Rabu, 21 September 2011

DIGOEL "Tanah Kaum Terbuang", Hatta dan "Kearifan Sejarah"

Oleh : Muhammad Ilham

"Mengapa kita tidak pernah seperti Israel yang selalu menceritakan Holocaust-nya sehingga menumbuhkembangkan spirit kebangsaan mereka ? Mengapa justru untuk Tanah Pembuangan dan kisah sedih para tahanan pada zaman kolonial justru hanya mendapat "porsi" kecil dalam sejarah Indonesia. Atas nama menghilangkan "masa buram" masa lalu, kita justru mereduksi sebuah kearifan paling berharga dalam sejarah anak bangsa" (Diutarakan dalam Sebuah Seminar sekitar Tahun 1999 oleh Entah Siapa)

Membaca Buku “Pembuangan DIGOEL” karangan Takashi Shiraishi, sungguh membawa kita pada “tamasya sejarah” penuh horor, ibarat Gullag-nya Uni Sovyet era Joseph Stalin, sebagaimana yang pernah dinukilkan oleh Alexander Solzhenitsyn dalam The Gulag Archipelago. Guru Besar Universitas Tokyo yang juga mengarang buku “Zaman Bergerak” ini sangat mampu mendeskripsikan settiong geografis Digoel atau Tanah Merah, dengan “penceritaan” yang menggentarkan. Takashi Shiraisi bukan Jonstein Gardner yang membuat fiksi-filsafat ”Dunia Sophie”. Buku ”Pembuangan Digoel” adalah buku kecil, namun ia mampu mendeskripsikan dengan baik-argumentatif berdasarkan kaidah-kaidah metodologi ilmu sejarah tentang dataran terpencil di udik Papua itu dibangun penguasa Hindia Belanda, Gubernur Jenderal De Graeff, pada awal 1927, sebagai tempat buangan tahanan politik, yang dikurung rimba dan paya-paya kaya nyamuk. "Dunia" terdekat yang bisa dijangkau dari Digul kala itu hanyalah Tual, kota pelabuhan kecil di Maluku, yang membutuhkan 50 jam pelayaran dengan kapal motor.

Begitu seramnya Digul, publik Belanda menyebut tempat interniran di tanah jajahan itu sebagai kuburan. Sekali didigulkan, orang seperti menandatangani kontrak kematian. "Persediaan pangan amat terbatas karena lokasinya sukar dicapai," begitu wartawan Van Blankenstein menulis setelah mengunjungi sumber horor tak berkesudahan itu. "Kami menemukan satu pondok kecil beratap seng tanpa dinding, dijejali 14 orang," ujarnya, "Di mana-mana genangan air. Tak dapat disangkal, tempat ini merupakan neraka." Ternyata bukan cuma Van Blankenstein, tapi juga bahkan Hatta, seorang muslim taat yang berpendirian "di atas segala lapangan tanah air, aku hidup, aku gembira" itu, menyebut Digul sebagai "neraka dunia". Tokoh yang tak pernah mengeluh ini memang tak merinci bagaimana kerasnya neraka itu. Ia hanya selalu berpesan agar teman-teman sepembuangan tetap waras, baik pikiran maupun perasaan, agar bisa bertahan. Sesungguhnya, secara fisik Digul tak tampak sebagai kamp kerja paksa yang digerakkan oleh lecutan pecut atau letusan pistol. Tak ada penjaga yang mencangklong senapan mesin. Tidak ada anjing pelacak, tidak ada juga lampu sorot. Bahkan pagar tembok pun tak ada. Jika ada kawat berduri, tempatnya bukan di kamp, melainkan di tangsi militer tempat para penjaga tinggal. Pagar itu bukan untuk mencegah tawanan melarikan diri, tapi kata Shiraishi, "Untuk melindungi tentara dari 'godaan' tawanan." Agaknya, di situlah letak neraka Digul: kebosanan, ketidaktahuan, dan tiadanya kepastian. Di Digul, pertanyaan serupa tak berjawab. Masa depan sama sekali gelap. Tak pernah tercatat dengan pasti berapa banyak korban kubangan kebosanan ini. Tapi, kata Shiraishi, "Banyak yang hancur mentalnya karena putus asa."

Yang bisa dilakukan hanyalah menjaga kesadaran agar tidak gila, agar tak terbunuh rasa bosan. Dalam Lima Belas Tahun Digul, tokoh komunis Chalid Salim menceritakan bagaimana ia mencoba mempertahankan kewarasan dengan mencari-cari kesibukan. Adik kandung tokoh pergerakan Agus Salim itu saban hari berkutat dengan hobinya memburu nyamuk. Kesenangan ini menyita pikiran dan kerinduannya pada gagasan yang semula selalu menggedor hatinya: pulang kampung. Akhirnya, Chalid termasuk satu dari sedikit orang yang selamat dievakuasi dari Digul ketika kamp ini ditutup sebelum serbuan Jepang, 1942. Hatta sendiri mencoba menghancurkan kebosanan dengan membaca saban sore, mengajarkan ilmu ekonomi dan filsafat dua kali sepekan, serta menulis kolom untuk surat kabar Pemandangan sebulan sekali. Sjahrir, raja pesta yang periang itu, mengakalinya dengan gentayangan keliling kamp, menyambangi rumah tawanan yang lain. Hatta memang menyiapkan dirinya hidup 10 tahun di tanah buangan. Tapi untunglah, setelah 10 bulan terbenam di Digul, keduanya dipindahkan ke tempat yang lebih layak yang memang disiapkan untuk tokoh-tokoh intelektual (tentang Chalid Salim dan beberapa Drama Pelarian, pernah dinukilkan oleh sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer dalam esai-sejarahnya "Pembuangan Digoel").

Zaman berganti, dunia banyak berubah, begitu juga di Tanah Merah. Cerita tentang "gelap rimba" sudah jarang terdengar. Digoel nampaknya sudah mulai hilang dari ”layar” sejarah. Tak ada penceritaan sistematis dalam kurikulum ilmu sejarah di segala tingkat sekolah belakangan ini. Padahal, bila tak ”tragedi Digoel” ........ beberapa tokoh nasional, mungkin tidak setegar yang dinukilkan sejarah. Banyak filosofi yang sebenarnya harus ditransfer kepada generasi muda Indonesia bila bercermin dari Digoel. Ada ketabahan, kekuatan untuk memegang prinsip kebenaran sepahit apapun ia, dan satu lagi, idealisme tidak akan tercerabut walaupun kebebasan dan potensi kemanusiaan dihilangkan. Pelajaran sejarah justru lebih banyak ”menghidang”kan cerita perang ...... jadi tidaklah mengherankan apabila banyak orang Indonesia yang tidak mau ”sabar” memegang prinsip dan lebih mengedepankan nilai-nilai anarkisme dengan ”memperkosa” idealisme.

Referensi : Takashi Shiraishi (1999), Pramoedya Ananta Toer (2000)




2 komentar:

dalesadli mengatakan...

Am, Bupati Tanah Data 'Pasadigoe' itu anak mantan interniran Digoel, kalau bisa ketemu mungkin beliau ada cerita2 Digoel dari alm ayahnya PAkiah SAliah DIGOEl

Rezki Khainidar mengatakan...

Serasa sampai di Digoel sekejap