Sabtu, 03 Juli 2010

Wanita dan Politik : "Tidak Sekedar Memperbanyak Kuota"

Oleh : Muhammad Ilham

Sang filosof klasik Yunani, Aristoteles, begitu "sinis" terhadap wanita. Wanita baginya tidak termasuk mereka yang cukup-diri untuk dapat memiliki peran politik, meski hanya untuk memilih. Bias patriarkhi berkontribusi dalam menghilang-hapuskan jejak yang tegas dalam sejarah politik. Bukalah lembaran-lembaran sejarah kerajaan kuno nusantara, bahkan dunia. Bagaimana pernikahan menjadi salah satu cara untuk berdiplomasi. Raja ‘A’ menikahkan pangeran dengan putri Raja ‘B’ dengan harapan wilayah kekuasaan kerajaannya akan semakin luas pada masa pemerintahan sang pangeran nanti. Sebaliknya, penguasa dari wilayah yang lebih kecil ‘menyerahkan’ putrinya kepada penguasa yang memiliki kekuasaan lebih digdaya agar wilayahnya tidak dicaplok. Wanita dijadikan "bargaining position". Wanita juga pernah menjadi bagian dari pampasan perang yang berhak dikuasai secara serakah oleh pemenang perang, seolah piala yang menyimbolkan keagungan kemenangan dalam suatu persaingan.

Suatu ketika, anggota Fraksi Partai Demokrat Dewan Perwakilan Rakyat, Angelina Sondakh "yang cantik itu", mengatakan bila kaum perempuan memilih jalan politik, maka harus mampu memainkan peran yang strategis. Dengan begitu, posisinya dapat diperhitungkan lawan-lawannya. Formulanya sangat sederhana : Jika ingin terjun ke politik, harus kuat. Anggota Komisi X itu mengatakan di dunia politik tidak mengenal laki-laki dan perempuan. Itu sebabnya sikap kaum perempuan tidak boleh kalah tegas. Sebab, kata dia, bila mereka tidak menunjukkan ketegasan, posisinya dapat dimanfaatkan orang lain. “Jangan jadi tidak tegas, karena nanti gampang dikibuli,”. Menurut artis itu, terjun ke dunia politik tidak boleh setengah-setengah. “Karena akan dikerjain abis-abisan lawan-lawannya,” kata Angelina "istri Adjie Massaid" yang bermarga Sondakh ini.

Bagaimana karir wanita dalam politik ? Memperbincangkan karir wanita sebagai pemimpin dalam kiprah politik, terlebih lagi di bumi Indonesia, memang masih pendek umurnya. Kita hanya mengenal tokoh macam Cut Nyak Dien, Kristina Martha Tiahahu pada jaman penjajahan. SK Trimurti, Supeni, Maria Ulfah Subadio pada era kemerdekaan. Megawati, Aisyah Amini, Khofifah Indrawati, pada era Orde Baru sampai sekarang. Sementara itu masih banyak lagi tokoh wanita yang terjun atau melibatkan dirinya dalam dunia swasta dan bahkan lembaga swadaya masyarakat. Di dunia Barat yang kehidupan demokrasinya lebih panjang ketimbang di Indonesia, kiprah karir wanita sebagai seorang pemimpin yang kapabel dalam dunia politik juga belum terlalu lama. Di Amerika Serikat, 144 tahun setelah merdeka, hak pilih wanita baru diakui dalam Amandemen Kesembilan Belas. Sementara di Inggris hak wanita baru dipenuhi tahun 1928. Tahun 1917, Jeanette Rankin merupakan wanita pertama yang menjadi Anggota Konggres di Amerika.

Presiden Ronald Reagen tahun 1981 mengangkat Sandra Day O’Connor sebagai Hakim Agung berjenis kelamin wanita. Pada masa itu Ronald Reagen juga menunjuk Jeanne Kirkpatrick, wanita pertama sebagai staf penasihat kebijakan luar negeri. Sementara Presiden Bill Clinton juga menunjuk beberapa wanita untuk menduduki jabatan penting. Janet Reno merupakan wanita pertama sebagai Jaksa Agung. Sedangkan Madeleine Albright adalah wanita pertama yang memangku jabatan Menteri Luar Negeri. Sementara data tahun 1988 menunjukkan, diseluruh dunia hanya ada 14,8% kursi parlemen yang diwakili oleh wanita. Sedang data tahun 1995 kursi parlemen yang diduduki wanita melorot menjadi 11,3%. Negara Swedia merupakan negara dengan komposisi parlemen berjenis kelamin wanita sebesar 40,4 % atau tertinggi di dunia (www.cetro.com/june 2007). Di Indonesia sendiri, wanita yang menduduki kursi DPR selalu tidak lebih dari 2% dari satu periode pemerintahan ke periode berikutnya. Hal ini menandakan bahwa hanya sedikit sekali wanita Indonesia yang mempunyai pengembangan karir di bidang politik. Walaupun secara prosentase jumlah wanita jauh dibanding dengan jumlah laki-laki di kursi parlemen, tidak berarti wanita lantas kehilangan hak untuk menjadi pemimpin. Cory Aquino, Julia Peron, Margareth Teacher, merupakan wanita-wanita hebat yang menjadi pemimpin pemerintahan di negaranya walaupun parlemen negara mereka mayoritas dikuasai kaum laki-laki. Di negara-negara yang hingga hari ini, dominasi laki-laki dijustifikasi oleh kultur seperti negara-negara anak benua India, justru kehadiran wanita dalam ranah politik sangat signifikan. Katakanlah, Indira Gandhi yang fenomenal itu. Putri Javaharlal Nehru ini akan dicatat dalam sejarah politik India sebagai wanita "kuat" pemberi warna tersendiri dalam ranah politik negara Amitabh Bhacan ini. Benazir Bhuto di Pakistan. Bahkan Bangladesh hingga hari ini identik dengan "pergulatan" politik dua wanita - Begum Khaleda Zia dan Hashina Wajed.

:: Sejarah telah membuktikan, wanita mampu memainkan peran penting dalam ranah politik. Karena memang ranah politik juga ranah mereka, dan bukan hanya ranah laki-laki. Jalan untuk menempatkan kepentingan wanita sebagai salah satu pertimbangan dalam politik tidaklah mesti semata dengan memperbanyak jumlah perempuan yang terjun ke dunia politik. Meski harus diakui bahwa ia dapat menjadi salah satu cara. Memberikan peluang bagi mereka untuk "berkreasi" secara fair dengan laki-laki, jutru lebih penting daripada sekedar kuota.

::::::: (makalah yang telah di"kurangi" dari makalah aslinya. Disampaikan dalam acara Pelatihan Kepemimpinan Wanita BEM Unand/Juni 2010)

Tidak ada komentar: