldview dan paradigma memiliki variable konsep yang terstruktur, yang menjadikannya framework permikiran dan disiplin ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya ilmu menjadi sarat dengan nilai, alias tidak netral dan tidak bebas nilai namun sarat dengan nilai.
Hal ini dibuktikan bahwa peradaban Barat (western worldview) memandang ilmu hanya bersumber sebatas panca indera dan akal (Kant, Hegel, Goethe), maka dengan pandangan ini telah melahirkan berbagai macam faham pemikiran dalam peradapan Barat seperti rasionalisme, empirisme, skeptisisme, relatifisme, ateisme, agnotisme, humanisme, sekularisme, eksistensialisme, materialisme, sosialisme, kapitalisme dan liberalisme. Sementara dalam Islam, al Qur’an dan Sunnah dalam Islam menjadi tolak ukur dalam setiap pandangan, cara berfikir tiap Muslim. Ilmu-ilmu seperti fiqh, hadith, tafsir, falak, tabi’ah, hisab dan sebagainya, adalah derivasi dari konsep wahyu. Ini berarti worldview Qur’an telah menghasilkan framework dan disiplin ilmu yang ekslusif. Orang Barat misalnya, tidak dapat mengadopsi metode ta’dil dan tarjih ilmu hadith, atau mengadopsi ilmu fara’id dalam Islam dan seterusnya. Begitu pula sebaliknya, orang Islam juga tidak bisa terima konsep kebenaran dikotomik; obyektif-subyektif, tidak bisa pula menerima doktrin pan-sexualismenya Frued, doktrin evolusi Darwin dan seterusnya. Sebab, setiap konsep berangkat dari framework dan setiap framework diderivasi dari worldview. Sedang worlview Qur’an berbeda dengan Western Worldview.

Jadi pandangan tentang Ilmu adalah bebas nilai itu sebetulnya tidak tepat. Sebab, pandangan ini muncul dari nilai-nilai dalam worldview barat. Hal ini membuktikan bahwa pandangan tentang Ilmu adalah bebas nilai itu sesungguhnya adalah sebuah Nilai yang dipenggang oleh penganutnya. Inilah yang tanpa disadari oleh para pengusungnya, sebagai sebuah “martil besar” yang meruntuhkan konsep obyektifitas “bebas nilai” yang mereka bangun dan mereka sakralkan. Sehingga Bulant Senay menyebut prinsip “bebas nilai” ini sebagai sebuah self-defeated atau mitos. Sebab konteks-konteks value jugdment dalam “bebas nilai” itu sendiri mengandung kesimpulan-kesimpulan awal yang tidak “bebas nilai”.
Beberapa tulisan yang menjadi ”tulisan utama” dalam KHAZANAH Edisi kali ini lebih difokuskan kepada perdebatan-perdebatan teoritis tentang filsafat ilmu, baik perdebatan teoritis dalam ranah epistimologi ilmu maupun dalam ranah ”persinggungannya” dengan (epistimologi) Islam. Namun, tetap dalam konteks mencari ”kebenaran”. Persoalan ”alat” atau paradigma yang justru berbeda. Namun, dalam konteks memperkaya perspektif, rasanya perdebatan-perdebatan teoritis tersebut memberikan pelajaran berharga bagi kita bahwa tak ada yang objektif dalam proses pencarian kebenaran ilmu, tapi justru paradigmatik.

:: (Penggalan) dari makalah untuk Pengantar Redaksi Jurnal Khazanah Edisi 2/Juni-Desember 2010

Referensi : Naquib al-Attas (1993), Thomas Kuhn (1988), Bustanuddin Agus (2002)

Tidak ada komentar: