Rabu, 03 Oktober 2012

Mendekonstruksi Konsep 350 Tahun Indonesia Dijajah

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Saya mulai dengan Sutan Takdir Alisyahbana tahun 1930-an. "Indonesia, kata Pujangga Balai Pustaka ini, bukanlah penjumlahan Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan seterusnya. Indonesia, lanjut pengarang Layar Terkembang dan Grotta Azzura tersebut, bukanlah sambungan seperti itu. Bangsa Indonesia adalah kreasi abad ke-20 yang sepenuhnya baru!". 

__________ Karena itu,  konsep 350 tahun Indonesia dijajah oleh Belanda, harus direkonstruksi bahkan didekonstruksi. Indonesia adalah konsepsi baru. Dalam konteks ini, buku GJ. Resink harus ditempatkan. Berikut resensi-nya, yang ditulis oleh Hendry FI (cc. historia-online).

(c) historia.co.id
Suatu ketika, ahli hukum, sejarawan, dan penyair GJ Resink mendengar cerita seorang tua di Bali tentang kedamaian sebelum perjuangan penuh keberanian berakhir dengan kematian ribuan orang Bali di Badung pada 1906 dan Klungkung pada 1908. Orangtua itu juga menyebut zaman sebelum kedatangan Belanda ketika di Bali selatan masih ada negara-negara kecil yang merdeka dan hubungan lalulintas dengan Bali utara masih demikian sulit. Dari penyataan itu Resink menangkap bahwa, “gambaran mengenai penjajahan di seluruh Indonesia selama berabad-abad lamanya adalah sebuah generalisasi sejarah yang dibuat-buat.”  Generalisasi tersebut diolah berdasarkan gambaran penjajahan seluruh Jawa selama abad ke-19 yang diperluas dengan cara pars-pro-toto menjadi penjajahan seluruh Nusantara selama tiga abad lebih. Pandangan ini dibentuk oleh sejarawan kolonial asal Belanda karena pemerintah kolonial di Hindia Belanda awal abad ke-20 memerlukan pandangan demikian.  Resink sendiri memperoleh pandangan tentang masa lalu “negeri-negeri Pribumi” di Nusantara yang merdeka berdasarkan hukum internasional pada 1930 saat dia menjadi anggota kelompok Stuwgroep (Pendorong) termuda dan mahasiswa muda. Lalu, sebagai seorang ahli hukum, dia memandang tak ada yang lebih tepat untuk menghapus gambaran itu selain dengan alat-alat buatan Belanda, yaitu perundang-undangan dan penjelasannya.   
 
Dia menyodorkan Peraturan Tata Pemerintahan Hindia Belanda (Regeeringsreglement) tahun 1854. Pada pasal 44 tercantum pernyataan pemerintah tertinggi di Belanda yang memberi wewenang kepada Gubernur Jenderal untuk mengumumkan perang dan mengadakan perdamaian serta membuat perjanjian dengan raja-raja dan bangsa-bangsa di Kepulauan Nusantara.  Pengakuan pemerintah Hindia Belanda atas kedaulatan “negeri-negeri Pribumi” di Nusantara juga ditunjukkan pada beberapa kasus di mana pengadilan dan Mahkamah Agung Hindia Belanda tak mau mengadili warga negara dari negeri-negeri merdeka. Pada 1904, misalnya, seorang pangeran dari Kerajaan Kutai yang melakukan perbuatan pidana di dalam swapraja Gunung Tabur dibawa ke Pengadilan Tinggi Surabaya, tapi ditolak Mahkamah Agung.  Sialnya, mitos penjajahan 3,5 abad dilanggengkan buku pelajaran sejarah, baik yang diterbitkan dan dipakai pada masa Hindia Belanda maupun Indonesia. Resink sendiri menganggap mitos semacam ini sebagai hal lumrah. Dalam perkembangan waktu, gambaran masa lalu itu akan menjadi lapuk, seperti ditunjukan dalam kasus kebesaran Majapahit dan Kongsi Dagang Belanda (VOC). 

Dia juga mengingatkan bahwa penulisan ulang sejarah Indonesia sudah tentu akan memunculkan mitos-mitos baru, yang bisa dihambat oleh kemajuan dan perkembangan ilmu sejarah. Jika bukan 3,5 abad, lalu berapa lama Belanda menjajah Indonesia? Resink menyebut penjajahan seluruh Nusantara berlangsung selama 40-50 tahun, dengan tetap melihat perbedaan waktu untuk wilayah-wilayah tertentu. Dengan sendirinya, melalui karya-karyanya, Resink hendak menghancurkan citra atau mitos yang sudah berakar itu bahwa Hindia Belanda sejak dulu sebesar dan seluas yang dikenal saat itu.  Ada satu pandangan Resink yang mengelitik terkait pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada 1949. “Menurut saya, di masa-masa peralihan dari bekas jajahan menjadi republik merdeka –dalam bidang hukum internasional saat itu– banyak dari negara dan kerajaan di Indonesia yang pernah satu jajahan di masa Hindia Belanda justru tidak merdeka,” tulisnya dalam buku ini.  Anda bisa tak setuju tapi sebaiknya membaca dulu argumentasi Resink dalam buku ini, sebuah karya yang memberikan cara pandang baru terhadap sejarah Indonesia. Sayangnya, “dialog yang tak kunjung putus” Resink ini terkadang sulit dipahami justru oleh penerjemahan buku ini yang buruk. Beruntung ada kata pengantar sejarawan Adrian B. Lapian yang sedikit-banyak merangkum pemikiran Resink dengan lebih jernih.

Tidak ada komentar: