Selasa, 13 Juli 2010

Sindrom Sandera dan Partisipasi Politik

Oleh : Muhammad Ilham

Pilkada Sumatera Barat sudah usai. Beberapa calon sudah hampir dipastikan melenggang lapang. Para tim sukses calon yang berhasil merasa bahagia, sebuah kerja yang tepat sasaran. Mereka bak Syakira kala menyanyikan waka-waka. Sementara tim sukses yang calonnya gagal, seperti fans Belanda yang hening-membisu. Sampai hari ini, belum terlihat secara signifikan, para tim sukses yang calonnya gagal tersebut, mencari "celah" untuk menggagalkan hasil Pilkada, sebagaimana yang sedang dan masih berlangsung di daerah-daerah lain. Untungnya jangan. Ketika ada kecurangan, mekanisme ketatanegaraan dan hukum adalah software terbaik untuk menyalurkannya. Dan memang, masyarakat Sumatera Barat, setidaknya yang saya rasakan hari ini, terdiri dari masyarakat rasional. Walau banyak yang "sinis" melihat ketidakgarangan masyarakat Sumatera Barat dalam mensikapi isu-isu politik skala lokal maupun nasional, tapi bukan berarti masyarakat Sumatera Barat tipikal pengecut. Ketika demonstrasi (entah bayaran entah tidak) berlangsung beberapa bulan lalu di berbagai belahan nusantara, dengan bergejolak membara, masyarakat Sumatera Barat tidak terpancing untuk melakukan hal senada. Bukan pengecut, tapi tak mau tersedot dalam langgam orang.

Saya tak mau berkisah tentang apa dan siapa masyarakat Sumatera Barat. Kembali ke topik yang ingin saya nukilkan. Tentang sikap masyarakat terhadap Pilkada beberapa minggu lalu. Masyarakat Sumatera Barat nampaknya memberikan sebuah perlawanan terhadap proses eleksi yang berlangsung. Konon, tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada kali ini, hanya 63 %. Termasuk paling rendah pasca Orde Baru. Apakah ada ketidakpercayaan publik terhadap proses eleksi tersebut ?. Jawabannya bisa beragam, tapi yang jelas, mayoritas masyarakat tidak lagi ingin tersandera dengan kebaikan sesaat. Sudah lazim, masyarakat memiliki formula sendiri, "Siapapun pemimpin kita, perubahan bagi kehidupan kita juga tidak terlaksana sebagaimana janji-janji mereka dahulu!". Dan formula ini, semakin terpatri dengan kuat, karena turun-naiknya pemimpin, baik lokal maupun nasional, perubahan yang terjadi tidak bagus-bagus amat (setidaknya demikian yang dirasakan mayoritas masyarakat).

Masyarakat hanya memiliki "power" lima tahun sekali. Angka 63 % setidaknya bentuk "hukuman" masyarakat. Namun yang lucunya, para elit justru menyalahkan masyarakat dengan selalu mengatakan bahwa masyarakat tidak memahami hak-hak politiknya, kurang nasionalis dan entah apa lagi. Sedikit sekali, untuk mengatakan tidak sama sekali, para elit "menohok" ke dalam diri mereka untuk sekedar berkata, "ini adalah kumulasi dari janji-janji busuk kita selama ini !". Tapi timbul pertanyaan lanjutan, tidakkah angka 63 % itu termasuk tinggi, setidaknya bila dibandingkan dengan proses eleksi di Amerika Serikat yang hanya berkutat 57-65 % dalam tiga dasawarsa belakangan ini. Dengan kondisi ekonomi dan sosial masyarakat Amerika Serikat yang mapan, rasanya angka 57-65 % sangat rendah, sementara 63 % untuk Sumatera Barat (apalagi Indonesia) terasa tinggi, ditengah kondisi sosial ekonomi yang bergerak lambat. Seharusnya lebih rendah dibandingkan rata-rata eleksi negeri Paman Sam.

Berkisahlah saya sedikit. Ada seorang nenek, sebutlah namanya Mak Bareh. Mak, karena ia sudah agak berumur, sementara - bareh - karena ia biasa menggunakan bedak bareh (beras) disetiap ia pergi berdagang ke Pasar Raya. Berdagang sayur-sayuran segar, spesialis mentimun. Sudah sekian tahun, Mak Bareh menjadi anggota tetap Pasar Raya Padang. Subuh berangkat, sore jelang senja ia pulang. "Alhamdulillah, saya bisa menyekolahkan anak saya 3 orang tamat SMA. Yang besar sudah punya anak dua dengan dua suami, kebetulan ia bercerai dengan suami pertamanya yang selingkuh. Anak saya yang kedua, bekerja sebagai sopir angkot. Terakhir, bekerja sebagai sales di sebuah perusahaan rokok, " kata Mak Bareh pada saya di suatu senja kala mau sholat maghrib di musholla komplek perumahan kami. Mak Bareh wanita gesit. Dengan durasi kerja yang super aktif, ia tak pernah sakit, setidaknya demikian yang ia ceritakan pada saya. Ia begitu bangga dengan "habitat" tempat ia bekerja. Sebuah habitat yang menjadi pertempuran antara peluh keringat dan harapannya. Karena itu pulalah, Mak Bareh marah-bergejolak, ketika seorang pimpinan kota tempat Pasar Raya berada merestrukturisasi pasar historis ini, manandehkan dalam bahasa Mak Bareh. Habis kosakata persumpahan Mak Bareh untuk menunjukkan kebenciannya pada pimpinan kota yang kebetulan dalam Pilkada Gubernur kemaren, maju menguji "peruntungan" menjadi salah seorang calon Gubernur Sumatera Barat.

Pada awal pencalonan sang pimpinan kota ini jadi Calon Gubernur, muka Mak Bareh merah padam. "Setelah kau hancurkan Pasar Raya-ku, kau minta pula suara-ku ... tak yu yu", kata Mak Bareh dengan bahasa kocak. "Kalau begitu, lalu siapa yang akan mak pilih nanti ?", kata saya. "Tak seorangpun jua, karena tak satupun jua diantara calon-calon itu yang peduli dengan Pasar Raya-ku, sebutlah siapa saja diantara 5 pasang calon tersebut. Tak akan kuberi suaraku pada mereka, lebih baik saya menggalas", katanya lagi penuh yakin. Dan saya pun tersenyum. Sebuah pilihan politik yang sangat rasional, gumam saya dalam hati kala itu.

Tanggal 3o Juni 2010, jam 10.00 WIB pagi lebih kurang, saya melihat Mak Bareh datang ke TPS. Ketika mengambil surat suara dari saya, ia diam dan tak berani bertatapan muka. Padahal, saya tersenyum senang melihat kedatangannya. Walau sebelumnya saya berasumsi, bila ada orang Golput di komplek perumahan kami, salah satu kontributornya adalah Mak Bareh. Tapi, pagi itu ia datang dan mencoblos salah satu pasangan gambar yang pada awalnya ia pandang sebagai "mereka yang penipu". Siap sholat maghrib dimana Mak Bareh begitu rajin jadi makmum saya di musholla, saya panggil ia untuk sekedar bercerita, sebagaimana selama ini sering saya lakukan. Terkadang, keluguannya sangat inspiratif. "Siapa yang Mak Bareh tadi pagi?", kata saya sambil tersenyum tanpa menyudutkannya. Saya yakin ia mencoblos salah satu pasangan Cagub yang bukan pimpinan kota yang selalu disumpahinya selama ini. Dengan sedikit sungkan, ia menjawab, "nomor sekian pak!", sambil menyebutkan nomor urut si pemimpin kota yang dibencinya itu. Saya tercengang sambil tertawa. "Tapi mak Bareh selama ini sangat membenci Bapak itu, lalu kenapa mak pilih", kata saya penasaran. "Memang iya, saya benci sekali dengannya, tapi dulu. Beberapa minggu lalu, ketika masa-masa kampanye, saya dan kawan-kawan diundangnya ikut sebuah acara keIslaman. Nah, sehabis acara itu, ia memberi saya dan kawan-kawan bingkisan. Rupanya Bapak itu ramah, gagah dan sangat Islami, buktinya ia menyalami dan memeluk saya", kata Mak Bareh dengan sumringah.

Ada satu teori dalam psikologi politik, namanya Sindrom Sandera (hostage syndrom). Mungkin diantara kita pernah menonton film Hollywood yang disiarkan salah satu TV swasta secara berulang-ulang. Bercerita tentang penculikan seorang gadis, anak konglomerat. Penculik, yang kebetulan anak muda ini, menuntut uang tebusan. Setelah perjanjian yang alot dengan melibatkan polisi, pihak keluarga memutuskan untuk membebaskan gadis tersebut. Tapi ajaibnya, si gadis tidak mau dibebaskan. Ia justru membela para penculiknya dan mencintainya. Kebetulan, dalam waktu yang menegangkan itu, terjadi perubahan pandangan si gadis. Awalnya ia begitu benci dan takut dengan penculik yang dianggapnya merampok kebahagiaanya dan menyengsarakan anggota keluarganya. Dalam masa-masa menegangkan itu, rupanya penculik itu berusaha untuk bersikap baik, melepaskan borgol ditangan sang gadis dan menemani gadis itu pipis di malam hari. Ketakutan yang panjang dikalahkan oleh kelonggaran yang sedikit. Bagi sang gadis itu, hal-hal simpel tersebut membuat ia merasa bahwa penculik itu tak sekejam yang ia bayangkan. Dan cinta-pun bersemi.

Mak Bareh dan beberapa kalangan masyarakat yang pada awalnya begitu benci dan apatis dengan proses eleksi dalam Pilkada kemaren, setidaknya mengindap hostage syndrom. Begitu banyak yang memegang anggapan, "siapapun yang akan jadi pimpinan, nasib kita akan seperti ini jua". Tapi, mereka tersandera dengan suatu masa jelang Pilkada berlangsung, dimana para Calon Gubernur tersebut menunjukkan sifat "malaikat" mereka. Menyapa dengan hati, menunjukkan empati dan memberi bantuan dengan senyuman. Dan setelah itu, banyak diantara mereka yang kembali menunjukkan kekecewaan luar biasa. Setidaknya Mak Bareh, malam tadi bercerita kepada saya, "Pak, saya menyesal memilih kemaren. Apalagi, tak ada satu orang pun calon yang dapat memberikan jalan keluar terhadap permasalahan tempat saya dan kawan-kawan berdagang. Tambah lagi, sang pimpinan kota yang kemaren ramah, nyatanya tak mau lagi mengunjungi tempat kami lagi setelah ia kalah. Apalagi calon-calon yang lain, tidak pernah sekalipun mengunjungi kami, baik ketika mereka kalah maupun menang untuk sekedar mengucapkan terima kasih. Apalagi ada teman-teman saya yang memiolih calon yang menang itu, tapi tak mau datang ketempat kami berdagang yang kumuh lagi becek. Lebih saya dahulu tak memilih, tak ada beban dalam pikiran saya. Ah, biarlah pak. Pilkada nanti saya Golput. Saya tak mau terlena dengan kebaikan sesaat, ya ... kebaikan sesaat para calon-calon nanti", kata Mak Bareh dengan nelangsa.

Tidak ada komentar: