Rabu, 24 Oktober 2012

Gendang Kuasa Hegemonik AS dan Sekutunya

Oleh : Muhammad Ilham 

Sehubungan dengan artikel di Global Review : 

Direktur Eksekutif Global Future Institute Hendrajit mengatakan, Pidato Presiden SBY di depan peserta Musyawarah Nasional PBNU September lalu mengenai sikap Indonesia terkait krisis di Suriah, sangat mengecewakan.  "Meskipun tidak secara terang-terangan mendukung skema global Amerika menggusur Presiden Bashar Assaad, namun penekannya pada upaya dunia internasional untuk menghentikan konflik bersenjata di Suriah, bisa ditafsirkan tetap memberi angin bagi kekuatan-kekuatan pro Amerika dan Eropa Barat untuk menggusur Presiden Assaad dari kursi kepresidenan," terang Hendrajit kepada NU Online di Jakarta, siang tadi (18/10). Dia berpendapat, pernyataan Presiden SBY sangat pro Amerika dan para sekutunya yang menggunakan dalih demokrasi dan pelanggaran hak-hak asassi manusia sebagai pembenaran agar dunia internasional melakukan isolasi total terhadap Presiden Assaad.

"Presiden Hugo Chavez justru memberikan sikap yang jauh lebih progresif daripada Presiden SBY. Dengan menyatakan diri berada dalam satu sikap dan haluan dengan Rusia dan Cina yang sudah terlebih dahulu mengecam campur-tangan AS di Suriah, Hugo Chavez menegaskan bahwa mendukung gerakan penggulingan kekuasaan Presiden Bashar Assaad berarti secara terang-terangan melakukan pelanggaran kedaulatan nasional Suriah," paparnya.Cina dan Rusia, kata Hendrajit, cukup punya alasan kuat mengecam campur tangan AS di Suriah. "Presiden  Venezuela Hugo Chavez juga tidak omong kosong ketika mengatakan penggusuran Presiden Bashar Assaad merupakan pelanggaran kehormatan dan kedaulatan nasional terhadap Suriah," lanjutnya.Lebih jauh Hendrajit berharap bahwa Pemerintah Indonesia tidak bisa netral dan acuh tak acuh. Harus ada sebuah tindakan nyata dan bersifat ofensif baik dari jajaran kementerian luar negeri, maupun elemen-elemen masyrakat, terutama dua organisasi Islam terbesar di Indonesia NU dan Muhammadiyah, untuk menyatukan sikap menentang campur tangan AS dalam urusan dalam negeri Suriah. Dikatakannya, konflik di Suriah terus berkecamuk karena keseimbangan antara AS dan sekutunya, Rusia dan Cina cukup terjaga dan ini bikin AS dan Inggris jadi kebakaran jenggot belum lagi Iran yang pakai selat Hormuz sebagai kartu truf. 

Maka saya berpendapat :

Apapun tentang Bashar al-Assad, pemimpin seluruh dunia dan lembaga-lembaga dunia yang otoritatif, seharusnya EQUAL. Bak kata Ruhut Sitompul, "jangan ikut gendang politisi ketika melihat kasus hukum di Indonesia." Maka bila kita pakai pola Ruhut ini, maka Pendapat yang sama: "Indonesia harusnya tak mengikuti gendang kuasa hegemonik dunia - meminjam Gramschy, dalam hal ini AS dan sekutunya. 

Bagaimanapun Juga, Assad memiliki latar untuk menjaga otoritas dan kewibawaannya, dan ia memiliki nilai sendiri terhadap para "pemberontak" (oposisi istilah Erdogan dan AS). Kuasa hegemonik, dengan mudah "membentuk opini". Defenisi "brutal, barbar, mana oposisi-mana pemberontak, "dipaksakan" untuk diterima oleh penafsir tunggal, dalam hal ini kuasa hegemonik tadi. "Saya menjaga kewibawaan dan kedaulatan negara saya", demikian yang sering diucapkan Bashaar al-Assad, justru diterjemahkan oleh banyak pihak sebgai "pelanggaran HAM tragis". Bila ini dipertanyakan, akan memunculkan banyak pertanyaan-pertanyaan "bumerang". Bagaimana dengan kasus Irak, Libya dan seterusnya. Akhirnya kita ingat dengan "cerita Alexander Agung dengan seorang Nelayan": "Saya mengambil ikan di laut ini, tuan Alexander anggap sebagai pencuri, tapi kalian menjarah laut ini justru dianggap sebagai pahlawan".

Kesimpulannya, saya kutip kata Assad di reuter: "Saya punya cara mengatasi konflik di negara saya, dan anda sekalian (maksudnya: negara-negara Barat), tidak memiliki otoritas untuk mengajarkan kepada saya bagaimana cara yang terbaik karena tangan dan sejarah kalian-pun masih basah oleh kebrutalan". Naaaaahhhhh !!. 


Lebih lanjut : 
http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=9933&type=100#.UIif7Gf5vIU
Muhammad Ilham Fadli


Konsepsi demokrasi-pun sangat kontekstual, tergantung kompromi "waktu" dan "budaya" ...... dalam bahasa lain : tergantung latar historis dan kultural. Karena itu, sangat tidak adil, bila dalam dunia yang pluralis, dipaksakan untuk mengaplikasikan "defenisi tunggal". Tapi sekali lagi, kuasa hegemonik, selalu melakukan hal itu, dan terkadang kita secara latah mengikutinya. nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia dengan "setting" universal a-la barat, tentunya tidaklah fair bila dianggap sebagai sesuatu yang harus mutlak "diterima semuanya" oleh kita yang memiliki latar kultural dan sejarah yang berbeda dengan mereka. Apalagi, kecurigaan terhadap agama, telah menjadi cause-awal lahirnya beberapa ideologi dan nilai-nilai demokrasi dan HAm yang dianggap sebagian dari kita sebagai nilai-nilai universal. Padahal, filosof sejarawan sekuler, Bertrand Russel, mengatakan : "Sebuah ideologi, tidaklah pernah universal, ia lahir dan tumbuh berkembang dari perjalana sejarah panjang mereka". Karena itu, alangkah naifnya kita "mengadopsi" dan menganggap sesuatu ideologi yang nyata-nyata lahir dan tumbuh berkembang dari sebuah komunitas/entitas sosial yang memiliki latar historis berbeda dengan kita. Bukan berarti menolak, karena menolak tanpa kompromi dan pemahaman komprehensif juga bukan sesuatu yang baik tapi menganggap sebagai sesuatu yang mutlak, juga menjerumuskan kita pada fanatisme dalam bentuk lain dan menjadi insan yang a-historis. Bak kata teman saya ....... "Menganggap PIZZA sebagai makanan universal dan melihat kualitas makanan orang Mentawai yang suka Sagu dari kacamat PIZZA"

Tidak ada komentar: