Rabu, 07 Juli 2010

Talibanisme yang Sayup-Sayup

Oleh : Muhammad Ilham

Saya masih ingat, beberapa waktu lalu, saya kedatangan tamu. Beberapa sahabat dengan baju gamis putih, "bertandang" ke rumah saya. Silaturrahim kata mereka. Mereka yang berjumlah 4 orang ini, saya persilahkan masuk, dengan senyum "welcome". Setelah menjawab lengkap salam mereka, saya jabat satu persatu, dengan hangat. Mereka saya ajak ke ruangan pustaka, dan beberapa saat kemudian, mereka mengutarakan maksud kedatangan mereka, silaturrahim dan diskusi masalah keagamaan (Islam). Saya sedari awal sudah mengerti maksud mereka bertandang ke rumah saya. Diskusi, tepatnya indoktrinasi satu arah-pun, mulai berlangsung. Saya katakan demikian, karena sahabat-sahabat saya ini, terus bicara (berwasiat-tausyiah istilah mereka), tanpa saya bisa untuk sedikit menyela. Saya "dipaksa" hanya untuk mendengar tausyiah mereka tentang hal-hal yang sebenarnya biasa-biasa saja : "untuk apa hidup", "tujuan hidup" dan "kehidupan setelah mati". Satu persatu ayat dan hadits keluar, tanpa sedikitpun analisa. Terkadang, ayat yang mereka ungkapkan itu, butuh diperlurus. Sebagaimana pada awalnya, saya hanya tersenyum saja. Saya berusaha memanfaatkan apa yang diungkapkan oleh Raja Arab Saudi - Faisal bin Abdul Azis - bahwa "Tuhan memberi kita satu mulut dan dua telinga, maka banyaklah mendengar".

Saya coba untuk terus mendengar, walau pada hakikatnya saya sedikit "gondok" karena tausyiah mereka tanpa sedikitpun membuka ruang dialog, ditambah lagi, saya biasanya paling suka berdebat. Dan ini berlangsung hampir setengah jam. Istri saya kemudian datang menghidangkan minuman dan makanan, sesuatu yang diSunnah-kan Rasulullah. Setelah istri saya berlalu, mereka bertanya, "Istri antum bekerja ?". Ya, kata saya. "Memangnya kenapa", tanya saya berusaha menghilangkan rasa penasaran. "Sebaiknya, istri antum tak bekerja. Wanita itu harus jadi ibu rumah tangga, mengurus anak dan suami", kata salah seorang dari mereka dengan penuh yakin. Saya kembali tersenyum, walau, sumpah, kala itu saya ingin mendebat mereka. Tapi saya fikir, lebih baik saya mendengar saja dan menjawab dengan senyum. Saya rasa, itu lebih baik. "Ruangannya penuh dengan buku, ya?", kata mereka lagi. Saya pun tersenyum kembali untuk kembali mempersiapkan "bathin"menerima amunisi lagi. "Tapi buku-buku yang saya lihat banyak buku-buku orang kafir", kata mereka dengan ketus. Kebetulan, beberapa buah buku "aneh" baru siap saya baca, tergeletak saja di dekat meja komputer saya. Ada buku The Spoken of Zarathustra-nya Friedrichz Nietsche, beberapa buah buku tentang Tan Malaka, Hantu-Hantu Marx-nya Jacques Derrida dan satu lagi yang agak membelalakkan mata mereka, yaitu buku Aku Bangga Jadi Anak PKI karangan Ribka Tjiptaning. Sementara buku yang ada ditangan saya, juga nampaknya tidak "menyenangkan" mereka, buku karangan Imam Khomeini - Air Mata Kecemerlangan. "Apapun saya baca, karena memang manusia tugasnya membaca!", saya jawab sekenanya. Mereka-pun diam. Mungkin tahu, saya mulai agak "naik". Kebetulan, saya biasa membunyikan musik "lunak" kala membaca. Waktu itu, saya sedang memutar musik-musik instrumental Koi dan Alderaban-nya Kitaro. "Musik ini tidak baik bagi iman kita, Rasulullah tidak mengajarkan kita untuk mendengar musik-musik seperti ini. Musik orang kafir yang menjauhkan kita dari keimanan", kata "kafir" mereka keluarkan kembali. Rasanya, keinginan untuk mendiskusikan hal ini dengan mereka, tak tertahan lagi.

Tapi untunglah, kebetulan datang salah seorang warga saya yang mau mengurus surat pengantar, mencairkan bantuan dana gempa. Kebetulan, gempa 30 September kemaren memporakporandakan istananya. Menyadari saya ada urusan mendesak, akhirnya sahabat-sahabat saya yang sudah dua kali mengeluarkan kosakata "kafir" ini mulai pamitan. Jujur, kala itu saya gembira. Saya antar mereka ke pintu dengan senyuman, senyuman "sayonara". Jelang mereka melangkah ke teras, salah seorang dari mereka sempat bertanya pada saya, "kenapa antum tidak memelihara jenggot, kan itu sunnah nabi". Saya pandangi mereka satu persatu sambil tersenyum, dan menjawab, "tergantung istri saya, kebetulan ia grogi dengan jenggot". Mereka diam dan berlalu, setelah tentunya mengucapkan salam, tanpa senyum.

Saya teringat dengan sebuah artikel yang pernah ditulis Jalaluddin Rahmat di sebuah media massa beberapa tahun lalu. Kang Jalal, demikian dia dipanggil, memulai artikelnya dengan kisah Talibanisme. Syahdan, tulis Kang Jalal, seorang perempuan mati tertabrak kendaraan milisi Taliban (kala Taliban menguasai Afghanistan). Pihak keluarga si perempuan melaporkan kejadian tersebut pada Gubernur Taliban di Herat. Apa yang terjadi ? Bukannya mendapat santunan atau pelakunya dituntut di pengadilan, Gubernur tersebut justru memperingatkan mereka dengan kata-kata : "Tempat perempuan itu di rumah atau di kuburan". Tidak lama setelah itu, di suatu daerah, ada perhelatan pernikahan. Dalam rangka walimah, untuk memeriahkan suasana, musik-pun dimainkan. Serombongan pasukan Taliban, menerobos masuk dan menghardik semua yang hadir. Mereka memukuli pengantin laki-laki, dan plus wanitanya. Mereka dinaikkan ke atas keledai dan diarak kesekeliling kampung. Namun, nasib dua pengantin ini jauh lebih baik dibandingkan dengan kisah seorang laki-laki yang kepergok mendengar musik barat yang dikategorikan "kafir" dari sebuah tape recorder usang. Ia ditangkap pasukan Taliban dan dikurung di sebuah penjara. Beberapa hari kemudian, ia dituduh mencuri tape recorder dengan alasan tape recorder plus kaset-nya sudah "dibersihkan" di seantero Afghanistan, tentu tape dan kaset tersebut pasti dicurinya. Laki-laki ini kemudian harus membayarnya dengan bayaran tragis, kedua tangannya dipotong, karena (menurut tafsiran Taliban), mencuri hukumannya harus potong tangan. Laki-laki miskin ini akhirnya tak bisa "menghidupi" istri dan lima orang anaknya.

Pernah suatu ketika, homepage Taliban mengungkapkan peristiwa yang mereka katakan sebagai "peristiwa yang sangat bersejarah". Kaum Taliban dengan bangga mengatakan bahwa dilapangan yang dipadati ratusan ribu kaum muslim itu tidak ditemukan kemungkaran. "Tak seorang pun diantara ratusan ribu ummat Islam di lapangan itu yang tidak berjanggut", kata penulis homepage itu. Talibanisme menyukai simbol-simbol keIslaman yang tampak. Kesalihat diukur dari panjang janggut bagi laki-laki dan lebarnya burqah yang menutup seluruh muka dan tubuh bagi wanita. Karena wawasan agama yang yang sempit, mereka akhirnya sangat fanatik terhadap mazhabnya. Perbedaan maszahab bukan saja tidak dihargai, tapi bahkan dieliminasi - untuk tidak mengatakan, diperangi.

::: Kita tak mendengar Taliban sekarang. Tapi entah kenapa, Islam yang agung lagi rahmatan lil 'alamin ini, mulai "sayup-sayup" bercita rasa Talibanisme. Pengalaman saya, mugkin juga dirasakan yang lain. Semoga saya salah !!

1 komentar:

unand mengatakan...

Adalah tantangan kita semua umat muslim sedunia untuk menunjukan bahwa Islam itu indah. Maka beberkanlah keindahan itu sedalam dan seluas mungkin agar ia menjadi milik semua orang