Senin, 01 Oktober 2012

Melampaui Dendam Sejarah : "Dibalik Kontroversi Film Gerakan/PKI"

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Dalam konteks psiko-sejarah bangsa kita mewarisi terlalu banyak dendam sejarah, xenophobia, dan mental inferior, yang sudah akut. Dibutuhkan keberanian tersendiri untuk mengurai, mengakui dengan jujur, dan membangun satu kesepahaman baru tentang Indonesia selanjutnya. Seringkali kita memilih sikap tidak mengungkap cerita sejarah yang dibungkam, demi untuk menjaga keutuhan bangsa. Padahal cara itu tidak selamanya benar. Bagaimanapun pahitnya, fakta-fakta sejarah adalah pelajaran sangat penting untuk angkatan berikut. Sejarah ”sesungguhnya” sering ditentukan oleh kuasa dan tafsir apa yang kita pakai untuk membacanya lagi. Kasus tragedi 1965-1966, adalah sebagai contoh terbaik diantara - tentunya - begitu banyak contoh-contoh yang lain. Adu cerita dan buku putih tentang siapa benar-siapa salah, hanya akan mengaburkan pelajaran utama dari peristiwa waktu itu. Tuduh-menuduh bahwa PKI melakukan kudeta, Soeharto yang merancang kudeta, Soekarno di kudeta, atau bahkan Soekarno sendiri mengkudeta dirinya, adalah argumen sejarah tanpa ujung dan hanya memicu perdebatan kontroversial berulang. Untuk menjadi bangsa yang kuat, dalam spirit nusantara, maka segala bentuk dendam sejarah haruslah dikelola dengan baik dan ditransformasi menjadi energi gerak untuk menata kehidupan nasional seluruh rakyat. Seolah lupa atau bahkan mengidap amnesia sejarah dan memaksa agar abai atas fakta-fakta bukanlah sikap seorang negarawan. Tetapi berlama-lama dalam ”kemarahan historis” yang makin termoderasi oleh banyaknya ”tangan tak jelas” terlibat seolah benar-benar ingin mengungkap sejarah sedang sejatinya hanya soal eksistensi institusional, juga bukan sikap bijak. Kita butuh ketegasan dan pengakuan, sekaligus ke-awas-an tingkat tinggi, agar tak jatuh tertimpa tangga pula.

Berikut saya ketengahkan beberapa artikel Tempo Edisi Khusus Gerakan 30 September, berkaitan dengan kontroversi seputar Peristiwa G 30 S & Film "keramat" Gerakan 30 September.  

 (c) tempo.com

Artikel 02 : FILM PKI, SEBERAPA BESAR PROPAGANDA ORDE BARU ?

Semasa Orde Baru, ada adegan horor yang tayang tiap 30 September. Horor karena di stasiun televisi nasional memutar sebuah film berjudul Pengkhianatan G30 S-PKI. Di dalamnya banyak adegan berdarah dari penyiksaan para jenderal, tawa puas para penyiksa, hingga pengambilan mayat korban tragedi yang berlatar belakang kejadian tanggal terakhir di bulan September, 47 tahun silam. “Film ini sengaja dibuat untuk memberi tahu rakyat bagaimana peran PKI saat itu. Jadi memang ada semacam muatan politik,” ujar Amoroso Katamsi, pemeran Presiden Soeharto dalam film Pengkhianatan G 30S-PKI. Amoroso yang ditemui, Rabu, 26 September 2012, menuturkan bahwa memang kondisi PKI terhadap rakyat Indonesia seperti adanya film. “Tapi memang ada beberapa adegan yang berlebihan,” ujar pria 72 tahun itu. Sejarawan Hilmar Farid menyatakan dengan tegas bahwa film tersebut adalah propaganda Orde Baru. “Dari segi produksi, kita lihat pembuatannya, ditangani langsung PPFN dengan restu Soeharto,” tulis dia dalam surat elektronik. Jadi, dari isi film pun mewakili pandangan Orde Baru tentang peristiwa 30 September. “Dan sejumlah fantasinya,” ia menambahkan. Tempo, pada September 2000 silam, membuat jajak pendapat tentang pengaruh film yang disutradarai Arifin C. Noer ini. Hasil "indoktrinasi" lewat buku sejarah dan media propaganda itu sungguh dahsyat. Responden dari 1.110 pelajar SMA di tiga kota (Surabaya, Medan, dan Jakarta) jadi begitu konservatif, menolak semua yang berbau PKI dan komunis.

Menurut sebagian besar responden, komunisme itu melulu paham yang anti-agama (69 persen) dan sangat radikal (24 persen). Meskipun komunisme sudah ditumpas puluhan tahun silam dari bumi Indonesia--dan tak laku dijual sebagai ideologi di berbagai negara--banyak yang masih percaya ia akan bangkit kembali (47 persen). Karena itu, separuh responden berpendapat, sebaiknya komunisme tak diajarkan sebagai ilmu pengetahuan. Buku-buku tentang komunisme juga sebaiknya dilarang beredar. Sebagian besar responden juga percaya adegan dalam Pengkhianatan G30 S-PKI benar-benar terjadi. Padahal, faktanya belum tentu demikian. Sulami, seorang bekas anggota Gerwani, organisasi onderbouw PKI, contohnya, menyangkal adanya anggota kelompoknya yang menari-nari di Lubang Buaya sewaktu para jenderal dibawa ke sana, seperti yang digambarkan dalam film itu. Kepada majalah ini, Sulami bahkan menolak disebut terlibat dalam gerakan penculikan itu. Hilmar menguraikan, film tersebut berhasil melanggeng kebencian terhadap PKI. “Sebab, film yang diputar tiap tahun itu menyebarkan cerita bohong tentang kejahatan di Lubang Buaya,” ujar dia. Dengan target generasi muda, menurut dia, Orde Baru berhasil menemukan cara yang efektif untuk menanamkan kebencian terhadap PKI. “Yang dengan sendirinya menambah kuat legitimasi Soeharto,” kata peneliti dari Indonesian Institute of Social History itu.

Menurut data Peredaran Film Nasional yang tertulis dalam situs filmindonesia.or.id., judul awal dari film Pengkhinatan G 30 S-PKI adalah SOB (Sejarah Orde Baru). Karya berdana Rp 800 juta tersebut menjadi film terlaris pertama di Jakarta, 1984, dengan 699.282 penonton. Jumlah ini merupakan rekor tersendiri yang belum terpecahkan hingga 1995. Tapi, ketika reformasi bergulir, pada September 1998, Menteri Penerangan Yunus Yosfiah mengumumkan, film yang dibuat tahun 1982 ini tidak akan diputar atau diedarkan lagi, di samping film-film Janur Kuning (1979) dan Serangan Fajar (1981). Alasannya, berbau rekayasa sejarah dan mengkultuskan seorang Presiden. Kini, memperingati kejadian 30 September, Tempo.co menulis sejumlah catatan tentang pembuatan film tersebut. Mulai dari kisah sutradara, pemain, dan semua pihak yang terlibat dalam pembuatan film termahal pada masanya.

Artikel 03 : AIDIT MEROKOK, DESKRIPSI POLITIS FILM G30 S

Embie C. Noer, direktur musik film Pengkhianatan G 30 S/PKI, ingat kata-kata Arifin C. Noer saat mendeskripsikan film yang akan mereka buat dengan sangat singkat, ”Ini film horor, Mbi.”

Bagi Embie, frasa sependek itu cukup menjadi dasar baginya untuk mengembangkan tafsir bebunyian. ”Saya bukan cuma adiknya atau krunya, melainkan juga anaknya sekaligus muridnya sejak dia masih muda,” tutur Embie seperti dikutip majalah Tempo 7 Oktober 2007. ”Karena itu, yang sama-sama kami pahami adalah Aidit sebagai sebuah diskusi politik ketimbang sebagai rekonstruksi fakta yang debatable. Contoh kecil yang menunjukkan itu, antara lain, adegan Aidit merokok yang dianggap menyimpang dari kebiasaan Aidit sebenarnya yang tidak merokok—seperti diyakini sang adik, Murad Aidit. ”Adegan itu justru menegaskan Mas Arifin sedang tidak merekonstruksi fakta, melainkan menyodorkan sebuah diskusi politik,” kata Embie.  Ia prihatin melihat pelbagai diskusi yang muncul saat itu tentang pencitraan Aidit, dan film itu secara umumnya, yang hanya ditakar dari sisi estetika, bukan secara substantif. ”Banyak yang gagal membaca film ini,” keluh Embie. Dalam wawancaranya dengan majalah ini 23 tahun silam, Arifin mengatakan bahwa niatnya membuat film ini adalah sebagai ”film pendidikan dan renungan tanpa menawarkan kebencian” (Tempo edisi 6/14, 7 April 1984). Berkaitan dengan tugasnya untuk memberi tafsir musikal pada film itu, Embie berkeyakinan bahwa ranah politik Indonesia, sampai detik ini, adalah konsep budaya Barat dengan para pionir, seperti Ronggowarsito untuk sastra dan metafisika serta Raden Saleh untuk estetika. ”Maka saya meramu suling bambu, tape double-cassette, keyboard, dengan semangat budaya pseudo-modern,” ujarnya.

Perdebatan yang sempat muncul mengenai sosok Aidit dalam film itu, seingat Jajang C. Noer, tak sampai menggelisahkan suaminya. ”Dia sangat excited ketika melihat hasil akhirnya,” tutur Jajang. Bagi Jajang, proses persiapan bahan untuk sosok Aidit adalah saat yang sibuk sekaligus mencemaskan. Mereka sibuk membuat kompilasi dari pelbagai bahan tertulis. Itulah yang diolah Arifin menjadi sebuah skenario. Yang membuat cemas, tim Arifin hanya memiliki satu foto Aidit, ketika sang figur berada di sebuah acara di Istora.  Rumitnya lagi, foto itu pun tak begitu jelas. Persoalan menjadi sedikit lebih mudah setelah mereka berhasil mendapatkan sebuah pasfoto Aidit yang lebih jelas. ”Ternyata bentuk fisik Aidit tak sebesar yang kami bayangkan semula,” ujar Jajang. ”Dari pasfoto itulah Mas Arifin punya kesan bahwa Aidit terlihat mirip Syu’bah. Bukan pada kepersisan wajah, tapi pada wibawa.” Jajang mencontohkan, pencarian pada ”kemiripan wibawa” ketimbang kemiripan wajah juga menjadi pertimbangan utama saat mencari pemeran Bung Karno, yang akhirnya jatuh pada Umar Kayam. Sudah selesaikah persoalan? Ternyata belum. Jajang mengungkapkan, mereka masih kesulitan mendapatkan ciri atau gestur khusus Aidit, meski sudah mencari informasi ke Subandrio dan Syam Kamaruzzaman. ”Satu-satunya tambahan informasi yang muncul adalah bahwa Aidit itu dandy. Bukan dalam pengertian genit, tapi pada gaya busana. Dan di situlah repotnya,” Jajang terkekeh sejenak. ”Syu’bah enggak bisa dibilang dandy.” Ihwal Aidit yang merokok itu, Jajang punya jawaban lain. Saat itu, Arifin merasa merokok sebagai representasi dari The Thinker. ”Secara visual terlihat lebih bagus penggambaran seseorang yang berpikir keras itu lewat rokoknya,” ulas Jajang. ”Itu sebabnya ada adegan di mana layar hanya dipenuhi asap rokok sebagai metafor sumpeknya suasana politik Indonesia.” Dengan segala pro-kontra yang muncul akibat film Pengkhianatan G-30-S/PKI, satu hal yang tak bisa disangkal adalah generasi yang lahir pada 1970-an dan sesudahnya mendapatkan satu-satunya gambaran tentang sosok Aidit secara jelas hanya dari film itu. Setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 1998, buku tentang Aidit kemudian bermunculan, termasuk yang ditulis oleh mereka yang mengenalnya lebih dekat.

Artikel 04 : TOKOH DIBALIK PENGHENTIAN FILM G 30 S

Juwono Sudarsono (c) TEMPO
Ada tiga tokoh sentral yang berperan dalam dihentikannya pemutaran film Pengkhianatan G30S/PKI. Mereka adalah Marsekal Udara Saleh Basarah, Menteri Penerangan Yunus Yosfiah, dan Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono. Mantan Menteri Pendidikan, Juwono Sudarsono, mengatakan, ia pernah ditelepon Saleh Basarah sekitar bulan Juni-Juli 1998. "Beliau keberatan karena film itu mengulang-ulang keterlibatan perwira AURI pada peristiwa itu (30 September)," kata Juwono kepada Tempo, Jumat, 28 September 2012. Juwono menjabat sebagai menteri pendidikan sejak 21 Mei 1998 sampai 20 Oktober 1999. Sebagai menteri pendidikan kala itu, Juwono meminta kepada para ahli sejarah untuk meninjau kembali kurikulum pelajaran sejarah tingkat SMP dan SMA, khususnya yang memuat peristiwa-peristiwa penting. "Saya ingin informasi yang diterima siswa lebih berimbang," ujarnya. Juwono mencontohkan, pada peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, misalnya, tidak melulu menonjolkan peran Letnan Kolonel Soeharto yang ketika itu menjabat sebagai Komandan Wehkreise II, namun juga membeberkan perjuangan Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Sementara Marsekal Udara Saleh Basarah adalah tokoh yang pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Udara pada tahun 1973-1977. Kendati hanya berbicara per telepon dan tidak membuat surat resmi untuk menghentikan pemutaran film G30S itu, sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, mengatakan pandangan Saleh patut didengar. "Karena ia orang yang disegani," ujarnya.  Saleh yang pernah menjabat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Kerajaan Inggris Raya itu meninggal dunia pada 11 Februari 2010. Sementara Menteri Penerangan saat itu, Yunus Yosfiah, mengatakan, pemutaran film yang bernuansa pengkultusan tokoh, seperti film Pengkhianatan G30S/PKI, Janur Kuning, dan Serangan Fajar tidak sesuai lagi dengan dinamika Reformasi. "Karena itu, tanggal 30 September mendatang, TVRI dan TV swasta tidak akan menayangkan lagi film Pengkhianatan G30S/PKI," ujar Yunus seperti dikutip dari Kompas edisi 24 September 1998. Sebagai gantinya, lanjut Yunus, Departemen Penerangan bekerja sama dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mempersiapkan sebuah film yang terdiri dari tiga episode. Film berjudul Bukan Sekadar Kenangan itu disutradarai Tatiek Mulyati Sihombing.  

Referensi : tempointeraktif.com

Tidak ada komentar: